Hadits 1 – Halal dan Haram Jelas
Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رضي الله تعالى عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ -وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْـبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ-: “إِنَّ الْحَلالَ بَـيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّـبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِيْ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الْحَرَامِ: كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ: مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ: اَلْقَلْبُ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari shahābat Nu’mān bin Basyīr –radhiyallahu’anhuma-, ia berkata, “Aku mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda -lantas Nu’mān memberi isyarat dengan kedua telinganya-, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya (antara haram yang jelas dan halal yang jelas) ada perkara-perkara yang musytabihāt (samar/rancu tentang haram dan halalnya). Kebanyakan orang tidak mengetahui hakikat dari perkara yang rancu ini. Barangsiapa yang menjauhkan diri dari syubhāt (perkara-perkara yang rancu) maka sungguh dia telah mensucikan agamanya dan harga dirinya. Dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara-perkara yang syubhat maka dia akan terjerumus dalam perkara-perkara yang haram. Sebagaimana penggembala yang dia menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan hewan gembalaannya akan masuk ke dalam daerah larangan tersebut. Ketahuilah, bahwasanya setiap raja itu memiliki daerah larangan. Ketahuilah, bahwasanya daerah larangan Allāh adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allāh ﷻ. Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik makabaik pula seluruh jasad. Dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, dia adalah jantung.” (HR. Imām Bukhāri dan Imām Muslim, Muttafaqun ‘alayhi)
Pembaca dirahmati oleh Allãh Subhanahu wa Ta’āla. Hadits pertama dalam bab Az-Zuhd wal Wara’ ini menjelaskan tentang pentingnya perilaku zuhud dan wara’. Yaitu, menjauhkan diri dari hal-hal yang diragukan akan kehalalan dan keharamannya.
Rasulullãh ﷺ menjelaskan (bahwa) ada perkara yang jelas kehalalannya seperti roti, buah-buahan, madu, susu dan makanan-makanan yang sudah jelas kehalalannya lainnya, pakaian-pakaian yang boleh dipakai, transaksi yang diperbolehkan dan sebagainya.
Selain perkara yang jelas kehalalannya, ada juga perkara yang jelas keharamannya. Misalnya makan daging babi, minum khamr, memakai emas dan sutra untuk lelaki, berbagai perbuatan haram sepert zina, ghībah, namimah, dengki, hasad dan sebagainya.
Di perkara yang jelas kehalalan dan keharamannya ini, terdapat perkara-perkara yang diragukan tentang kehalalan atau keharamannya. Perkara-perkara seperti ini, kebanyakan orang tidak mengetahui hakikat halal atau haramnya. Hal ini disebabkan karena mungkin perkaranya pelik, ada khilaf dalam permasalahan tersebut, perkara-perkara tersebut tidak diketahui kecuali oleh para ulama tentang hakekatnya, dan sebagainya.
Namun para ulama yang rāsikhūna fil ‘ilmi (yang kuat keilmuannya) mengetahui hakikat perkara tersebut, halal atau haramnya. Oleh karenanya, perkara syubhat merupakan perkara yang nisbi, tidak diketahui oleh banyak orang tetapi ada sebagian orang yang mengetahui hakikat halal-haramnya, yaitu para ulama.
Kemudian Rasūlullāh ﷺ memberikan jalan keluar ketika kita bertemu perkara-perkara yang kita ragukan. Caranya bagaimana? Kita tinggalkan/jauhkan perkara yang meragukan tersebut, karena itu adalah perkara syubhat. Inilah yang disebut dengan wara’. Kita menjauhi perkara yang kita ragu tentang kehalalannya. Barangsiapa yang menjauhkan diri dari perkara yang syubhat, maka dia telah mensucikan agamanya dan harga dirinya.
Agamanya terjaga karena apa yang tidak jelas kehalalannya saja dijauhi, apalagi yang haram, tentu lebih dia jauhi lagi. Dia menjaga agamanya dan dia juga harga dirinya.
Sebaliknya, barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, dia telah melakukan sesuatu tanpa tahu itu halal atau haram. Bisa jadi syubhat pertama ternyata hakikatnya halal, syubhat yang kedua juga hakikatnya halal, namun syubhat ketiga, keempat, kelima dan keenam ternyata hakikatnya haram.
Ini sama seperti jika dia menggembalakan kambing di daerah terlarang. Dimana di sekitar daerah terlarang adalah daerah syubhat karena dikhawatirkan kambingnya lepas kemudian masuk ke dalam daerah yang terlarang.
Demikian juga orang-orang yang senantiasa melakukan perkara-perkara yang syubhat, (maka) dikhawatirkan suatu saat akan terjerumus dalam perkara yang haram. Oleh karenanya, sifat wara’ mengkonseksuensikan kita untuk menjauhkan diri kita dari perkara perkara yang syubhat. Karena ini akan menjatuhkan agama dan harga diri kita dan suatu saat kita akan terjerumus ke dalam perkara yang haram.
Kemudian Rasūlullāh ﷺ di akhir hadits menyebutkan tentang masalah jantung, yang sering diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan hati. Ini dalil bahwasanya perkara yang halal atau haram berkaitan dengan masalah hati kita. Seandainya kita melakukan perkara yang haram dan kita menembus perkara-perkara yang syubhat maka ini akan berpengaruh dengan hati kita, hati kita akan kurang baik.
Kita harus menjaga hati kita. Barangsiapa yang wara’, menjauhkan diri dari perkara-perkara yang syubhat, maka dia telah menjaga kesucian hatinya. Dan kalau hatinya sudah baik maka niscaya akan berpengaruh kepada seluruh anggota tubuhnya.
(Anda bisa dapatkan buku Syarah Kitabul Jami‘ di link berikut: bit.ly/3bn8FHB )