Fenomena yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyyah berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan ‘ambles’ karena kehabisan pasir !!
((TEMPO Interaktif, Jombang – Ada-ada saja ulah peziarah. Seusai membaca Yasin dan tahlil di makam mendiang mantan Presiden RI ke empat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, beberapa peziarah menyempatkan diri menjumput tanah dan bunga di atas gundukan makam. Mereka percaya, bunga dan tanah itu mengandung berkah dan tuah.
Seperti dikatakan salah satu peziarah, Fatimah, warga Seblak, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Dia mengambil bunga dan tanah untuk dibawa pulang. Dia percaya, tanah dan bunga dari makam Gus Dur memiliki barokah. “Ini akan saya gunakan untuk mengobati sakit linu,” kata dia, Jumat (1/1).
Hal sama dilakukan Muhlison. Dia mengambil tanah makam untuk pengobatan anaknya yang sampai berusia beberapa tahun ini belum bisa berjalan alias lumpuh. Dia mengambil sedikit tanah, dikantongi, lalu dibawa pulang.
Melihat ulah peziarah itu, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kiai Haji Shalahudin Wahid langsung bersikap. Dia meminta peziarah agar bersikap wajar dan meninggalkan hal-hal yang tak rasional. “Itu tidak rasional, jadi tidak usah dilakukan,” tegas dia.
Beberapa jam setelah pemakaman Gus Dur selesai, gundukan tanah makam sempat cekung. Tanah banyak dijumput warga, lalu dibawa pulang. Bahkan, taburan bunga di atasnya pun sirna. “Saya tidak heran kenapa terjadi begitu,” kata Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Dia mengaku paham dengan kondisi itu. Dia menilai, budaya pengkultusan seperti itu memang bagian kecil dari budaya warga Nahdliyin. Beberapa orang masih percaya, jika makam tokoh besar seperti Gus Dur mengandung barokah dan memiliki tuah.
Perbuatan itu tidak bisa dilarang, karena sudah membudaya. Namun demikian, dia tetap melarang upaya pengambilan tanah makam seperti yang dilakukan beberapa peziarah. Peziarah cukup mendoakan saja. “Jangan macam-macam, dan aneh-aneh seperti itu,” terang dia.
MUHAMMAD TAUFIK, lihat http://www.tempo.co/read/news/2010/01/01/058216788))
Fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama kaum syi’ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini bahwa meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan. :
Al-Khumaini berkata :
“Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?
Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…
Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena ia meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran” (Kasyful Asroor hal 65)
Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi’ah yang berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii’ di kota Madinah.
Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi’in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??
Fenomena ngalap berkah dengan cara yang salah dan tidak disyari’atkan telah diperingatkan oleh para ulama madzhab syafi’iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela’ah kitab جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-‘Anqori, hal 581-595)
Umar bin Al-Khotthob radhiallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad beliau berkata :
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Demi Allah, aku sungguh-sungguh mengetahui bahwasanya engkau hanyalah sekedar batu, engkau tidak bisa memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Dan kalau bukan karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu” (HR Al-Bukhari no 1597 dan Muslim no 1270)
Perkataan yang agung dari Umar bin Al-Khotthob ini ternyata mendapat perhatian besar dari para ulama madzhab Syafi’iyyah, mereka menjelaskan sebab kenapa Umar melontarkan perkataannya tersebut.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
فأمير المؤمنين عمر رضي الله عنه كان قد عبد الحجر فحين أهوى إلى الركن كأنه هاب ما كان عليه في الجاهلية فتبرأ من كل شيء سوى الله و أخبره بأنه حجر لا يضر و لا ينفع يريد ما كان على هيئته حجرا وإنه يقبله متابعة للسنة
“Amirul Mukminin Umar –semoga Allah meridhoinya- dahulunya menyembah batu. Maka tatkala beliau tunduk ke hajar aswad (untuk menciumnya) maka seakan-akan beliau khawatir tentang kondisinya dahulu tatkala di masa jahiliyah. Maka beliaupun berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah dan iapun mengabarkan kepada hajar aswad bahwasanya ia hanyalah sekedar batu yang tidak bisa memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan -maksud beliau status hajar aswad sebagai batu-. Dan Umar hanyalah mencium hajar aswad karena mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa ” (Syu’abul Iman 3/451)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Umar hanyalah berkata, “Sesungguhnya engkau (yaitu hajar aswad) tidak bias memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan”, agar orang-orang yang baru masuk Islam tidak terpedaya, karena mereka dahulunya telah terbiasa menyembah batu-batu dengan mengagungkan batu-batu tersebut dengan harapan mendapatkan manfaat dari batu-batu tersebut, serta dahulu mereka khawatir mendapatkan kemudorotan dari batu-batu sembahan mereka jika mereka kurang besar dalam mengagungkannya. Dan hal ini baru saja berlalu, maka Umarpun khawatir jika ada sebagian mereka melihat Umar mencium dan memberi perhatian kepada hajar aswad maka akan salah sangka dengan perbuatan Umar. Maka Umarpun menjelaskan bahwa hajar aswad tidaklah memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan, dan bahwasanya ia hanyalah batu yang diciptakan sebagaimana makhluk-makhluk yang lainnya yang tidak memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Umar menyebarkan pernyataannya ini di musim haji agar tersebar di negeri-negeri dan agar dihafalkan pernyataannya ini oleh para jama’ah yang berasal dari negeri-negeri yang bermacam-macam. Wallahu A’lam” (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 9/17-18, lihat peryataan An-Nawawi yang serupa di Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzzab 8/31)
Ibnu Daqiiq Al-‘Ied berkata
وقول عمر هذا الكلام في ابتداء تقبيله: ليبين أنه فعل ذلك اتباعا وليزيل بذلك الوهم الذي كان ترتب في أذهان الناس في أيام الجاهلة ويحقق عدم الانتفاع بالأحجار من حيث هي هي كما كانت الجاهلية تعتقد في الأصنام
“Pernyataan Umar di awal mencium hajar aswad, tujuannya untuk menjelaskan bahwasanya beliau melakukannya karena mengikuti sunnah Nabi, dan agar hilang persangkaan yang terpatri di benak orang-orang di masa jahiliyah, dan juga untuk menekankan bahwa batu tidak bisa memberi kemanfaatan dari sisi statusnya sebagai batu, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah bahwa patung-patung memberi manfaat” (Ihkaam Al-Ahkaam syarh Umdatil Ahkaam hal 315)
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata :
قال شيخنا في شرح الترمذي فيه كراهة تقبيل ما لم يرد الشرع بتقبيله
“Berkata guru kami (yaitu Al-‘Irooqi) dalam kitab Syarh Sunan At-Thirmidzi : Pada perkataan Umar ini terdapat dalil akan dibencinya mencium perkara yang tidak ada syari’at/dalil untuk menciumnya” (Fathul Baari 3/463)
Kesimpulan : Tidak ada suatu bendapun di atas muka bumi ini yang disunnahkan untuk dicium melainkan hajar aswad. Keberkahan hajar aswad hanyalah diperoleh jika ditinjau dari pahala di akhirat, karena orang yang menciumnya telah mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Meskipun demikian ternyata hajar aswad pun tidak bisa memberi mudhorot dan juga tidak bisa memberi kemanfaatan di dunia berupa kesehatan tubuh atau sembuhnya penyakit.
Jika hajar aswad saja perkaranya demikian maka apalagi hanya sekedar nisan di kuburan, atau pasir di kuburan orang yang dianggap sebagai wali ??!!
Pengingkaran Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam Malik
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah murid dari Al-Imam Malik rahimahullah. Dan seringkali tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang suatu permasalahan agama maka beliau menjawab dengan fatwanya Imam Malik. Beliau berkata, قَالَ الأُسْتَاذُ “Telah berkata ustadzku…”
Hingga akhirnya beliau menulis bantahan terhadap gurunya Imam Malik dikarenakan sikap sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, bahkan sampai-sampai menjadikan songkok Imam Malik sumber keberkahan untuk meminta hujan.
Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
“Aku telah membaca kitab Abu Yahya Zakariya bin Yahya As-Saaji tentang apa yang diceritakan oleh orang-orang Mesir. Bahwasanya Asy-Syafi’i hanyalah menulis kitab untuk membantah Malik dikarenakan telah sampai kepada beliau bahwasanya di Andalus songkoknya Malik dijadikan sebab untuk meminta hujan.
Dan telah dikatakan kepada mereka “Rasulullah bersabda…”, maka mereka berkata, “Imam Malik berkata…”. Maka Asy-Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Malik seorang manusia terkadang salah dan keliru”. Inilah yang memotivasi Al-Imam Asy-Syafi’i untuk menulis kitab bantahan tersebut. Asy-Syafi’i berkata, “Aku benci untuk menulis buku tersebut akan tetapi aku telah sholat istikhoroh pada tahun itu” (Manaaqib Asy-Syaafi’i li Al-Baihaqi 1/508-509)
Tentunya jika mencari berkah dari songkoknya Imam Malik adalah perkara yang dibolehkan dan disyari’atkan serta disukai maka Al-Imam Asy-Syafi’i tidak akan mengingkarinya dan tidak akan termotivasi untuk menulis bantahan terhadap Imam Malik gurunya. Tidaklah beliau menulis bantahan tersebut melainkan agar orang-orang tidak berlebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, apalagi sampai mencari keberkahan dari songkoknya.
Pengingkaran para ulama Syafi’iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah
Sebagaimana para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perhatian terhadap pernyataan Umar bin Al-Khotthob, mereka juga memberi perhatian dalam membawakan pernyataan-pernyataan sebagian salaf yang mengingkari orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim karena mencari keberkahan.
(1) Al-Haliimi rahimahullah (wafat 403 H) berkata :
“Barang siapa yang melihat maqom Ibrahim ‘alaihis salaam maka hendaknya ia sholat di situ, dan maqom tidak disentuh dan tidak pula dicium. Ibnu Az-Zubair melihat suatu kaum yang mengusap maqom Ibrahim maka beliau berkata : “Kalian tidaklah diperintahkan untuk melakukan ini, kalian hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim”. Mujahid berkata, “Maqom Ibrahim tidak dicium dan tidak disentuh” (Al-Minhaaj fi Syu’abil Iman 2/453)
(2) Al-Baghowi rahimahullah (wafat 516 H) berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Jadikanlah sebahagian maqom Ibrahim tempat shalat (QS Al-Baqoroh : 125)
“Berkata Qotaadah, Muqootil, dan As-Suddiy : “Mereka diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan mereka tidak diperintahkan untuk mengusap dan menciumnya” (Ma’aalim At-Tanziil/Tafsiir Al-Baghowi 1/147)
(3) Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam tafsirnya juga telah menyebutkan riwayat dari Qotadah tentang pengingkaran beliau terhadap orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim. Beliau berkata :
“Qotadah berkata : “Mereka hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan tidak diperintahkan untuk mengusapnya. Sungguh umat ini telah berlebih-lebihan dengan sesuatu yang para umat-umat terdahulu telah berlebih-lebihan. Sungguh telah menceritakan kepada kami orang yang telah melihat bekas tumit Ibrahim dan bekas jari-jarinya di maqom Ibrahim, akan tetapi umat ini terus mengusap-ngusapnya hingga menjadi pudar” (Tafsiir Al-Qura’an al-‘Adzhiim 2/64)
Atsar Qotadah rahimahullah ini juga disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/169
Pengingkaran para ulama Syafi’iyah terhadap orang-orang yang mencium, mengusap, dan menempelkan perut mereka ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mencari berkah
(1) Al-Halimi rahimahullah berkata :
Telah melarang sebagian ahlul ilmi dari menempelkan perut dan juga pundak ke dinding kuburan Nabi dengan tangan. Hal ini termasuk perbuatan bid’ah. (Al-Minhaaj fi Syu’abil Iman 2/458)
(2) Al-Ghozali rahimahullah berkata
وَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَمَسَّ الْجِدَارَ وَلاَ أَنْ يُقَبِّلَهُ بَلِ الْوُقُوْفُ مِنْ بُعْدٍ أَقْرَبُ لِلْاِحْتِرَامِ
“Dan bukanlah sunnah menyentuh dinding (kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan bukan juga menciumnya, akan tetapi berdiri dari jauh lebih dekat kepada penghormatan (kepada Nabi)” (Ihyaa Uluum Ad-Diin 1/259)
Beliau juga berkata
فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ النَّصَارَى وَالْيَهُوْدِ
“Sesungguhnya menyentuh dan mencium kuburan-kuburan merupakan kebiasaan kaum Nashrani dan kaum Yahudi” (Ihyaa ‘Uluum Ad-Diin 1/271)
(3) An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
“Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka…
Sungguh yang mulia Abu Ali al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :
“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya hanya sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan tersebut).” Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari’at dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 8/257-258, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-‘Allamah Ibni Hajr al-Haitami ‘ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)
Dari penjelasan para ulama madzhab syafi’i di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya mereka melarang untuk mengambil keberkahan dari perkara-perkara yang tidak disyari’atkan. Oleh karenanya fenomena yang terjadi pada sebagian pengikut madzhab syafi’iyah, atau sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, berupa mengalap keberkahan yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap washiat-washiat para ulama madzhab syafi’i.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 04-11-1434 H / 10 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
Tertulis: “…menulis bantahan terhadap Imam Malik gurunya.”
Apakah tidak sebaiknya dihilangkan, Atau diganti: “menulis bantahan terhadap perkara ngalap barokah terhadap songkok Imam Malik, gurunya.”
Karena jika tidak diganti akan terkesan bahwa Imam Asy-Syafii menulis risalah untuk membantah Imam Malik.
ngalap berkah : sebagian saudara kita menganggap TABARRUK ADALAH PERBUATAN Syrik, terutama tabarruk yang tidak ada riwayat atau atsar Quran , hadist ,dari para sahabat atau imam 4 mazhab… pertanyaan saya, APAKAH TABARRUK ITU HARUS berdasarkan DALIL diatas?
lalu bagaimana dengan ini. MASYARAKAT NTB untuk mengobati sakit PERUT , MERIANG, kurang darah, malaria DAN BERBAGAI PENYAKIT lainnya menggunakan KAYU SONGGa.. yaitu kayu tersebut direbus dengan AIR PANAS kemudian di dinginkan… dan BIIDZNILLAH banyak yang BISA SEMBUH.padahal belum ada penelitian KEDOKTERAN/MEDIS yang shahih, memang pernah ada penelitian yg menunjukkan KAYU SONGGI tersebut mengandung berbagai DZAT yg bermanfaat. padahal sudah RATUSAN TAHUN LALU DIGUNAKAN. DAN ratusan tahun lalu beluma da penelitian MEDIS.. nah bagaimana ini??
bukankah masyarakat dulu mengadakan pengobatan bukan berdasarkan DALIL DULU, tapi ACTION,,.,, dan PENGALAMAN
aneh anda masih belum mengerti juga