Majelis Fatwa DPP Perhimpunan Al-Irsyad
Penentuan Awal Ramadhan dan Idul Fitri
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah di waktu Allah menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram.” (At-Taubah: 36)
1. Perhitungan bulan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah bulan Qamariyyah, yang berjumlah 12 bulan dalam satu tahun.
2. Awal bulan Qamariyyah berpengaruh kepada banyak hukum-hukum dalam syariat Islam, antara lain: puasa Ramadhan, zakat, haji, puasa kaffarat, masa iddah dan bulan-bulan haram.
3. Bulan Qamariyyah dapat diketahui dengan dua cara:
a. Melihat hilal (rukyat hilal) pada malam ke-30 dari bulan sebelumnya. Dan jika hilal tidak terlihat maka:
b. Menyempurnakan bulan sebelumnya menjadi 30 hari, kemudian masuk pada bulan berikutnya.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حتى تَرَوْا الهِلاَلَ أوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حتى تَرَوْا الهِلاَلَ أوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Janganlah kalian mendahului suatu bulan sampai kalian melihat hilal atau menyempurnakan (bulan sebelumnya) menjadi 30, kemudian berpuasalah sampai kalian melihat hilal atau menyempurnakan bilangannya (menjadi 30).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).
4. Hadits di atas secara umum mencakup penentuan awal seluruh bulan termasuk Ramadhan dan Syawwal. Terdapat hadits-hadits khusus yang menjelaskan tentang penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan cara tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum.
Karena itu apabila hilal Ramadhan tidak terlihat pada tanggal 29 sya’ban karena mendung, tertutup awan, debu, atau lainnya maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Rasulullah Shallaallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إذا رَأيتُموهُ فصوموا، وإِذا رأَيتُموهُ فأفطِروا. فإن غُمَّ عليكم فاقْدُرُوا له”
“Bila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan bila kalian melihatnya, maka berbukalah (akhirilah masa berpuasa). Jika terjadi mendung, maka tentukanlah ia (bulan itu menjadi 30 hari).” (HR. Bukhari dan Muslim)
الشهرُ تِسعٌ وعشرونَ ليلةً، فلا تصومُوا حتّى تَرَوهُ، فإِنْ غُمَّ عليكم فأكمِلوا العِدَّةَ ثلاثين
“Bilangan bulan itu 29 malam. Maka janganlah berpuasa sampai melihat hilal. Kalau mendung maka sempurnakan bilangannya menjadi 30 hari.” (HR Bukhari)
Rukyat hilal (melihat bulan) yang dikehendaki dalam syariat adalah rukyat dengan mata telanjang, dan boleh juga dengan menggunakan alat bantu teropong. Namun yang menjadi sandaran utama adalah rukyat dengan mata telanjang.
5. Penetapan bulan Qamariyyah tidak dibenarkan dengan menyandarkan pada hisab falaky karena perkara-perkara berikut:
Pertama, hal ini menyalahi ijma’ (kesepakatan/konsensus) para ulama.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَلَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ قَدِيمٌ أَصْلًا وَلَا خِلَافٌ حَدِيثٌ ؛ إلَّا أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلَالُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلَّا فَلَا . وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِالْإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِهِ.
“Sama sekali tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) baik dulu ataupun sekarang; hanya ada sebagian muta-akhirin (orang yang datang belakangan) dari kalangan ahli fikih setelah abad ketiga, yang menyangka kalau hilal tertutup mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengamalkan metode hisabnya untuk dia amalkan sendiri. Jika secara hitungan hisabnya sudah menunjukkan bahwa (seharusnya) hilal sudah terlihat, maka ia berpuasa, dan jika tidak maka ia tidak berpuasa. Pendapat yang seperti ini (menggunakan metode hisab), walaupun disyaratkan hanya dilakukan ketika mendung dan hanya dipraktikan (puasanya) khusus untuk ahli hisab, namun pendapat ini adalah syadz (keliru) dan bahkan ijma’ telah terjadi sebelumnya yang bertentangan dengan pendapat tersebut.” (Majmuu’ al-Fataawaa 25/132)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَقَالَ بن الصَّبَّاغِ أَمَّا بِالْحِسَابِ فَلَا يَلْزَمُهُ بِلَا خِلَافٍ بَين أَصْحَابنَا قلت وَنقل بن الْمُنْذِرِ قَبْلَهُ الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ فِي الْإِشْرَافِ صَوْمُ يَوْمِ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ إِذَا لَمْ يُرَ الْهِلَالُ مَعَ الصَّحْوِ لَا يَجِبُ بِإِجْمَاعِ الْأُمَّةَ
Ibnu As-Shobbaag berkata: “Adapun dengan hisab, maka tidak mengharuskan untuk puasa. Tidak ada khilaf (perselisihan pendapat) di kalangan ulama madzhab kami.” Aku (Ibnu Hajar) berkata, “Sebelum beliau Ibnul Mundzir telah menukilkan adanya ijma’ (konsensus para ulama) tentang hal tersebut.” Beliau (Ibnul Mundzir) berkata -dalam kitab Al-Isyraaf: “Puasa pada hari ke-30 dari bulan Sya’ban jika tidak terlihat hilal, padahal langit dalam kondisi cerah, menjadi tidak wajib dengan adanya kesepakatan umat ini.” (Fathul Bari 4/123)
Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata:
وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِ التَّسْيِيرِ فِي ذَلِكَ وَهُمُ الرَّوَافِضُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ مُوَافَقَتُهُمْ قَالَ الْبَاجِيُّ وَإِجْمَاعُ السَّلَفِ الصَّالح حجَّة عَلَيْهِم وَقَالَ بن بَزِيزَةَ وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ
Sebagian orang berpendapat (jika terjadi mendung) maka merujuk kepada ahli falak. Mereka adalah Syi’ah Rafidhah, dan dinukil dari sebagian ahli fikih yang setuju dengan mereka. Al-Baaji berkata: “Dan ijma’ (konsensus) para salaf shalih merupakan hujjah yang membantah mereka”. Ibnu Bazizah berkata, “Ini (menjadikan hisab sebagai patokan, pent) adalah madzhab yang batil” (Fathul Baari 4/127)
Kedua, bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan Nabi tidak menggunakan hisab.
عن بْن عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ. أخرجه البخاري (1886) ، ومسلم (2455)
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Kami adalah umat yang tidak menulis dan tidak berhitung/hisab. Bulan adalah seperti ini dan seperti ini, yaitu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” (HR Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa dalam perkara hilal itu tidak perlu tulisan atau hitungan, sebab cukup dengan rukyat hilal atau ikmal yaitu menyempurnakan, jadi terkadang 29 dan terkadang 30 hari, sebagaimana telah disebutkan pada poin nomor 4.
Ketiga, hisab falaky dalam menetapkan bulan qamariyyah hanya memberikan kesimpulan zhan (dugaan) dan tidak sampai kepada yakin.
Sekadar contoh, pernah terjadi perbedaan pendapat antara Yordania dan Arab Saudi pada penentuan 1 Ramadhan 1407 H (1987 M). Pihak Yordania menyatakan bahwa pada tahun tersebut secara hisab hilal tidak mungkin terlihat karena hilal sudah tenggelam sekitar 20 menit sebelum terbenam matahari. Namun Arab Saudi membuktikan bahwa pada tahun tersebut hilal Ramadhan terlihat (silahkan baca http://www.binbaz.org.sa/article/248)
Kaidah fikih menyebutkan, “Keyakinan tidak bisa dibatalkan dengan keraguan”. Pada tanggal 29 Sya’ban, kita yakin bahwa kita masih sedang berada di bulan Sya’ban, dan jika malamnya tidak terlihat hilal maka masuknya kita ke bulan Ramadhan adalah suatu keraguan. Maka keraguan tersebut tidak bisa membatalkan keyakinan bahwa kita masih berada di bulan Sy’aban. Kita tidak bisa yakin masuk ke bulan Ramadhan kecuali dengan terlihatnya hilal atau jika tidak maka dengan menyempurnakan bilangan Sy’aban 30 hari.
Karenanya, Nabi melarang berpuasa pada hari yang diragukan (yaum syakk) karena keraguan akan bulan Ramadhan tidak bisa mengubah status yakinnya bulan Sya’ban. Nabi bersabda:
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari.” (HR. Al-Bukhari, No. 1914 dan Muslim, No. 1082)
Ammar bin Yasir berkata:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan maka ia sungguh telah bermaksiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Shahih Al-Bukhari 3/27)
Keempat, ternyata para ahli hisab juga memiliki metode yang berbeda-beda dalam menentukan awal bulan. Di antaranya:
1. Metode hisab urfi (kuno)
2. Metode hisab hakiki (modern).
Sementara yang menggunakan metode hisab hakiki juga berselesih menjadi beberapa metode, yaitu:
1. Metode al-ijtima’ qabla al-fajr
2. Metode al-ijtima’ qobla al-ghurub
3. Metode bulan terbenam setelah terbenamnya matahari
4. Metode imkaan ar-ru’yah (vasibilitas hilal)
5. Metode wujudul hilal (adanya hilal).
Metode-metode tersebut bisa menghasilkan perbedaan dalam penentuan awal bulan. Kalau kita bersandar dengan hisab lantas metode mana yang mau kita pakai?
Kelima, sebaliknya metode “terlihatnya hilal” justru memudahkan terjadinya persatuan dalam satu negara. Karena metode rukyatul hilal (melihat hilal) hanya memiliki satu metode. Caranya mudah, jika hilal tidak terlihat maka tinggal menyempurnakan bulan menjadi 30 hari. Berbeda dengan hisab yang memiliki banyak metode.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ فِي الْحَدِيثِ الْمَاضِي فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ وَلَمْ يَقُلْ فَسَلُوا أَهْلَ الْحِسَابِ وَالْحِكْمَةُ فِيهِ كَوْنُ الْعَدَدِ عِنْدَ الْإِغْمَاءِ يَسْتَوِي فِيهِ الْمُكَلَّفُونَ فَيَرْتَفِعُ الِاخْتِلَافُ وَالنِّزَاعُ عَنْهُمْ
“Sabda Nabi pada hadits yang lalu (jika hilal tertutup mendung maka sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari), dan Nabi tidak berkata, “Bertanyalah kepada pakar hisab”. Hikmahnya adalah karena menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari sama-sama diketahui oleh seluruh mukallaf (muslim yang akil baligh, baik yang pakar hisab maupun orang awam -pent) sehingga dengan demikian hilanglah perselisihan dan pertikaian di antara mereka.” (Fathul Baari 4/127)
Keenam, dalil-dalil menunjukkan bahwa yang menjadi patokan adalah “terlihatnya” hilal, yang telah menunjukkan dengan pasti bahwa hilal sudah ada karena telah terlihat. Adapun metode hisab (terutama metode hisab wujudul hilal) maka hanya memberikan persangkaan. Karena menurut metode hisab wujudul hilal, jika berdasarkan hisab ternyata menunjukkan bahwa hilal sudah ada di atas ufuk (setelah matahari terbenam) meskipun hanya 0,1 derajat di atas ufuk maka sudah dianggap hilal sudah ada, sehingga besoknya sudah ditetapkan bulan baru. Padahal kenyataannya hilal jika kurang dari 2 derajat di atas ufuk maka tidak mungkin terlihat, karena hilalnya begitu kecil dan tipis (karena sangat muda) dan keberadaannya di ufuk sebelum tenggelam kurang dari 8 menit, dan cahaya hilal akan tertutup oleh sisa-sisa cahaya matahari yang baru saja tenggelam. Kalau kita bertanya kepada mereka yang berpatokan dengan metode hisab wujudul hilal, “Apa bukti riil bahwa hilalnya sudah ada?” Maka mereka hanya bisa berkata, “Hisab kami menunjukkan ada.”
Jadi hisab sifatnya hanyalah membantu namun bukan untuk menentukan
Ketujuh, : seandainya kita pastikan bahwa hilal memang sudah muncul namun tidak bisa terlihat, tetap saja Nabi memerintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari karena tidak terlihatnya hilal. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ، فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan berpuasalah kalian hingga kalian melihat hilal. Jika awan menghalangi hilal maka sempurnakanlah bilangan bulan 30 hari.” (HR Abu Dawud, no. 2327 dan dishahihkan oleh Albani)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Dan jika awan menghalangi hilal…” menunjukkan bahkan meskipun hilalnya ada.
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَكَمِّلُوا الْعِدَّةَ ثَلاثِينَ، وَلا تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالًا
“Maka jika awan menghalangi antara kalian dan hilal maka sempurnakannya bulan 30 hari, dan janganlah kalian menyambut datangnya bulan (baru).” (HR Ahmad, no. 1985 dan An-Nasai, No. 2129)
.
6. Waktu Puasa, dan Idul Fitri bukan merupakan urusan masing-masing individu, dan tidak boleh berdiri sendiri. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Mengikuti al-jama’ah dalam hal penentuan awal dan akhir ramadhan adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah, yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
7. Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok dalam perkara ibadah jama’iyyah (ibadah yang sifatnya berjamaah) seperti puasa dan Idul Fitri. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
قال الشيخ الألباني : ( صحيح ) انظر حديث رقم : 4224 في صحيح الجامع الصغير
“Hari raya Idul Fitri adalah ketika manusia berbuka (tidak berpuasa) dan hari raya Idul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (Dishahihkan oleh Al-Albany)
8. Imam atau pemerintah mungkin saja keliru dalam membuat keputusan penetapan waktu puasa atau Idul Fitri. Namun kewajiban rakyat adalah melaksanakan keputusan tersebut dan memberikan nasihat dengan cara yang baik sesuai ketentuan-ketentuan syariat. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
اسمعوا و أطيعوا فإنما عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم . قال الشيخ الألباني : ( صحيح ) انظر حديث رقم : 984 في صحيح الجامع الصغير.
“Dengarkanlah dan taatilah (ulil amri/pemerintah) karena kewajiban mereka adalah melaksanakan apa yang dibebankan kepada mereka (ulil amri/pemerintah), dan kewajiban kalian adalah melaksanakan apa yang dibebankan kepada kalian.” (Dishahihkan oleh Al-Albany)
Wallahu a’lam.
Ketua Majelis Fatwa
Dr. Firanda Andirja Abidin