Pertanyaan : Saya mau tanya, gimana hukumnya pernikahan yang dilaksanakan tanpa sepengetahuan ayah kandung dari pihak perempuan? Dan pernikahan tersebut dilaksanakan melalui seorang wali hakim yang diangkat sesaat sebelum akad nikah. Terima kasih atas jawaban ustadz. Jazakallah khoiron katsiron.
JAWAB :
Permasalahan ini berkaitan dengan permasalahan nikah syubhat. Karena pernikahan dengan seorang wanita tanpa persetujuan walinya merupakan pernikahan yang batil (tidak sah) menurut jumhur ulama. Dan jika dikerjakan oleh seseorang karena jahil/tidak tahu akan hukumnya maka jadilah pernikahan ini termasuk pernikahan syubhat.
Definisi Nikah Syubhat adalah sebagai berikut :
وَضَابِطُ نِكَاحِ الشُّبْهَةِ أَنْ يَنْكِحَ نِكَاحًا فَاسِدًا مُجْمَعًا عَلَى فَسَادِهِ لَكِنْ يُدْرَأَ الْحَدُّ كَأَنْ يَتَزَوَّجَ بِمُعْتَدَّةٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ذَاتِ مَحْرَمٍ غَيْرِ عَالِمٍ وَيَتَلَذَّذُ بِهَا أَوْ يَطَأُ امْرَأَةً يَظُنُّهَا زَوْجَتَهُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَصْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَفَرْعُهَا
“Batasan Nikah Syubhat adalah ia menikah dengan pernikahan yang fasad/rusak/tidak sah, yang telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan tetapi hukum had ditolak (tidak ditegakkan, seperti ia menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa ‘iddah, atau dengan istri yang kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan mahramnya, dalam kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah berledzat-ledzat dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka adalah istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu’ dari setiap wanita tersebut” (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma’aani, syarh Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qoyrowaani, karya Sholeh bin Abids Samii’ Al-Aaabi Al-Azhari (wafat 1335 H), hal 352, cetakan Mushthofa Al-Baabiy Al-Halabi, tahun 1338 H)
Diantara pernikahan syubhat adalah pernikahan tanpa wali. Meskipun pernikahan ini masih diperselisihkan akan kebolehannya, akan tetapi menurut jumhur ulama pernikahan tersebut tidaklah sah.
Hal ini dikarenakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
أيُّما امرأةٍ نَكَحَتْ بغير إذن مواليها؛ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثلاث مرات)
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil” (HR Abu Daawud no 1817 dan Ibnu Maajah no 1524)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِيٍّ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (lihat Irwaaul Goliil hadits no 1839, 1840, 1841)
Maka bagi jumhur ulama pernikahan tanpa wali merupakan pernikahan yang batil. Jika dilakukan oleh seseorang karena kejahilan maka jadilah pernikahan syubhat.
Abul Fadhl Sholeh (putra Imam Ahmad) berkata : “Dan aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, lalu lelaki yang menikahinya menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu setelah itu wali sang wanita membolehkan pernikahan, maka apakah sang wanita halal (untuk dinikahinya kembali) sebelum dinikahi oleh lelaki yang lain, karena pernikahan yang pertama adalah pernikahan yang fasid (rusak)?”
Imam Ahmad berkata, “Wanita tersebut tidak boleh kembali kepadanya, karena pernikahan pertama jika membuahkan anak maka anak tersebut akan mengikuti sang lelaki, karena ini adalah nikah syubhat. Maka tidak halal baginya kecuali jika telah dinikahi oleh lelaki yang lain” (Masaail Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, riwayat putranya Abul Fadhl Sholeh 2/338 no 975)
Contoh-Contoh Nikah Syubhat
Contoh-contoh nikah syubhat diantaranya :
– Ia menikahi wanita tanpa wali, karena menyangka bahwa hal itu diperbolehkan (yaitu nikah syubhat menurut jumhur ulama yang mempersyaratkan izin wali)
– Pernikahan Syighoor, yaitu ia menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dengan syarat ia menikahi putri lelaki tersebut. Ia menyangka bahwa pernikahan tersebut halal baginya
– Ia menikahi seorang wanita yang ternyata masih berstatus istri orang lain, hanya saja ia tidak tahu dan menyangka bahwa wanita tersebut telah diceraikan
– Seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa ada kabar, lantas Hakim memberi keputusan bahwa wanita tersebut dihukumi telah cerai dari suaminya yang pergi tanpa kabar. Lantas wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Akan ternyata suami pertamanya kembali. Maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bagi ulama yang berpendapat bahwa wajib bagi sang wanita kembali kepada suami pertamanya maka jadilah pernikahan lelaki yang kedua merupakan pernikahan yang dibangun di atas akad syubhat
– Ia menikahi wanita yang masih di dalam masa ‘iddahnya
– Ia menikahi wanita yang kelima (padahal poligami maksimal hanya 4 wanita)
– Ia menikahi wanita yang masih mahramnya, seperti saudari sepersusuannya atau wanita yang pernah dinikahi ayahnya.
Hukum-Hukum Berkaitan Dengan Nikah Syubhat :
Pertama : Ada pernikahan yang disepakati akan batilnya (seperti menikahi wanita di masa iddahnya, atau menikahi wanita sebagai istri yang kelima, atau menikahi wanita saudara sepersusuan), maka jika dilakukan oleh kedua pihak (lelaki dan wanita) tanpa mengetahui hukumnya maka itu adalah nikah syubhat menurut kesepakatan ulama.
Ada juga pernikahan yang diperselisihkan, seperti pernikahan tanpa wali wanita, menurut sebagian madzhab pernikahan tersebut sah. Akan tetapi menurut madzhab yang lain pernikahan tersebut batil. Maka pernikahan ini menurut madzhab yang lain adalah pernikahan syubhat.
Kedua : Jika kedua belah pihak melakukan pernikahan syubhat tanpa mengetahui hukumnya maka keduanya tidak berdosa karena kejahilan, akan tetapi pernikahan tersebut harus segera dibatalkan (dipisahkan keduanya).
Ketiga : Anak-anak hasil pernikahan syubhat tersebut (yang disebabkan kejahilan) maka hukum mereka seperti anak-anak hasil pernikahan yang sah. (Lihat Fatawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 21/70-71 no 2195 tentang hukum anak-anak hasil pernikahan antara seorang lelaki dengan saudari sepersusuannya)
Karenanya wajib bagi sang ayah untuk menafkahi mereka, dan anak-anak tetap dinisbahkan kepada sang ayah, serta berlaku hukum waris antara sang ayah dan mereka.
Ketiga : Jika ternyata kedua belah pihak mengetahui kebatilan pernikahannya dan tetap nekat untuk menikah maka keduanya dianggap telah berzina dan melakukan dosa besar, bahkan harus ditegakan hukum had atas keduanya karena telah melakukan perzinaan. Dan jika ternyata pernikahan tersebut membuahkan anak maka sang anak dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak boleh dinisbahkan kepada ayahnya karena merupakan anak zina.
Jika tatkala terjadi pernikahan, sang wanita mengetahui kebatilan pernikahan tersebut sementara sang lelaki tidak mengetahuinya maka yang dianggap telah berzina adalah sang wanita, dan anak hasil pernikahan tersebut tetap dinisbahkan kepada sang lelaki karena ia tidak mengetahui hukumnya. (lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah 20/387 no 3408)
Keempat : Jika pernikahan tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan yang kurang, seperti :
– Pernikahan tanpa wali, maka boleh melakukan akad pernikahan baru dengan persetujuan wali sang wanita.
Dan boleh langsung bagi mereka berdua untuk melakukan akad pernikahan yang baru meskipun masih dalam masa idah, karena idahnya adalah idah dia sendiri. Hal ini sebagaimana seseorang yang menceraikan istrinya talak pertama ataupun talak kedua, maka ia boleh langsung kembali kepada istrinya karena idahnya adalah dari air maninya sendiri.
Akad yang baru tentunya dengan persyaratan yang baru dan mahar yang baru.
– Pernikahan dengan seorang yang masih di masa iddahnya, maka boleh melakukan akad kembali setelah selesai masa iddahnya
– Jika karena pernikahan Syigoor, maka masing-masing memperbaharui akad nikahnya, tanpa harus cerai, dan dengan mahar yang baru serta persetujuan wali masing-masing wanita tanpa persyaratan syigor (lihat Majmuu Fataawa Syaikh Bin Baaz 20/283-284 no 148 tentang anak-anak hasil pernikahan syigoor)
Kelima : Jika pernikahan tersebut tidak mungkin untuk dilanjutkan, maka tidak boleh dilanjutkan kembali, misalnya :
– Ternyata sang wanita yang ia nikahi adalah saudara sepersusuannya
– Ternyata sang wanita yang dinikahinya pernah dinikahi oleh ayahnya
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 21-04-1433 H / 14 Maret 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Assalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokatuh…
Barokalloohu fiik ya ustadz, ana mau tanya jika ada seorang wanita yang tetap menikah dengan laki2 yang tidak disetujui oleh orang tua perempuan ( sehingga dengan wali hakim ) apakah syah pernikahannya. Dan menjadi catatan si orang tua wanita sudah tidak lagi menganggap sebagai anaknya. Apakah si anak wanita dianggap durhaka ? Dan bagaimana solusinya. Jazakalloohu khoyr.
Wassalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokatuh
Seorang wanita ahlussunnah yang ayahnya adalah pelaku bid’ah, sang putri mendapat pinangan dari seorang ikhwan ahlussunnah juga dan si putri menyetujuinya, bahkan menyukainya, namun sang ayah melarang dikarenakan perbedaan prinsip aqidah diantara keduanya.
Pertanyaannya:
Apakah diperbolehkan bagi sang putri dan ikhwan yang meminangnya tersebut menikah dengan menggunakan wali hakim tanpa persetujuan dari ayah sang putri?
Bagaimana dengan janda? bagaimana hukumnya. Ana baca di kitab fiqih wanita, diperbolehkan menikah dengan mengangkat wali hakim.