Perbuatan yang Diharamkan
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA
وَعَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ اَلْبَنَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, dari Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allāh ﷻ mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, hanya sekedar bisa menuntut hak, sementara tidak menunaikan hak orang lain (banyak menuntut sesuatu yang tidak pantas dituntutnya), mengatakan “katanya dan katanya” (banyak menukil perkataan manusia, terlalu banyak bertanya (meminta), dan membuang-buang (menyia-nyiakan) harta.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Hadits ini mencangkup beberapa perkara yang diharamkan dalam syari’at, yaitu sebagai berikut.
-
PERTAMA : DURHAKA KEPADA IBU.
Dikhususkannya penyebutan “ibu” di sini adalah karena keagungan ibu. Kita tahu bahwa durhaka kepada ayah pun merupakan dosa besar. Ayah memiliki banyak jasa terhadap anak. Dialah yang telah bersusah payah (membanting tulang) dan mencari rezeki, sampai-sampai harus bergadang, di bawah terik matahari, mengeluarkan keringat, dan terkadang harus menahan malu demi mencari rezeki guna menafkahi keluarganya.
Durhaka kepada ayah adalah dosa besar, tetapi durhaka kepada ibu lebih besar lagi dosanya. Dalam salah satu hadits Rasūlullāh ﷺ bersabda,
جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ
Ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasūlullāh, siapakah orang yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik?” Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullāh ﷺ mengatakan, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi (untuk yang ketiga kali), “Kemudian siapa?” Rasulullah ﷺ mengatakan, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Siapa setelah itu?” Rasulullah ﷺ mengatakan, “Ayahmu.”
Rasūlullāh ﷺ menyebutkan ibu sampai tiga kali dan baru kemudian ayah yang keempat. Hal ini menunjukkan bahwasanya berbakti kepada ibu harus lebih daripada kepada ayah.
Pengkhususan penyebutan para ibu juga disebabkan karena ayah biasanya memiliki kekuatan dan haibah (kedudukan sehingga anak takut kepada ayah). Berbeda dengan ibu. Ibu umumnya adalah sosok yang lemah lembut dan penuh perasaan, sehingga anak-anak biasanya lebih berani membentak dan membangkang terhadap ibunya. Oleh karenanya, Rasūlullāh ﷺ mengkhususkan penyebutan para ibu karena melihat kondisi lemahnya para ibu.
Jika diperhatikan ibu, sungguh luar biasa jasa ibu kepada kita sehingga tidak mungkin bagi kita untuk membalasnya. Betapapun kita berbuat baik atau memberikan harta dan waktu sebanyak apapun kepada ibu, maka tetap saja hal itu tidak mampu membalas jasa ibu. Oleh karenanya, seorang yang cerdas hendaknya mencari pahala yang sebesar-besarnya dengan cara membuat senang hati ibunya.
Ibulah yang telah mengandung kita dengan penuh kesulitan yang semakin bertambah seiring bertambahnya usia kandungan, sebagaimana firman Allāh ﷻ,
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ
“Ibunya telah mengandungnya dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah.” (QS. Luqmān: 14)
Ketika mengandung, tidak sembarang makanan bisa masuk ke dalam mulut ibu, bahkan seringkali mual dan muntah dirasakan jika menelan makanan. Seringkali ibu harus makan makanan yang tidak disukai demi kesehatan dan kebaikan sang janin. Maka ibu bersusah payah demi kebaikan kita saat kita masih dalam perut.
Semakin besar perutnya semakin sulit yang ibu rasakan. Kaki bengkak, badan pegal-pegal, tidur tidak nyaman, terkadang semakin sesak nafasnya, dan lain-lain. Sampai akhirnya di ujung waktu kehamilan ibu harus bertarung dengan kematian untuk melahirkan kita.
Sungguh, para ibu ketika sedang melahirkan anak-anaknya adalah seperti sedang berada di depan pintu kematian. Betapa banyak para ibu yang meninggal dunia saat melahirkan anaknya. Namun yang mereka rindukan adalah agar anak-anak mereka bisa lahir dengan selamat.
Kesulitan dan kepayahan belum berhenti setelah melahirkan. Setelah anaknya lahir seorang ibu masih harus bersusah payah merawat anaknya. Segala hal dilakukan agar anaknya dapat tumbuh dengan sehat. Waktu istirahat pun berkurang demi agar anaknya dapat tidur dengan pulas. Dan banyak hal yang dilakukan ibu demi anak-anaknya. Jika di antara kita ada yang telah menikah dan memiliki anak-anak, kita bisa tahu bagaimana repotnya istri kita tatkala mengandung dan mengurus anak-anak kita. Seperti itulah ibu kita dahulu mengurus kita. Betapa repot dan sulit yang dirasakan oleh para ibu ketika merawat anak-anak kita.
Seorang ibu memang luar biasa. Jika seorang ibu memiliki 5 anak atau lebih, ia akan mampu mengayomi seluruh anak-anaknya. Namun sebaliknya, 10 anak atau lebih pun belum tentu bisa mengayomi ibu mereka yang hanya satu orang. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu kepada anak-anak benar-benar merupakan kasih sayang yang luar biasa. Oleh karena itu, durhaka kepada ibu merupakan dosa besar.
Seorang yang cerdas adalah orang yang ingin mencari pahala sebanyak-banyaknya. Dia akan memanfaatkan “ladang-ladang” amal yang disiapkan oleh Allāh ﷻ. Maka di antara pintu surga yang paling besar yang dapat dimanfaatkan oleh seorang anak yang cerdas adalah dengan berbakti kepada ibu. Seorang salaf bernama Muhammad Ibnu Al-Munkadir mengatakan,
بِتُّ أَغْمِزُ رِجْلَ أُمِّي ، وَبَاتَ عُمَرُ يُصَلِّي لَيْلَتَهُ ، فَمَا سَرَّنِي لَيْلَتِي بِلَيْلَتِهِ
“Saya bermalam sambil memijit kaki ibu saya sementara Umar (saudara kandung beliau) bermalam sambil shalat malam (semalam suntuk). Saya tidak mau pahala saya ditukar dengan pahala saudaraku.” (Hilyatul Auliyaa 3/150)
Lihatlah, bagaimana seorang salaf ini mengerti betul bahwasanya menyenangkan hati seorang ibu pahalanya besar sehingga seolah-olah ia berkata, “Saudara saya shalat malam, tetapi perbuatan saya memijat kaki ibu saya lebih saya sukai daripada pahala shalat malam.”
وقال أَبُو بَكْر بنُ عَيَّاشٍ: رُبَّمَا كُنْتُ مَعَ مَنْصُوْر بْنِ الْمُعْتَمِرِ جَالِسًا فِي مَنْزِلِهِ فَتَصِيْحُ بِهِ أُمُّهُ، وَكَانَتْ فَظَّةً عَلَيْهِ، فَتَقُوْلُ: يَا مَنْصُوْرُ يُرِيْدُكَ ابْنُ هُبَيْرَةَ عَلَى الْقَضَاءِ فَتَأْبَى! وَهُوَ وَاضِعٌ لِحْيَتَهُ عَلَى صَدْرِهِ مَا يَرْفَعُ طَرْفَهُ إِلَيْهَا. وَكَانَ – رَحِمَهُ اللهُ – صَوَّامًا قَوَّامًا
Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Terkadang aku bersama Manshur bin al-Mu’tamir, dan beliau sedang duduk di rumahnya. Lalu ibunya teriak memanggilnya -dan ibunya kasar/keras kepadanya-. Ibunya berkata, “Wahai Manshur, Ibnu Hubairoh memintamu untuk menjadi qodhi dan engkau menolak?”. Manshurpun meletakkan dagunya di atas dadanya (yaitu menunduk), ia sama sekali tidak mengangkat pandangannya. Dan beliau adalah seorang yang selalu puasa sunnah dan sholat malam” (Taariikh al-Islaam 3/741)
Para salaf dahulu banyak yang menolak untuk dijadikan hakim/qodhi karena mereka takut salah dalam memutuskan perkara diantara manusia. Akan tetapi ketika Manshur dibentak oleh ibunya dihadapan tamunya beliau sama sekali tidak membantah, tidak marah, tidak berkata, “Ibu jangan bikin malu saya dihadapan tamu saya”, “Ibu tidak mengerti urusan-urusan seperti ini”. Akan tetapi beliau hanya terdiam membisu menghormati ibunya, bahkan untuk mengangkat pandangannya pun memandang ibunya ia tidak kuasa.
Abdul Jabbar al-Hadhromiy berkata :
كَانَ فِي مَسْجِدِنَا قَاصٌّ يُقَالُ لَهُ زُرْعَة… فَأَرَادَتْ أُمُّ أَبِي حَنِيْفَةَ أَنْ تَسْتَفْتِيَ فِي شَيْءٍ فَأَفْتَاهَا أَبُو حَنِيْفَةَ فَلَمْ تَقْبَلْ، فَقَالَتْ : لَا أقبل إِلا ما يَقُولُ زُرْعَة القَّاصُّ، فجاء بها أبو حنيفة إلى زُرْعَة فَقَالَ: هَذِهِ أُمِّي تَسْتَفْتِيْكَ فِي كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ: أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّي وَأَفْقَهُ، فَأَفْتِهَا أَنْتَ، فَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ قَدْ أَفْتَيْتُهَا بِكَذَا وَكَذَا فَقَالَ زُرْعَة الْقَوْلُ كَمَا قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ، فَرَضِيَتْ وَانْصَرَفَتْ
“Di mesjid kami ada seorang tukang cerita (pemberi nasihat) yang dikenal dengan Zur’ah…, maka Ibunya al-Imam Abu Hanifah hendak meminta fatwa tentang suatu permasalahan. Lalu Abu Hanifah memberi fatwa kepada ibunya, akan tetapi ibunya tidak menerima fatwa tersebut. Ia berkata, “Aku tidak menerima kecuali pendapat Zur’ah si tukang cerita”. Abu Hanifah lalu membawa ibunya ke Zur’ah dan berkata, “Ini ibuku meminta fatwa darimu tentang permasalahan ini dan itu”. Zur’ah berkata, “Engkau lebih berilmu dan lebih fakih dari pada aku, engkau saja yang beri fatwa kepadanya !. Abu Hanifah berkata, “Aku telah berfatwa kepadanya begini dan begitu”. Zur’ah berkata, “Pendapatku sebagaimana pendapat Abu Hanifah”. Lalu barulah sang ibu terima dan ridho” (Tariikh Baghdaad wa dzuyuluhu 13/363)
Lihatlah ada pepatah yang menyatakan أَزْهَدُ النَّاسِ فِي العَالِمِ أَهْلُهُ “Orang yang paling kurang menghargai orang yang alim adalah keluarganya sendiri”. Orang-orang berebutan untuk menimba ilmu dan mencari fatwa kepada Abu Hanifah, sementara ibunya sendiri lebih suka mencari fatwa dari orang lain yang suka memberi nasihat di mesjid. Namun tatkala fatwa Abu Hanifah ditolak oleh ibunya maka sama sekali ia tidak marah, dan tidak pula berkata, “Zur’ah itu bukan orang alim, ia hanya sekedar pemberi nasihat”. Akan tetapi Abu Hanifah dengan penuh tawadu’nya mengantar ibunya kepada orang yang kurang berilmu demi untuk menyenangkan ibunya.
Az-Zuhry berkata :
كَانَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ لَا يَأْكُلُ مَعَ أُمِّهِ، وَكَانَ أَبَرَّ النَّاسِ بِهَا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ: أَخَافُ أَنْ آكُلَ مَعَهَا فَتَسْبِقُ عَيْنُهَا إِلَى شَيْءٍ مِنَ الطَّعَامِ، وَأَنَا لَا أَعْلَمُ بِهِ فَآكُلَهُ، فَأَكُونُ قَدْ عَقَقْتُهَا
“Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib tidaklah makan bersama ibunya, padahal ia adalah orang sangat berbakti kepada ibunya. Maka ditanyakan sebab hal tersebut kepada beliau, beliau berkata, “Aku khawatir jika aku makan bersamanya maka bisa jadi pandangannya sudah mendahului melihat sebagian makanan, lalau aku tidak mengerti dan memakan makanan tersebut, akhirnya akupun durhaka kepadanya” (al-Birr wa as-Shilah, Ibnul Jauzi hal 86)
Ibnu Sirin berkata :
بَلَغَتِ النَّخْلَةُ عَلَى عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَلْفَ دِرْهَمٍ، قَالَ: فَعَمَدَ أُسَامَةُ إِلَى نَخْلَةٍ فَنَقَرَهَا وَأَخْرَجَ جُمَّارَهَا فَأَطْعَمَهَا أُمَّهُ، فَقَالُوا لَهُ: مَا يَحْمِلُكَ عَلَى هَذَا وَأَنْتَ تَرَى النَّخْلَةَ قَدْ بَلَغَتْ أَلْفَ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: إِنَّ أُمِّي سَأَلَتْنِيهِ وَلا تَسْأَلُنِي شَيْئًا أَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلا أَعْطَيْتُهَ
“Harga kurma di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan melonjak hingga 1000 dirham, maka Usamahpun pergi menuju kepada sebuah pohon kurma lalu menebang kurma tersebut dan mengeluarkan jummar (semacam jantung kurma) lalu ia berikan kepada ibunya. Maka orang-orangpun bertanya kepada beliau, “Apa yang membuatmu melakukan ini semua sementara engkau tahu bahwa harga kurma telah mencapai 1000 dirham. Ia berkata, “Ibuku meminta jantung kurma kepadaku, dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampui kecuali aku penuhi permintaannya” (Al-Muntadzom fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam 5/307 dan al-Birr wa as-Shilah, ibnul Jauzi hal 85)
Al-Jummar (jantung kurma) terletak dalam batang pohon kurma, dan jika telah dikeluarkan jantung kurma tersebut maka pohon kurma tersebut akan mati. Akan tetapi Usamah tidak memperdulikan hal tersebut, meskipun harus berkurban 1000 dirham yang penting demi memenuhi keinginan ibunya. Hal ini tentu jauh berbeda dengan sebagian orang yang sangat perhitungan dan pelit dengan ibunya.
Oleh karena itu, senangkanlah hati ibu. Berusahalah membuatnya tersenyum, bahagia, dan bangga karena bakti dan kebaikan kita. Dengan demikian, ibu akan ridha kepada kita. Sungguh, ridha seorang ibu adalah jalan kesuksesan dan kebahagiaan seorang anak.
Seorang salaf bertaka,
رِضَاؤُكِ سِرُّ تَوْفِيْقِي
“Keridhaanmu, wahai Ibunda, merupakan rahasia sukses yang aku peroleh.”
Maka seorang anak yang senantiasa berusaha membahagiakan ibunya akan dimudahkan segala urusan oleh Allāh ﷻ. Lihatlah kembali hadits yang pernah kita bahas sebelumnya, yaitu, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah silaturrahim.” Maka apakah ada silaturahim yang lebih afdhal untuk disambung melebihi silaturahim dengan ibu kita? Dialah puncak dari silaturrahim.
Dengan demikian seseorang yang membahagiakan ibunya maka akan dibukakan pintu rezekinya selebar-lebarnya dan dipanjangkan umurnya oleh Allāh ﷻ.
Para pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ, Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud durhaka kepada orang tua adalah melakukan segala perkara yang membuat orang tua jengkel atau marah atau tidak ridha. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa di antara bentuk durhaka adalah melalaikan orang tua dan tidak memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh orang tua.
Jika seorang anak diberi kelebihan harta, maka jangan sampai ia menunggu ibu dan ayahnya meminta. Ini adalah hal yang memalukan. Orang tua tentu memiliki harga diri, mereka terkadang malu untuk meminta kepada anaknya. Bahkan kalau mereka mampu, mereka ingin terus memberi kepada anaknya. Maka sering kita dapati sebagian orang tua meskipun sudah tua dan kondisinya tetap memberikan hadiah kepada anaknya. Sementara kalau mereka sendiri butuh, mereka malu untuk meminta kepada anaknya. Karena itu, anak yang baik tidak akan menunggu sampai ayah dan ibunya meminta kepadanya, tetapi dia akan berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan oleh ayah dan ibunya. Dan dia memberikan kepada orang tuanya sebelum mereka meminta.
Dalam Al Quran, Allāh ﷻ berfirman,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diberikan kepada kedua orang tua, kerabat…” (QS.Al-Baqarah: 215)
Perhatikan ayat ini! Allāh berkata, “Mereka bertanya kepada engkau, wahai Muhammad, tentang apa yang harus mereka infaqkan…” Namun Allāh menjawab, “Katakanlah wahai Muhammad, apa saja yang kalian infaqkan”, yaitu tidak perlu tahu apa saja yang kalian infaqkan selama merupakan kebaikan, akan tetapi yang lebih penting adalah kepada siapa infaq tersebut ditujukan. Maka yang pertama kali Allāh sebutkan adalah kedua orangtua, seakan-akan Allāh berkata, “kebaikan (infaq) apapun yang kalian berikan kepada orangtua,” kemudian kerabat dan seterusnya. Oleh karenanya, berinfaq dan memberi hadiah kepada orangtua pahalanya tidak akan sama dengan infak yang diberikan kepada orang lain.
-
KEDUA : MENGUBURKAN ANAK PEREMPUAN HIDUP-HIDUP
Mengubur anak perempuan hidup-hidup merupakan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyyah di sebagian kabilah. Tidak seluruh kabilah Arab begitu, seperti yang disangka oleh banyak orang.
Ada 2 sebab yang membuat mereka melakukan perbuatan demikian, yaitu:
Pertama, karena mereka takut anak perempuan mereka makan bersama mereka sehingga mengurangi rezeki mereka.
Mereka beranggapan kalau anak laki-laki dapat membantu mereka mencari rezeki, sementara anak perempuan me-nurut mereka hanya akan membuat masalah. Anak-anak perempuan hanya diam di rumah dan orangtua selalu menjatah makan mereka. Oleh karenanya, mereka tidak suka punya anak perempuan.
Kedua, mereka merasa malu punya anak perempuan karena anak perempuan tidak bisa dibanggakan dan tidak bisa menambah kekuatan. Sedangkan jika mereka punya banyak anak laki-laki, maka mereka merasa punya kekuatan sehingga berani bertempur.
Inilah di antara sebab mereka membunuh anak perempuan mereka. Begitu anak perempuan itu lahir, langsung mereka bunuh atau mereka tunda sampai agak besar sedikit kemudian baru mereka kubur hidup-hidup. Allāh menyebutkan dosa ini dalam ayat:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأيّ ذَنْبٍ قُتلَتْ
“Dan tatkala bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8-9)
Jadi, anak itu tidak ada dosa sama sekali. Tetapi karena orangtuanya yang jahat dan tidak punya perasaan sehingga mengubur anak perempuannya hidup-hidup.
Dalam ayat yang lain, Allāh ﷻ berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ *يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ
Dan jika salah seorang diantara mereka dikabarkan bahwasanya yang lahir adalah seorang anak perempuan maka wajahnya hitam (merah padam) karena sangat marah karena ternyata istrinya melahirkan anak perempuan. Maka diapun menghindar (malu) bertemu dengan kaumnya, maka dia bingung apakah anak perempuannya akan dibiarkan hidup sementara dia dalam keadaan hina ataukah begitu lahir dipendam di tanah (langsung dia bunuh)? (QS An-Nahl : 58-59)
Sampai seperti ini orang-orang Arab jahiliyyah dahulu.
Oleh karenanya mereka melakukan 2 cara untuk membunuh anak perempuan; baru lahir langsung dibunuh atau ditunda sampai agak besar kemudian dikubur hidup-hidup.
Disebutkan dalam sebagian sejarah bagaimana saat seseorang akan membunuh anak perempuannya. Pertama-tama anak perempuan itu dirias kemudian diajak keluar seolah-olah hendak diajak jalan-ajalan/tamasya. Si anak merasa gembira karena akan diajak keluar, sementara ibunya bersedih karena tahu bahwa anak perempuannya akan dibunuh. Maka setelah sampai di tempat yang dituju oleh ayahnya, anak perempuan itu kemudian dilempar kemudian ditimbun dengan tanah, sementara anak itu berteriak “Ayahku… ayahku…”.[1]
Konsekuensi-Konsekuensi Buruk dari Kebencian Terhadap Anak Perempuan
Kebencian atau ketidaksukaan terhadap anak perempuan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi buruk, diantaranya :
Pertama : Sikap ini merupakan bentuk protes kepada taqdir Allah.
Kedua : Anak adalah pemberian/anugerah dari Allah, maka sikap seperti ini merupakan bentuk penolakan kepada pemberian Allah
Allah berfirman :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (٤٩)أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (٥٠)
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS Asy-Syuuroo : 49-50)
Bahkan sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa dalam ayat ini Allah mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan sebelum anak-anak laki-laki dengan tujuan :
- Untuk menenangkan hati ayah-ayah anak-anak perempuan tersebut, karena mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan dari pada anak-anak laki-laki adalah tasyriif (pemuliaan) kepada anak-anak perempuan.
- Untuk mencela orang-orang jahiliyah yang telah merendahkan derajat anak-anak perempuan, bahkan hingga menguburkan mereka hidup-hidup (lihat : Fathul Qodiir 4/774, Tafsiir Ruuhul Bayaan, 8/262 dan Tafsiir Al-Muniir li Az-Zuhaili 25/101)
Ketiga : Pada sikap sang suami ini ada penghinaan terselubung kepada sang istri dan pemaksaan kepada sang istri untuk melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya.
Seakan-akan para perempuanlah yang telah bersalah 100 persen tatkala tidak bisa melahirkan anak laki-laki.
Disebutkan bahwasanya ada seorang Arab yang menghajr (meninggalkan) istrinya hanya karena istrinya melahirkan anak perempuan. Maka sang istripun berkata :
مَا لِأَبِي حَمْزَةَ لاَ يَأْتِينَا
Kenapa (suamiku) Abu Hamzah tidak mendatangiku…??
يَظَلُّ فِي الْبَيْتِ الَّذِي يَلِينَا
Ia senantiasa berada di rumah yang lain (rumah istri Abu Hamzah yang lain)…
غَضْبَانَ أَلاَّ نَلِدَ الْبَنِينَا
Ia marah karena aku tidak bisa melahirkan anak-anak laki-laki
تَاللَّهِ مَا ذَلِكَ فِي أَيْدِينَا
Demi Allah…perkaranya bukanlah dibawah kekuasaan kami (para istri)
فَنَحْنُ كَالأَرْضِ لِزَارِعِينَا
Kami ini ibarat tanah untuk ditanami oleh para penanam kami
نُنْبِتُ مَا قَدْ زَرَعُوهُ فِينَا
Kami hanya menumbuhkan apa yang ditanam oleh mereka pada kami…
(lihat Tafsiir Al-Qurthubi 16/70, Ruuh Al-Ma’aani 25/70 akan tetapi dengan lafal syair yang sedikit berbeda)
Keempat : Sikap ini menunjukkan kebodohan dan rendahnya akal sang suami
Bagaimana seorang suami yang seperti ini tidak dikatakan bodoh jika ia memaksakan perkara yang diluar kuasa istrinya sama sekali. Bahkan bukankah anak perempuan tersebut adalah hasil tanamannya??, dialah yang menanam…lantas ia tidak menerima hasil tanamannya !!!
Kelima : Sikap seperti ini adalah bentuk meniru-niru adat jahiliyah
Allah berfirman :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (٥٨)يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS An-Nahl : 58-59)
Merupakan perkara yang sangat menyedihkan dan memilukan adalah adanya sebagian suami yang sampai mengancam istrinya dengan berkata, “Jika kamu tidak bisa melahirkan anak lelaki maka kamu akan saya ceraikan !!!”
Jadilah sang perempuan tatkala hamil penuh dengan kecemasan….bahkan penuh dengan ketakutan…jika ternyata ia melahirkan anak perempuan lagi maka akan sirnalah kebahagiaan yang selama ini ia dambakan bersama suaminya.
Di zaman sekarang ini sering pula perubahan sikap suami telah dirasakan oleh sang istri jauh sebelum kelahiran, yaitu tatkala jenis kelamin janin telah diketahui jauh sebelum waktu kelahiran dengan menggunakan USG. Jika setelah melewati proses USG nampak janin berkelamin laki-laki maka sungguh bergembira sang suami. Akan tetapi yang jadi masalah jika USG menunjukkan bahwa jenis kelamin sang janin adalah perempuan…maka akan berubahlah reaksi dan sikap sang suami. Perhatiannya terhadap sang istri menjadi kurang…kebutuhan sang istri kurang terpenuhi…kebutuhan persiapan kelahiran pun kurang diperhatikan. Inilah sisa-sisa dari adat jahiliyah yang masih ada di umat ini.
Islam Memuliakan Anak-Anak Perempuan
Islam datang mengangkat kedudukan para perempuan. Islam memerangi adat jahiliyah yang merendahkan anak-anak perempuan.
Pemuliaan anak-anak perempuan nampak dari poin-poin berikut :
Pertama : Anak-anak perempuan merekalah yang kelak akan menjadi ibu atau bibi atau saudari perempuan.
Dan sangatlah jelas bagaimana perhatian Islam dan pemuliaan Islam kepada seorang ibu, seorang bibi, dan seorang saudara perempuan.
Kedua : Sebagaimana telah lalu (dalam QS Asy-Syuuroo : 49-50) bahwasanya Allah menyatakan bahwa anak-anak perempuan adalah pemberian (anugerah) dari Allah
Ketiga : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits-haditsnya akan keutamaan memelihara, mendidik, dan menyayangi anak-anak perempuan. Bahkan keutamaan yang sangat besar…
Siapakah diantara kita yang tidak ingin terhijab/terhalangi dari Api neraka…??
Siapakah diantara kita yang tidak ingin dikumpulkan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di padang mashyar kelak…, hari yang sangat menakutkan…??
Siapakah diantara kita yang ingin wajib baginya untuk masuk surga…?? Bahkan di surga dekat bersama Nabi ﷺ??
Semua ini bisa anda raih dengan kesabaran dalam mendidik putri-putri kita.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata:
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
Seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makananpun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka akupun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikitpun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi ﷺ, maka akupun mengabarkannya tentang ini, maka Nabi bersabda :
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR Al-Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629)
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ bersabda;
إنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga bagi sang ibu atau Allah telah membebaskannya dari api neraka” (HR Muslim no 2630)
Rasulullah ﷺ juga bersabda :
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَةُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan lalu ia bersabar atas mereka, dan memberi makan mereka, memberi minum, serta memberi pakaian kepada mereka dari kecukupannya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat” (HR Ibnu Maajah no 3669 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 294)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi bersabda,
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata : Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau) (HR Muslim no 2631)
Dalam riwayat yang lain :
دَخَلْتُ أَنَا وَهُوَ الْجَنَّةَ كَهَاتَيْنِ – وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ
“Aku dan dia di surga seperti dua jari ini” (dan beliau mengisyaratkan dengan dua jari jemari beliau) (HR At-Thirmidzi no : 1914 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ يُؤْوِيْهِنَّ وَيَكْفِيْهِنَّ وَيَرْحَمُهُنَّ فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةَ الْبَتَّةَ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ الْقَوْمِ : وَثِنْتَيْنِ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَثِنْتَيْنِ. [وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّ إِنْسَانًا ( لَوْ ) قَالَ : وَاحِدَةً ؟ لَقَالَ : وَاحِدَةً]
“Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, ia mengayomi mereka, mencukupi mereka, dan menyayangi mereka maka tentu telah wajib baginya surga”. Maka ada salah seorang dari kaum berkata, “Kalau dua anak perempuan Ya Rasulullah?”. Nabi berkata, “Dua anak perempuan juga”
Dalam riwayat lain ada tambahan, “Sampai-sampai kami menyangka kalau ada orang yang berkata, “Kalau satu anak perempuan?”, maka tentu Nabi akan berkata, “Satu anak perempuan juga”. (Dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1027)
Sungguh agama Islam adalah agama yang memuliakan anak-anak perempuan !!!, bahkan memuliakan orang-orang yang memuliakan mereka dengan ganjaran yang besar di akhirat kelak !!!.
Akan Tetapi Ingatlah Para Ayah…Anak-Anak Perempuan Adalah Ujian dari Allah !!
Al-Qurthubi rahimahullah mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ (Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan…) dengan berkata :
فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْبَنَاتِ بَلِيَّةٌ، ثُمَّ أَخْبَرَ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَيْهِنَّ وَالْإِحْسَانِ إِلَيْهِنَّ مَا يَقِي مِنَ النَّارِ
“Dalam hadits ini dalil bahwa anak-anak perempuan adalah ujian. Kemudian Nabi mengabarkan bahwa pada sikap sabar terhadap anak-anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka terdapat pencegahan dari api neraka” (Tafsiir Al-Qurthubi (10/118) dari surat An-Nahl ayat 59)
Memang merawat anak-anak perempuan hingga dewasa membutuhkan ekstra kesabaran, terlebih lagi di zaman kita yang penuh dengan fitnah dan syahwat. Merawat mereka sejak kecil dibutuhkan kesabaran, terlebih lagi jika mereka telah dewasa…bukan hanya kesabaran akan tetapi perlu ditambah dengan kehati-hatian mengingat pergaulan muda-mudi yang kian bertambah parahnya.
Hanya sekedar memiliki anak-anak perempuan tidaklah mendatangkan kemuliaan dan kebaikan bagi sang ayah… akan tetapi keutamaan-keutamaan di atas hanya bisa diperoleh bagi seorang ayah yang mengayomi, mencukupkan, dan menyayangi anak-anak perempuan mereka serta bersabar dalam menjalankan itu semua, sebagaimana telah jelas dalam lafal hadits-hadits di atas.
KARENANYA…
Janganlah bersedih jika anda mendapatkan anak perempuan…sesungguhnya itu adalah anugerah dan pilihan Allah untukmu. Ingatlah Nabi kita Muhammad ﷺ memiliki 4 orang putri.
Bahkan jadikanlah putri-putrimu sebagai sarana dan kesempatan bagimu untuk meraih surga… agar engkau bisa bersanding dekat dengan Nabi ﷺ.
Ingatlah seluruh kesabaranmu…kasih sayangmu kepada putri-putrimu sangat bernilai di sisi Allah..maka janganlah kau remehkan senyuman dan pelukanmu kepada putri-putrimu.
Didiklah mereka sejak kecil…Tanamkanlah rasa malu dalam diri mereka…sesungguhnya rasa malu itu adalah perhiasan mereka…itulah nilai keperempuanan mereka.
Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ, benci kepada anak perempuan adalah adat Arab jahiliyyah yang sampai sekarang masih terwariskan. Kita dapati sekarang sebagian orang (bahkan yang sudah mengaji) terkadang istrinya melahirkan anak perempuan lalu jengkel. Kalau anak perempuan satu mungkin masih bisa menahan, tapi kalau anak yang kedua, ketiga dan keempat ternyata anak perempuan lagi, maka dia jengkel kepada istrinya. Bahkan ada di antaranya yang sampai menjadi stres lalu menceraikan istrinya. Ini adalah hal yang lucu dan tidak pada tempatnya. Apakah salah istrinya? Bukankah istrinya hanya “sawah” yang ditanami oleh sang suami?
Syaikh Abdurrozaq –hafizohullah– bercerita bahwasanya ada seorang lelaki yang istrinya melahirkan anak-anak perempuan secara berturut-turut. Anak pertama wanita, anak kedua wanita, anak ketiga wanita, anak keempat wanita, dan anak kelima wanita. Maka sempitlah dada lelaki ini, dan mulailah ia menampakan kemarahannya kepada istrinya seraya berkata kepada istrinya, “Kamu tidak melahirkan kecuali anak-anak perempuan”. Dan sang istri hanya berkata, “Ini dari Allah bukan dari saya”, dan sang lelaki tetapi saja marah. Kemudian sang istri hamil lagi yang keenam, maka sang lelaki mulai mengancam istrinya, kalau sampai anak yang keenam perempuan juga maka perkaranya akan lain !!. Ternyata lahir lagi anak perempuan. Maka habislah kesabaran sang lelaki. Tatkala sang istri mengandung yang ketujuh maka sang lelaki berkata kepadanya, “Kalau engkau tidak mendatangkan anak laki-laki, maka perkaranya selesai dan jangan kau berada lagi di sisiku, aku telah banyak bersabar atasmu, sekarang kesabaranku telah habis”. Tatkala menjelang kelahiran, sang lelaki tidur dan bermimpi, ia melihat bahwasanya hari kiamat telah tiba. Lalu ia diambil dan dibawa menuju neraka. Tatka ia sampai di pintu neraka yang pertama tiba-tiba salah seorang putrinya datang dan menjulurkan tangannya untuk menghalangi sang lelaki dari masuk dalam neraka. Lalu ia dibawa lagi menuju pintu neraka yang kedua, tiba-tiba ada putrinya yang lain berdiri dan menghalanginya dari masuk neraka. Kemudian ia dibawa ke pintu ketiga, pintu keempat, pintu kelima, dan pintu keenam, semuanya ada putri-putrinya yang menghalanginya dari masuk neraka. Dan Allah berfirman tentang nerakaلَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ “Neraka memiliki tujuh pintu” (QS Al-Hijr : 44). Tinggal satu pintu lagi, maka dibawalah lelaki tersebut ke pintu yang ketujuh, iapun ketakutan, ia akan dilemparkan dalam neraka. Akhirnya iapun terbangun dari mimpinya dalam kondisi ketakutan. Iapun segera berdoa kepada Allah agar anaknya yang ketujuh juga adalah perempuan. Tatkala menjelang waktu kelahiran maka iapun terus berdoa kepada Allah agar anaknya yang ketujuh adalah perempuan, dan iapun menanti kelahiran anaknya. Kemudian datang pembawa kabar gembira bahwa anaknya yang ketujuh adalah anak laki-laki, maka sedihlah lelaki ini seraya menundukan kepalanya, padahal sebelumnya ia selalu berharap agar anaknya laki-laki. (Disarikan dari ceramah beliau syarah al-Adab al-Mufrod, bab مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ أَوْ وَاحِدَةً, hadits No. 76)
-
KETIGA : SUKA MENAHAN DAN MEMINTA
Nabi ﷺ bersabda,
وَمَنْعًا وَهَاتِ
“Menahan dan meminta”.
Arti “menahan”, yaitu menahan perkara-perkara wajib yang harus dia tunaikan, seperti:
- Zakat, merupakan hak orang-orang miskin yang seharus-nya dia tunaikan tapi tidak ditunaikan.
- Nafkah-nafkah wajib yang harusnya diberikan kepada orangtuanya, anak dan istrinya, tapi dia tidak keluarkan haknya.
- Nafkah wajib kepada pekerjanya yaitu gaji, tapi tidak dia keluarkan.
Arti “meminta”, yaitu dia hanya meminta. Hak orang lain tidak diberikan, sementara dia menuntut haknya bahkan sampai menuntut perkara-perkara yang bukan haknya.
Ada banyak model orang yang hanya menuntut tapi lupa bahwasanya dia juga punya tanggung jawab yang harus ditunaikan. Betapa banyak suami yang hanya pintar menuntut haknya akan tetapi hak-hak istrinya banyak yang terlalaikan? Sebaliknya, ada juga istri yang hanya pandai menuntut suaminya, sementara hak suaminya untuk dipatuhi diabaikan. Betapa banyak rakyat yang pandai menuntut haknya kepada pemerintah, namun kewajibannya kepada pemerintah ia abaikan, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu hendaknya kita jangan hanya pandai menuntut hak, tetapi kita juga harus pandai memenuhi kewajiban-kewajiban kita.
-
KEEMPAT : qīla wa qāla
Rasūlullāh ﷺ bersabda,
وَكره لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ
“Dan Allāh membenci bila kalian ‘qīla wa qāla’ (berkata hanya berlandaskan “katanya”).”
“Qīla wa qāla” adalah menyebarkan suatu berita hanya berlandaskan pada “katanya” tanpa terlebih dahulu mengecek sumber dan kebenaran beritanya. Ini adalah peringatan yang keras bagi setiap muslim, terutama di zaman modern seperti sekarang ini dimana setiap berita dapat menyebar sedemikian cepatnya melalui berbagai media komunikasi yang tersedia. Kabar yang belum jelas kebenarannya itu dapat menyebar dengan sangat cepat karena adanya kemudahan men-share informasi tersebut melalui media sosial maupun media massa lainnya.
Karena itu, diperlukan kewaspadaan dan kehati-hatian tingkat tinggi bagi kita sebelum menyebarkan setiap berita yang datang kepada kita.
Pertama cek kebenaran berita tersebut, pastikan sumbernya amanah.
Kedua, pertimbangkan apakah dengan men-share berita tersebut akan bermanfaat atau sebaliknya mendatangkan mudharat. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ . رواه مسلم
“Cukuplah seorang (dikatakan) berdusta jika dia menyampaikan seluruh apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)
Suatu kabar seringkali terdapat penambahan, pengurangan, dusta, dan sebagainya. Apalagi jika kabar-kabar tersebut berkaitan dengan ghibah dan namīmah. Jika kita menyebarkan semua berita yang sampai kepada kita, maka berarti kita ikut menyebarkan “katanya dan katanya” ini.
Terlebih pada zaman ini banyak situs-situs atau website-website yang tidak jelas ke-tsiqahan-nya (keamanahannya). Bukankah Rasūlullāh ﷺ bersabda:
بِئْسَ مَطِيّةُ الرجلِ زَعَمُوا
“Sungguh buruk (seburuk-buruk) tunggangan seseorang adalah perkataan ‘mereka menduga’.” (HR. Abū Dāwud)
Maksudnya, seorang menukil berita namun tidak jelas sumber perkataan tersebut. Dia hanya mampu mengatakan, “katanya begini, menurut/dugaannya begini.” Hal seperti ini sangat dilarang oleh Nabi ﷺ.
Ingatlah sabda Nabi ﷺ,
مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara keindahan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2318, dan yang lainnya)
Oleh karena itu, kalau ada kabar yang tidak jelas dan tidak bermanfaat baginya, bagi agamanya, dan masih diragukan, maka tidak perlu disebarkan. Kalau pun sudah terlanjur dibaca, maka tidak perlu di-share.
Ingatlah, jika kita menyebarkan setiap berita yang tidak jelas, yang bisa jadi isinya hanya kedustaan, ghibah, namīmah, dan sejenisnya, maka kita termasuk menyebarkan perkara-perkara dosa. Padahal Nabi ﷺ bersabda, “Cukuplah seorang dikatakan berdusta jika menyampaikan semua apa yang dia dengar.”
Terlebih lagi jika ternyata berita yang tidak jelas kebenarannya tersebut ternyata menggelisahkan masyarakat, membuat mereka ketakutan, dll. Oleh karenanya untuk menyebar/menshare suatu berita harus dipenuhi dua persyaratan. Pertama, harus dicek kebenaran berita tersebut. Kedua, harus dilihat dan ditimbang antara mashlahat dan mudhorot jika berita yang benar tersebut disebarkan ke masyarakat.
-
KELIMA, “banyak soal”.
Suāl dalam bahasa Arab bisa memiliki 2 makna, yaitu pertanyaan dan meminta dan keduanya adalah hal yang terlarang, yaitu terlalu banyak bertanya dan terlalu banyak meminta.
Makna pertama, terlalu banyak bertanya
Adalah bertanya hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti bertanya tentang hal-hal yang mustahil terjadi atau pertanyaan yang tujuannya untuk mencari keringanan. Misalnya hal-hal berikut ini.
- Pernah seorang ustadz ditanya, “Ustadz, apa hukum makan daging dinosaurus?”
Ini pertanyaan yang tidak bermanfaat. Dinosaurus sudah tidak ada. Kalaupun dahulu ada maka siapa yang menyembelih dan siapa yang mau makan dagingnya?
- Atau pertanyaan lain: “Apakah dinosaurus pernah ada?”
Ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada manfaatnya.
- Pertanyaan lain misalnya, “Ustadz, kalau saya tinggal di bulan, kapan saya shalat dzuhur?”
Kalau pertanyaan seperti ini diajukan oleh seorang astronot tentu tidak mengapa. Tetapi kalau kita bukan astronot dan hanya tinggal di rumah saja yang terletak di bumi, maka untuk apa bertanya yang seperti ini? Ini dilarang oleh Nabi ﷺ.
- Atau pertanyaan lain: “Kalau Ka’bah itu terbang, lalu bagaimana kaum muslimin shalat?” Siapa yang akan menerbangkan Ka’bah dan kapan?
Intinya kalau ada permasalahan yang pelik, nanti ada saatnya ulama akan membahas masalah-masalah tersebut.
Makna kedua, terlalu banyak meminta
Seseorang tidak dilarang untuk meminta bantuan orang lain. Tapi kalau terlalu sering meminta tolong kepada orang lain, maka hatinya akan kurang bergantung kepada Allāh ﷻ. Hendaknya seseorang bergantung hanya kepada Allāh ﷻ dan berusaha menjaga kehormatan (‘izzah) dirinya. Dalam hadits Rasūlullāh ﷺ mengatakan:
لاَ تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Senantiasa salah seorang dari kalian meminta dan meminta sampai dia bertemu Allāh di hari kiamat dalam kondisi wajahnya tidak ada dagingnya sama sekali.” (HR. Bukhāri no. 1.405 dan Muslim no. 2.443)
Artinya Allāh akan membalas perbuatan tidak tahu malu berupa meminta-minta yang terus menerus (takatstsuran). Dia sudah punya tetapi masih meminta lagi dan lagi.
Adapun orang yang meminta karena benar-benar membutuhkan dan benar-benar karena tidak punya, maka tidak dilarang. Yang dilarang adalah jika sebenarnya dia bisa berusaha sendiri dan tidak terlalu perlu meminta tapi meminta-minta terus. Ini yang bisa menghinakan diri seseorang di hadapan manusia dan Allāh ﷻ.
-
KEENAM : Menghabiskan harta dengan sia-sia
Rasūlullāh ﷺ bersabda,
وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Menghabiskan (membuang) harta dengan sia-sia.”
Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Sesungguhnya harta yang kita miliki ini hanyalah titipan dari Allāh ﷻ. Allāh ﷻ telah menyampaikan dalam Al-Qur’ān :
وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
“Berikanlah kepada mereka dari harta Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.” (QS. An-Nūr: 33)
Di antara bukti bahwa harta yang kita miliki adalah titipan dari Allāh adalah tatkala kita meninggal dunia maka kita tidak bisa seenaknya membagi harta tersebut sesuai dengan kemauan kita. Tetapi, begitu kita meninggal dunia harta kita langsung masuk dalam aturan pemilik harta yang sesungguhnya, yaitu Allāh ﷻ. Harta itu tidak boleh diberikan kepada orang yang kita senangi, tetapi harta itu harus dibagi sesuai dengan aturan warisan yang telah Allāh tetapkan dalam Al-Qur’ān. Hal ini menunjukkan bahwa harta kita hanyalah amanah (titipan) dari Allāh ﷻ.
Oleh karenanya, Allāh ﷻ akan memintai pertanggungjawaban tentang penggunaan amanah ini.
Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh ﷺ menyebutkan,
لَنْ تَزُوْلَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْئَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ، وَعَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ ، وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat, hingga ditanya empat perkara: tentang masa mudanya untuk apa digunakan, umurnya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana didapat dan ke mana disalurkan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2.416, dari shahābat Abu Dardā)
Menurut hadits ini, di hari kiamat Allah akan menanyakan empat perkara kepada setiap hamba. Di antara empat perkara tersebut, salah satunya adalah tentang hartanya. Dari mana harta itu diperoleh dan kemana harta itu dihabiskan. Pertanyaan kedua inilah yang akan kita bahas dalam pembahasan ini, yaitu وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ (kemana harta itu dihabiskan?).
Sebagai suatu amanah, kita tidak boleh sembarangan dalam menghabiskan harta kita. Jika harta yang kita miliki kita habiskan dengan sia-sia maka kita akan dihisab oleh Allāh dan diadzab karena penggunaan harta yang sia-sia tersebut. Oleh karenanya, para ulama rahimahumullāh membagi penggunaan harta menjadi 3 sebagai berikut.
Pertama, Penggunaan harta yang haram
Yaitu seseorang menggunakan harta dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Contohnya, menggunakan (menghambur-hamburkan) harta untuk perkara-perkara yang haram yang dibenci oleh Allāh ﷻ dan Rasūlullāh ﷺ. Ada banyak sekali model penggunaan harta pada hal-hal yang haram.
Kedua, Membiarkan harta tersebut tanpa ada penjagaan sehingga akhirnya harta tersebut rusak.
Model kedua ini adalah seseorang yang hanya gemar mengumpulkan harta tetapi tidak dijaga. Dia tidak pandai mengelola dan menjaga hartanya. Dia membiarkan hartanya rusak dan baru setelah tidak ada nilainya ia buang atau ia berikan kepada orang lain. Hobinya hanya mengumpulkan dan mengumpulkan harta, sehingga terkumpullah harta yang banyak, mulai dari barang-barang besar, mewah, dan berharga sampai barang-barang yang kecil dan berharga murah.
Ada beberapa contoh model orang seperti ini, misalnya sebagai berikut.
Contoh pertama, orang yang hobi mengumpulkan mobil atau kendaraan lainnya. Setelah memiliki banyak mobil maka ia tidak sanggup lagi merawatnya sehingga kebanyakannya menjadi rusak.
Contoh kedua, orang yang gemar mengumpulkan banyak beras atau makanan. Dibiarkannya makanan itu menumpuk dan rusak kemudian setelah itu dibuang. Padahal di saat yang sama ada tetangganya yang perlu makanan seperti itu, tetapi ia tidak mau memberikannya dan lebih suka menimbunnya sampai kemudian terbuang secara sia-sia.
Contoh ketiga, orang yang membuang harta yang masih bisa digunakan. Hal ini sering dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sifat angkuh dan gengsi yang tinggi. Karena sifat jeleknya itu, harta yang semestinya masih bisa digunakan oleh orang lain, namun dibuang begitu saja karena dia merasa tidak memerlukannya lagi. Hal seperti ini termasuk bentuk tabdzir. Semisal dengan hal ini adalah membuang makanan yang masih bisa dimakan dan membuang benda-benda yang masih bisa dipakai.
Ketiga, Penggunaan harta yang mustahab (dianjurkan).
Yang termasuk penggunaan harta yang mustahab (dianjurkan) adalah menginfaqkan harta pada hal-hal kebaikan dan keta’atan yang disukai Allāh ﷻ. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk menggunakan harta yang dianjurkan sepert ini, misalnya mengeluarkan harta untuk membangun masjid, dana untuk dakwah, mengeluarkan harta untuk anak yatim dan fakir miskin, dan lain-lain dari jalan-jalan kebaikan yang sangat banyak.
Keempat, Penggunaan harta yang dibolehkan oleh Allāh ﷻ.
Ini kembali kepada kondisi seseorang. Jika seseorang ternyata memiliki harta yang melimpah (kaya raya) dan kemudian dia juga sudah berinfaq dan sudah membantu orang miskin, maka tidak dilarang dia mengikuti gaya hidupnya yang wajar.
Seorang yang kaya boleh membeli mobil mewah yang dia suka dan enak selama tidak sampai berlebihan dan tidak menghantarkan kepada kesombongan. Membeli mobil mewah adalah haknya, hartanya masih banyak. Dia sudah berinfaq di jalan Allāh, membantu orang miskin, membangun masjid, maka dia boleh menikmati hartanya seperti untuk makan makanan yang enak, membeli kendaraan yang mewah, dan sebagainya.
Kebolehan membeli mobil yang mewah itu tidak berarti sampai pada derajat terlalu mahal, tidak, tetapi mobil tersebut mewah dan mahal karena memang enak untuk dipakai, bukan untuk bergaya atau sombong. Maka hal seperti ini tidak mengapa. Ini haknya karena ia telah menjalankan kewajiban sehingga berhak menggunakan harta yang dia miliki untuk hal-hal yang dibolehkan oleh Allāh ﷻ.
Adapun kalau kondisi orang tersebut ternyata tidak pas/sesuai dengan apa yang dia keluarkan, misalnya seseorang hartanya pas-pasan tetapi dia bergaya dengan gaya hidup mewah, maka ini tidak diperbolehkan dan ini diharamkan oleh Allāh ﷻ.
Semua ini kembali kepada ‘urf (tradisi). Kalau menurut tradisi merupakan perkara yang wajar bagi seseorang, maka ini diperbolehkan. Tetapi kalau penghasilannya sedikit, tapi hidupnya mewah, maka ini contoh mengeluarkan harta tidak pada tempatnya.
___________________________
Footnote:
[1] Adapun cerita yang tersebar di masyarakat bahwasanya Umar bin al-Khotthhob tatkala di zaman jahiliyah pernah menguburkan putrinya hidup-hidup maka ini adalah cerita yang batil yang diriwayatkan dengan riwayat yang shahih. Sejarah menyebutkan bahwa istri pertama Umar adalah Zainab binti Mazh’un (saudarinya ‘Utsman bin Maz’un) dan melahirkan Abdullah, Abdurrahman (al-Akbar) dan Hafsoh.
Dan Hafsoh adalah putrinya yang terbesar, lahir sekitar 5 tahun sebelum kenabian, dan akhirnya dinikahi oleh Nabi ﷺ. Jika memang Umar pernah membunuh putrinya di zaman jahiliyah maka Hafsohlah yang seharusnya dibunuh.
Wallahu a’lam.