Prolog:
Telah lalu dalil-dalil yang begitu banyak yang menunjukan akan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan akan hal ini di akhir hayat beliau… bahkan tatkala beliau sedang sakit sekarat. Semua itu tidak lain karena bahayanya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karenanya Imam Ibnu Hajr Al-Haitami As-Syafii telah menyebutkan 6 dosa besar yang berkaitan dengan kuburan, yaitu : (1) menjadikan kuburan sebagai masjid, (2) menyalakan api (penerangan) di atas kuburan, (3) menjadikan kuburan sebagai berhala, (4) thowaf di kuburan, (5) mengusap kuburan (*dengan maksud mencari berkah), dan (6) sholat ke arah kuburan
(sebagaimana telah lalu nukilannya, silahkan lihat kembali : http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/185-habib-munzir-salah-menerjemahkan-perkataan-al-baidhoowi-rahimahullah)
Dan kalau kita perhatikan ternyata sebagian kaum muslimin telah terjerumus dalam sebagian besar dosa-dosa besar tersebut. Wallahul musta’aan
Para ulama telah membahas tentang sebab-sebab kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu keras memperingatkan umatnya dari beribadah di kuburan dan dari pengagungan terhadap kuburan dan penghuni kuburan.
Diantara sebab-sebab tersebut ada dua sebab yang utama :
Pertama : Agar tidak bertasyabbuh (meniru-niru) kaum musyrikin dalam rangka tata cara beribadah, dan
Kedua : Karena peribadatan kepada Allah di kuburan orang sholeh merupakan sarana/wasilah yang bisa mengantarkan pelaku ibadah tersebut akhirnya menyerahkan sebagian bentuk peribadatan kepada sang penghuni kubur tersebut, yang menjerumuskan kepada kesyirikan.
Karena pengertian syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah di dalam perkara yang khusus milik Allah, dalam hal ini, orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, mengerjakan berbagai macam ibadah di dalamnya, hal ini dikhawatirkan akan mengantarkan pelaku ibadah di kuburan ini sehingga akhirnya menyerahkan beberapa ibadah kepada sang penghuni kubur dan memang realitanya demikianlah yang terjadi, wallahul musta’aan.
Oleh karena inilah, sebab yang kedua ini adalah sebab paling utama dari sebab-sebab yang lain, kenapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dengan keras umatnya menjadikan kuburan sebagai masjid.
SEBAB PERTAMA : AGAR TIDAK BERTASYABBUH DENGAN AHLUL KITAB
Adapun sebab pertama ini maka sangat jelas ditunjukkan oleh hadits-hadits umum tentang larangan dan celaan bertasyabbuh dengan kaum musyrikin terutama dari kalangan ahlul kitab, seperti misalnya hadits berikut ini:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Abu Dawud no 4033)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan saja memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang musyrik dalam tata cara ibadah, bahkan Nabi juga memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka dalam hal adat istiadat sehingga terbedakan antara kum muslimin dengan kaum musyrikin.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Dari Ibnu Umar dari Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Selisihlah kaum musyrikin, lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis” (HR Al-Bukhari no 5892 dan Muslim no 259)
Apalagi dalam masalah ibadah, maka tentu lebih ditekankan untuk menyelisihi kau musyrikin
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّونَ فِى نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ
“Selisihlah orang-orang yahudi, sesungguhnya mereka tidak sholat memakai sendal-sendal dan sepatu-sepatu mereka) (HR Abu Dawud no 652)
Nabi juga bersabda :
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحْرِ
Dari ‘Amr bin al-‘Aash bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Pemisah antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah makan sahur” (HR Muslim no 1097)
Hadits ini jelas menunjukan bahwa memisahkan dan membedakan antara ibadah kaum muslimin dengan ibadah ahlul kitab sangatlah dituntut. Karenanya disyari’atkan makan sahur untuk membedakan antara puasa kaum muslimiin dengan puasa Ahlul kitab.
Demikian pula disyari’atkan kaum muslimin untuk segera berbuka dalam rangka menyelisihi puasanya Ahlul Kitab yang mengakhirkan berbuka. Rasulullah bersabda :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” (HR Al-Bukhari no 1957 dan Muslim no 1098)
Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
“Agama ini akan senantiasa unggul selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang yahudi dan nashoro mengakhirkan berbuka” (HR Abu Dawud 2355)
Ibnu Hajar berkata –tentang dua hadits ini-, وَظُهُوْرُ الدِّيْنِ مُسْتَلْزِمٌ لِدَوَامِ الْخَيْرِ “Dan unggulnya agama ini melazimkan lestarinya kebaikan” (Fathul Baari 4/199)
Hadits ini sangat tegas menjelaskan bahwasanya unggulnya agama ini timbul akibat menyegerakan berbuka, yang hal ini merupakan bentuk penyelisihan terhadap ahlul kitab dalam tata cara beribadah. Dan jika penyelisihan ahlul kitab merupakan sebab unggulnya Islam di atas agama-agama yang lain maka hal ini menunjukkan bahwa menyelisihi ahlul kitab dalam tata cara ibadah merupakan tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara tata cara ibadah ahlul kitab yang kita diperintahkan untuk menyelisihinya adalah beribadah di kuburan orang-orang sholeh. Dan telah lalu penyebutan hadits-hadits tentang hal ini, akan tetapi tidak ada salahnya kita menelaahnya kembali.
Hadits pertama :
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا. قَالَتْ وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَبْرَزُوْا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Dari Aisyah radhiallah ‘anhaa bahwasanya tatkala Rasulullah sakit yang dimana beliau meninggal pada sakit tersebut maka beliau bersabda : “Allah melaknat orang-orang yahudi dan nasrani, (karena) mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”
Aisyah berkata : “Kalau bukan karena hal ini tentu mereka (para sahabat) akan mengeluarkan kuburan Nabi (dari rumah Aisyah-pen) hanya saja aku khawatir kuburan Nabi dijadikan masjid” (HR Al-Bukhari no 1130 dan Muslim no 529)
Hadits kedua :
عَنْ جُنُدُب قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوْتَ بِخَمْسٍ … أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub (bin Abdillah Al-Bajali) berkata : Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallah lima hari sebelum beliau wafat, beliau berkata : “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian mereka menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi mereka dan kuburan orang-orang sholeh mereka sebagai masjid-masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu” (HR Muslim no 532)
Hadits ketiga :
أَنَّ عَائِشَةَ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالاَ لَمَّا نُزِلَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيْصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ : لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوْا
Bahwasanya Aisyah dan Abdullah bin Abbas berkata : Tatkala ajal menjemput Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau menjadikan sebuah kain (yang terbuat dari bulu domba-pen) di atas wajah beliau (karena demam yang beliau rasakan-pen), jika beliau merasa sesak maka beliaupun membuka kain tersebut dari wajahnya, –dan beliau dalam kondisi demikian-lalu beliau berkata : “Laknat Allah kepada orang-orang yahudi dan nasoro, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid“, Nabi memperingatkan dari perbuatan yang mereka lakukan. (HR Al-Bukhari no 436 dan Muslim no 531)
Hadits keempat :
أَنَّ أُمَّ حَبِيْبَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيْسَةً رَأَيْنَهَا بِالْحَبَشَةِ فِيْهَا تَصَاوِيْرُ فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيْهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ فَأُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan tentang sebuah gereja yang mereka berdua lihat di negeri Habasyah, pada gereja tersebut ada gambar-gambar, maka mereka berduapun menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi berkata : “Sesungguhnya mereka itu jika ada seorang yang sholeh di antara mereka lalu orang sholeh tersebut meninggal maka mereka membangun di atas kuburannya masjid, lalu mereka menggambar gambar-gambar tersebut pada masjid tersebut, maka mereka adalah orang-orang yang terburuk di sisi Allah pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari no 427 dan Muslim no 528)
Hadits kelima :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah memerangi orang-orang yahudi, mereka telah menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid”(HR Al-Bukhari no 437 dan Muslim no 530)
Para pembaca sekalian…meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meperingatkan akan bahayanya meniru-niru tata cara ibadah ahlul kitab akan tetapi tetap saja akan ada dari kaum muslimin yang meniru-niru mereka. Hal ini sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ، قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ : فَمَنْ؟
Dari Abu Sa’iid Al-Khudri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal-sejengkal, sehasta-sehasta, sampai-sampai jika mereka masuk dalam lubang dhobt maka kalian akan mengikuti mereka”.
Kami berkata : “Orang-orang yahudi dan nashoro wahai Rasulullah?”.
Nabi berkata : “Siapa lagi (*kalau bukan mereka)?”(HR Al-Bukhari no 7320).
Karenanya kita dapati :
– Jika Ahlul kitab (kaum nashoro) beribadah dengan musik dan nyanyian maka kaum muslimin ada yang mengikuti gaya mereka…
– Jika orang-orang nashrani beribadah dengan merayakan hari kelahiran Isa ‘alaihis salaam, maka diantara kaum muslimin ada yang juga merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…
– Jika orang yahudi ada yang mengakhirkan buka puasa mereka maka ada juga kaum yang mengaku islam yang mengikuti cara mereka ini…(yaitu orang-orang syi’ah)
– Jika orang nashrani mengatakan bahwa Allah telah bersatu dengan Isa ‘alaihis salaam, maka golongan wihdatul wujud juga meyakini bahwa Allah bersatu dengan para wali…
– Jika orang-orang yahudi sibuk beribadah di kuburan maka sebagian kaum muslimin juga ada yang sibuk beribadah di kuburan. Bahkan hatinya lebih khusyu’ dan bisa lebih tentram dan lebih semangat daripada jika beribadah di masjid.
SEBAB KEDUA : MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI MASJID MERUPAKAN SARANA YANG MENGANTARKAN KEPADA KESYIRIKAN
Sebab kedua ini memiliki keterkaitan erat dengan sebab pertama. Karena faedah utama dari larangan bertasyabbuh (meniru-niru) ibadah kaum musyrikin agar kaum muslimin (ahli tauhid) benar-benar terjauhkan dari kesyirikan.
Sisi-sisi pendalilan yang menunjukkan sebab yang kedua ini adalah :
Pertama : Nabi melarang bertasyabbuh dengan kaum musyrikin bukan hanya bentuk tata cara beribadah saja, bahkan jika waktu ibadahnya sama maka dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana lagi jika bentuk ibadahnya sama?, maka akan semakin mengantarkan kepada sarana kesyirikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata keapda ‘Amr bin ‘Abasah radhiallahu ‘anhu :
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، …. حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Sholatlah engkau sholat subuh, kemudian berhentilah dari sholat hingga terbit matahari hingga matahari naik, karena sesungguhnya matahari tatkala terbit ia terbit di antara dua tanduk syaitan, dan tatkala itu orang-orang kafir sujud kepada matahari…(*hingga perkatan Nabi) Hingga engkau sholat ‘ashar kemudian berhentilah dari sholat hingga matahari tenggelam, karena sesungguhnya matahari tenggelam diantara dua tanduk syaitan, dan tatkala itu orang-orang kafir sujud kepada matahari” (HR Muslim no 832)
Perhatikanlah.. Nabi melarang untuk sholat setelah subuh hingga matahari meninggi dan juga melarang untuk sholat setelah ashar hingga matahari terbenam karena tatkala itu para penyembah matahari sedang sujud menyembah matahari. Nabi melarang dari sisi waktu, karena waktu tersebut adalah waktu beribadahnya kaum musyrikin. Padahal seseorang yang sedang sholat pada waktu tersebut hampir-hampir tidak terbetik di benaknya untuk menyembah matahari !!!, akan tetapi Nabi tetap melarang sholat pada waktu tersebut karena itu merupakan waktu beribadahnya para penyembah matahari.
Jika tasyabbuh dengan musyrikin dari sisi waktu saja dilarang maka bagaimana dengan sholat di kuburan yang merupakan tatacara ibadah orang yahudi dan nashoro?? Tentu lebih dilarang lagi !!!, terlebih lagi orang yang sholat di kuburan timbul dalam hatinya pengagungan terhadap para sholihin dalam kuburan !!! yang hingga akhirnya mengantarkan sebagian kaum muslimin beristighotsah (memohon pertolongan di waktu terdesak), berdoa, dan meminta kepada penghuni kubur !!! yang ini jelas merupakan kesyirikan !!!, demikian juga kondisi orang-orang yang beribadah di kuburan yang seakan-akan lebih afdhol sholat dan beribadah di kuburan wali daripada di masjid !!!, sehingga mereka lebih khusyuk jika di kuburan…merasa doa mereka lebih dikabulkan jika dikuburan daripada jika di masjid. Karenanya kita dapati masjid yang megah dan mewah akan sepi dibanding masjid yang lebih kecil dan lebih sederahana jika teryata dalam masjid kecil tersebut ada kuburan seorang wali…. Masjid tersebut menjadi ramai bukan karena kondisinya sebagai masjid… akan tetapi karena barokah kuburan sang wali..!!!!!
Kedua : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اللهُمَّ لا تَجْعَلْ قبْرِي وَثنَا ، لعنَ الله ُ قوْمًا اتخذُوْا قبوْرَ أَنبيَائِهمْ مَسَاجِد
“Ya Allah janganlah Engkau menjadikan kuburanku berhala, Allah telah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid” (HR Ahmad no 7358)
Perhatikanlah…sebelum Nabi bersabda “Allah telah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”, Nabi bersabda terlebih dahulu, “Ya Allah janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala”, sebagai peringatan bahwasanya menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid bisa mengantarkan pada menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai berhala yang disembah. Yang tentunya ini merupakan kesyirikan.
Inilah yang diisyaratkan oleh Imam As-Syafii rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiroozi, Asy-Syiroozi berkata :
“Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala (sesembahan), karena sesungguhnya bani Israil telah binasa karena mereka menjadi kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. As-Syafii berkata, “Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya” (Al-Muhadzdzab 1/456, dengan tahqiq : DR Muhammad Az-Zuhaili)
Ketiga : Digandengkannya antara larangan menjadikan kuburan sebagai masjid dan larangan menjadikan lampu di kuburan.
عَن ابْن عَباس قالَ:«لعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوّارَاتِ القبوْرِ، وَالمتَّخِذِينَ عَليْهَا المسَاجِدَ وَالسُّرُج»
Dari Ibnu Abbas berkata : “Rasulullah melaknat para wanita yang meziarahi kuburan dan orang-orang yang menjadikan di atas kuburan-kuburan masjid-masjid dan lampu-lampu” (HR Ahmad no 2030, Abu dawud no 3236, At-Thirmidzi no 320, An-Nasaai no 2034, Ibnu Maajah no 1575, dan dan Ibnu Hibban dalam shahihnya no 3179 dan 3180
Dalam hadits ini Nabi juga melaknat orang yang membuat penerangan di atas kuburan. Tentunya ‘illah (sebab) larangan tidak lain adalah karena hal itu merupakan sarana yang mengantarkan pada pengagungan penghuni kubur. Dan Nabi menggandengankan laknatnya pada orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dengan laknat beliau kepada orang-orang yang menjadikan lampu di kuburan. Hal ini menunjukan bahwa sebab larangan kedua perkara tersebut adalah sama, yaitu sama-sama merupakan sarana yang mengantarkan pada pengagungan penghuni kubur. Dan pengagungan terhadap penghuni kubur mengantarkan kepada kesyirikan sehingga menjadikan penghuni kubur sebagai tempat meminta dan beristighotsah.
Renungkanlah perkataan Imam As-Syaukaaniy berikut ini :
“Tidak diragukan lagi bahwasanya sebab terbesar yang menumbuhkan keyakinan seperti ini terhadap para mayat (*yaitu para mayat bisa memberi manfaat dan menolak mudhorot) adalah apa yang dihiaskan syaitan kepada manusia tentang meninggikan kuburan, meletakan kain-kain (kelambu) di atasnya, mengapurinya (menyemennya) dan membaguskan dan menghiasinya dengan seindah-indahnya. Sesungguhnya seorang yang jahil jika melihat sebuah kuburan dari kuburan-kuburan yang dibangun kubah di atasnya lalu ia melihatnya dan melihat bahwa di atas kuburan ada kain-kain yang indah, lampu-lampu yang menyala-nyala, dan di sekitarnya tersebar harum semerbaknya wewangian, maka tidak diragukan lagi bahwasanya hatinya akan dipenuhi dengan pengagungan terhadap kuburan tersebut, dan pikirannya sempit untuk bisa memiliki gambaran tentang manzilah (kedudukan tinggi) sang mayat. Dan syaitan akan menanamkan untaian keyakinan-keyakinan yang rusak ke dalam hatinya berupa rasa takut dan haibah (kharismatik sang mayat) rasa merinding dan kharismatik sang mayat yang ini semua termasuk tipuan syaitan yang sangat besar kepada kaum muslimin, dan merupakan sarana terkuat untuk menyesatkan hamba sehingga mengoncangkannya dari Islam sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ia meminta kepada penghuni kubur teresbut sesuatu yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, maka jadilah ia termasuk dalam barisan kaum musyrikin”
“Dan bisa jadi kesyirikan ini menimpanya tatkala pertama kali melihat kuburan tersebut yang dalam kondisi demikian. Dan tatkala pertama kali ia menziarahi kuburan tersebut maka pasti terpetik di benaknya bahwasanya perhatian yang begitu besar dari orang-orang yang hidup terhadap mayat yang seperti ini tidak mungkin dilakukan kecuali karena ada faedah/manfaat yang mereka harapkan dari mayat ini, manfaat dunia maupun manfaat akhirat. Akhirnya iapun merasa kecil di hadapan orang yang dilihatnya dari kalangan ulama yang menziarahi kuburan tersebut dalam kondisi berdiam di kuburan tersebut dan mengusap-ngusap kuburan tersebut” (Syarh As-Suduur bi tahriim rof’i al-qubuur hal 17-18)
Keempat : Menjadikan kuburan sebagai masjid mengantarkan pada pengagungan yang berlebih-lebihan kepada sholihin penghuni kuburan. Dan pengagungan yang berlebihan kepada sholihin merupakan sebab terbesar timbulnya kesyirikan pada bani Adam.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa, ia berkata :
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“Patung-patung yang tadinya berada di kaum Nuuh berpindah di kaum Arab. Adapun Wadd menjadi (sesembahan-pen) kabilah Kalb di Daumatul Jandal, dan adapun Suwaa‘ berada di kabilah Hudzail. Adapun Yaguuts di kabilah Murood kemudian berpindah di kabilah Guthoif di Jauf di Saba’. Adapun Y’auuq berada di kabilah Hamdan. Adapun Nasr maka di kabilah Himyar di suku Dzul Kilaa’. Mereka adalah nama-nama orang-orang sholeh dari kaum Nuuh. Tatkala mereka wafat maka syaitan membisikkan kepada kaum Nuuh untuk membangun di tempat-tempat yang biasanya mereka bermajelis patung-patung dan agar patung-patung tersebut diberi nama sesuai dengan nama-nama mereka. Maka kaum Nuuh melakukan bisikan syaitan tersebut, dan patung-patung tersebut belum disembah. Hingga tatkala kaum yang membangun patung-patung tersebut meninggal dan ilmu telah dilupakan maka disembahlah patung-patung tersebut” (Shahih Al-Bukhari no 4920)
Ibnu Hajar berkata :
“Dan kisah orang-orang sholeh merupakan awal peribadatan kaum Nuuh terhadap patung-patung ini, kemudian mereka diikuti oleh orang-orang setelah mereka atas peribadatan tersebut” (Fathul Baari 8/669)
Ibnu Katsiir As-Syafii menukil riwayat dari Ibnu Abi Haatim dari Abu Ja’far dimana ia berkata :
“Wadd adalah seorang lelaki muslim, dan ia dicintai oleh kaumnya. Tatkala ia meninggal maka merekapun berkumpul di sekitar kuburannya di negeri Baabil, dan mereka bersedih. Maka tatkala Iblis melihat kesedihan mereka terhadap Wadd maka Iblispun menyamar dalam bentuk seorang manusia kemudian ia berkata : “Aku melihat kesedihan kalian kepada orang ini, maka maukah kalian jika aku membuat patung yang serupa dengannya lalu patung tersebut kalian letakkan di tempat perkumpulan kalian maka kalian akan mengenangnya?”. Mereka berkata : Iya. Maka Iblispun membikin patung yang serupa dengannya lalu mereka meletakkan patung tersebut di tempat perkumpulan mereka lalu merekapun mengenangnya. Maka tatkala Iblis melihat bagaimana mereka mengenang Wadd maka ia berkata : “Maukah kalian jika aku membuat di setiap rumah kalian patung serupa dengannya maka setiap kalian akan mengenangnya?”, mereka berkata, “Iya”. Lalu Iblispun membuat disetiap rumah sebuah patung yang serupa dengan Wadd, lalu merekapun mengenangnya dengan patung tersebut. Lalu anak-anak mereka mendapati mereka dan melihat apa yang mereka lakukan, dan lalu mereka beranak pinak dan telah hilang perkara “dalam rangka mengenang Wadd” hingga akhirnya mereka menjadikan Wadd sebagai sesembahan yang mereka sembah selai Allah, yaitu cucu-cucu mereka. Maka jadilah Wadd adalah yang pertama kali disembah selain Allah adalah patung yang mereka namakan Wadd” (Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adziim 14/143-144)
Imam As-Syarbiiniy Asy-Syafii –setelah menyebutkan perkataan Muhammad bin Ka’ab dan Muhammad bin Qois yang semakna dengan perkataan Ibnu Abbas dan Abu Ja’afar di atas- maka beiau berkata dalam tafsirnya As-Sirooj Al-Muniir:
“Maka permulaan penyembahan berhala sejak waktu tersebut. Dan dengan makna ini ditafsirkan hadits yang ada dalam shahihain dari hadits Aisyah bahwasanya Ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sebuah gereja yang mereka berdua lihat di negeri Habasyah yang gereja tersebut dinamakan Mariah. Di gereja tersebut terdapat gambar-gambar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Sesungguhnya mereka jika ada seorang yang sholeh meninggal diantara mereka maka mereka membangun di atas kuburannya masjid, kemudian mereka membuat gambar-gambar tersebut di situ. Mereka adalah orang terburuk di sisi Allah pada hari kiamat” (As-Sirroj Al-Muniir 4/394)
Para pembaca sekalian, lihatlah bagaimana Asy-Syarbini salah seorang ulama besar dari madzhab As-Sayfiiah telah mengkaitkan kisah kaum Nuuh dengan masalah menjadikan kuburan sebagai masjid.
Lebih mendukung hal ini adalah salah satu sesembahan kaum musyrikin adalah “Laata” merupakan patung seorang sholeh yang suka membuat adonan makanan untuk para jema’ah haji. Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ { اللَّاتَ وَالْعُزَّى } كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ
“Dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhu tentang firman Allah ((Laata dan Uzzah)) (ia berkata) : Laata dahulu adalah seorang yang membuat adonan makanan haji” (HR Al-Bukhari no 4859)
Imam At-Thobari juga meriwayatkan dalam tafsirnya
“Dari Mujaahid, ia berkata : “Al-Laata dahulu membuat adonan makanan bagi mereka, lalu iapun meninggal, maka merekapun i’tikaaf (*diam dalam waktu yang lama-pen) di kuburannya maka merekapun menyembahnya” (Tafsiir At-Thobari 22/47)
KRITIKAN TERHADAP PENDALILAN HABIB MUNZIR DENGAN PERKATAAN AL-BAIDHOWIY RAHIMAHULLAH
Sesudah kita memahami perkara-perkara yang ditulis di atas, maka penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk melihat kekeliruan pendapat Habib Munzir yang berdalil dengan pendapat Al Baidhawiy. yang inti pendalilan beliau ini bertujuan, bahwa menurut habib Munzir menjadikan kuburan sebagai masjid tidak mengapa dan tidak dilarang dan yang dilarang adalah menginjak-nginjak!
Mari kita perhatikan.
Habib Munzir berkata :
“Berkata Imam Al-Baidhoowi : Bahwa kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (di samping Miizab di ka’bah dan di dalam masjidil haram) dan tempat itu justru afdhol sholat padanya, dan larangan sholat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali. (Faidhul Qodiir juz 5 hal 251)”
Demikian perkataan Habib Munzir dalam kitabnya Meniti Kesempurnaan Iman hal 31.
Perkataan Habib Munzir ini bertujuan menjadikan kuburan sebagai masjid tidak mengapa dan tidak dilarang!
Berikut teks asli perkataan Al-Baidhowi sebagaimana dalam Faidhul Qodiir 5/251 :
“Al-Baidhoowi berkata : “Tatkala mereka (*yahudi dan nasoro) sujud pada kuburan nabi-nabi mereka karena mengagungkan kuburan-kuburan tersebut maka Rasulullah melarang umatnya dari seperti perbuatan mereka. Adapun barangsiapa yang menjadikan masjid di dekat orang sholeh atau sholat di kuburannya sambil merasakan kedekatan ruh orang tersebut atau sampainya atsar ibadah orang sholeh tersebut kepadanya, bukan karena mengagungkannya maka tidaklah mengapa. Tidakah engkau lihat bahwasanya kuburan Ismail as berada di Al-Hathiim, dan tempat tersebut lebih utama untuk sholat di situ. Dan larangan untuk sholat di kuburan hanyalah khusus bagi kuburan yang telah digali” (Faidhul Qodiir 5/251)
Tentu para pembaca bertanya-tanya, kenapa Imam Al-Baidhowi mengkhususkan pelarangan sholat di kuburan hanya pada kuburan yang telah tergali??.
Jawabannya adalah ternyata Al-Baidhowi menyatakan bahwa sebab dilarangnya sholat di kuburan jika kuburan tersebut najis.
Mari kita lihat teks perkataan Al-Baidhowi secara lengkap sebagaimana dinukil dalam Syarh Muwattho’ Al-Imam Maalik karya Az-Zaqooni (jilid 4 hal 75, Al-Mathba’ah Al-Khiriyah, di pinggirannya ada sunan Abu Dawud) sebagaimana juga dinukil oleh Al-Munaawi dalam Faidhul Qodiir juz 4 hal 466.
Al-Baidhoowi berkata : Tatkala orang-orang yahudi dan nasrani sujud kepada kuburan-kuburan para nabi untuk mengagungkan kedudukan mereka, dan mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai kiblat mereka sholat ke arah kuburan-kuburan tersebut, dan mereka menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai berhala-berhala maka Allahpun melaknat mereka, dan melarang kaum muslimin dari perbuatan seperti ini.
Adapun barangsiapa yang menjadikan masjid di dekat orang sholeh atau sholat di kuburannya dengan maksud merasakan kedekatan dengan ruh orang tersebut atau sampainya atsar ibadah orang sholeh tersebut kepadanya, bukan karena mengagungkannya dan bukan untuk menghadap kepadanya maka tidaklah mengapa. Tidakah engkau lihat bahwasanya kuburan Ismail as berada di Al-Hathiim, kemudian masjid tersebut adalah tempat yang paling afdhol yang orang yang sholat berusaha untuk sholat di situ. Dan larangan untuk sholat di kuburan hanyalah khusus bagi kuburan yang telah digali karena ada najisnya“
Demikian perkataan Al-Baidhoowi rahimahullah secara lengkap yang dijadikan dalil oleh Habib Munzir untuk mendukung keyakinannya bahwasanya yang dimaksud dengan menjadikan kuburan sebagai masjid adalah menginjak-nginjaknya.
Kandungan perkataan Al-Baidhowiy rahimahullah:
Di bawah ini ringkasan tentang pernyataan Al Baidhawiy dan juga sanggahan terhadap pernyataan beliau yang kurang sesuai dengan dalil dari Al Quran dan Sunnah serta pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘ahum, dan ini juga sekaligus menyanggah pendapat Habib Munzir yang berdalil dengan pendapatnya Al Baidhawiy tersebut.
Ada beberapa pernyataan yang bisa disimpulkan dari perkataan Al-Baidhawi di atas, diantaranya : Dua pernyataan disepakati karena sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Kedua perkara tersebut adalah :
Pertama : Al-Baidhowi mengharamkan orang yang sholat di kuburan dengan maksud mengagungkan penghuni kubur
Kedua : Al-Baidhowi juga mengharamkan sholat ke arah kuburan
Dan ada tiga pernyataan yang tidak disetujui karena bertentangan dengan dalil atau tidak dibangun di atas dalil yang shahih. Tiga pernyataan tersebut adalah :
Pertama : ‘illah (sebab) larangan sholat di kuburan adalah karena najis
Kedua : Kuburan Nabi Ismail ‘alaihi salam berada di Al-Hathiim di Al-Masjid Al-Haram
Ketiga : Bolehnya sholat dekat kuburan orang sholeh untuk mencari keberkahan dengan maksud merasakan kedekatan dengan ruh orang tersebut atau sampainya atsar ibadah orang sholeh tersebut kepadanya.
Adapun ketiga perkara yang terakhir ini maka tidak dibangun di atas dalil atau bertentangan dengan dalil yang shahih.
Sanggahan terhadap tiga pernyataan Al-Baidhowi
Sesungguhnya Al-Baidhowi adalah termasuk dari jajaran para ulama, para imam kaum muslimin, sebagaimana Abu Hanifah, Malik bin Anas, As-Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ats-Tsaury, Ibnu Al-‘uyainah, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hajr, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsirr, dll
Akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang ma’sum (terjaga dari kesalahan).
Mujahid rahimahullah pernah berkata :
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorangpun –setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- kecuali diambil pendapatnya dan ditinggalkan, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam al-Qirooah kholfa al-Imaam, dan juga Ibnu Abdil Barr dalam Jaami’ bayaan al-‘ilmi wa fadhlihi)
Maka sebelum menyanggah pernyataan Al-Baidhawi maka ada baiknya para pembaca sekalian mencermati kembali hadits-hadits yang telah saya sampaikan di tulisan yang lalu (lihat : http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/185) yang seluruhnya melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid.
Sanggahan terhadap pernyataan Al Baidhawiy yang pertama :
Adapun sanggahan terhadap pernyataan Al-Baidhawi yang pertama yaitu larangan sholat di kuburan khusus bagi kuburan yang sudah digali karena adanya najis…, maka bantahan terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:
Pertama : Seluruh hadits-hadits di atas yang melarang menjadikan kuburan menjadi mesjid seluruhnya datang secara mutlak tanpa membedakan antara kuburan yang baru atau kuburan yang sudah digali. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang menunjukan bahwasanya larangan hanya mencakup kuburan yang telah digali
Kedua : Dalam hadits-hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yahudi dan nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka dan juga kuburan orang-orang sholih diantara mereka sebagai masjid. Hal ini menunjukan:
– Mereka menjadikan masjid di atas kuburan para Nabi tersebut yang dalam keadaan belum digali. Justru keberadaan jasad para nabi tersebut dalam kuburan itulah yang menjadikan mereka beribadah di kuburan karena mengagungkan para nabi
– Taruhlah kalau kuburan para Nabi tersebut digali (dan tentunya tidak demikian) maka sungguh jelas bahwasanya jasad para Nabi suci, bahkan Allah menjaga jasad mereka sehingga tidak dimakan oleh tanah. maka bagaimana bisa kuburan-kuburan mereka ternajisi?.
– Taruhlah yang digali adalah jasad orang sholeh…maka apakah tanah kuburan tersebut ternajisi dengan jasad orang sholeh tersebut…??. Bukankan Nabi bersabda :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis” (HR Al-Bukhari no 285 dan Muslim no 371)
Ketiga : Habiibunaa Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sholat ke arah kuburan. Beliau bersabda :
لا تُصَلُّوْا إلىَ القبوْرِ
“Janganlah kalian sholat ke arah kuburan”
Jadi meskipun sholatnya tidak di tanah kuburan itupun telah dilarang oleh Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau seandainya larangan itu karena najis tanah kuburan tentunya sholat menghadap kuburan tidak dilarang.
Keempat : Tempat dibangunnya masjid Nabawi adalah kuburan orang-orang musyrik. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
وَأَنَّهُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَأَرْسَلَ إِلَى مَلَإٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ فَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُوْنِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا، قَالُوا: لاَ واللهِ لاِ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلاَّ إِلَى اللهِ، فَقَالَ أَنَسٌ : فَكَانَ فِيْهِ مَا أَقُوْلُ لَكُمْ قُبُوْرُ الْمُشْرِكِيْنَ، وَفِيْهِ خَرِبٌ وَفِيْهِ نَخْلٌ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقُبُوْرِ الْمُشْرِكِيْنَ فَنُبِشَتْ ثُمَّ بِالْخَرِبِ فَسُوِّيَتْ وَبِالنَّخْلِ فَقُطِعَ
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid, maka beliaupun mengirim (utusan) kepada sekelompok orang dari Bani An-Najjar (*yaitu pemilik kebun yang merupakan lokasi yang dipilih Nabi untuk membangun masjid nabawi-pen). Beliau berkata, “Wahai Bani An-Najjaar juallah kepadaku kebun kalian ini !”, mereka berkata, “Tidak, demi Allah kami tidak akan meminta harga kebun ini kecuali kepada Allah”.
Anas berkata, “Di kebun tersebut –sebagaimana yang aku katakan kepada kalian- ada kuburan orang-orang musyrik, ada reruntuhan-reruntuhan, dan ada pohon-pohon korma. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk menggali kuburan orang-orang musyrikin, maka digalilah kuburan mereka, dan memerintahkan agar bekas reruntuhan-reruntuhan diratakan dan agar pohon-pohon korma ditebang” (HR Al-Bukhari no 428)
Dan tidak diriwayatkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memindahkan tanah bekas galian kuburan orang-orang musyrik. Bahkan Nabi meratakan tanah galian tersebut dan kemudian sholat di atas tanah tersebut, tanpa ada karpet yang diletakan di atas tanah tersebut.
Kelima : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang membangun masjid di atas kuburan, kalau seandainya larangan tersebut karena najisnya tanah kuburan maka sangat dengan mudah menghilangkan najis tersebut. Hanya tinggal di beri semen dengan baik dan dibersihkan sehingga tidak terkena tanah kuburan, lalu dibangunlah masjid di atas kuburan. Tentu ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits Nabi.
Keenam : Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melaknat orang yang membuat penerangan di atas kuburan. Tentunya ‘illah (sebab) larangan tidak ada hubungannya dengan najisnya tanah kuburan. Sebab larangan tersebut tidak lain adalah karena hal itu (pembuatan lampu) merupakan sarana yang mengantarkan pada pengagungan penghuni kubur. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengankan laknatnya pada orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dengan laknat beliau kepada orang-orang yang menjadikan lampu di kuburan. Hal ini menunjukkan bahwa sebab larangan kedua perkara tersebut adalah sama, yaitu sama-sama merupakan sarana yang mengantarkan pada pengagungan penghuni kubur.
Ketujuh : Kalaupun kita terima bahwasanya larangan sholat di kuburan karena najis maka kita katakan masih ada sebab-sebab lain yang menjadikan larangan untuk sholat di atas kuburan atau ke arah kuburan, yaitu tasyabbuh dan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Sanggahan terhadap pernyataan kedua Al-Baidhawi
Adapun pernyataan Al-Baidhawi bahwasanya kuburan Nabi Ismail ‘alaihi salam berada di Al-Hathiim di Al-Masjid Al-Haram maka merupakan pernyataan yang tidak benar. Hal ini ditunjukan dari beberapa sisi :
Pertama : Hadits yang menunjukan pernyataan ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang masyhuur seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan AT-Thirimidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Maajah, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam At-Thobroni (baik al-Mu’jam Al-Kabiir, maupun Al-Awshoth, maupun As-Shogiir).
Dan memang ternyata setelah diperiksa derajat haditsnya lemah. Mari kita perhatikan di bawah ini:
As-Suyuthi menyebutkan adanya sebuah hadits yang marfu’ yang diriwayatkan oleh Aisyah. As-Suyuthi berkata:
“Sesungguhnya kuburan Isma’il di al-Hijr”. (Diriwayatkan oleh Al-Haakim di (kitab) Al-Kunaa, dari Aisyah”
Demikian perkataan As-Suyuthy dalam Al-Jaami’ As-Shoghiir fi Ahaadiits Al-Basyiir An-Nadziir juz 1 hal 141 no 2338, Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah cetakan kedua 1425 H.
Dan maksud dari Al-Imam As-Suyuthi dengan Al-Haakim adalah Al-Haakim Al-Kabiir yaitu Abu Ahmad Al-Haakim penulis buku Al-Asaami wa Al-Kunaa gurunya Abu Abdillah Al-Haakim penulis buku Al-Mustadrok dan juga buku Al-Kunaa wa Al-Alqoob.
Hadits ini diriwatykan oleh Al-Haakim Al-Kabiir dalam kitab Al-Asaami wa al-Kunaa juz 1 hal 239 pada tarjamah biografi no 126 Abu Ismail Al-Kuufi.
Al-Haakim meriwayatkan dengan sanadnya
نا أبو إسماعيل الكوفي عن ابن عطاء عن أبيه عن عائشة قالت : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : إن قبر إسماعيل في الحجر
dari Abu Isma’iil Al-Kuufi dari anaknya ‘Athoo dari ayahnya dari Aisyah berkata : Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Sesungguhnya kuburan Isma’iil di al-Hijr” (Al-Asaami wa Al-Kunaa, karya Abu Ahmad Al-Haakim, tahqiq : Yusuf Muhammad Ad-Dakhiil, Maktabah Al-Gurobaa’ Al-‘Atsariyah, cetakan pertama 1414 H, juz 1 hal 239)
Dalam sanad ini ada dua ‘illah (penyakit yang menyebabkan lemahnya hadits ini)
Pertama : Ada perawi yang dikenal dengan Abu Isma’iil Al-Kuufii, dan ia adalah seorang perawi yang lemah. Adz-Dzahabi berkata :
Abu Ismaa’il Al-Kuufi adalah guru Ali bin Al-Ja’ad, ia tidak dikenal, dan khobarnya goriib. (Adz-Dzahabi menyebut hal dalam dua kitabnya Al-Mughni fi Ad-Du’afaa, tahqiiq : Nuururddin ‘Itr juz 2 hal 446 no 7301 dan Mizaan al-‘I’tidaal fi Naqd Ar-Rijaal, tahqiq : Ali Muhammad Al-Bujaawi, Daar Al-Ma’rifah juz 4 hal 491, dan pernyataan Adz-Dzahabi ini diikuti oleh Ibnu Hajr dalam Lisaan Al-Mizaan, tahqiiq : Abdul Fattaah Abu Guddah juz 9 hal 13)
Kedua : Abu Isma’iil dalam sanad ini meriwayatkan dari Ibnu ‘Athoo’. Dan Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Menurutku (Ibnu ‘Athoo’) adalah Ya’quub bin ‘Athoo’ bin Abi Robaah Al-Fihry” (Al-Asaami wa Al-Kunaa 1/239). Dan Ya’quub bin ‘Athoo’ bin Abi Robaah ini juga dalah seorang perawi yang lemah. Adz-Dzahabi berkata :
“Ya’quub bin ‘Athoo’ bin Abi Robaah meriwayatkan dari ayahnya, ia dinyatakan lemah oleh Imam Ahmad. Dan Abu Haatim berkata : Ia tidak kuat” (Al-Mughni fi Ad-Du’afaa’ juz 2 hal 433 no 7198)
Dengan demikian jelas bahwa hadits tentang kuburan Isma’il ‘alaihis salaam di Al-Hathiim adalah hadits yang lemah. Selain diriwayatkan dalam literatur yang tidak masyhuur juga diriwayatkan dengan sanad yang lemah. Hadits ini juga telah dinyatakan lemah oleh As-Sakhoowi (dalam kitabnya Al-Mqoosid Al-Hasanah fi bayaan katsiir min Al-Ahaadiits Al-Musytahiroh ‘Alaa Al-Alsinah, tahqiiq : Abdulloh Muhammad As-Siddiiq, daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, cetakan pertama 1399 H, hal 303 no 759), kemudian dilemahkan juga oleh Muhammad bin Tohir Al-Fatani Al-Hindi (dalam kitabnya Tadzkirot Al-Maudhu’aat, cetakan Al-Muniiriyah, hal 220), juga dilemahkan oleh Al-‘Ajluuni (dalam kitabnya : Kasyf Al-Khofaa’ wa Muziil Al-Ilbaas, tahqiiq Yuusuf bin Mahmuud Al-Haaj, Maktabah Al-‘Ilm Al-Hadiits, juz 2 hal 107 no 1854).
Kedua : Hanya ada atsar-atsar mauquuf (dari perkataan sahabat) yang menunjukan akan hal ini. Akan tetapi atsar-atsar tersebut:
– Diriwayatkan dalam buku sejarah Akhbaar Makkah wa maa jaa’a fii haa min al-Aatsaar, karya Al-Azroqy
– Atsar-atsar tersebut tidaklah shahih sanadnya, bahkan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang mu’dhol (yaitu yang terputus dua rawi atau lebih secara berurutan). Diantaranya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Al-Azroqi dari Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhu (lihat Akhbaar Makkah, tahqiiq : Prof DR Abdul Malik Duhaisy, Maktabah Al-Asadi juz 1/310 no 234 juga 1/431 no 389).
Ketiga : Taruhlah bahwasanya ternyata benar bahwa Nabi Isma’iil ‘alaihis salaam dikuburkan di al-Hijr, akan tetapi bekas dari kuburan tersebut sudah tidak tersisa sama sekali. Sehingga orang-orang yang melaksanakan thowaf maupun sholat di Al-Masjid Al-Haroom sama sekali tidak melihat atsar (bekas dan sisa) dari kuburan tersebut. Bahkan terlalu banyak jama’ah haji yang sama sekali tidak merasakan ada kuburan di situ, sehingga tidaklah terbetik dalam benak mereka untuk merasakan kehadiran ruuh Nabi Ismail tatkala mereka thowaf atau sholat di ka’bah.
Karenanya kondisi seperti ini tidak bisa diqiaskan dengan kondisi kuburan orang-orang sholeh yang tinggi yang sangat jelas kuburannya dan sangat memberi pengaruh kepada orang yang beribadah di situ sehingga mengantarkan kepada bentuk pengagungan kepada penghuni kubur.
Selain itu kita ketahui bersama bahwasanya bumi adalah tempat dikuburkannya manusia, dan tentunya terlalu banyak orang-orang sholeh ratusan atau ribuan tahun yang lalu yang di kubur di dalam bumi, namun telah hilang bekas-bekas kuburan-kuburan mereka. Sehingga jika kita membuat masjid di atas tempat yang seperti ini maka tidak mengapa mengingat tidak ketahuan dan tidak kelihatan lagi bekas-bekas kuburan. Hal ini berbeda dengan kuburan-kuburan yang dibangun dan ditinggikan. Maka syari’at membedakan antara dua jenis kuburan, kuburan yang ditinggikan dan kuburan yang telah hilang sama sekali bekasnya. Wallahu A’lam.
Ali Al-Qoori berkata :
وَذَكَرَ غَيْرُهُ أَنَّ صُوْرَةَ قَبْرِ إِسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَي الْحِجْرِ تَحْتَ الْمِيْزَابِ وَإِنَّ فِيْ الْحَطِيْمِ بَيْنَ الْحَجَرِ الأسْوَدِ وَزَمْزَم قَبْرَ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا وَفِيْهِ أَنَّ صُوْرَةَ قَبْرِ إِسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَغَيْرِهِ مُنْدَرِسَةٌ فَلاَ يَصْلُحُ الاِسْتِدْلاَلُ بِهِ
“Dan selainnya menyebutkan bahwasanya kuburan Isma’il ‘alaihis salaam berada di al-Hijr di bawah mizaab (ka’bah). Dan di Al-Hathiim –antara al-Hajr al-Aswad dan zamzam ada kuburan tujuh puluh orang nabi. Dan pada hal ini bentuk kuburan Isma’il ‘alaihis salaam dan yang kuburan selainnya telah hilang, maka tidak bisa untuk dijadikan dalil” (Miqoot al-Mafaatiih syarh Misykaat Al-Masoobiih, tahqiiq : Jamaal ‘Iytaaniy, Daar Al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama 1422 H, juz 2 hal 389)
Akan tetapi sebagaimana telah lalu bahwasanya yang benar adalah tidak ada dalil yang menunjukan bahwasanya kuburan Nabi Isma’il berada di al-Hijr atau Al-Hathiim. (bersambung….)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 04-11-1432 H / 02 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com