PERTANYAAN :
(1) Bolehkah seorang ibu tatkala menyusui anaknya menampakan sebagian payudaranya dihadapan para wanita yang lain?
(2) Apakah paha termasuk aurot?
JAWAB :
Permasalahan ini berkaitan dengan aurot wanita dihadapan wanita yang lain. Karenanya perlu memperhatikan perkara-perkara berikut ini:
PERTAMA : Fuqohaa (ahli fiqh) telah menjelaskan bahwasanya aurot wanita dihadapan wanita yang lain sama dengan aurot lelaki dihadapan lelaki yang lain.
Ibnu Qudamah berkata :
وَحُكْمُ الْمَرْأَةِ مَعَ الْمَرْأَةِ حُكْمُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ سَوَاءٌ
“Hukum seorang wanita dengan wanita sama dengan hukum seorang pria dengan pria” (Al-Mughni 7/464, lihat juga Majmuu’ Fataawa Ibnu Al-‘Utsaimiin 12/217, dan hal ini juga pendapat ulama Maalikyah, lihat : Mawaahibul Jaliil li Syarh Mukhtashor Al-Khalil 2/180)
Karena asalnya hukum yang berlaku pada lelaki sama juga berlaku kepada para wanita kecuali jika ada dalil yang membedakan diantara keduanya (antara lelaki dan wanita).
KEDUA : Para ulama telah ijmaak (bersepakat/berkonsensus) bahwasanya qubul (kemaluan) dan dubur adalah aurot. Ibnu Hazm berkata :
وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْفَرْجَ وَالدُّبُرَ عَوْرَةٌ
“Mereka (para ulama) sepakat bahwa kemaluan dan dubur adalah aurot” (Marrotibul Ijmaa’ hal 34)
Para ulama juga telah bersepakat bahwasanya betis bukanlah aurot. As-Syaukani berkata:
وَالسَّاقُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ إِجْمَاعاً
“Dan betis bukanlah aurot berdasarkan ijmak para ulama” (Nailul Authoor 2/50)
KETIGA : Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagian tubuh selain qubul (kemaluan) dan dubur seperti lutut, paha dan pusar apakah termasuk aurot atau tidak? (lihat penjelasan Syaikh Al-Albani : Ats-Tsamr Al-Mustathoob hal 254-284).
Ada empat pendapat dikalangan para ulama dalam masalah aurot:
Pertama : Pendapat yang menyatakan bahwa aurot hanyalah qubul dan dubur, dan paha bukanlah termasuk aurot. Ini adalah pendapat Ibnu Abi Dzi’b, Daud Adz-Dzohiri, Ibnu Hazm, riwayat dari Imam Ahmad, dan riwayat dari Imam Malik (lihat Fathul Baari karya Ibnu Rojab Al-Hanbali 2/411 dan Fathul Baari karya Ibnu Hajar 1/81)
Kedua : Pendapat yang menyatakan bahwa aurot adalah apa yang ada antara pusar dan lutut, adapun pusar dan lutut bukanlah termasuk aurot. Dan ini adalah pendapat Syafi’yah (lihat : Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab karya An-Nawawi 3/168) dan Hanbaliyah (lihat : Al-Inshoof karya al-Mirdaawi 1/317)
Ketiga : Bahwasanya lutut termasuk aurot, adapun pusar tidak termasuk aurot. Dan ini merupakan pendapat Hanafiyah (lihat Badaai’ As-Sonaai’ 6/2960 dan Al-Hidaayah ma’a takmilat Fathil Qodiir 8/105).
Keempat : Pendapat yang menyatakan bahwa paha juga termasuk aurot hanya saja aurot mukhoffafah (ringan), adapun qubul dan dubur maka termasuk aurot mughollazhoh (aurot berat).
Dan penulis lebih condong kepada pendapat keempat, karena shahihnya hadits-hadits yang menjelaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam pernah tersingkap paha beliau, dan juga shahihnya sabda Nabi الْفَخِذُ عَوْرَةٌ “Paha adalah aurot”. (Silahkan merujuk ke kitab irwaa’ul golill 1/298-301).
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa paha adalah aurot:
عَنْ جَرْهَدَ الأَسْلَمِيِّ قَالَ : مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيَّ بُرْدَةٌ وَقَدْ انْكَشَفَتْ فَخِذِي، فَقَالَ : غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ
Dari Jarhad Al-Aslamiy radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatiku dan aku memakai sehelai kain dan pahaku tersingkap, maka Nabi berkata, “Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha itu aurot” (HR Abu Dawud no 4016, At-Thirmidzi no 2795, dan Imam Ahmad dalam musnadnya no 15926 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْفَخِذُ عَوْرَةٌ
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ; “Paha adalah aurot” (HR At-Thirmidzi no 2796 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Diantara dalil-dalil yang mengisyaratkan bahwa paha bukanlah aurot :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا خَيْبَرَ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الغَدَاةِ بِغَلَسٍ، فَرَكِـبَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكِبَ أَبُو طَلْحَةَ، وَأَنَا رَدِيفُ أَبِي طَلْحَةَ، فَأَجْرَى نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زُقَاقِ خَيْبَرَ، وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah memerangi Khaibar, maka kamipun sholat subuh di Khaibar dalam keadaan remang-remang. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik tunggangannya dan Abu Tholhah juga naik tunggangannya, sedangkan aku digonceng oleh Abu Tholhah. Lalu Nabi mempercepat tunggangannya di jalan-jalan Khoibar. Dan sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi menyingkap sarungnya dari pahanya hingga akupun melihat putihnya paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR Al-Bukhari no 371 dan Muslim no 1365)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كان رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَالِكَ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم وَسَوَّى ثِيَابَهُ، فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَل أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشِ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشِ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ فَقَالَ أَلَا أَسْتَحْيِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحْيِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةَ
Dari Aisyah ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di rumahku dalam kondisi terbuka dua pahanya. Lalu Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengannya maka beliau mengizinkan Abu Bakar, dan beliau dalam kondisi demikian (*tersingkap kedua pahanya) lalu berbicara dengannya. Kemudian Umar meminta izin untuk bertemu Nabi dan diizinkan oleh Nabi dan Nabi tetap dalam kondisinya (*pahanya tersingkap) lalu berbicara dengannya. Kemudian Utsman meminta izin, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun duduk dan memperbaiki bajunya (*sehingga pahanya tertutup), lalu Utsmanpun masuk dan berbicara dengan Nabi. Tatkala Utsman keluar Aisyah berkata : “Tatkala Abu Bakar masuk engkau tidak begitu menyambut dan tidak perduli, kemudian tatkala Umar masuk engkaupun demikian. Tatkala Utsman masuk maka engkaupun duduk dan engkau merapikan pakaianmu?”. Nabi berkata, “Tidakkah aku malu kepada seseorang yang para malaikat malu kepadanya?” (HR Muslim no 2401 dan Ahmad no 24330)
Pendapat keempat ini merupakan pendapat Ibnu Rusyd dan Ibnul Qoyyim berdasarkan kaidah ushul yang menyatakan bahwa : “Menkompromikan dua dalil lebih utama dari pada mengamalkan salah satunya saja”
Ibnu Rusyd (Al-Jad) rahimahullah berkata, “Dan pendapat yang aku pilih adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang paha apakah aurot atau bukan? Bukanlah pernyataan yang berbeda. Maknanya yaitu paha bukanlah aurot yang wajib untuk ditutup sebagaimana (wajibnya menutup) kemaluan dan dubur, akan tetapi paha adalah aurot yang wajib untuk ditutup berdasarkan akhlak yang mulia dan indah. Maka janganlah meremehkan hal ini (menyingkap paha) dalam pertemuan-pertemuan atau di hadapan banyak orang, demikian di sisi orang yang dirasa malu kepadanya dari kalangan orang-orang yang memiliki pengaruh dan mulia. Dengan demikian maka seluruh riwayat diamalkan, dan mengamalkan seluruh riwayat lebih utama dari pada membuang sebagiannya” (Al-Bayaan wa At-Tahshiil 18/277-278)
Ibnul Qoyyim berkata,
وطريق الجمع بين هذه الأحاديث ما ذكره غير واحد من أصحاب أحمد وغيرهم أن العورة عورتان مخففة ومغلظة فالمغلظة السوأتان والمخففة الفخذان ولا تنافي بين الأمر بغض البصر عن الفخذين لكونهما عورة وبين كشفهما لكونهما عورة مخففة
“Dan cara mengkompromikan hadits-hadits ini sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dari para sahabat Imam Ahmad dan selain mereka, yaitu bahwasanya aurot ada dua macam, aurot yang ringan dan aurot yang berat. Aurot yang berat yaitu qubul (kemaluan) dan dubur, dan aurot yang ringan adalah dua paha. Dan tidak ada pertentangan antara perintah untuk menundukkan pandangan dari melihat dua paha (orang lain) karena keduanya merupakan aurot dengan dibolehkannya menyingkap kedua paha (sendiri) karena keduanya adalah aurot yang ringan” (Hasyiah Ibnul Qoyyim terhadap sunan Abi Dawud 11/36)
KEEMPAT : Dari penjelasan tentang pendapat-pendapat ulama di atas maka jelas bahwasanya para ulama bersepakat bahwa dada/payudara seorang wanita bukanlah aurot dihadapan para wanita yang lain. Karenanya tidak mengapa bagi seorang ibu yang menyusui untuk menampakkan payudaranya dihadapan para wanita yang lain.
KELIMA : Bukanlah dipahami dari penjelasan ini bahwa seorang wanita bebas membuka payudaranya dihadapan para wanita yang lain, mengingat perkara-perkara berikut:
– Sebagaimana seorang lelaki dituntut untuk berpakaian sopan dihadapan lelaki yang lain demikian juga seorang wanita hendaknya berpakaian sopan dihadapan wanita yang lain.
– Karenanya kita dapati para sahabat mereka memakai pakaian yang sopan diantara sesama mereka.
– Bukanlah termasuk kesopanan tatkala seseorang lelaki hanya memakai sebilah kain yang hanya menutupi antara pusar hingga lututnya lalu menghadiri pertemuan para lelaki. Maka demikian pula bukanlah kesopanan tatkala seorang wanita lantas hanya memakai sebilah kain yang menutup antara pusar hingga lutunya dihadapan para wanita yang lain.
– Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa lelaki mana saja yang dalam pertemuan-pertemuan lantas ia hanya memakai kain yang menutupi antara pusar hingga lutut, sementara seluruh hadirin memakai pakaian yang sopan, maka orang ini telah gugur ‘adalahnya karena telah melakukan khowaarimul muruu’ah. Bahkan menunjukkan ketidakberesan di akalnya. Karenanya gugurlah persaksiannya.
– Akan tetapi penjelasan tentang batasan aurot memberikan kemudahan bagi para lelaki atau para wanita, yaitu boleh bagi mereka –tatkala dibutuhkan- untuk menampakkan anggota tubuhnya yang bukan aurot, seperti dadanya, betisnya, atau perutnya.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 25-03-1433 H / 17 Februari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Afwan ustadz, point keempat sepertinya kontradiktif dengan poin pertama. Gimana penjelasannya?
Barakallahu fiek
@ Akh Abu Haitsam
ga kontradiktif kayanya akh…maksudnya (waLLOHU a`lam)sebagaimana dada laki-laki adalah bukan aurat jika di hadapan sesama laki-laki, maka begitu juga dada perempuan adalah bukan aurat jika di hadapan sesama perempuan, lain halnya jika dada perempuan jika di hadapan laki-laki.
cuma ana juga ada pertanyaan buat ustadz firanda -hafidzahuLLOH-, apakah penjelasan diatas berlaku jika di hadapan semua wanita, atau hanya di hadapan wanita muslimah saja, sementara jika di hadapan wanita kafir, dada perempuan merupakan aurat?
mohon penjelasannya, jazakaLLOH
tanya ustad, klo wanita ketika menyusui dan payudaranya terlihat oleh adik kandungnya laki-laki yang sudah baligh gmn?