Setelah Allah berbicara tentang hari kiamat dan bagaimana mudahnya bagi Allah untuk membangkitkan umat manusia (Baca tafsir sebelumnya: An-Nazi’at Ayat 1-14), kemudian tiba-tiba pembahasan beralih ke pembahasan yang baru dimana Allah berbicara tentang Fir’aun. Apa hubungan antara Kisah Fir’aun dan hari kiamat? Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya kisah Fir’aun adalah kisah yang mashyur, yang diketahui oleh orang-orang yahudi. Orang yahudi yang tinggal di jazirah arab mengetahui akan berita tentang kejadian Fir’aun yang ditenggalamkan karena itu adalah kisah yang mashyur, sebuah kejadian yang sangat dahsyat. Sampai-sampai berita itu ternukilkan dari kurun ke kurun. Selain itu, orang-orang musyirikin arab juga mendengar tentang kisah Fir’aun. Sehingga yang mengetahui cerita tentang Fir’aun bukan hanya dari orang-orang yahudi, bukan hanya dari Bani Israil, dan bukan hanya dari ahlul kitab, tetapi kisah ini adalah kisah yang sangat dahsyat sehingga sampailah kisah tentang Fir’aun tersebut kepada orang-orang musyirikin. Tentang bagaimana hancurnya Fir’aun, bagaimana Allah membinaskan orang-orang yang sangat sombong seperti Fir’aun tersebut. Oleh karena itu, Allah ingin mengingatkan orang-orang musyirikin apabila mereka mengingkari hari kiamat maka nasib mereka akan seperti Fir’aun. Itulah mengapa Allah menyebutkan tentang kisah Fir’aun setelah Allah menyebutkan tentang hari kiamat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman:
[15]. هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَىٰ
“apakah telah datang kepada engkau, tentang kisah Nabi Musa? “
[16]. إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Tatkala Tuhannya memanggilnya (Musa) di lembah suci yang namanya Thuwa”
[17]. اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ
“pergilah engkau kepada Fir’aun. sesungguhnya dia telah melampaui batas”
Tatkala Allah memanggil Musa di sebuah lembah suci yang bernama Thuwa, menunjukkan bahwa telah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Musa. Oleh karena itu, di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ
“Dan Aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)” (QS Thaha : 13)
Ini menunjukkan bahwasanya wahyu Allah didengar langsung oleh Nabi Musa ‘allaihissallam. Ini juga merupakan bantahan kepada orang-orang jahmiyyah yang menyatakan bahwasanya Allah berbicara tanpa suara dan tanpa huruf. Yang benar adalah Allah berbicara dengan suara yang didengar langsung oleh Nabi Musa alaihissallam. Sebelumnya Allah juga telah berbicara dengan Nabi-Nabi yang lain, diantaranya adalah Nabi Ibrahim.
Diantara bukti telah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Musa adalah seperti ketika Nabi Musa meminta Allah agar menampakkan diri-Nya. Sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Quran :
قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
(Musa) Berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan sanggup melihat Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempanya niscaya engkau dapat melihat Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.“ (QS Al-A’raf : 143)
Melihat cahaya Allah adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan di dunia ini. Berbeda apabila kita dibangkitkan kelak, kita akan diberi kemampuan oleh Allah agar bisa melihat-Nya. Rasulullah bersabda :
تَعَلَّمُوْا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَ وَ جَلَّ حَتَّى يَمُوْتَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 181)
Namun telah terjadi pembicaraan antara Allah dan Nabi Musa. Adapun perkataan sebagian orang, yang mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai suara melainkan Allah berbicara dengan bahasa jiwa, maka ini adalah perkataan yang bathil lagi berbahaya. Inilah perkataan yang dijadikan dalil oleh orang-orang liberal sehingga mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang adalah bukan firman Allah, akan tetapi ungkapan dari Nabi ﷺ yang mengungkapkan bahasa jiwa Allah. Adapun ahlussunnah wal jamaah meyakini bahwa Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini makna dan lafalnya dari Allah ﷻ. Karenanya Al-Qur’an merupakan mukjizat, karena lafalnya langsung dari Allah. Oleh karena itu, Allah menantang orang-orang musyrikin:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, “Buatlah sebuah surat yang semisal dengan sura (Al-Quran), dan ajaklah siapa saja diantara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Yunus : 38)
Namun tidak akan ada yang mampu karena lafalnya dari Allah ﷻ. Al-Qur’an turun dalam bahasa arab dengan balaghah yang sangat tinggi sehingga orang-orang musyrikin arab tidak akan mampu mendatangkan seperti Al Qur’an sehebat apapun mereka. Andai ternyata lafal Al-Quran bukan dari Allah, niscaya Al-Qur’an bukanlah mukjizat.
Sebagian orang yang terkena racun filsafat, yang mempelajari agama islam dengan filsafatnya orang-orang kafir atau dengan filsafatnya Aristoteles yang tidak pernah beragama, namun berusaha mempelajari islam dengan pemikiran filsafat, mereka kemudian mengatakan Allah tidak mempunyai suara. Mereka mengatakan bahwasanya Al Qur’an adalah ungkapan Jibril atau Muhammad ﷺ yang berasal dari bahasa jiwa Allah. Sungguh ini adalah perkataan yang tidak benar. Jika kita mengatakan Al-Qur’an hanyalah ungkapan Jibril ataupun Muhammad dan bukan bahasa Allah, maka Al Qur’an bukanlah mukjizat dan tidak akan suci lagi.
Karena pemahaman seperti inilah yaitu Allah berbicara tanpa suara maka para orang-orang liberal mengatakan bahwa Muhammad belum tentu mampu mengungkapkan bahasa jiwa Allah. Ketika Allah ingin menyampaikan sesuatu, Muhammad belum tentu mampu membahasakan apa yang dikehendaki oleh Allah ﷻ tersebut. Akhirnya mereka akan menafsirkan Al-Qur’an dengan seenaknya. Karena lafal yang diungkapkan oleh Muhammad hanya cocok untuk kehidupan 1,5 abad yang lalu, sedangkan kehidupan sekarang jauh berbeda dengan zaman dahulu kala. Dari pemahaman inilah akan timbul tafsiran-tafsiran mereka yang senaknya tehadap Al-Qur’an.
Kemudian Allah ﷻ berfirman :
[18]. فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَىٰ أَنْ تَزَكَّىٰ
“Maka katakanlah kepada (Fir’aun), “Adakah keinginanmu untuk mensucikan dirimu?””
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS Thaha : 44)
Ibnul Qoyyim rahimahullah -dalam kitabnya At-Tibyaan fi Aqsaam al-Qur’an (hal 140)- menjelaskan betapa lembutnya perkataan Musa kepada Fir’aun tatkala mendakwahinya dari 7 sisi ;
Pertama : Tatkala Nabi Musa mendakwahi Fir’aun, Nabi Musa tidaklah mengatakan perkataan dalam bentuk perintah, “Wahai Fir’aun taatlah kalau engkau tidak taat kepadaku, engkau akan dimasukkan ke neraka jahnnam” tetapi Nabi Musa menggunakan metode menawarkan dengan mengatakan ” Adakah keinginanmu untuk mensucikan dirimu?”
Kedua : Perkataan Musa kepada Fir’aun إِلَىٰ أَنْ تَزَكَّىٰ “Adakah keinginanmu untuk mensucikan dirimu?”. Dan at-Tazakki (mensucikan diri) adalah perkara kesucian, pertambahan, dan keberkahan. Maka Musa menawarkan kepada Fir’aun suatu perkara yang diterima oleh semua orang yang berakal, dan tidak ada yang menolaknya kecuali orang jahil dan pandir. Dan ini merupakan kelembutan Musa dalam mendakwahi Fir’aun.
Ketiga : Musa berkata تَزَكَّى “mensucikan dirimu” dan Musa tidak berkata أُزَكَّيْكَ “Aku akan mensucikan dirimu”, Musa tidak menyandarkan pensucian kepada dirinya akan tetapi kepada diri Fir’aun agar ia yang mensucikan dirinya. Dan demikianlah metode dalam berbicara dengan para raja dan para pembesar.
Keempat : Yaitu pada firman Allah pada ayat berikutnya :
[19]. وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ
“dan engkau akan kutuntut ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?”
Ini adalah bentuk kelembutan Nabi Musa dalam mendakwahi Fir’aun. Musa berkata aku siap menjadi penunjuk jalan seandainya Fir’aun ingin menyucikan diri. Seperti seseorang yang berkata kepada orang lain, “Aku siap menunjukan kepadamu lokasi harta, dan selanjutnya silahkan engkau mengambil dari harta tersebut sesuka hatimu”
Kelima : Perkataan Musa إِلَىٰ رَبِّكَ “ke jalan Tuhanmu” yaitu Nabi Musa mengajak Fir’aun untuk kembali kepada Tuhannya, yang telah menciptakannya, yang telah memberikan kerajaan dan kekuasaan kepadanya. Seperti seseorang yang berkata kepada orang lain yang tidak taat kepada ayahnya, “Tidakkah kau taat dan kembali kepada ayahmu, yang sayang kepadamu, yang telah merawatmu dll..”
Keenam : Perkataan Musa فَتَخْشَى “agar engkau takut kepada-Nya”, yaitu Musa berkata kepada Fir’aun, “Jika engkau mendapat petunjuk menuju Rabbmu, engkau semakin mengenal Rabbmu, maka engkau akan semakin takut kepadaNya, dan rasa takut kepada Allah sesuai kadar makrifatmu kepada Allah”
Ketujuh : Perkataan Musa هَلْ لَكَ “Adakah keinginanmu”, yaitu “Tidakkah engkau wahai Fir’aun memiliki keperluan dan kebutuhan?”. Dan tentunya semua orang yang berakal segera menerima ajakan kepada pemenuhan kebutuhannya. Karena sang da’i (yaitu Nabi Musa) tidak menyeru Fir’aun untuk memenuhi kebutuhan Musa, akan tetapi kepada memenuhi kebutuhan Fir’aun dan kemaslahatannya sendiri. Seakan-akan Musa berkata, “Wahai Fir’aun silahkan menuju kepada kemaslahatanmu dan pemenuhan hajatmu, sesungguhnya aku hanyalah penunjuk jalan”. (Lihat At-Tibyaan Fi Aqsaam al-Qur’aan hal 140-141)
Namun yang terjadi adalah Fir’aun tidak beriman kepada Nabi Musa bahkan membalas seluruh kelembutan ini dengan puncak kekufuran dan pembangkangan.
Selain kelembutan Allah membekali Nabi Musa dengan banyak mukjizat agar Fir’aun mau beriman. Allah ﷻ berfirman:
[20]. فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَىٰ
“lalu (Musa) menampakkan kepadanya mukjizat yang besar”
Nabi Musa diutus oleh Allah ﷻ di zaman dimana banyak penyihir. Sehingga mukjizat yang Allah pilihkan untuk Nabi Musa, adalah mukjizat yang tidak bisa dilakukan oleh para penyihir. Sebagaimana Allah mengutus Nabi Isa di zaman dimana banyak orang-orang yang pandai mengobati. Sehingga Allah memberikan mukjizat kepada Nabi isa yang tidak bisa dilakukan oleh para tabib. Diantaranya yaitu Nabi Isa apabila menyentuh orang yang buta maka tiba-tiba bisa melihat, Nabi Isa menyentuh orang yang terkena kusta maka tiba-tiba bisa sembuh, kesemuanya tidak bisa dilakukan oleh para tabib. Begitupun dengan Nabi Muhamad ﷺ yang diutus kepada zaman musyrikin arab dimana mereka berbangga-bangga dengan bahasa mereka. Sehingga Allah memberikan mukjizat Al-Qur’an kepada Nabi Muhamad ﷺ yang mana mereka tidak mampu untuk mengungkapkan bahasanya sebagaimana ungkapan-ungkapan yang ada di dalam Al-Qur’an. (lihat penjelasan Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 2/486-487 atau Qoshsos Al-Anbiyaa 2/430 pada kisah Nabi ‘Isa ‘alaihis salam)
Nabi Musa memiliki banyak mukjizat, diantara mukjizatnya yang paling besar adalah bisa mengubah tongkat menjadi ular. Namun sebelum Nabi Musa bertemu dengan Fir’aun untuk menunjukkan mukjizat tersebut, Allah ﷻ terlebih dahulu melatih Nabi Musa. Allah mengisahkan di dalam Al-Quran :
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ . قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ . قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَىٰ . فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ
“Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain”. Dia (Allah) berfirman, “Lemparkanlah ia (tongkatmu), wahai Musa!” Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (QS Thaha : 17-20)
Tatkala Nabi Musa melihat ular tersebut, Nabi Musa berlari karena takut. Allah mengisahkan dalam ayat yang lain:
وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu.” Maka ketika dia (Musa) melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor ular (yang gesit), dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Allah berfirman), “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman. (QS Al-Qashash : 31)
Allah menenangkan Nabi Musa yang berlari ketakutan. Allah hendak melatih dan membuat Nabi Musa terbiasa dengan mukjizat tongkat menjadi ular tersebut. Seandainya Allah tidak melakukan demikian kemudian Nabi Musa melemparkan tongkat tersebut di hadapan Fir’aun sedangkan dia belum mengetahui akan seperti apa ular tersebut, niscaya dia akan ketakutan juga melihatnya. Sehingga Nabi Musa harus dilatih terlebih dahulu oleh Allah.
Setelah Musa menampakkan mukjizatnya kepada Fir’aun yaitu tongkat menjadi ular, dia pun mengangkatnya menjadi tongkat kembali seperti sedia kala. Itulah diantara mukjizat besar dari Nabi Musa yang ditampakkan di hadapan Fir’aun. Dengan sebab inilah orang-orang musyrik dan para penyihir di zaman Fir’aun beriman kepada Nabi Musa.
Para penyihir tersebut mengetahui, apa yang mereka lakukan dengan tongkat dan tali-tali mereka hingga menjadi ular hanyalah halusinasi semata, dan bukanlah kenyataan. Tongkat tetaplah tongkat, kayu tetaplah kayu, tali tetaplah tali, orang-orang yang melihatnyalah yang matanya telah tersihir, sehingga mereka melihat seakan-akan itu adalah ular yang bergerak-gerak, bahkan diantara yang tersihir adalah Nabi Musa ‘alaihissallam.
Allah mengisahkan di dalam Al-Quran bagaimana pertarungan antara Musa dengan Fir’aun beserta para penyihirnya. Allah berfirman :
قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِمَّا أَن تُلْقِيَ وَإِمَّا أَن نَّكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَىٰ (65) قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ (66) فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ (67) قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنتَ الْأَعْلَىٰ (68) وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ (69) فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَىٰ (70)
65. Mereka berkata, “Wahai Musa! Apakah engkau yang melemparkan (dahulu) atau kami yang lebih dahulu melemparkan?” 66. Dia (Musa) berkata, “Silahkan kamu melemparkan!” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka. 67. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. 68. Kami berfirman, “Jangan takut! Sungguh, engkaulah yang unggul (menang). 69. Dan lemparkan apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka buat. Apa yang mereka itu hanyalah tipu daya penyihir (belaka). Dan tidak akan menang penyihir, dari mana pun ia datang. 70. Lalu para penyihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.” (QS Thaha : 65-70)
Nabi Musa ‘alaihissallam juga ikut tersihir sehingga dia juga melihat tongkat-tongkat dan tali-tali para penyihir tersebut sebagai ular, sehingga ia ikut ketakutan. Namun Allah kemudian menenangkannya dan menyuruhnya untuk melemparkan tongkatnya sehingga tongkatnya menjadi ular besar yang memakan ular-ular palsu tadi. Setelah melihat kejadian tersebut, para penyihir Fir’aun yang konon katanya ada ratusan atau ribuan penyihir yang saat itu bersatu menyerang Nabi Musa akhirnya semuanya beriman. Karena mereka tahu bahwasanya mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa alaihissallam yaitu tongkat yang berubah menjadi ular bukan tipuan mata atau sihir. Tongkat yang berbahan kayu tersebut benar-benar berubah menjadi ular.
Berdasarkan kisah ini juga, para ulama juga menyatakan bahwa tidak ada sihir yang benar-benar mengubah hakekat aslinya, yang ada hanyalah halusinasi dan tipuan mata semata. Orang-orang hanya dikhayalkan melalui sihirnya, dan tidak ada yang bisa mengubah hakekat aslinya sebagaimana apa yang Nabi Musa lakukan, dengan izin Allah, dapat mengubah dari unsur kayu menjadi unsur daging.
Al-Baghowi berkata :
وَالسِّحْرُ وُجُودُهُ حَقِيقَةً عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأُمَمِ، وَلَكِنَّ الْعَمَلَ بِهِ كُفْرٌ، … وَقِيلَ: إِنَّهُ يُؤَثِّرُ فِي قَلْبِ الْأَعْيَانِ فَيَجْعَلُ الْآدَمِيَّ عَلَى صُورَةِ الْحِمَارِ وَيَجْعَلُ الْحِمَارَ عَلَى صُورَةِ الْكَلْبِ، وَالْأَصَحُّ أَنَّ ذَلِكَ تَخْيِيلٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى” لَكِنَّهُ يُؤَثِّرُ فِي الْأَبْدَانِ بِالْأَمْرَاضِ وَالْمَوْتِ وَالْجُنُونِ
“Sihir itu hakikatnya ada menurut ahlus sunnah, dan ini adalah pendapat mayoritas umat, akan tetapi mempraktikannya adalah kekufuran…, dan ada yang berpendapat bahwa sihir bisa berpengaruh merubah hakikat benda-benda, maka bisa merubah manusia menjadi bentuk keledai dan merubah keledai dalam bentuk anjing. Namun yang benar bahwa itu semua hanyalah pengkhayalan (halusinasi). Allah berfirman
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ
“Karena sihir mereka maka dikhayalkan kepada Nabi Musa seakan-akan tongkat-tongkat dan tali-tali itu merayap cepat,” (QS Toha : 66)
Akan tetapi sihir mempengaruhi badan denga menimbulkan sakit, kematian, dan kegilaan. (Tafsiir Al-Baghowi 1/128-129)
Meskipun Musa telah mendatangan banyak mukjizan namun yang terjadi adalah Fir’aun tetap tidak beriman.
Allah berfirman :
[21]. فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ
“Tetapi dia (Fir’aun) mendustakan dan dan mendurhakai”
[22]. ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَىٰ
“Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa)”
[23]. فَحَشَرَ فَنَادَىٰ
“Kemudian dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya)”
[24]. فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“(Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi””
[25]. فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَىٰ
“Maka Allah menghukum Fir’aun dengan siksaan yang terakhir dan siksaan yang pertama”
Ada tiga pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa yang dimaksud dengan siksaan pertama dan siksaan yang terakhir.
Pendapat yang pertama: mengatakan bahwa siksaan yang pertama adalah siksaan di dunia dimana Fir’aun ditenggelamkan oleh Allah ﷻ, kemudian dimasukkan ke alam kubur dan disiksa di dalamnya dan siksaan yang terakhir adalah di neraka jahannam. Allah berfirman :
حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” 91. Mengapa baru sekarang (kamu beriman) padahal seseungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan. (QS Yunus : 90-91)
Sehingga Allah ﷻ menenggelamkan Fir’aun dan tidak menerima taubatnya, kemudian Allah menyiksanya di alam kubur. Allah berfirman:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ
“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang (di alam kubur)”
Kata para ulama, itulah sebabnya mengapa Allah berfirman pada kelanjutan ayat setelah itu:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“dan pada hari kiamat nanti, (Lalu kepada malaikat diperintahkan), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras”.” (QS. Ghafir : 46)
Ini menunjukkan bahwa adzab di hari kiamat tidak sama dengan adzab yang sekarang mereka rasakan di alam kubur. Meskipun mereka secara dzhahir tidak dikuburkan, bahkan mayat Fir’aun sendiri diselamatkan dan tidak dimasukkan ke dalam liang lahat, tetapi mereka sekarang disiksa di alam kubur. Oleh karena itu alam kubur disebut juga dengan alam barzakh, alam barzakh adalah perantara antara alam dunia dan alam akhirat. Meskipun seseorang tidak dikubur secara dzhahir tetapi dia tetap akan masuk ke alam barzakh. Meskipun dia dimakan oleh ikan hiu, mayatnya dicincang-cincang, atau dicabik-cabik oleh hewan semisal singa atau harimau maka tetap saja ruhnya masuk ke dalam alam barzakh. Diantaranya jasad Fir’aun yang selamat dan bala tentaranya yang mati tenggelam dalam lautan tidaklah dikubur, tetapi kata Allah mereka sekarang tetap disiksa. Itulah adzab pertama yang mereka rasakan, dan adzab terakhir nanti yaitu pada hari kiamat nanti dimana Fir’aun dan para pengikutnya akan mendapatkan adzab yang lebih pedih.
Pendapat yang kedua sebagaimana pendapat sebagian sahabat mengatakan bahwa siksaan yang pertama adalah perkataan Fir’aun kepada penduduk kota Mesir dimana dia mengatakan, “Wahai penduduk Mesir, aku tidak mengetahui ada Tuhan kalian selain aku.” Allah berfirman :
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
Dan berkata Fir´aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku” (QS Al-Qosos : 38)
Adapun siksaan yang terakhir (yang kedua) adalah atas perkataan Fir’aun أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” Dan jarak antara perkataan pertama dan perkataan kedua adalah 40 tahun. (lihat Tafsir At-Thobari 24/83-84 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/317).
Ibnu Abbas berkata :
أَمْهَلَهُ فِي الْأُولَى، ثُمَّ أَخَذَهُ فِي الْآخِرَةِ، فَعَذَّبَهُ بِكَلِمَتَيْهِ
“Allah membiarkan Fir’aun pada perkataannya yang pertama, lalu Allah menghukumnya tatkala mengucapkan perkataannya yang kedua, maka Allah mengadzabnya dengan dua perkataannya tersebut” (Tafsiir Al-Qurthubi 19/202)
Ini menunjukan bahwa Allah membiarkan Fir’aun berbuat dzolim akan tetapi Allah tidak lalai dengannya. Nabi ﷺ bersabda :
إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
“Sesungguhnya Allah membiarkan orang yang dzolim, hingga tatkala Allah menyiksanya makai a tidak akan lolos” (HR Al-Bukhari no 4686)
Pendapat ketiga : Siksaan yang pertama yaitu akibat pendustaannya kepada Musa, dan siksaan kedua akibat perkatannya “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”. Hal ini sebagaimana dzohir ayat
“Tetapi dia (Fir’aun) mendustakan dan dan mendurhakai” lalu firman Allah berikutnya “Fir’aun (seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (lihat Tafsir al-Qurthubi 19/202)
Ini semua memberi faidah kepada kita bahwa adzab di akhirat bukan hanya berkaitan dengan amaliah saja, bukan hanya karena merampok, berzina, mencuri seseorang itu diadzab. Tetapi sesat dalam masalah keyakinan dan perkataan pun juga akan diadzab oleh Allah ﷻ.
Demikian juga menunjukan bahwa Allah jika mengadzab maka dengan detail, karenanya Allah mengadzab Fir’aun karena perkataannya yang pertama dan perkataannya yang kedua. Oleh karena itu, orang-orang kafir pun di akherat ketika diadzab akan dibedakan oleh Allah. Orang kafir yang baik, sering membantu kaum muslim, jika bertemu dengan seorang muslim dia senyum, meskipun dia tetap kekal di neraka jahannam tetapi tidak akan sama adzab yang akan didapatkan dengan orang kafir yang jahat, suka merampok, membunuh, dan suka berbuat dzhalim.
Demikian juga menunjukan bahwa manusia kesombongannya bisa bertambah-tambah. Pada awalnya Fir’aun hanya berkata : “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku” (QS Al-Qosos : 38), awalnya iapun hanya berkata
يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَٰذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي ۖ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
”Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai ini mengalir di bawahku, apakah kalian tidak melihat?”.” (QS Az-Zukhruf : 51)
Dan akhirnya setelah 40 tahun ia berkata, أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan hikmah menceritakan kisah Fir’aun.
[26]. إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَىٰ
“Sungguh pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang yang takut (kepada Allah)”
Tujuan Allah menceritakan kisah Fira’un dan bagaimana kehancurannya kepada orang-orang musyirikin adalah untuk menjelaskan bahwa orang-orang yang mengingkari hari akhirat nasibnya akan sama dengan Fir’aun yaitu akan diadzab oleh Allah ﷻ Para kaum musyrikin mengetahui tentang kisah Fir’aun karena kisah Fir’aun merupakan kisah yang masyhur. Jika mereka para musyirikin arab juga ikut mengingkari hari kebangkitan niscaya nasib mereka akan sama seperti Fir’aun.
Bersambung Insya Allah…