Artikel sebelumnya: Sikap Seorang Muslim Menyikapi Harta (Bagian 1)
6. Syariat tidak menganjurkan kita miskin dan meninggalkan mencari harta.
Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al-Qashash : 77)
Dunia itu harus ada, dan tidak mungkin kita bisa menuju akhirat tanpa melalui dunia. Dunia harus kita miliki sebagai sarana untuk mengantarkan kita kepada akhirat.
Oleh karenanya terlalu banyak ayat yang menyebutkan tentang karunia Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap manusia dengan harta yang Allah anugerahkan kepada manusia. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29)
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan karunia dalam rangka untuk memuji dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jika sekiranya mengambil harta adalah sesuatu yang terhina, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan memuji diriNya dengan menyebutkan karunia yang Dia berikan kepada manusia. Karena pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hambaNya adalah karunia.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’alaa juga berfirman,
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8)
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl : 8)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala melarang orang-orang yang mengharam-haramkan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (32)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 32)
Dijelaskan oleh para ulama di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimyah rahimahullah, bahwa seluruh harta dan nikmat yang Allah ciptakan asalnya untuk orang yang beriman. Mahfum mukhalaf dari ayat ini kata para ulama, bahwa harta dan kenikmatan itu pada dasarnya haram bagi orang kafir. Oleh karenanya setiap kenikmatan dan harta yang mereka cicipi di dunia ini akan diazab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ (20)
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): ‘Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik’.” (QS. Al-Ahqaf : 20)
Berbeda dengan orang yang beriman, Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kenikmatan dan tidak memberikan azab kelak di akhirat karena mereka telah menggunakannya di dunia dengan tepat. Adapun orang kafir, setiap nikmat yang mereka rasakan akan dibalas dengan azab karena kenikmatan yang mereka dapatkan digunakan untuk beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta’ala bahkan memerintahkan untuk mencari karunianya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15)
Dari ayat ini semakin menegaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak melarang seseorang mencari harta, melainkan sebagai motivasi seseorang untuk mencari harta. Hanya saja perlu untuk diingat bahwa kita akan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah : 10)
Dalam sebagian ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala seakan-akan memancing kita untuk berusaha mencari kenikmatannya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (14)
“Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl : 14)
Dalam ayat ini, kata وَتَسْتَخْرِجُوا (istikhraj) maknanya membutuhkan usaha. Sehingga ayat ini mengisyaratkan bahwa ada usaha dalam mencari karunia Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang meminta-minta. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dan dipikul di punggungnya, itu lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari no. 2074)
Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Imam Ahmad, dan Abu Daud, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Apabila hari kiamat hendak ditegakkan, dan di tangan seseorang masih terdapat fashilah[1], maka jika ia mampu menanamnya sebelum hari kiamat maka tanamlah.”[2]
Ini adalah gambaran yang luar biasa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bagaimana agar seseorang senantiasa berusaha dan tidak pasrah.
Dari sini kita pahami bahwasanya tidak mengapa seseorang mencari harta, bahkan dalil-dali di atas merupakan dalil anjuran untuk berusaha. Terlebih lagi kalau harta yang kita miliki tersebut kita gunakan untuk dakwah di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, pendidikan Islam, membangun masjid, dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan umat Islam, maka tentu pahalanya sangat luar biasa.
7. Keutamaan orang kaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang disebutkan dalam hadits yang sahih,
نِعْمًا المَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang salih (baik).” (HR. Ahmad no. 17798)
Jika harta dimiliki oleh orang salih, maka itulah sebaik-baik harta. Alasannya adalah karena orang tersebut akan menyalurkan hartanya kepada hal-hal yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Terlalu banyak dalil-dalil baik dari Alquran dan sunnah yang memerintahkan seseorang untuk berinfaq. Dan anjuran berinfaq tersebut secara otomatis menunjukkan bahwa pentingnya untuk menjadi orang kaya, karena jika seseorang tidak kaya, maka bagaimana bisa dia berinfaq? Di antara firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang memerintahkan untuk berinfaq antara lain,
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (41)
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41)
Kebanyakan ayat di dalam Alquran tatkala menyebutkan tentang jihad, Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan jihad dengan harta daripada jihad dengan jiwa (diri), kecuali hanya sedikit ayat yang didahulukan penyebutan jihad dengan jiwa daripada jihad dengan harta. Tidak setiap saat seseorang bisa berjihad dengan jiwanya, akan tetapi berjihad dengan harta bisa dilakukan setiap saat oleh seseorang.
Oleh karenanya tidak heran kalau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. Bukhari no. 73)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hanya kepada dua jenis orang inilah yang boleh kita hasad kepadanya, yaitu orang yang berilmu dan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Ketahuilah bahwa dakwah ini tidak mungkin berjalan dengan baik kecuali dengan adanya dua model orang ini. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala dengan hikmahNya, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menikahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah radhiallahu ‘anhu yang kaya raya, sehingga akhirnya harta yang dimiliki Khadijah diberikan seluruhnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ
“Dan dia (Khadijah) membantuku dengan hartanya tatkala manusia menutup diri dariku (tidak membantuku).” (HR. Ahmad no. 24908)
Dan di antara hikmah Allah Subhanahu wa ta’alaa juga adalah diawal dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu seorang saudagar yang kaya raya, yang membeli para budak yang disiksa termasuk Bilal bin Rabbah untuk dibebaskan. Oleh karenanya masalah harta bukanlah hal yang disepelakan, karena kepada merekalah –yaitu orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah- seseorang boleh hasad.
Orang yang memilki harta dan digunakan di jalan Allah Subhanahu wa ta’alaa, maka dia akan banyak pahala yang akan dia raih dengan harta yang dia infakkan tersebut. Oleh karenanya disebutkan bahwa para sahabat dari kalangan fuqara’ Muhajirin cemburu kepada sahabat Anshar yang kaya raya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى، وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ، فَقَالَ: «وَمَا ذَاكَ؟» قَالُوا: يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَتَصَدَّقُ، وَيُعْتِقُونَ وَلَا نُعْتِقُ، فَقَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَلَا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ؟ وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ» قَالُوا: بَلَى، يَا رَسُولُ اللهِ قَالَ: «تُسَبِّحُونَ، وَتُكَبِّرُونَ، وَتَحْمَدُونَ، دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً» قَالَ أَبُو صَالِحٍ: فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا، فَفَعَلُوا مِثْلَهُ، فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ»
“Orang-orang fakir Muhajirin datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata; “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa maksud kalian?” Mereka menjawab: “Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan budak dan kami tidak bisa melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab; “Tentu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Abu shalih berkata; “Tidak lama kemudian para fuqara’ Muhajirin kembali ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Ternyata teman-teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (Muttafaqun ‘alaih)[3]
Lihatlah bagaimana semangatnya para sahabat berlomba-lomba dalam beramal salih. Mereka tidak cemburu kepada orang-orang kaya karena kekayaannya, akan tetapi karena orang-orang kaya bisa mendapatkan pahala yang tidak bisa didapatkan oleh para fuqara Muhajirin. Oleh karenanya orang yang memiliki harta yang banyak dan benar-benar dia gunakan di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia bisa memborong pahala yang banyak di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ingatlah pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).” (Shahihul Jami’ no. 3289)
Dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا
“Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah rasa senang (kebahagiaan) yang engkau masukkan kedalam seorang muslim, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunaskan hutang-hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani no. 861 dalam Mu’jam Ash-Shaghir)
8. Barangsiapa yang berinfak di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan menambahkan rezekinya.
Allah berfirman dalam hadits qudsi,
أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
“Berinfaklah wahai anak cucu Adam, niscaya Aku akan berinfak kepadamu (memberi ganti).” (Muttafaqun ‘alaih)[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588)
Tentu dalam perkara ini memerlukan keimanan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mencela sifat pelit. Dan kalau kita perhatikan, di dunia ini orang Islam kaya itu banyak, akan tetapi yang pelit juga banyak. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Dan tidak akan berkumpul sikap kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selamanya.” (HR. An-Nasa’i no. 3110)
Maka seseorang yang pelit dengan hartanya menunjukkan bahwa imannya terhadap hari akhirat tidak beres. Karena meskipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta”, mereka tetap tidak yakin sehingga mereka hanya menyimpan-nyimpan harta karena rasa pelit.
Oleh karenanya yang mengkhawatirkan bagi kita adalah banyaknya orang-orang kaya namun pelit. Dan karena hal ini pula ada seorang ahli ilmu yang menulis kitab berjudul Al-Bukhala’, yaitu kitab yang menceritakan kisah orang-orang pelit.
Oleh karenanya cobalah lihat bagaimana dermawannya para sahabat. Contohnya adalah Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu, yang pernah menangis karena takut hartanya menghalanginya masuk surga, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa dia termasuk penghuni surga. Akan tetapi beliau menangis karena takut terlambat masuk ke dalam surga karena hisab yang begitu banyak atas hartanya, sementara sahabat-sahabatnya yang lain telah masuk terlebih dahulu. Kita tahu bahwa Abdurrahman bin ‘Auf adalah seorang saudagar kayak yang datang dari Mekkah ke Madinah dalam keadaan miskin. Tatkala dipersaudarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Rabi’, ia ditawarkan separuh dari harta Sa’ad bin Rabi’, akan tetapi Abdurrahman bin ‘Auf memilih untuk ditunjukkan pasar agar ia bisa berdagang. Akhirnya Abdurrahman bin ‘Auf pun berdagang hari demi hari hingga akhirnya menjadi saudagar yang kaya raya lagi, dan akhirnya menikahi wanita Anshar. Abdurrahman bin ‘Auf adalah orang yang terkenal sangat kaya dan senang berinfaq, bahkan semakin dia berinfaq maka semakin Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kekayaan kepadanya. Disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa Abdurrahman bin ‘Auf memiliki empat orang istri, dan tatkala beliau meninggal diberikan warisan bagi satu orang istri sebanyak 100.000 dinar. Dan jika kita hitung-hitung dari hukum waris, maka istri mendapatkan 1/8 dari harta suami. Maka jika total warisan yang didapatkan oleh keempat istri Abdurrahman bin ‘Auf adalah 400.000 dinar, dan angka tersebut adalah 1/8 dari harta Abdurrahman bin ‘Auf. Sehingga total harta Abdurrahman bin ‘Auf adalah 3.200.000 dinar. Akan tetapi ketahuilah, meskipun Abdurrahman bin ‘Auf memiliki harta yang banyak, ia tidak pernah merasa percaya diri dan ujub atas apa yang dia infakkan. Berbeda dengan sebagian orang yang tatkala memberikan infaq, dia senantiasa mengungkit-ngungkit jasanya. Akan tetapi Abdurrahman bin ‘Auf berinfaq semata-mata karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Sampai-sampai suatu saat Sa’ad bin Jubair pernah melihat ada orang yang tawaf di Ka’bah yang setiap dia bertawaf orang tersebut berdoa,
اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي، اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي
“Ya Allah jauhkan aku dari sifat pelit, Ya Allah jauhkan aku dari sifat pelit.”
Sa’ad bin Jubair tatkala mendengarkan doa tersebut menyangka bahwa apakah orang tersebut adalah orang yang pelit sehingga dia harus berdoa seperti itu? Akan tetapi seteleh dicari tahu, ternyata orang tersebut adalah Abdurrahman bin ‘Auf yang terkenal suka berinfaq.
Inilah beberapa perkara yang bisa kita bahas dalam pembahasan kesempatan kali ini. Intinya adalah harta bukanlah hal yang tersecela, justru sangat dianjurkan dalam syariat jika seseorang yang memiliki harta, kemudian harta tersebut digunakan di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga hal tersebut akan menaikkan derajatnya di akhirat kelak. Akan tetapi orang-orang yang memiliki harta namun digunakan pada perkara-perkara yang sia-sia dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka harta tersebut akan mendatangkan kecelakaan baginya di akhirat kelak. Wallahu a’lam bisshawab.
Selesai, Alhamdulillah.
Keterangan:
1 Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa makna fashilah adalah benih kurma untuk ditanam.
2 HR. Bukhari no. 479 dalam Al-Adabul Mufrad
3 HR. Bukhari no. 843 dan HR. Muslim no. 595, dengan lafadz Imam Muslim
4 HR. Bukhari no. 5352 dan HR. Muslim no. 993