Ustadz Firanda Andirja
  • HOME
  • AL QURAN
  • AQIDAH
  • BANTAHAN
  • FIQIH
  • KHUTBAH
  • SIROH NABI
No Result
View All Result
Ustadz Firanda Andirja
  • HOME
  • AL QURAN
  • AQIDAH
  • BANTAHAN
  • FIQIH
  • KHUTBAH
  • SIROH NABI
No Result
View All Result
Ustadz Firanda Andirja
Home ADAB DAN AKHLAK

Hukum Membalas Celaan Orang Lain

admin by admin
August 26, 2021
in ADAB DAN AKHLAK
Reading Time: 4 mins read
0
membalas celaan orang lain

Ilustrasi #Unsplash

Membalas Setimpal Celaan Orang Lain

Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ

“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ  bersabda, “Dua orang yang saling mencaci maki, maka apa yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang memulai memaki, selama yang dimaki (dizalimi) tidak melampaui batas.”([1])

Makna Hadits

Related Post

Anjuran Mendamaikan yang Bersengketa

Dikira Niat Beramalnya Tidak Ikhlas, Padahal Syariat Membolehkan

Ujub dan Riya’ Jadi Senjata Setan Untuk Menjerat Orang Shalih

Dahsyatnya Ghibah

Hadits ini menunjukkan bahwasanya jika ada orang yang mencaci kita, kemudian kita membalas caciannya dengan yang semisal maka kita tidak berdosa. Adapun dosa balasan cacian kita akan kembali kepadanya karena dia yang memulai dan yang menyebabkan kita membalas, dengan syarat kita tidak melampaui batas yaitu melebihi kadar celaannya.

Mencaci-maki adalah akhlak yang sangat buruk. Nabi ﷺ mengatakan,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ.

“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”([2])

Yang dimaksud dengan cacian adalah perkataan yang buruk atau keji, yang kita lemparkan kepada saudara kita sesama muslim. Dan terkadang cacian tersebut bisa menjerumuskan kepada perbuatan yang lebih parah yaitu terjadinya perkelahian bahkan bisa sampai pada pertumpahan darah. Semuanya berawal hanya dari caci-maki di antara sesama muslim.

Pada hadits ini Rasulullah ﷺ  menjelaskan bahwa apabila terdapat dua orang yang saling mencaci-maki, maka perkataan-perkataan keji yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang pertama kali memaki, selama yang dimaki tersebut tidak melampaui batas.

Sebagai contoh, si A mencaci si B dengan perkataan “kamu bodoh wahai B”. Kemudian si B membalasnya dengan cacian yang serupa, “kamu juga bodoh wahai A”. Lalu si A kembali menambah caciannya, “istrimu bodoh wahai B”. Si B kembali membalasnya, “istrimu juga bodoh wahai A”. Maka semua dosa cacian ini kembali kepada A karena dialah yang telah memulai melemparkan kata-kata keji tersebut, sehingga ia mendapatkan dosa sebab.  Hal ini semisal dengan hadits bahwasanya Rasulullah ﷺ  bersabda :

“مِن الكَبَائِرِ: شتم الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ” قِيْلَ: وَهَلْ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: “نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ الرجل أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ.”

“Di antara dosa besar adalah seorang lelaki memaki kedua orang tuanya.” Maka ditanyakan kepada Nabi ﷺ , “Apakah ada seorang mencaci maki kedua orang tuanya?” Rasūlullāh ﷺ  bersabda, “Ya ada, seseorang mencaci ayah orang lain, maka orang lain tersebut kembali mencaci ayahnya. Dan (demikian juga) ia mencaci maki ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencaci ibunya pula.”([3])

Karena ia yang menyebabkan saudaranya mencela kedua orang tuanya maka perbuatannya disandarkan kepadanya karena ia merupakan sebabnya([4]).

Namun apabila si A menambah kembali caciannya, “bapakmu bodoh wahai B”. Si B tidak tahan dan membalasnya, “bapakmu dan ibumu juga bodoh A”. Pada kondisi ini dosa semua cacian yang terlontar dari mulut A dan B tidak kembali kepada A sebagai pihak yang paling pertama memulai cacian, karena si B sebagai pihak yang dizalimi (pada awalnya) telah melampaui batas melebihi dari apa yang dilontarkan oleh A.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah si B juga menanggung dosa atau tidak. Akan tetapi pendapat yang terkuat sebagaimana yang dirajihkan oleh sebagian ulama adalah pihak yang dizalimi mendapatkan dosa sebagaimana kadar dia melampaui batas. Sehingga pada contoh tadi B juga mendapatkan dosa untuk caciannya kepada A pada perkataan, “ibumu juga bodoh A” sedangkan semua dosa cacian selain itu kembali kepada A sebagai pihak yang memulai pertama kali([5]).

Memaafkan Lebih Baik daripada Membalas

Meskipun Allah membolehkan seseorang untuk membalas cacian yang dilontarkan kepadanya dengan yang semisal dengan syarat bukan dia yang memulai, namun seorang muslim berusaha meninggalkan hal ini. Karena Allah memberikan pilihan yang lebih baik dari membalas keburukannya. Apabila ada orang yang mencaci-maki maka kita tidak perlu membalas, bahkan berusaha memaafkannya. Allah ﷻ berfirman,

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

“Jika kalian membalas, maka balaslah yang setimpal, akan tetapi bila kalian bersabar maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (QS. An-Nahl: 126)

Jika kita membalas orang yang menzalimi kita, maka kita tidak akan berdosa tetapi kita juga tidak akan mendapatkan pahala. Namun seseorang yang menginginkan pahala, maka dia tidak akan membalas akan tetapi berusaha bersabar. Allahﷻ  berfirman dalam ayat yang lain,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)

Allah ﷻ juga berfirman,

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ

“Maafkan dan ampuni lapangkan dada, apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nur: 22)

Dalam ayat yang lain Allah ﷻ juga berfirman,

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ والله يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Allah memuji orang-orang yang memaafkan orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Ali-‘Imran: 134)

Hendaknya seorang muslim itu menjauhkan lisannya dari mencaci-maki dan memilih kata-kata yang baik. Seorang muslim juga hendaknya berakhlak mulia dan menjauhkan dirinya dari kata-kata yang buruk. Apabila dia bertemu dengan orang yang memiliki kata-kata yang buruk hendaknya tidak meladeninya dan berusaha menjauh darinya karena bergaul dengannya akan mempengaruhinya. Semoga Allahﷻ  menghiasi lisan-lisan kita dengan kata-kata yang indah terhadap sesama muslim dan menjauhkan kita dari kata-kata yang buruk.

Artikel ini bagian dari buku Syarah Kitabul Jami’ Karya DR. Firanda Andirja, MA.

Baca versi online lengkap Syarah Kitabul Jami’ 

Footnote:

________

([1]) HR. Muslim no. 2587.

([2]) HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64.

([3]) HR.  Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90

([4]) Lihat Fathu Dzil Jalaal wal Ikroom bi Syarh Buluugh al-Maroom, al-Útsaimin 15/302

([5]) Lihat MInhatul Álaam fi Syarh Buluugh al-Maroom, al-Fauzan 10/260

Tags: celaanhukum mencelamembalas celaan orang lain
Share220Tweet138Send

Related Posts

mendamaikan sengketa
ADAB DAN AKHLAK

Anjuran Mendamaikan yang Bersengketa

Diantara akhlak yang mulia dan sangat dianjurkan oleh syariát adalah mendamaikan dua orang yang bersengketa. Berikut ini penulis lampirkan pembahasan...

by admin
January 14, 2022
niat tidak ikhlash
ADAB DAN AKHLAK

Dikira Niat Beramalnya Tidak Ikhlas, Padahal Syariat Membolehkan

Perkara-Perkara Yang Disangka Merusak Keikhlasan Ternyata Tidak Ada beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang merusak keikhlasan, akan tetapi ternyata...

by admin
October 27, 2021
Next Post
Nabi Muhammad ﷺ adalah Nabi dan Rasul Terakhir, Hati-hati Kelak Ada Nabi Palsu

Nabi Muhammad ﷺ adalah Nabi dan Rasul Terakhir, Hati-hati Kelak Ada Nabi Palsu

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent News

mendamaikan sengketa

Anjuran Mendamaikan yang Bersengketa

January 14, 2022
sesajen untuk berhala dan jin

Allah Tidak Menerima Sesajen yang Mengandung Kesyirikan – Faidah Tafsir Surat Al-An’am: 13

January 10, 2022
hukum puasa hari jumat

Hukum Puasa Pada Hari Jum’at Saja

December 31, 2021
allah al ahad

Allah Al Ahad – Yang Maha Esa

December 24, 2021

Website resmi Ustadz Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A. Dikelola oleh tim IT resmi Ustadz Firanda Official.

About

  • About Us
  • Site Map
  • Contact Us
  • Career

Policies

  • Help Center
  • Privacy Policy
  • Cookie Setting
  • Term Of Use

Join Our Newsletter

Copyright © 2025 by UFA Official.

Facebook-f Twitter Youtube Instagram

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Landing Page
  • Support Forum
  • Buy JNews
  • Contact Us

© 2025 Firanda Andirja - Menebarkan cahaya tauhid & sunnah.