Mengapa Nabi sangat Mencintai Khadijah?
Bukanlah perkara yang mengherankan jika Nabi ﷺ sangat mencintai Khadijah. Hal ini dikarenakan banyak sebab diantaranya:
Pertama : Khadijah adalah cinta pertama Nabi ﷺ. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang cinta pertama sulit untuk dilupakan. Penyair berkata :
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى . فَماَ الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
وَكَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى . وَحَنِيْنُهُ أبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ
Pindahkanlah hatimu kepada siapa saja yang engkau mau
Namun kecintaan (sejati) hanyalah untuk kekasih yang pertama
Betapa banyak tempat di bumi yang sudah biasa ditinggali seorang pemuda
Namun selamanya kerinduannya selalu kepada tempat yang pertama ia tinggali
Kedua : Khadijahlah yang telah memberikan keturunan kepadanya. Dari Khadijah Allah telah menganugerahkan kepada Nabi 2 orang putra (Abdullah dan Qasim) dan 4 orang putri (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah)
Ketiga : Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ disaat kebanyakan orang mendustakan beliau.
Rasūlullāh ﷺ bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR Muslim no. 1017)
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Ibnu Hajar berkata : “Diantara keistimewaan Khadijah adalah ia merupakan wanita pertama umat ini yang beriman. Dialah yang pertama kali mencontohkan hal ini bagi setiap orang yang beriman setelahnya, maka bagi Khadijah seperti pahala seluruh wanita sesudahnya sebagaimana dalam hadits “Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik maka baginya seperti pahala orang yang menjalankannya…”. Dan keistimewaan yang dimiliki oleh Khadijah ini juga dimiliki oleh Abu Bakar As-Shiddiq berkaitan dengan pahala kaum pria yang beriman setelah Abu Bakar. Tidak ada yang mengetahui besarnya pahala yang diraih oleh Abu Bakar dan Khadijah karena keistimewaan ini kecuali Allah Azza wa Jalla.” (Fathul Baari 7/137)
Keempat : Khadijahlah yang telah mengorbankan hartanya demi dakwah yang dilakukan suaminya. Dialah yang ikut memikul beban dakwah yang dirasakan dan dipikul oleh sang suami. Tidak seperti sebagian wanita yang justru menghalangi suaminya untuk berdakwah.
Kelima : Khadijah adalah seorang istri yang ketika sang suami menghadapi kesulitan dan kegelisahan maka ia pun bersegera menenangkan hatinya. Tidak sebagaimana sebagian istri yang semakin menambah beban sang suami yang sudah berat memikul beban kehidupan.
Tatkala Nabi ﷺ pertama kali menerima wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril dengan bentuknya yang sangat dahsyat, Nabi pun ketakutan dan segera turun dari gua Hira menuju rumah Khadijah, lantas ia berkata, لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي “Aku mengkhawatirkan diriku”, maka Khadijah menenteramkan hati suaminya seraya berkata dengan perkataan yang indah yang terabadikan di buku-buku hadits,
كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Sekali-kali tidak, bergembiralah. Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah.” (HR Al-Bukhari no 3 dan Muslim no 160)
Khadījah selalu menguatkan dakwah suaminya, tidak pernah melemahkannya sedikitpun bahkan selalu mendorong suaminya untuk berdakwah. Tidak seperti sebagian wanita yang mengatakan: “Sudahlah, jangan dakwah terus, lelah.”
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan diantara perkara yang menakjubkan yaitu Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā tidak pernah merasakan kelezatan hidup saat Islam jaya. Beliau meninggal sebelum Rasūlullāh ﷺ memperoleh kemenangan-kemanangan. Khadījah meninggal 3 tahun sebelum Rasūlullāh ﷺ berhijrah, masa-masa dimana Islam ditekan, para shahābat dibunuh dan diintimidasi oleh orang-orang kafir Quraisy. Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā ditinggalkan oleh teman-temannya, wanita-wanita Quraisy tidak ingin berteman dengan Khadījah karena dia mengikuti suaminya. Ini bukanlah perkara yang ringan bagi seorang wanita.
Menurut para ulama, Allāh ingin menyimpan seluruh pahala Khadījah, tidak diberikan di dunia tetapi diberikan seluruhnya di akhirat.
Keenam : Khadijah adalah seorang istri yang sangat taat kepada suaminya. Ia tidak pernah melelahkan suaminya, apalagi sampai membuat suaminya mengangkat suara atau ia sendiri yang mengangkat suaranya di hadapan suaminya. Ia adalah wanita yang sabar meskipun letih dalam mendidik anak-anaknya.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
أَتَى جِبْرِيْلُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ الله هَذِهِ خَدِيْجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيْهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصب لاَ صَخَبَ فِيْهِ وَلاَ نَصْبَ
“Jibril mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata, “Ya Rasulullah, Khadijah telah datang membawa tempayan berisi kuah daging atau makanan atau minuman, jika ia tiba sampaikanlah kepadanya salam dari Rabbnya dan dariku, serta kabarkanlah kepadanya dengan sebuah rumah di surga dari mutiara yang tidak ada suara keras (hiruk pikuk) di dalamnya dan juga tidak ada keletihan.” (HR Al-Bukhari no 3820 dan Muslim no 2432)
Sungguh tinggi dan mulia kedudukan Khadijah sampai-sampai Allah mengirim salam kepadanya. Apabila kita sangat bahagia jika ada seorang pembesar atau pejabat atau ulama bahkan ustadz yang mengirim salam kepada kita, bagaimana lagi jika itu Rabb kita, Pencipta alam semesta ini yang mengirim salam kepada kita.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لِأُبَيٍّ: «إِنَّ اللهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ»، قَالَ: آللَّهُ سَمَّانِي لَكَ؟ قَالَ: «اللهُ سَمَّاكَ لِي»، قَالَ: فَجَعَلَ أُبَيٌّ يَبْكِي
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah ﷺ berkata kepada Ubay bin Ka’ab, “Sesungguhnya Allāh memerintahkan kepadaku untuk membacakan Al-Qurān kepadamu.” Maka Ubay bin Ka’ab berkata: “Allāh sebut namaku kepada engkau?” Kata Rasūlullāh ﷺ: “Iya”. Maka Ubay bin Ka’ab pun menangis (karena bahagia –pent). (HR Muslim no 799)
Sebagian ulama menyebutkan kenapa istana Khadījah di dalamnya tidak ada kegaduhan dan hiruk pikuk, hal ini karena karena Khadījah selama 25 tahun hidup bersama Nabi ﷺ tidak pernah berteriak kepada Nabi ﷺ dan kepada anak-anaknya, sehingga Allāh membalas dengan surga yang tenang. Apakah ada wanita sekarang yang tidak pernah mengangkat suaranya kepada suaminya?
Khadijah juga tidak pernah mengeluhkan keletihan karena telah berletih-letih membelanjakan hartanya seluruhnya untuk dakwah Nabi dan mengurus anak-anaknya agar Nabi bisa konsentrasi berdakwah.
Sesungguhnya ganjaran pahala sesuai dengan perbuatan. As-Suhaili berkata, “Ketika Khadijah diseru oleh suaminya untuk masuk Islam maka serta merta beliau taat dan tidak menolak sehingga tidak perlu menjadikan suaminya mengangkat suaranya dan tidak perlu keletihan. Bahkan Khadijah telah menghilangkan seluruh keletihan dari suaminya, menghilangkan rasa kesendirian suaminya, bahkan meringankan seluruh kesulitan suaminya, maka tepat sekali jika rumahnya di surga yang telah diberi kabar gembira oleh Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai.” (Fathul Baari 7/138)
Khadijah dijanjikan sebuah rumah di surga, yaitu istana di surga, karena Khadijah adalah yang pertama kali membangun rumah Islam, tatkala itu tidak ada satu rumah Islam pun di atas muka bumi. (Lihat Faidhul Qadir 2/241)
Sebagian ulama menyatakan bahwa Khadijah diberi balasan dengan istana di surga yang tidak ada rasa letih sama sekali karena beliau telah letih dalam mendidik anak-anak beliau. Sehingga sangat sesuai jika dibalas dengan surga yang penuh dengan istirahat tanpa kelelahan sedikitpun. (Kasyful Musykil min hadits as-shahihaini 1/444)
Nabi ﷺ Terus Mengenang Khadijah
Tiga tahun sebelum Nabi ﷺ berhijrah ke Madinah, Khadijah wafat. Nabi sangat bersedih atas wafatnya Khadijah, istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai para ahli sejarah menamakan tahun wafatnya Khadijah dengan tahun kesedihan bagi Nabi.
Setelah wafatnya Khadijah, kecintaan Nabi tetap melekat di hati beliau. Beliau masih tetap sering menyebut-nyebut Khadijah, bahkan beliau memberikan hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah radhiallahu ‘anhaa, hingga seakan-akan sepertinya tidak ada wanita di dunia ini kecuali Khadijah.
Aisyah bertutur :
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi ﷺ seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi ﷺ selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi ﷺ menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi ﷺ berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian dan aku memiliki anak-anak darinya.” (HR Al-Bukhari no 3907)
Khodijah meninggal di masa-masa Islam masih dalam kondisi sulit, Ia belum sempat merasakan jayanya Islam, belum sempat merasakan suaminya menjadi seorang pemimpin kaum muslimin, menjadi seorang panglima perang, menjadi seorang pemimpin yang ditakuti dan digentari oleh kaum kafir. Allah mewafatkannya sebelum ada kenikmatan dunia yang ia rasakan. Semoga Allah menyempurnakan pahalanya di akhirat.
Kalung Sang Kekasih
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata dalam sirohnya :
“Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ adalah salah seorang dari penduduk kota Mekah yang dikenal dengan perdagangannya, hartanya yang banyak, serta terkenal dengan sifat amanah. Abul ‘Ash adalah keponakan Khadijah (karena Ibu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwailid, saudari perempuan Khodijah Binti Khuwailid radhiallahu ‘anhaa).
Khadijahlah yang telah meminta Rasulullah ﷺ untuk menikahkan Abul ‘Aash dengan Zainab putri Rasulullah ﷺ. Dan Nabi tidak menyelisihi permintaan Khadijah, maka Nabi pun menikahkan putrinya Zainab dengan Abul ‘Ash. Pernikahan ini terjadi sebelum turun wahyu (sebelum Nabi diangkat menjadi seorang Nabi). Bahkan Nabi menganggap Abul ‘Ash seperti anak sendiri.
Tatkala Allah memuliakan Nabi dengan wahyu kenabian maka berimanlah Khadijah serta seluruh putri-putrinya termasuk Zainab, akan tetapi Abul ‘Ash (suami Zainab) tetap dalam keadaan musyrik.
Nabi juga telah menikahkan salah seorang putrinya (Ruqayyah atau Ummu Kaltsum) dengan putra Abu Lahab yaitu ‘Utbah bin Abi Lahab.
Tatkala Nabi mendakwahkan perintah Allah dan menunjukkan permusuhan kepada kaum musyrikin maka mereka berkata, “Kalian telah membuat santai Muhammad dari kesulitannya, kembalikanlah putri-putrinya agar ia tersibukkan dengan putri-putrinya!!”.
Merekapun mendatangi ‘Utbah putra Abu Lahab lalu berkata, “Ceraikanlah putri Muhammad, niscaya kami akan menikahkan engkau dengan wanita Quraisy mana saja yang kau kehendaki!”. ‘Utbah berkata, “Aku akan menceraikannya dengan syarat kalian menikahkan aku dengan putrinya Sa’id bin Al-‘Ash”. Akhirnya mereka menikahkan ‘Utbah dengan putri Sa’id bin Al-‘Ash dan ‘Utbah pun menceraikah putri Nabi sebelum berhubungan tubuh dengannya. Dengan perceraian tersebut Allah telah memuliakan putri Nabi dan sebagai kehinaan bagi ‘Utbah. Setelah putri Nabi diceraikan oleh ‘Utbah, dia kemudian dinikahi oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Para pembesar-pembesar kafir Quraisy pun mendatangi Abul ‘Ash lalu mereka berkata, “Ceraikanlah istrimu itu, kami akan menikahkan engkau dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari Quraisy!” Abul ‘Ash berkata, “Demi Allah aku tidak akan menceraikan istriku, dan aku tidak suka istriku diganti dengan wanita Quraisy mana saja.” (Perkataan Ibnu Ishaq ini dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam sirohnya 1/651-652 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah 3/379)
Khadijah radhiallahu ‘anhaa memiliki sebuah kalung yang dipakainya. Tatkala Zainab putrinya menikah dengan keponakan Khadijah Abul ‘Ash maka Khadijah menghadiahkan kalung tersebut kepada Zainab untuk dikenakan oleh Zainab tatkala malam pengantin dengan Abul ‘Ash.
Setelah Nabi diberi wahyu kenabian maka seluruh putri-putri Nabi masuk Islam. Adapun Abul ‘Ash suami Zainab tetap dalam kemusyrikannya.
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata, “Rasulullah tatkala di Mekah tidak bisa menghalalkan dan mengharamkan, beliau tidak berkuasa. Islam telah memisahkan antara Zainab dengan Abul ‘Ash bin Ar-Robi’, hanya saja Rasulullah tidak mampu untuk memisahkan mereka beruda. Zainab pun tinggal bersama Abul ‘Ash yang dalam keadaan musyrik hingga Rasulullah berhijrah ke Madinah. Tatkala terjadi perang Badar, sala satu pasukan Quraisy adalah Abul ‘Ash bin Ar-Robi’ yang akhirnya menjadi tawanan perang Badar, dibawalah ia ke sisi Rasulullah ﷺ di Madinah.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam sirohnya 1/252 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 3/379-380)
Lalu Nabi ﷺ memberikan kesempatan kepada penduduk Mekah yang mau membebaskan para tawanan perang Badar untuk membayar tebusan. Diantara mereka ada yang dibayar hingga 4000 dirham (sekitar 400 dinar, dan satu dinar kurang lebih 4 1/4 gram emas) seperti Abu Wada’ah, ada yang ditebus dengan 100 uqiyah (sekitar 3 kg emas, karena 1 uqiyah sekitar 30 gram emas) seperti Al-Abbas bin Abdil Muttholib, dan ada yang hanya 40 uqiyah seperti Al-‘Aqil bin Abi Thalib. (Lihat As-Siiroh An-Nabawiyah fi Dhai’ Al-Mashadir Al-Ashliyah hal 359)
Kalung Yang Mengingatkan Nabi Kepada Cinta Pertamanya
Tatkala Zainab yang berada di Mekah mendengar bahwa suaminya Abul ‘Ash menjadi tawanan perang di Madinah maka ia pun hendak menebus suaminya. Akan tetapi Zainab tidaklah memiliki apa-apa untuk menebus sang suami yang ia cintainya, kecuali hanya sedikit harta dan kalung pemberian ibunya Khadijah sebagai hadiah pernikahannya dengan suaminya.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata :
لَمَّا بَعَثَ أَهْلُ مَكَّةَ فِى فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ بَعَثَتْ زَيْنَبُ فِى فِدَاءِ أَبِى الْعَاصِ بِمَالٍ وَبَعَثَتْ فِيهِ بِقِلاَدَةٍ لَهَا كَانَتْ عِنْدَ خَدِيجَةَ أَدْخَلَتْهَا بِهَا عَلَى أَبِى الْعَاصِ. قَالَتْ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَقَّ لَهَا رِقَّةً شَدِيدَةً وَقَالَ «إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِى لَهَا». فَقَالُوا نَعَمْ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ عَلَيْهِ أَوْ وَعَدَهُ أَنْ يُخَلِّىَ سَبِيلَ زَيْنَبَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَرَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ «كُونَا بِبَطْنِ يَأْجِجَ حَتَّى تَمُرَّ بِكُمَا زَيْنَبُ فَتَصْحَبَاهَا حَتَّى تَأْتِيَا بِهَا»
“Tatkala penduduk Mekah mengirim harta untuk menebus para tawanan mereka, maka Zainab pun mengirim sejumlah harta untuk menebus suaminya Abul ‘Ash, Zainab mengirim bersama harta tersebut sebuah kalung yang dahulunya milik Khadijah, Khadijah memberikan kalung tersebut kepada Zainab tatkala Zainab menikah dengan Abul ‘Aash. Tatkala kalung tersebut dilihat oleh Rasulullah ﷺ maka Rasulullah pun sangat sedih kepada Zainab. Beliau berkata (kepada para sahabatnya), “Apakah kalian bisa membebaskan tawanan Zainab dan kalian kembalikan lagi kalungnya??” Maka para sahabat berkata, “Iya Rasulullah.” Akan tetapi Rasulullah ﷺ mengambil janji dari Abul ‘Ash agar membiarkan Zainab ke Madinah. Lalu Rasulullah mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari Anshar (untuk menjemput Zainab), beliau berkata kepada mereka berdua, “Hendaknya kalian berdua menunggu di lembah Ya’jij hingga Zainab melewati kalian berdua, lalu kalian berdua menemaninya hingga kalian membawanya ke Madinah.” (HR Abu Dawud no 2694 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Ketika Nabi ﷺ melihat kalung tersebut maka Nabi sangat bersedih mengingat kondisi putrinya Zainab yang bersendirian di Mekah, dan juga sangat sedih karena mengingat kembali cinta pertamanya Khadijah radhiallahu ‘anhaa dan bagaimana kesetiaan istrinya tersebut. Karena kalung tersebut dahulu adalah milik Khadijah dan dipakai oleh Khadijah di lehernya. (Lihat ‘Auunul Ma’buud 7/254). Kalung tersebut mengingatkan beliau kepada Khadijah yang sangat dicintainya yang merupakan ibu dari anak-anaknya. (Lihat Al-Fath Ar-Rabbaniy 14/100-101). Hal inilah yang menjadikan Nabi membebaskan Abul ‘Ash suami putrinya Zainab dan sekaligus keponakan Istrinya Khadijah tanpa tebusan sama sekali.
Demikianlah, semoga Allāh memberikan balasan yang setinggi-tingginya kepada Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā yang telah banyak berjasa sehingga tersebarnya Islam yang didakwahkan oleh suaminya, Rasūlullāh ﷺ.
Bersambung Insya Allah…