Imam As-Syafii rahimahullah berkata :
إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ….. فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ
Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …
maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang teman saya di Universitas Madinah yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang saling dibatasi dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia sekamar dengan seorang mahasiswa yang berasal dari negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi teman-temannya para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering makan bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka. Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang mahasiswa yang telah berkeluarga dan telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…, hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu bersedih hati karena memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan.
Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan seorang raja di dunia ini sama saja”.
Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa tersenyum.
Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona’ah.
Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia”.
Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.
Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.
Ibnu Batthool berkata
وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ
“Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)
Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;
إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ
“Sesungguhnya diantara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)
Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!
Allah berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)
Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 17/290)
Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا
Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)
Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.
Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani rahimahullah berkata : “Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu :
واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ
“Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah, maka hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)
Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)
Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya:
يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”. Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata : “Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827)
Maka orang yang qona’ah meskpun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.
Madinah, 10 04 1432 H / 15 03 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Subhanallah, artikel yang amat menyentuh. Dulu para salaf menyatakan keutamaan qona’ah dalam bait syair :
هي القناعة لا تبغي بها بديلا
فيها النعيم وفيها راحة البدن
انظرلمن ملك الدنيا بأجمعها
هل راح بغير القطن والكفن
“Ia adalah sifat qona’ah yang tidak ada gantinya,
Di dalamnya ada kenikmatan dan kesenangan untuk badan,
Lihatlah orang yang memiliki dunia dengan apa yang dikumpulkannya,
Apakah dia pergi dengan selain kapas dan kafan.”
Barokallahu fikum ya ustadzuna Firanda..
Semoga kita diberi Hidayah oleh Allah untuk menjadi hamba yang Qonaah…amin
Artikel yang sangat bermanfaat. Terima kasih.
Sangat inspiratif ditengah maraknya faham hedonisme maerialisme semoga kita dijadikan orang2 yang Qonaah…Amin
TErima kasih tetesan ilmunya. semoga bisa kaya hati.
semoga tulisan ini memberi inspirasi bahwa kita harus senan tiasa murah senyum kepada orang lain
sungguh pelajaran yang sangat bermanfaat ustadz, nasihat yang sangat agung dan baik dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama dan para ‘Ulama.
dan yang membuat saya juga terkagum adalah ketika negara tidak menjadi batasan bagi kaum muslimin yang kuliah di Madinah untuk tetap berteman.
Libia dan Cina bagaikan langit dan bumi, baik bahasa, gaya hidup, namun menjadi dekat sekali karena pertemanan dibangun adalah karena Allah.
Barokallahu fiika ustadz, Mudah-mudahan Allah menambah ilmu ustadz dan menjaga ustadz sehingga tetap mendakwahkan sunnah kepada saya dan kaum muslimin yang masih awwam.
sukron akhi ataas pencerahanya
subhanalloh…. baarokallohufikum yaa ustadz
Subhanalloh,indah sekali ucapan imam Syafi’i
Subhaanalloh, Sangat bermanfaat, jazaakalloh ustadz,
Afwan ustadz, sedikit koreksi, tertulis dalam paragraf pertama artikel ini ((Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh “rendah diri” melayani teman-temannya)) mungkin yg lebih tepat adalah “rendah hati” yg artinya adalah tawadhu’ sedangkan “rendah diri”= minder. Afwan kalau saya salah.
Subhanallah…pelajaran yang sangat dalam, terutama untuk kita yang hidup di dunia yang cenderung memaknai sesuatu hanya dari materi semata…syukran ustadz…
Syukron ustadz.mg kita mengambil pelajaran ini dan menajdi orang yang qona’ah.amin
izin Copast utk buletin jumat dg mnyebutkan sumber URl nya. Jazakallahu khairan.
Subhanallah… semoga Allah memberikan keluasan ilmu kepada Ustadz, Mengampuni dosa – dosa ustadz… Amiin…
Ya Allah, tanamkanlah sifat qonaah itu juga kedalam hatiku… agar aku sadar dunia ini hanya sementara…
jazakallahukhoir ya ustadz atas semua yang antum berikan.alhamdulillah wa barokallahufiikum
jazakalllahukhoir ya ustadz atas semua yang diberikan,merupakan lautan ilmu buat kami yang selalu haus dan ingin belajar.
jazakallahukhoir,atas artikelnya ya ustadz kami byk belajar dan selalu menantikan artikel berikutnya.
syukron ustadz..semoga allah ta’ala selalu menjaga ustadz dan keluarga serta menambah kedalaman ilmu ustadz.amien..
kami selalu menantikan artikel ustadz selanjutnya.
Subhanallah, indah sekali artikelnya…..mudahan kita semua bisa mengamalkannya……Jazakallahukhairon
subhanllah,,,,,
Subhanallah.. artikel yang sungguh sangat bermanfaat, khususnya bagi saya pribadi.
Alhamdulillah, jazakallahu khair ustadz, semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga antum..