“Semua bid’ah adalah kesesatan”, demikianlah kaidah yang merupakan wahyu dari Allah yang telah dilafalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ »
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)
Dalam riwayat An-Nasaai ada tambahan
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan dari wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata para sahabat radhiallahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Irbaadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
«فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan“ (HR Abu Dawud no 4069)
Selain dua hadits di atas ada hadits lain yang juga mendukung bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى “
“Sesungguhnya bagi setiap amalan ada semangat dan ada futur (tidak semangat), maka barangsiapa yang futurnya ke bid’ah maka dia telah sesat, dan barangsiapa yang futurnya ke sunnah maka dia telah mendapatkan petunjuk” (HR Ahmad 38/457 no 23474 dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan sunnah sebagai lawan bid’ah dan mengandengkan bid’ah dengan kesesatan.
Demikian juga sebuah atsar dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dimana beliau pernah berkata:
فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُونِى وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِىَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ
“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat bid’ah untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang shahih)
Dalam atsar ini Mu’adz bin Jabal mensifati bid’ah dengan dolalah (kesesatan).
Hadits dan atasar ini semakin menguatkan kaidah umum yang telah dilafalkan oleh Nabi “Semua bid’ah adalah kesesatan“.
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
فقوله – صلى الله عليه وسلم – : «كلُّ بدعة ضلالة» من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين … فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة
“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen), tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen), dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin… maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat, dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
أَنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ لاَ تَكُوْنُ إِلاَّ ضَلاَلَةً بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ
“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)
Banyak hal yang menunjukan keumuman kaidah Nabi ini “Semua bid’ah adalah sesat”, diantaranya :
Pertama : Semua dalil yang menunjukan tercelanya bid’ah datang dalam bentuk mutlak dengan tanpa pengecualian sama sekali. Tidak ada satu dalilpun dalam syari’at yang menyatakan : “Semua bid’ah adalah sesat kecuali ini dan itu”. Jika ternyata tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan maka kita harus kembali kepada keumuman “Semua bid’ah adalah sesat” tanpa ada pengecualian.
Kedua : Kaidah umum yang disebutkan oleh Nabi ini –yaitu “Semua bid’ah adalah sesat”- selalu diucapkan dan disampaikan oleh Nabi tatkala khutbah sebagaimana dijelaskan oleh sahabat Jarir bin Abdillah di atas. Hal ini menunjukan Nabi sering menyampaikan kaidah ini kepada para sahabat, akan tetapi tidak ada satu dalilpun yang mengecualikan keumuman kaidah Nabi ini. Dan dalam suatu kaidah jika ada suatu kaidah yang kulliah (umum) atau suatu dalil syar’i (yang lafalnya menunjukan keumuman) jika terulang-ulang di tempat yang banyak tanpa sama sekali ada pentaqyidan atau pengkhususan maka hal ini menunjukan akan berlakunya keumuman dalil tersebut. Dan dalil-dalil yang berkaitan tentang pencelaan bid’ah keadaannya seperti ini dimana datang dalam jumlah yang banyak di tempat yang berbeda-beda, pada waktu yang berbeda-beda, namun tidak ada satu dalilpun yang menunjukan adanya pengkhususan atan pentaqyidan
Ketiga : Kalau ada dalil yang menunjukan adanya pengecualian bid’ah yang baik maka dalil tersebut harus dari Al-Qur’an atau dari hadits Nabi, atau ijmak para ulama. Adapun perkataan sebagian ulama maka itu bukanlah dalil yang mengkhususkan dan mengecualikan keumuman kaidah Nabi “Semua bid’ah adalah sesat”. Jika para ulama tidak memandang ijmaknya para ahli Madinah di zaman Imam Malik sebagai hujjah, dan hujjah adalah sunnah Nabi, apalagi hanya pendapat sebagian dan segelintir ulama. Apalagi ternyata ada ulama lain yang menyelisihi mereka.
Keempat : Kalau ada dalil yang mengkhususkan keumuman kaidah Nabi ini sehingga ada satu atau dua bid’ah yang dikecualikan maka keumuman kaidah ini tetap berlaku pada seluruh bid’ah yang lain, kecuali pada dua bid’ah yang telah terkecualikan tadi. Akan tetapi kenyataannya tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan
Kelima : Ijma’ para sahabat dan para tabi’in akan pencelaan bid’ah secara umum tanpa ada pengkhususan, hal ini diketahui dengan menelusuri atsar-atsar mereka (diantaranya silahkan lihat atsar-atsar para sahabat dalam kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal hawaadits karya Abu Syaamah As-Syafi’i). Tidaklah kita dapati perkataan mereka atau sikap mereka terhadap bid’ah kecuali dalam rangka mencela. Adapun perkataan Umar ((sebaik-baik bid’ah adalah ini)) tidak menunjukan penyelisihannya terhadap para sahabat yang lain, karena Umar tidak bermaksud dengan perkataannya tersebut kecuali bid’ah menurut bahasa karena sholat tarawih merupakan sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam : sesuatu bid’ah dinilai baik merupakan hal yang relatif. Bukankah setiap bid’ah dinilai baik oleh peakunya, namun dinilai buruk oleh orang lain??. Oleh karena perkaranya relatif maka tidak bisa dijadikan patokan dalam membentuk suatu ibadah baru.
Sebagai contoh bid’ah maulid Nabi, sebagaian orang merasa hal itu merupakan sesuatu yang baik karena bisa menumbuhkan dan memupuk kecintaan kepada Nabi. Akan tetapi sebagian orang menganggap perayaan maulid Nabi merupakan perkara yang buruk karena mengandung beberapa mafsadah diantaranya :
– Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih diperselisihkan, akan tetapi hampir merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya Nabi meninggal pada tanggal 12 Rabi’ul awwal. Oleh karenanya pada hekekatnya perayaan dan bersenang-senang pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal merupakan perayaan dan bersenang-senang dengan kematian Nabi
– Acara perayaan kelahiran Nabi pada hakekatnya tasyabbuh (meniru-niru) perayaan hari kelahiran Nabi Isa yang dilakukan oleh kaum Nashrani. Padahal Nabi bersabda مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut”
– Kelaziman dari diperbolehkannya merayakan hari kelahiran Nabi adalah diperbolehkan pula merayakan hari kelahiran Nabi-Nabi yang lain, diantaranya merayakan hari kelahiran Nabi Isa. Jika perkaranya demikian maka sangat dianjurkan bahkan disunnahkan bagi kaum muslimin untuk turut merayakan hari natal bersama kaum Nashrani
– Bukankah dalam perayaan maulid Nabi terkadang terdapat kemungkaran, seperti ikhtilat antara para wanita dan lelaki?, bahkan di sebagian Negara dilaksanakan acara joget dengan menggunakan music?, bahkan juga dalam sebagaian acara maulid ada nilai khurofatnya dimana sebagian orang meyakini bahwa Nabi ikut hadir dalam acara tersebut, sehingga ada acara berdiri menyambut kedatangan Nabi. Bahkan dalam sebagian acara maulid dilantunkan syai’ir-sya’ir pujian kepada Nabi yang terkadang berlebih-lebihan dan mengandung unsur kesyirikan
– Acara perayaan maulid Nabi ini dijadikan sarana oleh para pelaku maksiat untuk menunjukan kecintaan mereka kepada Nabi. Sehingga tidak jarang acara perayaan maulid Nabi didukung oleh para artis –yang suka membuka aurot mereka-, dan juga dihadiri oleh para pelaku maksiat. Karena mereka menemukan sarana untuk menunjukan rasa cinta mereka kepada Nabi yang sesuai dengan selera mereka. Akhirnya sunnah-sunnah Nabi yang asli yang prakteknya merupakan bukti kecintaan yang hakiki kepada Nabipun ditinggalkan oleh mereka. Jika diadakan perayaan maulid Nabi di malam hari maka pada pagi harinya tatkala sholat subuh maka mesjidpun sepi. Hal ini mirip dengan perayaan isroo mi’rooj yang dilakukan dalam rangka mengingat kembali hikmah dari isroo mi’rooj Nabi adalah untuk menerima perintah sholat lima waktu. Akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang melaksanakan perayaan isroo’ mi’rooj yang tidak mengagungkan sholat lima waktu, bahkan tidak sholat sama sekali. Demikian juga perayaan nuzuulul qur’an adalah untuk memperingati hari turunnya Al-Qur’aan akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang semangat melakukan acara nuzulul qur’an ternyata tidak perhatian dengan Al-Qur’an, tidak berusaha menghapal Al-Qur’an, bahkan yang dihapalkan adalah lagu-lagu dan musik-musik yang merupakan seruling syaitan
– Kelaziman dari dibolehkannya perayaan maulid Nabi maka berarti dibolehkan juga perayaan-perayaan yang lain seperti perayaan isroo’ mi’rooj, perayaan nuzuulul qur’aan dan yang lainnya. Dan hal ini tentu akan membuka peluang untuk merayakan acara-acara yang lain, seperti perayaan hari perang badr, acara memperingati hari perang Uhud, perang Khondaq, acara memperingati Hijrohnya Nabi, acara memperingati hari Fathu Mekah, acara memperingati hari dibangunnya mesjid Quba, dan acara-acara peringatan yang lainnya. Hal ini tentu akan sangat menyibukan kaum muslimin.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya baiknya suatu bid’ah merupakan hal yang sangat relatif.
Ketujuh : Jika ada yang berkata, “Saya ingin melakukan sesuatu manuver baru yang akan mendatangkan banyak kebaikan dan akan menghilangkan perselisihan diantara kaum muslimin dan mengkokohkan barisan mereka. Karena kenyataannya sekarang kaum muslimin bercerai berai. Manuver baru tersebut adalah : Tidaklah kita beribadah dan berkeyakinan kecuali dengan ibadah dan keyakinan yang diyakini oleh para salafus sholeh. Jika seluruh sekte dalam Islam mengikuti manuver ini maka tentunya akan mempersatukan umat Islam”.
Tanpa diragukan lagi bahwa manuver ini bukanlah bid’ah, bahkan banyak dalil dari syari’at yang mendukung akan hal ini. Akan tetapi taruhlah hal ini merupakan bid’ah, toh ternyata terlalu banyak sekte Islam yang tidak setuju dengan manuver ini, padahal hal ini merupakan hal yang sangat baik. Bahkan hampir seluruh sekte memerangi manuver ini, karena kelaziman dari manuver ini maka seluruh cara ibadah dan keyakinan yang dimiliki sekte-sekte tersebut yang tidak terdapat di zaman salaf maka harus ditinggalkan.
Kedelapan : Bukankah sunnah-sunnah dan ibadah-ibadah yang jelas-jelas datang dari Nabi sangatlah banyak?? Dan bukankah salah seorang dari kita tidak akan mampu untuk melaksanakan seluruh ibadah-ibadah tersebut?. Sebagai contoh, cobalah salah seorang dari kita membaca kitab Riyaadus Sholihiin, lalu berusaha menerapkan ibadah dan adab-adab yang telah dijelaskan dalam kitab tersebut yang notabene benar-benar datang dan dicontohkan oleh Nabi. Tentunya dia tidak akan mampu untuk melakukannya. Jika perkaranya demikian, lantas mengapa kita harus bersusah payah untuk memunculkan model-model ibadah yang baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya??!!
(Lihat kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal hawaadits, karya Abu Syaamah As-Syafi’i, Haqiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa hal 1/282-285, Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 10/370-371, dan Iqtidho shirootil Mustaqiim karya Ibnu Taimiyyah 1/270, Luma’ fi Ar-Rod ‘alaa muhassinil bida’)
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27 November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
ustadz, bagaimana dengan bid’ah yang di buat ummar radiyallahu ‘anhu?
Afwan akh, bid’ah yang mana yang antum maksud?
Jika yg dimaksud adalah perkataan Umar, ” نعمت البدعة هذه ” “sebaik-baik bid’ah adalah ini” maka kata bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa yaitu sesuatu yang baru. Karena Umar mengatakan hal tersebut ketika melihat manusia mengerjakan sholat tarawih secara berkelompok-kelompok, dalam satu masjid ada orang yang shalat tarawih sendiri ada juga yang berjamaah dengan beberapa orang dan yang lain juga demikian berjamaah dengan beberapa orang. Melihat fenomena ini Umar memandang bahwa lebih baik untuk menyatukan mereka agar sholat berjamaah dengan satu imam. Maka Umarpun menyatukan mereka untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam hari yang lain Umar keluar dan orang-orang pun shalat berjamaah dengan imamnya maka Umar berkata, “sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Atsar tersebut bisa antum lihat di kitab Muaththo Imam Malik Bab Ma Ja-a fi Qiyam Ramadhon.
Yang dilakukan Umar ini adalah menghidupkan sunnah Nabi yang telah ditinggalkan bukan membuat bid’ah dalam agama karena shalat tarawih berjamah mempunyai dasar hukum dan merupakan sunnah Nabi, Beliau pernah melaksanakannya 2 atau tiga kali namun beliau tidak melukannya lagi karena khawatir akan diwajibkannya hal tersebut terhadap umatnya. Akan tetapi setelah Beliau meninggal maka kekhawatiran ini tidak ada lagi karena syariat telah tetap dan tidak mungkin berubah maka umar menghidupkan kembali sunnah ini. [b]Apakah mungkin suatu ibadah yang pernah dilakukan Nabi dikatakan sebagai sesuatu bid’ah dalam agama?[/b] Tentu kita semua sepakat mengatakan “tidak”. Oleh sebab itulah perkataan Umar di atas yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa.
Bantu negerimu jangan omong Bid ah melulu semua orang tahu bi ah syariaat adalah sesat, pikirkan saudaramu yg bdirundung bencana mas….
oke
oke oke
syukron atas masukan akh pandu nusantara, saya rasa akh atau pak pandu mungkin pengunjung baru web ini, coba akh pandu melihat kolom daftar isi, tentunya banyak permasalahan agama yang saya angkat dalam web ini, diantaranya tentang akibat kemaksiatan. dan juga ceramah-ceramah agama yang banyak tentang siroh dan aqidah. semua itu tidak lain adalah usaha kecil untuk mengajak kembali kaum muslimin di tanah air untuk berusaha beragama sebagaiamana yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan musibah tidak bisa hilang dari saudara-saudara kita di tanah air kecuali dengan memperbaiki keimanan yang benar yang bersih dari kesyirikan, khurofat, bid’ah, dan racun filsafat. serta dengan menjalankan ibadah sesuai dengan sunnah Nabi. baarokallahu fiikum
assalamualaikum pak ustad, saya bingung tentang ini pak ustad, saya pernah denger tentang sholat Tahajjud secara berjemaah seperti yg di lakukan di Masjidil Haram dari tanggal 20 Ramadhan…itu gimana pak ustad, apakah termasuk bidah?..
dan tentang sa’i di MAS’A yg di perluas…itu gimana pak ustad,,apakah juga termasuk bidah??
walaikumsalam, sholat tahajjud yang dilakasanakan di bulan ramadhan itulah sholat tarawih, tidak ada bedanya. itu hanya istilah nama saja, karena dikerjakan pada jam 1 malam. dan itu merupakan ronde kedua sholat tarwih yang merupakan kelanjutan dari sholat tarawih yang ronde pertama dikerjakan pada jam 9 atau 10 malam. oleh karenanya pada tarwih ronde pertama tidak dilakukan shoalt witir, akan tetapi ditunda pada ronde kedua, yaitu dipenghujung sholat tarwih ronde kedua.
Kayaknya ada kesalahan ketik ustadz…mungkin bisa dibenarkan yg ana kasih tanda…
Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih diperselisihkan, akan tetapi hampir merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya Nabi meninggal pada tanggal 12 Rabi’ul awwal. Oleh karenanya pada hekekatnya perayaan dan bersenang-senang pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal merupakan perayaan dan bersenang-senang dengan “””kematian””” Nabi
“…bahwasanya Nabi [meninggal] pada tanggal 12 Rabi’ul awwal…”
bisa dimengerti?
Afwan ya ustadz ana jawab pertanyaan tanpa seijin ustadz, namun Insya Allah ana bisa bantu.
بسم الله الرحمن الرحيم
إلى الأستاذ الفاضل ” فراندا أندرج” حفظك الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
قرأتُ هذه المقالة وقد إستفدت بها كثيرا. ولعلها متعلقة بحواري مع أهل البدعة التي جرت في الأيام السابقة. فلذلك بكل سماحتك أود بنقلها إلي موقعي أنا.
هذا وشكرا
أبو دفاع – مدينة منادو
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته، تفضل يا أخي الكريم، فإنه لم ينشأ هذا الموقع إلا لأجل النشر، فبنقلك لمضمون هذا الموقع فقد ساعدت وشاركت في النشر، فجزاك الله خيرا وبارك الله فييك
Terima kasih atas Nasihat_nya. Ustad Kapan Tablig Akbar di Radio Rodja atau di Istiqlal?
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469). Tidak dishahihkan oleh Mbah Albani)
^_^
Akhi Albani, saran ana agar antum beradab terhadap ulama. antum memang berniat mengejek syaikh Al-Albani rahimahullah dengan menjulukinya mbah Albani. sungguh aneh.., sementara antum menjuluki diri antum Albani. sikap antum ini persis dengan Abu Salafy, yang menjuluki dirinya dengn abu salafy akan tetapi hanya untuk mengelabui dan mencela salafy. perkataan tentang Imam As-Syafii sudah ana jelaskan dengan panjang lebar di http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/93-syubhat-syubhat-para-pendukung-bidah-hasanah
mohon dibaca dengan saksama, dan ana tunggu komentar antum selanjutnya wahai Albani.
al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-‘Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
silahkan akhi albani untuk membaca di http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/93-syubhat-syubhat-para-pendukung-bidah-hasanah
semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua. saran ana demi masa depan antum di akhirat karena antum akan berhadapan dengan para ulama yang antum ejek, sebaiknya antum jangan hanya bisa mengejek atau mencela seperti abu salafy akan tetapi beradab dan berdalil sebagaimana dicontohkan oleh Imam Syafii. jangan taqlid kepada Abu Salafy….
mohon penejelasan bid’ah zhahir & bid’ah bathin
lebih kongkretnya brgkl ada contoh dlm muamalah qt sehari2
jazakallahukhairan
Terimakasih ustadz atas penjelasannya. Semoga semakin banyak kaum muslimin di tanah air yang mendapat petunjuk..
Barakallahu fikum
Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh. Semoga Allah Tabaaraka wa Ta’ala selalu menjaga antum dan keluarga untuk selalu diatas kebenaran.
Ana berniatinsyaAllah ingin membua website pribadi dan ana meminta izin untuk me-link website antum ustadz. Mohon diberikan izin ustadz. Barokallahu fiikum
Untuk Saudaraku Abdullah rahimahullah
Tulisan sholawat yg merupakan ijtihad Imam Syafi’i yg beliau tulis dlm kitab beliau sama sekali TIDAK MENUNJUKKAN bahwa beliau membacanya saat tahiyyat dlm sholat, atau merutinkan saat berdoa, atau saat berbicara dalam majelis, atau saat-saat khusus dlm beribadah. Lagipula Imam Syafi’i juga tidak menganjurkan orang-orang untuk membaca sholawat yg beliau ijtihadkan itu atau tdk disibukkan dengan membaca bacaan itu setiap kali beribadah.
Bahkan Imam Syafi’i mengatakan: ”Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yg berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan TINGGALKANLAH PENDAPATKU ITU.” (Ibnu Hibban dlm Shahihnya, Nawawi dlm Majmu’, Al-Khathib, Ibnul Qayyim, dll)
Imam Syafi’i mengatakan: ”Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yg shahih dari Nabi shollallahu ’alaihi wasallam, Hadits Nabi lebih utama dan KALIAN JANGAN BERTAQLID KEPADAKU.” (Ibnu Abi Hatim dlm Adabu Asy-Syafi’i hal. 93, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir, dll)
Imam Syafi’i adalah orang alim yg memang pantas bagi dirinya untuk berijtihad. Sedangkan ijtihad itu bisa benar dan bisa juga salah.
Berikut pendapat para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i sendiri ttg kalimat sholawat:
Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i (ahli hadits pensyarah kitab Shohih Bukhari, 773-852) pernah ditanya orang
Orang tsb bertanya:”Apakah dlm sholawat itu disyariatkan menggunakan kata-kata sayyid, spt orang mengatakan Allahumma sholli ’ala sayyidina Muhammad…. Manakah yg lebih baik drpd ucapan-ucapan itu? Apakah menggunakan kata-kata sayyid atau tdk menggunakannya karena tdk tersebut dlm hadits-hadits?”
Ibnu Hajar menjawab: ”Benar, mengucapkan lafazh-lafazh sholawat yg tsb dlm riwayat hadits adalah yg benar. Janganlah sampai ada orang mengatakan bahwa Nabi tdk menggunakan kata-kata sayyid dlm bacaan sholawat hanya dikarenakan sikap rendah hati saja sbgmn jg tdk layak ketika orang mendengar disebut nama Nabi tdk menyahut dengan ucapan shollallahu ’alaihi wasallam. … Saya menyatakan bahwa sekiranya benar bahwa ucapan sayyid itu ada, niscaya disebutkan dlm riwayat dari sahabat dan tabi’in. Akan tetapi saya tdk menemukan adanya riwayat semacam itu dari seorang sahabat atau tabi’in pun, padahal begitu banyak bacaan sholawat yg diterima dari mereka….” (Diriwayatkan oleh murid Ibnu Hajar, Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gharabili)
jazakallahukhoironkatsiro ya ustad atas pencerahannya,membuat ana semangat dlm belajar
suqron zajakalloh khairon ,semoga Alloh tetap memberikan hidayah kepada kita.dan tetap istiqomah ditengah tengah kebidahan…semoga Alloh menjaga orang orang seperti antum juga leluarganya. aamiin.