Hewan yang tdk memiliki pembuluh darah maka bangkainya tidaklah najis, seperti cicak, lalat, kumbang, dan nyamuk. Demikian juga kotoran hewan-hewan tersebut.
Dalilnya :
– bangkai jarood (belalang) halal sebagaimana dalam hadits
– lalat yang terjatuh di minuman seseorang maka dianjurkan oleh Nabi untuk dicelupkan, karena pada salah satu sayapnya ada obat.
Dan bisa jadi air minuman tersebut panas, atau dicelupkan lama sehingga matilah lalat tersebut dan menjadi bangkai, akan tetapi ternyata tidak menajiskan air minum tersebut. Dan lalat adalah hewan yang tdk berpembuluh darah
– sebagian ulama menilai bangkai adalah najis dikarenakan darah yang terpendam dalam tubuh bangkai tersebut, karena darah yang mengalir adalah najis namun terpendam dalam bangkai tersebut. Adapun hewan yang tdk berpembuluh maka tidak ada endapan darah
– ini juga dalil bahwa kepiting hukumnya halal, karena seandainya kepiting diikutkan dengan hukum hewan darat, maka ia adalah hewan yang tidak memiliki pembuluh darah, sehingga tdk perlu disembelih dan bangkainya juga halal
Wallahu A’lam
Kei Arsy As-Sundawy say :
Mengenai Kotoran cicak najis atau tidak? Pertama, ulama menegaskan bahwa binatang yang tidak memiliki darah merah, seperti serangga, dan sebangsanya, bangkainya tidak najis. Demikian pula kotorannnya.
Ibnu Qudamah –ulama Madzhab Hanbali– mengatakan:
مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ
“Binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, dia suci, sekaligus semua bagian tubuhnya, dan yang keluar dari tubuhnya.” (al-Mughni, 3:252)
Hal yang sama juga disampaikan ar-Ramli –ulama Madzhab Syafii– dalam an-Nihayah:
ويستثنى من النجس ميته لا دم لها سائل عن موضع جرحها، إما بأن لا يكون لها دم أصلاً، أو لها دم لا يجري
“Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir.” (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)
Kedua, Ulama juga berbeda pendapat apakah cicak termasuk binatang yang darahnya mengalir atau tidak.
Mayoritas ulama mengatakan, cicak termasuk binatang yang tidak memiliki darah mengalir. An-Nawawi mengatakan:
وأما الوزغ فقطع الجمهور بأنه لا نفس له سائلة
“Untuk cicak, mayoritas ulama menegaskan, dia termasuk binatang yang tidak memiliki darah merah yang mengalir.” (al-Majmu’, 1:129)
Hal yang sama juga ditegaskan Ar-Ramli:
Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir. Seperti cicak, tawon, kumbang, atau lalat. Semuanya tidak najis bangkainya. (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)
Sementara ulama lainnya mengelompokkan cicak sebagai binatang yang memiliki darah merah mengalir, sebagaimana ular.
An-Nawawi menukil keterangan al-Mawardi:
وَنَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ كَالْحَيَّةِ وَقَطَعَ الشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ بِأَنَّ لَهُ نَفْسًا سَائِلَةً
Dinukil oleh al-Mawardi, mengenai cicak ada dua pendapat ulama syafiiyah, (ada yang mengatakan) sebagaimana ular. Sementara Syaikh Nasr al-Maqdisi menegaskan bahwa cicak termasuk hewan yang memiliki darah merah mengalir. (al-Majmu’, 1:129)
Dari Madzhab Hanbali, al-Mardawi mengatakan:
والصحيح من المذهب: أن الوزغ لها نفس سائلة. نص عليه كالحية
“Pendapat yang benar dalam Madzhab Hanbali bahwa cicak memliki darah merah yang mengalir. Hal ini telah ditegaskan, sebagaimana ular.” (al-Inshaf, 2:28)
Ketiga, sebagian ulama memberikan kaidah, binatang yang memiliki darah merah mengalir dan dia tidak halal dimakan maka kotorannya najis.
Jika Anda menguatkan pendapat bahwa cicak termasuk binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, maka bangkai dan kotoran cicak tidak najis. Sebaliknya, jika Anda berkeyakinan bahwa cicak memiliki darah merah mengalir, maka kotorannya najis. Meskipun banyak ulama berpendapat bahwa najis sangat sedikit, yang menempel di badan, dari binatang yang sulit untuk dihindari, termasuk najis yang ma’fu (boleh tidak dicuci).
Allahu a’lam
Referensi: Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 101783