Hukum ghibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga dirinya[34]
((فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا)) فَأَعَادَهَا مِرَارًا
((Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ngulangi perkataan beliau ini”[35]
Berkata Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada hari-hari yang lain sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini di tanah ini (tanah suci Mekah)…”[36]
Berkata Imam An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa (harta), dan kehormatan, dan untuk memperingatkan akan hal ini”[37]
Berkata Al-Munawi, “Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu (ucapanmu) maka janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudhorot kepada mereka”[38]
Sebagaimana kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta (seperti mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harga dirinya. Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan dicela.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Asy-Syaukani berkata -setelah menjelaskan pengharaman ghibah berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak-, “Jika telah jelas perkaranya bagimu maka engkau telah mengetahui bahwasanya ghibah termasuk kemungkaran yang paling keras dan keharaman yang paling besar. Oleh karenanya mengingkari pelaku ghibah adalah wajib bagi setiap muslim”[39]
Berkata As-Shon’aani, “Dan hadits-hadits yang memperingatkan akan bahaya ghibah sangatlah banyak sekali yang hal ini menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah”[40]
Namun terjadi khilaf diantara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil. Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”. Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia.” [41]
Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12) ada peringatan keras terhadap gibah dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar”. [42]
Alasan mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya perkataan mereka :”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.
Perkara-perkara yang menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar
(I) Ghibah termasuk riba yang paling parah, dan riba merupakan dosa besar
Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang ghibah)[43] sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadits Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak[44]
Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi, أَرْبَى الرِّبَا “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim, maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya, semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta” [45]
Berkata Ibnul Atsir, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta menggibahi mereka”[46]
Berkata Al-Baidhowi, “الاستطالة (Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya sebagaimana perkataannya kepadanya[47], atau lebih dari yang rukhsoh yang diberikan[48]. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at ataupun menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya dan lebih besar bahayanya dari pada harta” [49] Pelanggaran yang berkaitan dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan harta, oleh karena seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai daripada jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa hak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom :172, Ar-Roudl An-Nadzhir: 459, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami’ 3375)
Asy-Syaukani mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan….dan seterusnya)), menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah. Karena maksiat yang senilai maksiat zina yang merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa maksiat tersebut telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan keledzatan dalam ucapannya tersebut dan tidak menambah hartanya serta tidak juga meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar dari pada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari hal ini)….amin..amin.” (Nailul Author V/297)
(II) Pelaku ghibah disiksa dengan adzab yang sangat pedih
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.
Dalam riwayat yang lain :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)
(III) Ghibah merupakan penyebab siksa kubur
Imam Al-Bukhari membawakan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu di bawah bab Ghibah, beliau (Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu) berkata,
مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu ia berkata, “Sesungguhnya keduanya sedang di adzab, dan tidaklah keduanya disiksa karena perkara yang besar. Adapun yang ini ia tidak bersih tatkala buang air kecil, dan adapun yang ini ia berjalan sambil bernamimah” ( HR Al-Bukhari V/2249 no 5705 باب الغيبة)
Meskipun hadits ini tidak meyebutkan ghibah namun Imam Al-Bukhari membawakannya di bawah bab ghibah. Berkata Ibnut Tin, “Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah judul ghibah padahal yang disebutkan dalam hadits ini adalah namimah karena keduanya sama-sama merupakan bentuk penyebutan sesuatu yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan dan dia sedang tidak hadir” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).
Berkata, “Al-Kirmani, “Ghibah merupakan salah satu bentuk dari namimah, karena jika orang yang sedang dinukil perkataannya mendengar perkataan yang dinukil darinya maka akan menyedihkannya”(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).
Ibnu Hajar berkata, ((Ghibah terkadang terdapat dalam sebagian bentuk-bentuk namimah, yaitu jika ia menyebutkan saudaranya -dan ia tidak hadir- tentang perkara yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut dengan maksud untuk menyebarkan kerusakan. Maka ada kemungkinan bahwa kisah tentang orang yang di adzab di kuburnya demikian kisahnya (yang disebutkan hanyalah namimah), dan ada kemungkinan juga bahwa Imam Al-Bukhari memberi isyarat kepada lafal yang terdapat pada beberapa jalan hadits yaitu lafal “ghibah” yang sangat jelas…[50],))[51]
(IV) Pelaku ghibah puasanya sia-sia.
Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[52] serta berbuat kebodohan[53] maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya” (HR Al-Bukhori no 1903, 6057. Hadits ini diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/572 no 1200 pada bab الْغِيْبَةُ لِلصَّائِمِ “Ghibah yang dilakukan oleh orang yang berpuasa”)
Berkata Ibnu At-Thin,” Zohir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat ghibah tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat sebagian salaf[54]. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini bahwasanya gibah termasuk dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya”.[55]
Abul ‘Aaliyah berkata, الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ مَالَمْ يَغْتَبْ وَإِنْ كَانَ نَائِمًا عَلىَ فِرَاشِهِ “Orang yang berpuasa berada dalam ibadah bahkan meskipun ia sedang tidur selama tidak berbuat ghibah”[56]
Hukum mendengarkan ghibah
Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[57]. Allah ta’ala berfirman :
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum yang dzolim. (Al-An’am 68)
Benarlah perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah
Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya. (Al-Qosos : 55)
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun :3)
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya. (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)
Dan demikinlah pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang digibahi mereka membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut :
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dar ‘Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab :”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah (Bukhori dan Muslim)
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رضي الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
Ka’ab bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan Ka’ab ?”, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu berkata : “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam. (Bukhori dan Muslim)