Pertanyaan:
Assalamu’alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh
Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta’aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?
Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)’. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta’aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.
Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.
Jawab :
Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari’atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?
Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari’at?
Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?
Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :
Pertama : Syarat-syarat sah nikah
Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.
Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma’ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa ‘iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)
Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.
Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam ‘akad-‘akad, baik ‘akad (transaksi) jual beli maupun ‘akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-‘Qowaa’id An-Nuurooniyah.
Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?
Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:
Madzhab Hanafi
Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-‘Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)
Madzhab Malikiah
Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :
– Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.
– Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami
– Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, “Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami” lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)
– Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, “Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku”, kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : “Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya” (lhat Al-Mudawwanah 2/75)
Madzhab As-Syafii
Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.
Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar’i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.
Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:
– Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.
– Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).
– Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh
– Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi’i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)
Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;
Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa’ad bin Abi Waqqoosh, Mu’aawiyah, dan ‘Amr bin Al-‘Aash radhiallahu ‘anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)
Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)
Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut’ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, “Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju”. (lihat Al-Mughni 7/449)
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.
Dalil akan bolehnya persyaratan ini :
Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:
Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)
Kedua : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)” (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.
Ketiga : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram” (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari’at.
Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan
Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)
Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :
Aisyah berkata :
جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, “Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, “Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala’mu pindah kepadaku”. Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa’nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa’ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, “Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa’nya, karena walaa’ adalah kepada orang yang membebaskan”. Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, “Amma Ba’du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur’an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa’ hanyalah kepada orang yang membebaskan” (HR Al-Bukhari no 2168)
Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur’an. Karena permasalahan “Walaa’ itu hanya kepada orang yang membebaskan” sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur’an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari’atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)
Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A’lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti’ 12/164, 167)
Kesimpulan :
Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:
– Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.
– Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl
– Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh
– Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.
Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :
– Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.
– Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.
– Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari’at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari’atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.
– Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.
– Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.
Madinah, 16 05 1432 H / 20 04 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com
Syukron jazaakumulloohukhoiron, tuk penanya dan penjawab.
Ustadz yang kami cintai,
untuk persyaratan tidak boleh poligami tersebut apabila dipenuhi oleh sang suami, maka yang memegang akad apakah antara sang suami dan istri atau antara suami dan wali wanita tersebut? (untuk akad nikah kan antara pihak pria dan wali)
Karena bisa jadi ada kasus seperti itu, sang suami menyetujui tidak dipoligami, ternyata ketika rumah tangga berlangsung sang istri tidak bisa punya anak dan memutuskan boleh bagi suaminya untuk poligami.
Pada saat bersamaan wali dari sang istri tersebut telah meninggal, apabila perjanjian akad (yang bisa membatalkan perjanjian adalah pihak wali istri) maka tentu perjanjian tersebut tidak bisa dibatalkan.
Apabila akad antara istri dan suami berarti tidak masalah, kalau antara suami dan wali itu bisa jadi masalah besar..
Itu yang musykilah dari yang kami temui Ustadz, atas jawabannya kami ucapkan jazakumullahu khairal jaza
Alhamdulillah saya sebagai muslim , yang sangat adil dalam segala urusan umat-Nya
akh rasi….ana sarankan..jangan mentazkiah diri sendiri krn Alloh melarang itu…JANGANLAH KAMU MENTAZKIAH DIRI KALAIAN..SESUNGGUHNYA ALLOH MAHA MENGETAHUI SIAPA YG PALING BERTAQWA..
“….Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)”
bukannya 20 juta ya ustadz?
betul 5 jt kok..
kan mahar sepakat 20 jt, tp jd 15jt dg syarat td. Maka jika syaratnya nnt batal ya cuman mbayar 5 jt. bgitu pemahaman sy
Assalamualaikum ustadz, sebenarnya hukum poligami itu apa? sunnahkah atau mubahkah? tolong ustadz jelaskan karena ana sering mendapatkan pendapat yang berbeda
apakah persyaratan itu tak bertentangan dgn hadist yg diriwayatkan oleh (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
padahal rosulullah berpoligami.
Bagaimana pandangan Islam tentang perjanjian pranikah?
Wah ustad jadi tambah repot, karena komentar yang ada malah minta pejelasan, mudah-mudahan ustad mampu menjelaskannya, wasallam
subhanalloh…..
“Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya”
semoga para lelaki yang sungguh sangat mencintai istrinya tidak akan berubah membencinya hanya karena tidak bisa menurutkan syahwatnya. dan pernikahan bukanlah sekedar tempat untuk ‘penyelamatan’ syahwat. dan sungguh, cinta antara seorang laki-laki dan perempuan yang tulus niscaya mengandung bnyak dimensi, tidak hanya pada kepuasan syahwat semata. sehingga ia tidak akan sedemikian runtuh karena persoalah syahwat.
Wallahu A’lam..
Memang bukan syahwat semata, tp termasuk penting. Bahkan itu alasan utama orang menikah, agar tidak terjerumus kedalam dosa.
Apakah bisa seseorang menikah tanpa syahwat? hampir tidak mungkin.
Hanya saja itu sudah ada disetiap manusia, tinggal mereka kita dengan cara yang benar atau yang salah dan tercela.
1). Allah sendiri yang menciptakan laki-laki yang fithrahnya memiliki syahwat kpd wanita. Allah berfirman, artinya:
‘Telah dihiasi kepada manusia kecintaan terhadap syahwat pada kaum wanita.’ (Ali ‘Imran: 14)
Allah Ta’ala menjadikannya termasuk dalam cinta syahwat dan Allah Ta’ala memulai dengan kaum wanita sebelum yang lain. Ini mengisyaratkan bahwa kaum wanita merupakan pangkal kecintaan syahwat. Inilah fithrah yang tdk bisa disangkal.
Dan Allah Maha Adil dengan memberi solusi poligami.
2) Ketulusan cinta bukan hitungan matematis bahwa cinta itu harus satu berpasang dengan satu. Jika demikian, maka tidaklah adil orang yang mempunyai anak lebih dari satu, dimanakah ia menaruh cintanya kepada anak yang lainnya? Atau dimanakah menaruh cintanya untuk orang tuanya, kepada ayahnya atau ibunya?
3) Dan Allah memang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan sifat dan karakter yang berbeda sehingga bisa saling melengkapi.
4). Jika pernikahan bukan sekedar tempat untuk penyelamatan syahwat; maka apakah Anda bisa tunjukkan tempat selainnya yang lebih baik dan lebih sempurna sebagai sarana penyelamatan syahwat?
memang beda cara pandang laki laki dan perempuan
assalamualaikum ustadz..
ana minta ijin untuk mencopy artikel ustadz..
wassalamualaikum..
assalamualaikum ustadz..
ana minta ijin untuk mencopy artikelnya
wassalamualaiku m ..
Assalamualaikum war., wab.
Poligami adalah perintah ALLAH yang tercantum pada QS.4;3. Hanya sayang kebanyakan kaum muslimin keliru dalam memahaminya. Perlu kita ketahui bahwa QS.4;3 ini adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya dalam perkara pemeliharaan anak yatim, sehingga poligami ini juga sangat berhubungan dengan pemeliharaan anak yatim tersebut.
Untuk lebih jelasnya, kita cermati terjemah dsari QS.4;3 tersebut.
QS.4;3 ; Jika kamu cemas tidak dapat berbuat efektif pada anak-anak yatim, maka nikahilah yang baik bagimu dari perempuan (beranak yatim) dua dan tiga dan empat. Jika kamu cemas tidak dapat berbuat adil maka satu saja atau yang dimiliki tata hukummu (yang sudah dinikahi saja). Demikian lebih rendah agar kamu tidak berbuat sombong.
Perintah poligami bermaksud agar terdapat susunan sosial yang normal. Islam sangat mencela sikap hidup yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan orang lain.
Kematian seorang bapak menyebabkan adanya anak yatim dan seorang ibu yang kekurangan biaya hidup serta penderitaan batin, maka seorang lelaki berkesanggupan hendaklah menikahi janda itu dengan maksud membantu mengurangi penderitaannya dan anak-anaknya.
Poligami dalam Islam bukanlah didasarkan atas pelepas syahwat, tetapi sesuai dengan maksud QS.4;3 hanyalah untuk kestabilan hidup anak yatim dan ibunya yang janda.
Dari ketentuan ALLAH pada QS.4;3 dapat diartikan bahwa perintah/keizinan berpoligami bagi lelaki berkesanggupan HANYALAH MENIKAHI JANDA BERANAK YATIM yang padanya dipentingkan pemberian bantuan dan perawatan sebagai anggota keluarga.
Islam tidak pernah membolehkan poligami sembarangan (menikahi perempuan yang disukai karena cantik dan perawan ), karena poligami begini bukan memperbaiki keadaan masyarakat tetapi sebaliknya menambah parah keadaan masyarakat dengan jumlah janda beranak yatim bertambah banyak.
Makanya bagi ukhti, bila poligami sesuai dengan perintah ALLAH yaitu menikahi janda beranak yatim tentunya ukhti tidak boleh menolak. Dan tentunya tidak bisa memberikan syarat agar tidak dipoligami yang berarti menentang perintah ALLAH.
Wassalam
Assalaamu ‘alaykum wa RahmatuLlaahi wa Barakaatuh
saya nukil dari Saudara Asukarnaen
[quote name=”asukarnaen”]
Islam tidak pernah membolehkan poligami sembarangan (menikahi perempuan yang disukai karena cantik dan perawan ), karena poligami begini bukan memperbaiki keadaan masyarakat tetapi sebaliknya menambah parah keadaan masyarakat dengan jumlah janda beranak yatim bertambah banyak.[/quote]
Ketika menikahi ibunda Aisyah radhiAllaahu anha (yang masih perawan), bukankah RasuluLlah shallaLlaahu ‘alayhi wa sallam telah menikahi Saudah Binti Zam’ah Bin Qais?
Bagaimana dengan berita dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang menceritakan perihal pribadi Juwairiyah Binti Harits Bin Abi Dhirar sebelum dinikahi Rasulullaah shallaLlahu ‘alayhi wa sallam: ”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa RasuluLlah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.
Saya sefaham dengan jangan berpoligami sembarangan, tapi bukan berarti terlarang berpoligami dengan yang perawan atau yang cantik.
Demikian sependek pengetahuan saya, mohon dikoreksi..
Wassalaamu ‘alaykum wa RahmatuLlaahi wa Barakaatuh
jazakalloh khair ustadz.
semoga Alloh menjaga anda dan ilmu yang anda miliki. dan semoga kita semua istiqomah dalam manhaj yang haq ini.
Assalaamu ‘alaykum wa RahmatuLlaahi wa Barakaatuh
saya tidak sepaham dengan El Harun Affandy karena setau saya rosul menikah dengan Aisyah radhiAllaahu anha (yang masih perawan ) juga atas perintah Saudah Binti Zam’ah Bin Qais.
Jadi pendapat sebelumnyalah yang lebih benar.
Assalamualaikum ustad,,,ptanyaan ana hampir mirip dg ptanyaan sblmny, cuma beda syaratnya,,syarat yg ana ingin ajukan adlh stlh mnikah nti mbolehkan ana keluar rumah utk bekerja (mengajar), mengikuti pngajian (kami beda fikroh dia JT sdg ana tdk), dn tidak meninggalkan kluarga dlm waktu yg lama krn sifat dakwah JT pergi kluar (khuruj) smpai bbulan2,,,apakah syarat spt ini dbolehkan??
assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
poligami adalah sunnah Nabi dan merupakan perintah langsung dari Alloh. Ia adalah salah satu syari’at dari sekian banyak syari’at Alloh untuk para hamba-Nya. Yang mana menjalankan syari’at adalah kewajiban setiap muslim/ah dan merupakan bentuk ketaatan kita kepada Alloh Ta’ala.
saat Alloh sudah menghalalkan sesuatu, tiada seorang pun yang berhak mengharamkannya. Saat Alloh sudah mensyari’atkan sesuatu, tiada seorang pun boleh melanggarnya apalagi membencinya. Dan disaat kita hendak melakukan syari’at-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kita untuk meminta ijin kepada manusia. Karena kewajiban kita hanyalah taat akan perintah-Nya.
poligami adalah syari’at Alloh dan jika ada seorang suami yang hendak berpoligami maka sebaiknya seorang istri mendukungnya karena berarti ia telah ikut membantu suaminya dalam kebaikan dan ketaatan. Sebaliknya jika sang istri justru mencaci dan meminta cerai, maka sama saja ia telah menentang syari’at Alloh untuk dijalankan.
Pun jika pada kenyataannya sang suami tidak dapat berlaku adil kepada para istrinya, maka kewajiban kita adalah menasehatinya dan selebihnya kita serahkan semuanya kepada Alloh Ta’ala.
wallohu al musta’an
wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Assalamu’alaikum ustadz..
Afwan, mohon jawaban segera atas pertanyaan saya berikut ini ustadz, karena keadaan hati saya yang lagi gundah dan ragu2 atas tindakan yg tlh saya lakukan..
Saya telah menikah sirri dg seorang perempuan namun tanpa diketahui oleh orang tuanya ataupun wali yg lain, yang ada wali tahkim tanpa ada kuasa dari orangtua/wali dari pihak perempuan..Apakah sah nikah yg saya lakukan ini ustadz?Syukron atas jawaban dan penjelasan ustadz…
assalamualaikum ustadz
masih berkaitan dg masalah diatas,seorang kawan pernah bercerita kalau adiknya juga menikah, bukan menolak poligami tetapi mensyaratkan akan adanya poligami dg kondisi tertentu. misalnya ketika sang istri sdh tdk mampu lagi melayani suami lahir batin (sakit berkepanjangan, cacat dsb),sang istri tdk dapat memberi keturunan selama jangka waktu tertentu, sang istri tdk lagi berada dalam islam, dsb yg kesemuanya merupakan kesalahan/kelemahan dr pihak istri. Dan bila akan berpoligami yg niatnya adalah membatu dan memberikan maslahat, yaitu kepada janda dg beberapa anak yg masih membutuhkan sokongan financial, atau kepada gadis juga tdk apa tetapi yg benar2 tdk memiliki siapa2 lagi (sebatang kara)dan miskin.Sedangkan jika tidak terjadi yg demikian dan semua kebutuhan suami terpenuhi maka pihak istri menyarankan utk tdk memadunya. Bgmanakah dg hal yg seperti itu?
assalamu’alaikum ustadz, semoga sampean tetap dijaga iman islam keistiqomahan dan kesehatannya untuk terus berdakwah… afwan ane yang baru mau nikah mau tanya;
jika calon istri mengajukan syarat pada calon suami untuk menikah dengan biaya mandiri [maksudnya uang modal nikah bukan bantuan dari orang lain tapi dari keringat calon suami saja] dan sang calon suami ga’ sanggup memenuhinya [walaupun sudah pontangpanting ternyata tak jua cukup untuk memodali pernikahannya] kemudian mereka tetap menikah dari uang orang lain/ngutang, pertanyaan saya;
1. apakah pernikahan ini sah..?
2. apakah syarat tersebut bisa gugur jika sang calon istri mencabut persyaratannya yang tadi..?
syukron ala husni mubalah,
wassalam…
waduh pusing klo bnyak kya ukhti diatas
Assalamu ‘alaikum Warahmatullaahi Wabarakkatuh,, bismillaahirrahmaanirrahiim,, afwan izin copy ustad
Assalamu ‘alaikum ustad,, bismillaahirrahmaanirrahiim,, afwan izin copy artikelny ustad