Istilah “Sholat Arba’in” merupakan istilah yang sangat dikenal oleh para jama’ah haji Indonesia. Para jama’ah haji yang hanya diberi kesempatan 8 hari di Kota Suci Madinah benar-benar berusaha keras untuk bisa sholat selama 40 waktu di masjid Nabawi. Ini artinya tidak boleh ada 1 waktu sholatpun yang ketinggalan, karena waktu yang ada hanya 8 hari.
Sehingga :
– Sering kali kita mendapati jama’ah haji yang berwajah murung penuh dengan kesedihan karena terluputkan satu waktu sholat, tentunya karena ada udzur tertentu, sehingga akhirnya ia tidak berhasil menyempurnakan bilangan 40 waktu.
– Ada pula yang merasa dosa-dosanyalah di Indonesia yang menjadikan ia terhalangi dari menyempurnakan sholat Arba’in.
– Di lain sisi, sering pula terlihat jama’ah haji yang berlari-lari dari hotel menuju masjid karena kawatir ketinggalan sholat berjam’ah, sehingga iapun masuk dalam saf imam dalam kondisi lelah dan ngos-ngosan. Bahkan tidak jarang juga yang meskipun telah berlari akhirnya ketinggalan takbiratur ihram.
– Demikian juga bahkan hingga ada jam’ah haji yang mendapatkan fatwa yang tidak bertanggung jawab untuk membolehkan bertayammum di masjid Nabawi agar tidak ketinggalan sholat arba’in?!
– Sebaliknya ada jama’ah haji yang setelah menyelesaikan arba’in (40) sholat, tidak mau lagi ke mesjid Nabawi karena merasa sudah sukses meraih 40 waktu, padahal masih ada bisa mendapat bonus hingga 41 atau 42 waktu.
Lalu sebenarnya apakah landasan para jama’ah haji berusaha keras untuk bisa melaksanakan “Sholat Arba’in”?
Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya no 12583 membawakan hadits ini, beliau berkata:
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى، قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدُ اللهِ وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنَ الْحَكَمِ بْنِ مُوسَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الرِّجَالِ، عَنِ نُبَيْطِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً، لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda : “Barang siapa yang sholat di masjidku empat puluh sholat dan tidak ada satu sholatpun yang terlewatkan maka dicatat baginya terbebaskan dari neraka, keselamatan dari adzab, dan terbebaskan dari kemunafikan”
Sanad Al-Imam Ahmad adalah : Al-Hakam bin Musa, dari Abdurrahman bin Abi Ar-Rijaal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth dengan jalur yang sama, setelah itu Ath-Thobroni berkata :
لم يرو هذا الحديث عن أنس إلا نبيط بن عمر تفرد به عبد الرحمن بن أبي الرجال
“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Anas kecuali Nubaith bin Umar, dan Abdurrahman bin Abi Ar-Rijaal telah bersendirian dalam meriwayatkan dari Nubaith” (Al-Mu’jam Al-Awshoth 5/325 no 5444)
Dengan demikian hadits ini bermasalah dari 2 sisi :
Pertama : Kedudukan perawi Nubaith bin Umar, ia adalah seorang perawi yang majhul, tidak dikenal kecuali dalam periwayatan ini. Adapun pentautsiqan Ibnu Hibban terhadap Nubaith maka tidak diterima, karena perawi majhul memang dinilai tsiqoh oleh Ibnu Hibban
Kedua : Nubaith juga telah bersendirian dalam menyebutkan “pengkhususan masjid nabawi”. Dan hal ini menyelisihi para perawi yang lain yang juga meriwayatkan dari Anas bin Malik tentang keutamaan sholat arba’in namun:
1- Yang dimaksud adalah arba’in (40) hari dan bukan 40 waktu
2- Keutamaan tersebut bisa diperoleh di masjid mana saja dan tidak mengkhususkan masjid nabawi
Syaikh Al-Albani rahimahullah telah menyebutkan jalan-jalan dari hadits Anas bin Malik, akan tetapi dengan lafal :
مَنْ صَلَّى للهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُوْلَى ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ ،بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa yang sholat karena Allah 40 hari secara berjama’ah dan ia mendapati takbiratur ihram, maka dicatat baginya dua kebebasan, kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan” (HR At-Tirmidzi no 241)
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah setelah menyebutkan tiga jalan bagi riwayat hadits ini. Hadits Anas ini diriwayatkan secara marfu’ dan diriwayatkan secara mauquf, kalaupun mauquf maka hadits ini tetap dihukumi marfu’, karena isi hadits ini tidak mungkin diucapkan dengan ijtihad Anas bin Malik, dan Anas bin Malik tidak dikenal sebagai seorang yang mengambil riwayat dari Isroiliyaat.
Karenanya syaikh Al-Albani bukan hanya menghukumi hadits sholat arba’in dengan lemah, bahkan beliau menghukumi hadist tersebut dengan “munkar” karena telah menyelisihi riwayat-riwayat para perawi yang lain dari Anas bin Malik (Lihat Silsilah Al-Ahaadiits As-Shahihah 4/629 hadits no 1979)
Ketiga : Semakin menguatkan bahwa hadits sholat arba’in adalah munkar, ternyata hadits Anas yang (“Barang siapa yang sholat karena Allah 40 hari secara berjama’ah mendapati takbiratur ihram…”) juga diriwayatkan oleh 2 sahabat yang lain yaitu Abu Kahil radhiallahu ‘anhu dan Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani rahimahullah telah menyebutkan jalur periwayatannya dalam Silsilah Al-Ahaadits As-Shahihah 6/314 hadits no 2652.
Hadits sholat arba’in juga dinilai lemah oleh para ulama yang lain seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah dan Syu’aib Al-Aranuuth (dalam tahqiq Musnad Al-Imam Ahmad)
Peringatan :
Pertama : Bukan berarti tatkala kita atau para jama’ah haji mengetahui akan lemahnya hadits sholat arba’in lantas menggampang-gampangkan untuk meninggalkan sholat berjama’ah di masjid Nabawi. Akan tetapi hendaknya para jama’ah haji berusaha untuk terus sholat 5 waktu berjam’ah di masjid Nabawi. Karena sebagaimana kita ketahui bahwasanya sholat di masjid Nabawi pahalanya 1000 kali lipat lebih baik daripada sholat di masjid-masjid yang lainnya. Karenanya bisa kita banyangkan, jika seandainya seorang jama’ah haji bisa sholat seharian penuh 5 waktu di masjid Nabawi, maka hal ini sama saja seperti ia sholat 1000 hari di masjid Demak, mesjid Ampel, mesjid Istiqlal, dan masjid-masjid lainnya. Artinya sehari sholat di masjid Nabawi sama seperti 1000 hari di masjid yang lainnya, yaitu sekitar 3 tahun. Dan siapakah yang mampu sholat selama 3 tahun di masjid terus tidak ketinggalan jama’ah??!
Kedua : Maksud pembahasan lemahnya hadits sholat arba’in ini adalah untuk menghibur para jama’ah haji yang terkadang berudzur sehingga tidak bisa memenuhi bilangan 40 waktu tersebut. Bisa jadi ada jama’ah yang sakit, atau wanita yang haid, dan halangan-halangan yang lainnya. Dengan demikian para jama’ah tidak terlalu sedih, karena mereka tahu bahwasanya hadits sholat arba’in adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai argumen.
Ketiga : Para jema’ah haji hendaknya tatkala tiba di Madinah berusaha untuk terus sholat berjam’ah, sehingga jika suatu hari mereka berhalangan karena sakit dan lainnya, mereka akan tetap juga mendapatkan pahala sholat berjam’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berasbda :
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti amalan yang biasa ia lakukan tatkala tidak sedang safar dan tatkala sehat” (HR Al-Bukhari no 2996)
Keempat : Hendaknya para jam’ah haji tidak hanya membiasakan sholat berjama’ah tatkala hajian saja, lantas begitu kembali ke tanah air kembali juga meninggalkan sholat berjam’ah sebagaimana kebiasaan sebelum haji. Maka hendaknya para jama’ah haji menjadikan ibadah di tanah suci Madinah dan Mekah sebagai latihan untuk selalu sholat berjama’ah, sehingga tatkala pulang di tanah air menjadi terbiasa sholat secara berjama’ah.
Silahkan juga baca : (http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyorot-shalat-arbain-di-masjid-nabawi.html
dan
http://islamqa.info/id/34752)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 21-11-1435 H / 16 September 2014 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Assalamu’alaiku m ustadz Firanda, barakallahu fiik.
ustadz firanda ana mau tanya di luar kajian…maaf tp ini membuat ana selalu gelisah…mohon bantuan jawabannya
apakah boleh kita menggunakan gamis dan jubah untuk kehidupan ana sehari-hari…( ana sudah memakainya trus)
apakah termasuk berlebih-lebihan dalam hal berpakaian…ana punya toko..dan ketika mereka melihat ana menggunakan jubah dan celana yg ngatung mereka seolah-olah melihat ana aneh…ana sedih sekali..ana merasakan kenyamanan menggunakan pakaian ana..apa sikap yang harus ana ambil…ana takut kembali ke jaman jahiliyah ana ustad..takut sekali..ana tdk mau kembali seperti dulu..
syukron ustadz mohon balasannya