Tentunya semua orang akan sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menyingkat lafal-lafal doa, akan tetapi menuliskannya dengan sempurna. Sholawat kepada Nabi hendaknya ditulis lengkap “Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, demikian juga memberi salam hendaknya ditulis dengan lengkap “Assalaamu’alaikum warahmatullaaahi wa barokaatuhu”.
Akan tetapi yang menimbulkan pernyataan, kita banyak mendapati kaum muslimin yang menyingkat-nyingkat doa-doa tersebut, tentunya sama sekali bukan dalam rangka meremehkan doa-doa tersebut, namun kemungkinan terbesar adalah demi menyingkat waktu dalam penulisan.
Toh kenyataannya kita dapati –dalam hal ucapan- tidak ada seorang muslimpun yang menyingkat doa. Setiap muslim tatkala memberi salam kepada saudaranya dengan ucapan maka iapun mengucapkannya dengan sempurna, demikian juga tatkala bersholawat kepada Nabi mengucapkan doa sholawat tersebut dengan sempurna.
Jika demikian perkaranya hanyalah permasalahan “menyingkat” dalam tulisan, bukan dalam ucapan. Apakah hukumnya haram?, ataukah boleh??!
Syaikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini :
Pertanyaan :
ما حكم كتابة الحرف ( ص ) بعد لفظة النبي صلى الله عليه وسلم في الكتاب.؟
Apa hukum penulisan huruf (ص) setelah penulisan lafal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di buku?
Jawab :
لا مانع من ذلك، بخلاف ما يفعله بعضهم قديما (صلعم) إختصار أوسع،أكثر حرفا من (ص) لأن ذلك أُوهم أنها كلمة،وبعض العامة والجهلة لا يفقهها،وأما (ص) فأصبحت رمزا للصلاة على النبي صلي الله عليه وسلم، لذلك أنا ما أرى مانعا من إستعمال هذه اللفظة لأنها لا يُسئ فهمها
“Tidak mengapa, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang dahulu dengan menulis singkatan “صلعم” (yaitu ringkasan dari صـلـى الله عليه وسلم -pen), yaitu bentuk ringkasan yang lebih luas dan lebih banyak hurufnya daripada (ص), karena tulisan (صلعم) mengesankan adalah sebuah kata (shol’am), dan sebagian orang awam serta orang-orang bodoh tidak memahaminya (kalau itu hanya singkatan-pen). Adapun singkatan (ص) maka menjadi simbol bagi sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya aku memandang tidak mengapa menggunakan lafal ini (ص sebagai ringkasan shalawat-pen) karena tidak disalah fahami” (Transkrip dari kaset Silsilah Al-Hudaa wa An-Nuur, kaset no 165, silahkan lihat http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=6110)
Sangat jelas dari perkataan Syaikh Al-Albani bahwasanya jika simbol (yang merupakan singkatan) tidak menimbulkan kesalah fahaman bagi orang awam maka tidak mengapa untuk digunakan. Karena tujuan dari simbol tersebut bukanlah untuk dibaca, tapi yang dibaca adalah sholawatnya secara lengkap. Simbol tersebut hanyalah sebagai pemberitahuan untuk bersholawat.
Dari jawaban Syaikh Al-Albani di atas maka bisa kita simpulkan akan bolehnya menyingkat shalawat kepada Nabi dengan “SAW”, demikian juga menyingkat salam dengan “Ass Wr Wb”, atau menjawab salam dengan “Wlkm wr wb”, atau yang semisalnya yang tentunya telah dipahami maksudnya oleh pembaca.
Pendapat Syaikh Al-Albani rahimahullah ini diselisihi oleh mayoritas ulama. Kebanyakan ulama memandang penyingkatan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makruh. Silahkan lihat fatwa-fatwa mereka di http://www.artikelmuslim.com/2012/02/fatwa-ulama-seputar-hukum-menyingkat.html atau di http://www.konsultasisyariah.com/hukum-menyingkat-tulisan-shalawat-nabi/
Namun As-Sakhoowi rahimahullah (wafat 902 H) dalam kitabnya Fathul Mughiits (Syarah 1000 bait Al-Haafiz al-‘Irooqi) lebih cenderung kepada pendapat bahwa penyingkatan tersebut hanya masuk pada kategori خِلاَفُ الأَوْلَى “Menyelisihi yang lebih utama”, dan tidak sampai pada kategori makruh. Berikut pernyataan beliau rahimahullah
واجتنب أيها الكاتب الرمز لها أي للصلاة على رسول الله صلى الله عليه و سلم في خطك بأن تقتصر منها على حرفين ونحو ذلك فتكون منقوصة صورة كما يفعله الكسائي والجهلة من أبناء العجم غالبا وعوام الطلبة فيكتبون بدلا صلى الله عليه وسلم ص أو صم أو صلم أو صلعم فذلك لما فيه من نقص الأجر لنقص الكتابة خلاف الأولى.
وتصريح المصنف فيه وفيما بعده بالكراهة ليس على بابه …لكن وجد بخط الذهبي وبعض الحفاظ كتابتها هكذا صلى الله علم وربما اقتفيت أثرهم فيه بزيادة لام أخرى قبل الميم مع التلفظ بهما غالبا والأولى خلافة
“Wahai sang penulis, hendaknya engkau menjauhi penulisan simbol untuk bersholawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tulisanmu, yaitu engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan yang semisalnya. Maka jadilah bentuk sholawatnya menjadi berkurang, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kisaai, orang-orang jahil dari orang-orang ‘ajam secara umum, dan juga para penuntut ilmu yang awam. Sebagai pengganti صلى الله عليه وسلم mereka tulis (ص) atau (صم) atau (صلم) atau (صلعم). Hal ini dikarenakan akan mengurangi pahala dikarenakan kurangnya tulisan. Ini adalah menyelisihi yang lebih utama.
Dan penegasan sang penulis (Yaitu Al-Haafiz Al-‘Irooqi rahimahullah-pen) di bait ini dan juga pada bait setelahnya akan makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya…
Akan tetapi ditemukan khot (tulisan tangan) Al-Imam Adz-Dzahabi dan juga sebagian para huffaz penulisan shalawat kepada Nabi seperti ini (صلى الله علم), dan terkadang aku mengikuti cara mereka (dalam penyingkatan-pen) dengan menambah huruf laam yang lain sebelum huruf miim (yaitu jadinya صلى الله عللم -pen) dengan biasanya disertai melafalkan sholat dan salam. Dan yang lebih utama adalah tidak melakukannya” (Fathul Mughiits 3/70-71, tahqiq Ali Husain Ali, cetakan Wizaaroh Asy-Syu’uun Al-Islaamiyah wal Awqoof wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyaad)
Perhatikanlah perkataan As-Sakhoowi “makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya“, menunjukkan beliau tidak setuju bahwa penyingkatan shalawat dalam tulisan dihukumi makruh. Sehingga beliau menafsirkan kata “makruh” yang disebutkan oleh Al-Haafiz al-‘Irooqi bahwa makruh tersebut bukan pada makna makruh dalam makna biasanya yaitu makruh dalam hukum fikih. Akan tetapi wallahu a’lam, seakan-akan As-Sakhoowi hanya memandang makruh tersebut dalam adab saja bukan dalam hukum. Karenanya beliau menegaskan bahwa beliau juga melakukan penyingkatan tersebut terkadang akan tetapi hanya dalam tulisan, dan tatkala beliau menyingkat dalam tulisan mulut beliau tetap mengucapkan sholat dan dan salam kepada Nabi dalam bentuk ucapan. Akan tetapi beliau tetap memandang bahwa menyingkat hanyalah menyelisihi yang lebih utama.
Pendapat As-Sakhoowi rahimahullah ini saya kira sama dengan pendapat Syaikh Al-Albani, bahwasanya penyingkatan shalawat hukumnya boleh, hanya saja menyelisihi yang lebih utama, karena tentunya dengan menulisnya secara lengkap akan mendapatkan pahala menulis sholawat tersebut, selain juga mendapatkan pahala mengucapkan secara lisan sholawat tersebut.
Pendapat Syaikh As-Sakhowi dan Al-Albani cukup kuat mengingat :
Pertama : “Makruh” salah satu bentuk vonis hukum dalam hukum-hukum fikih. Tentunya vonis tersebut butuh dalil, sebagaimana pernyataan “mubaah”, “sunnah”, “haram”, dan “wajib” juga butuh dalil. Dan dalam hal penyingkatan shalawat maka hukum asalnya adalah mubaah (boleh), kecuali ada dalil yang memalingkan kepada makruh.
Kedua : Tujuan dari tulisan adalah dibaca, karenanya huruf-huruf untuk mengungkapkan sesuatu ucapan bisa saja berbeda-beda. Untuk mengungkapkan sholawat kepada Nabi yaitu dengan ucapan (صلى الله عليه وسلم) bisa dengan menggunakan huruf Arab (huruf hijaiyah) atau dengan huruf latin, atau dengan huruf cina atau jepang, atau huruf jawa kuno, dll. Yang intinya dibuatnya tulisan adalah untuk dibaca, jika suatu tulisan sudah dipahami maksud bacaannya maka telah tercapai tujuan tulisan tersebut, karena tulisan adalah wasilah/sarana saja, tujuannya adalah bacaan. Jika tujuannya telah tercapai dengan tulisan huruf apapun maka wallahu A’lam tidak mengapa.
Karenanya syaikh Al-Albani rahimahullah memandang tidak mengapa jika lafal sholawat disingkat menjadi (ص) karena orang yang membacanya sudah paham tujuan dari tulisan huruf shood ini, yaitu untuk bershalawat. Akan tetapi beliau kurang setuju dengan singkatan (صلعم) karena dikawatirkan akan disalah pahami sehingga akan dibaca oleh orang yang tidak mengerti dengan “Shol’ama” yang tidak tahu bahwa itu adalah singkatan dari sholawat kepada Nabi. Artinya beliau kawatir tujuan dari tulisan tidak tercapai. Dengan demikian jika tujuan dari tulisan huruf-huruf telah tercapai maka hukumnya tidak mengapa. Sebagaimana tulisan SAW, saya rasa rata-rata orang akan faham maksudnya adalah untuk bersholawat kepada Nabi dengan mengucapkan “Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”, dan bukan dibaca “saw’.
Ketiga : Jika kita menjadikan teks tulisan yang tertera sebagai tujuan maka yang hanya bisa mengungkapkan sholawat kepada Nabi dengan tepat adalah huruf Arab hijaiyah. Adapun huruf latin, huruf jawa kuno, huruf jepang, apalagi huruf cina tentu tidak akan bisa mengungkapkan sholawat dengan tepat. Sebagai contoh di dalam bahasa Inggris, atau bahasa, jawa, dan juga huruf cina dan jepang, kemungkinan besar tidak ada yang bisa mewakili huruf (ع) ‘ain, demikian juga huruf (ص). Karenanya kalau kita hanya bersandar kepada teks yang tertulis dengan melalaikan bahwa teks tersebut hanyalah sarana dan bukan tujuan, maka kita katakan penulisan sholawat dalam bahasa Indonesia sebagai berikut merupakan kesalahan : “Salalahu alaihi wa salam”. Ini adalah kesalahan karena jika dibaca leterlek maka tidak akan mewakili sholawat yang benar, karena tidak mewakili huruf shood, dan malah cenderung mewakili huruf siin, demikian juga tidak mewakili huruf ‘ain, tetapi lebih cenderung mewakili huruf hamzah, demikian juga huruf lam nya tidak didouble. Yang paling mendekati kebenaran adalan “Shollallahu ‘alaihi wa sallam”
Keempat : Dari penjelasan poin di atas maka saya kurang setuju dengan penghukuman sebagian orang yang menyatakan bahwa menyingkat (السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ) dengan Ass wr wb adalah kesalahan, dikarenakan makna “Ass” dalam bahasa Inggris adalah makna yang jorok. Hal ini dikarenakan sbb :
- Tujuan dari tulisan adalah bacaan, dan tujuan penulisan “Ass wr wb” bukanlah maksudnya dibaca secara leterlek “Ass”. Saya rasa ini dipahami oleh semua orang yang berakal. Demikian juga kalau tujuannya hanya membaca teks secara leterlek maka bagaimana mau dibaca “wr” dan “wb”??
- Penulisan singkatan tersebut (yaitu Ass wr wb) dimaksudkan adalah dalam bahasa Indonesia, karenanya janganlah dibawa kepada makna bahasa-bahasa yang lain. Jika caranya demikian maka bisa jadi kita akan terjerumus dalam banyak kesalahan. Sebagai contoh kata “butuh” dalam bahasa Indonesia adalah maknanya “perlu”, tapi dalam bahasa Malaysia maknanya konon adalah “kemaluan”. Demikian juga misalnya kata “naik” dalam bahasa Indonesia artinya beranjak dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi, akan tetapi dalam bahasa Arab artinya “berhubungan tubuh/seks”
- Jika kita membawa tulisan Indonesia ke makna-makna dalam bahasa lain, seperti Ass dalam bahasa inggris artinya “pantat” maka jadilah penyingkatan ini menjadi haram, bukan hanya makruh. Demikian juga mungkin saja kata “SAW” dalam bahasa-bahasa yang lain bisa jadi bermakna buruk. Padahal mayoritas ulama hanya menyatakan hukumnya sekedar makruh dan tidak sampai pada derajat haram. Wallahu A’lam.
Kelima : Sering kita butuh pada singkatan-singkatan tersebut dalam menulis sms dalam rangka untuk menghemat biaya dan menghemat waktu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya kecepatan mengucapkan (berbicara dengan lisan) lebih cepat daripada kecepatan pengungkapan dengan tulisan.
Keenam : Kita juga mendapati para ulama melakukan penyingkatan, seperti (نا) yang merupakan singkatan dari (حدثنا), demikian juga misalnya kata (بسملة) yang merupakan singkatan dari (بسم الله الرحمن الرحيم), juga kata (حمدلة) singkatan dari (الحمد لله), juga kata (حيفلة) singkatan dari (حي على الفلاح) juga kata (حولقة) yang merupakan singkatan dari (لا حول ولا قوة إلا بالله).
Ketujuh : Diriwayatkan bahwsanya sebagian ahlil hadits menuliskan kata “Nabi” tanpa menuliskan (صلى الله عليه وسلم), akan tetapi hanya mencukupkan mengucapkan sholawat kepada Nabi dengan lisan tidak dengan tulisan. Jika perkaranya dibolehkan maka tentu menulis singkatan sholawat dalam rangka untuk mengingatkan pembaca agar bersholawat juga dibolehkan. Wallahu A’lam bis Showaab
Catatan :
- Bagaimanapun menulis doa secara lengkap itulah yang dianjurkan, dan lebih baik, serta sang penulis akan mendapatkan pahala dari tulisannya tersebut selain pahala ucapan.
- Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan kepada para pembaca yang tatkala menegur orang yang menyingkat shalawat atau menyingkat salam dengan terkesan seakan-akan perbuatan tersebut adalah haram dan terhina pelakunya.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 16-11-1434 H / 22 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
Mantabs, Ustadz… dan secara umum saya setuju… pada tahun 2007 (enam tahun lalu) saya menyinggung secara singkat tentang masalah ini di salah satu milis, dan kemudian dimuat dalam blog salafyitb (hanya saja pembahasannya masih sangat sederhana dan apa yang Ustadz tuliskan jauh lebih lengkap): http://salafyitb.wordpress.com/…/
Alhamdulillah , sangat bermanfa”at, insya ALLAH. Barakallahu fiikum yaa ustadz ……
Alhamdulillah , sangat bermanfa”at, insya ALLAH. Barakallahu fiikum yaa ustadz
sekedar menguatkan link yang saya sebutkan sebelumnya…
in my humble opinion, untuk poin keempat, terkait dengan penyingkatan dengan “ass” atau singkatan lain yang dapat dibawa kepada pemaknaan yang buruk, pintu ini sebaiknya ditutup.
kisah dan larangan dalam QS al-Baqarah/2: 104 cukup relevan dg hal tsb:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
Keterangan ayat: “Raa `ina” dengan mashdar “muraa`ah” berarti: “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para sahabat menggunakan kata ini, orang Yahudi pun memakai kata ini, tetapi yang mereka maksudkan adalah “Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat (ejekan).
Terkait singkatan “ass” dan yang semisalnya, sangat dimungkinkan apabila pembicara tidak menyenangi mitra bicara (mukhaathab) maka ia memaksudkan makna yang buruk. Karena itu, pintu semacam ini agar ditutup. Wallaahu a`lam.
ustadz, pada kenyataanya saya sering menemui orang awam yang membaca text baik dalam pidato atau yg lainnya, ketika menemui kata SAW, sebagian dari mereka tidak bersholawat, tapi tetap membacanya “eS A We”, bagaimana menurut pendapat ustadz dalam kasus spt ini?
hindari lebih baik..karena kita tidak tau seseorang itu berilmu atau awwam dari luarnya.
Barakallahu, pembahasan yang sangat bermanfaat…