SYUBHAT KEDUA : Sabda Nabi “Seluruh Bid’ah Sesat, adalah lafal umum tapi terkhususkan”
Artinya, semua bid’ah itu sesat kecuali bid’ah-bid’ah hasanah. Pernyataan seperti ini memang terucap oleh sebagian ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Akan tetapi jika kita membaca kembali perkataan para ulama dengan saksama maka akan kita dapati secara gamblang bahwa maksud mereka dengan pengkhususan adalah dikhususkan dengan perkara-perkara yang merupakan al-maslahah al-mursalah, bahkan perkara-perkara yang wajib hukumnya. Jadi bukan bid’ah hasanah yang dipahami oleh kebanyakan pelaku bid’ah. (silahkan baca kembali Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah dan juga Semua Bid’ah Adalah Kesesatan).
Pada kenyataannya sabda Nabi “Seluruh bid’ah sesat” hanya bisa dikhususkan jika yang dimaksud dengan bid’ah adalah secara bahasa. Perhatikanlah perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berikut :
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah sesat” adalah lafal yang umum tapi terkhususkan. Dan yang dimaksud adalah mayoritas bid’ah. Ahli bahasa berkata : “Bid’ah adalah seluruh perbuatan yang tanpa ada contoh sebelumnya”. Ulama berkata bahwasanya bid’ah ada 5 macam, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Diantara perkara yang wajib adalah pengaturan dalil-dalil ahlul kalam untuk membantah kaum atheis dan para mubtadi’ah dan yang semisalnya. Dan diantara bid’ah yang sunnah/mandub adalah penulisan kitab-kitab ilmu, pendirian madrosah-madrosah dan tempat belajar, dan yang selainnya. Diantara bid’ah yang mubah adalah berlapang dalam memakan makanan aneka ragam jenis makanan dan yang lainnya. Adapun bid’ah yang haram dan makruh maka telah jelas. Jika telah diketahui apa yang telah saya sebutkan maka diketahui bahwasanya hadits tersebut adalah umum tapi terkhususkan, dan demikian juga hadits-hadits yang semisalnya. Ini didukung dengan perkataan Umar bin Al-Khotthoob radhiallahu ‘anhu tentang sholat tarawih “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Dan sabda Nabi كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Semua bid’ah sesat” yang ditekankan dengan lafal كُلُّ “semua” tidaklah menghalangi bahwasanya lafal umum tersebut bisa dikhususkan, sebagaimana firman Allah تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ “Maka angin itu menghancurkan segala sesuatu” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 6/154-155)
Hal ini juga beliau tekankan dalam kitab beliau “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab ;
(قوله) صلي الله عليه وسلم ” كل بدعة ضلالة ” هذا من العام المخصوص لان البدعة كل ما عمل علي غير مثال سبق قال العلماء وهى خمسة اقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة …ومن البدع الواجبة تعلم أدلة الكلام للرد علي مبتدع أو ملحد تعرض وهو فرض كفاية … ومن البدع المندوبات بناء المدارس والربط وتصنيف العلم ونحو ذلك
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Seluruh bid’ah sesat” merupakan lafal yang umum tapi terkhususkan, karena bid’ah adalah seluruh perbuatan yang tanpa contoh sebelumnya. Ulama menyatakan bahwa bid’ah ada 5 macam, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah….
Diantara bid’ah yang wajib adalah mempelajari dalil para ahli kalam untuk membantah mubtadi’ atau atheis, dan ini hukumnya adalah fardlu kifayah…
Dan diantara bid’ah yang sunnah adalah pendirian sekolah-sekolah dan tempat pendidikan, serta penulisan kitab-kitab ilmu dan yang semisalnya” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 4/519)
Dari penjelasan al-Imam An-Nawawi di atas dapat kita simpulkan :
Pertama : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Seluruh bid’ah sesat” keumumannya dianggap terkhususkan jika bid’ah di sini yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa, sebagaimana yang dipahami oleh al-Imam An-Nawawi. Meskipun pendapat al-Imam An-Nawawi ini dirasa kurang tepat, karena yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bid’ah dalam hadits-haditsnya adalah bid’ah menurut syari’at atau menurut istilah. (lihat kembali bab tentang seluruh bid’ah sesat).
Kedua : Lebih menunjukkan pemahaman al-Imam An-Nawawi di atas (dimana beliau memahami bid’ah yang disebutkan dalam hadits adalah bid’ah menurut bahasa), beliau menyatakan dalam kutipan di atas :
قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ : هِيَ كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Ahli bahasa berkata : “Bid’ah adalah seluruh perbuatan yang tanpa ada contoh sebelumnya”
Al-Imam An-Nawawi tatkala menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah yang terkhususkan yang tidak termasuk dalam bid’ah dholalah (sesat) maka beliau mencontohkan dengan perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah al-mursalah (atau yang dinamakan oleh sebagian ulama dengan bid’ah hasanah-sebagaimana telah lalu penjelasannya), seperti pendirian madrasah-madrasah, tempat belajar, penulisan kitab-kitab ilmu.
Ketiga : Bahkan al-Imam An-Nawawi juga mencontohkan diantara bid’ah yang dikhususkan dan tidak tercela adalah bid’ah yang mubah, seperti berluas-luas dalam memakan makanan yang beraneka ragam. Tentunya ini tidak dinamakan dengan al-maslahah al-mursalah, dan tidak juga dinamakan dengan bid’ah hasanah menurut sebagian ulama yang lain. Ini adalah murni bid’ah secara bahasa.
Keempat : Dengan demikian jika kita membawakan makna bid’ah dalam hadits kepada makna bid’ah secara syari’at (bukan menurut bahasa) maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Seluruh bid’ah sesat” akan tetap pada keumumannya dan tidak terkhususkan.
Lafal كُلُّ “seluruh” dalam ushul fiqh merupakan lafal umum yang kuat. Dan para ahli ushul fiqh telah menyebutkan bahwasanya lafal umum akan tetap berlaku keumumannya sampai ada dalil yang menkhususkannya. Lafal umum bisa dikhususkan dengan tiga perkara, (1)”dalil dari al-qur’an atau sunnah”, (2)”akal”, dan (3)”al-hiss/yang ditangkap oleh indra (kenyataan yang terjadi)” (lihat Irsyaad al-Fuhuul karya Al-Imam Asy-Syaukaany 2/678)
Contoh lafal umum yang dikhususkan dengan akal seperti firman Allah
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Allah menciptakan segala sesuatu” (QS Az-Zumar : 62)
Tentunya akal sehat menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan sifat-sifatNya apalagi menciptakan diriNya sendiri.
Contoh lafal umum yang dikhususkan dengan al-hiss, seperti firman Allah:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS Al-Ahqoof : 25).
Tentunya indra kita mengetahui bahwasanya kenyataannya tidak semuanya yang dihancurkan oleh angin tersebut, langit dan bumi tidak dihancurkan oleh angin tersebut.
Demikian juga firman Allah
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
“Dan dia (ratu Balqis) dianugerahi segala sesuatu” (QS An-Naml : 23)
Tentunya indra menunjukkan bahwa ia tidak diberikan segala sesuatu di bumi ini, diantaranya ia tidak menguasai kerajaan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.
Sebagian orang tatkala ingin menolak keumuman كُلُّ “semua” dalam hadits ini selalu menyatakan bahwa lafal كُلُّ tidak selamanya memberikan faedah keumuman, sebagaimana ayat-ayat di atas. Maka kita jawab mereka, dengan mengatakan bahwa ayat-ayat di atas dikhususkan dengan akal atau al-hiss.
Lantas jika kita memperhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Semua bid’ah sesat”, maka apakah ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengkhususkannya?, ataukah akal mengkhususkannya?, ataukah apa yang ditangkap oleh indra kita mengkhususkannya?.
Adapun pengkhususan al-Imam An-Nawawi terhadap lafal umum كُلُّ “semua” dalam sabda Nabi “seluruh bid’ah sesat” maka berangkat dari pemahaman bahwasanya yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bid’ah adalah bid’ah secara bahasa. Oleh karenanya diantaranya beliau berdalil dengan kenyataan yang ditangkap oleh indra bahwasanya ada perkara-perkara bid’ah yang benar-benar terjadi, seperti berluas-luas dalam memakan aneka ragam makanan, yang tentunya hal ini merupakan perkara yang diperbolehkan namun tidak terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam bis Showaab.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 05-11-1433 H / 21 September 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Assalamu alaikum Ustad, bolehkah sy menganggap anda sebagai guru walaupun kita tak pernah jumpa dan sy tak pernah bayar iyuran?
sy mencintai Ustad karena Alloh dan sy selalu doakan ustd Jazakallohu khaer.
Assalamu’alaikum Ustadz,
Barakallaahu fik..
Artikelnya sangat bermanfaat.
ana mau tanya, apakah lafadz “Kullu” dalam kalimat Innallaaha ‘ala kulli syai-in qodiir, merupakan lafadz umum yang ada kekhususannya?
Sebelumnya Jazaakallaahu khairan katsiran
Assalamu`alaikum
Ustadz,ana capek banget menjelaskan tentang bid`ah sampai2 ana kemukakan dengan artikel aja masih dibilang copy paste. Mohon saran dan bimbingan ustadz dalam mengurusi hal ini serta doanya juga ustadz.
kalau boleh saran, saran saya cuma satu kata : “SABAR”
hidayah dari ALLAH SWT, kewajiban kita hanya berdakwah dengan santun dan memberi tauladan yg baik.
keyakinan yang mendarah daging berpuluh tahun tidak bisa dilunturkan dalam sekali ucapan nasehat, kecuali ALLAH SWT menghendakinya.
Wallahu a’lam
Assalamu’alaikum,
Barokallohu fik..
Ustadz, mohon do’a nya dari ustadz agar ana dan keluarga di berikan kekuatan pemahaman ilmu & tetap istiqomah dalam ilmu.
jazakallohukhoiron,
masyaallah…..
assalamu’alaikum.
Alhamdulillah bisa bertmu dengan web ustadz firanda yang penuh dengan cahaya keilmuan…
firanda ngaco
Secara bahasa gimana maksudnya tadz? kalo begitu ketika melihat tahlilan dll yang menurut antum bid’ah sesat. kenapa ga disebut bid’ah khasanah secara bahasa aja? supaya berdamai hehehe…
tallafuz bin niyah menurut sekte wahabi bid’ah sesat, bukankah imam nawawi yang mensunahkan.
وَالنيَّةُ بِالْقلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ
Imam An-Nawawi, Matan Minhajut Tholibin dalam Mughniy Al-Muhtaj.
Apakah itu menurut antum bid’ah khasanah menurut bahasa?
dasar iMam Nawawi mensunnahkan itu apa?
yang dimaksud sunnah itu kan artinya “contoh/kebiasaan”. contoh/kebiasaan dari siapa? tentu saja dari Rosululloh.
kalo Imam Nawawi menganggap itu adalah contoh/kebiasaan dari Rosululloh, dasar yang beliau gunakan itu apa?