Keutamaan Keridhaan Orang Tua
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما: عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: رِضَا اللَّهِ فِـيْ رِضَا الْوَالِدَيْـنِ، و سخط اللَّهِ فِـيْ سخط الْوَالِدَيْنِ .أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin Al-‘Āsh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā: dari Nabi ﷺ, Beliau bersabda, “Keridhāan Allāh itu berada pada keridhāan kedua orang tua, dan kemarahan Allāh itu berada pada kemarahan kedua orang tua.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbān dan Al-Hākim)
Tidak diragukan lagi bahwasanya hak kedua orang tua sangatlah besar. Allāh ﷻ telah mengingatkan hal ini di banyak ayat dalam Al-Qurān. Di antaranya firman Allāh ﷻ berikut ini,
أَنِ اشْكرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Bersyukurlah kepada-Ku dan bersyukurlah (berterima-kasihlah) kepada kedua orangtuamu, dan kepada-Ku lah kalian akan kembali.” (QS. Luqmān: 14)
Dalam ayat ini Allāh menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada Allāh dengan perintah untuk bersyukur/berbakti/berterima kasih kepada kedua orang tua. Kemudian, Allāh menutup ayat tersebut dengan mengatakan, “Ingatlah, kalian akan dikembalikan kepada-Ku”. Artinya, kalian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allāh ﷻ, apakah kalian bersyukur/berterima kasih kepada kedua orang tua atau tidak?
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ
“Dan Rabbmu telah menetapkan agar kalian tidaklah beribadah kecuali hanya kepada Allāh ﷻ dan berbaktilah kepada kedua orangtua kalian.” (QS. Al-Isrā: 23)
Dalam ayat ini, Allāh menggandengkan antara hak tauhid Allāh ﷻ dengan hak berbakti kepada kedua orangtua. Hal ini menunjukkan agungnya hak berbakti kepada kedua orangtua.
Barangsiapa yang mengerti bahasa Arab, kalimat “إِحْسَانًا” adalah maf’ul muthlaq yang didatangkan untuk “penekanan”, seakan-akan taqdirnya (kalimat yang dimaksudkan)
وَأَحْسِنُ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Berbaktilah kepada kedua orangtua dengan sebakti-baktinya.”
Allāh memerintahkan kita tidak hanya sekedar berbakti sewajarnya. Tetapi Allāh menyuruh untuk berbakti sebakti-baktinya kepada kedua orangtua. Ini menunjukkan akan agungnya berbakti kepada kedua orangtua. Oleh karenanya, barangsiapa yang tidak menggunakan kesempatan untuk berbakti kepada kedua orangtua, maka dia adalah orang yang celaka.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abū Hurairah, dari Nabi ﷺ, Beliau bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثمَّ رَغِمَ أَنْفُ، قَيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدِهِمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Sungguh celaka, celaka, dan celaka”. Dikatakan kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, siapakah yang celaka?” Nabi berkata, “Siapa yang menemui kedua orang tuanya di masa tua (jompo), salah satunya atau keduanya, kemudian dia tidak bisa masuk surga.”
Kenapa Rasūlullāh ﷺ mengatakan “celaka”? Karena berbakti kepada orangtua di masa jompo mereka merupakan kesempatan yang sangat besar untuk mendulang pahala. Pintu surga telah terbuka selebar-lebarnya agar kita bisa masuk ke dalamnya dengan jalan berbakti kepada kedua orangtua, terutama tatkala mereka berdua dalam kondisi lemah lagi sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan bantuan. Maka barangsiapa yang menyia-nyiakan kedua orang tuanya dalam kondisi seperti itu, maka ia termasuk orang yang celaka. Dia menyia-nyiakan pintu surga yang sudah dibuka lebar-lebar dan bahkan memilih jalan ke neraka dengan tidak berbakti kepada kedua orang tua. Maka, apa namanya orang yang demikian jika bukan orang yang celaka?
Meskipun demikian, kita tidak boleh ta’at kepada orangtua jika dalam hal bermaksiat kepada Allāh ﷻ. Kita hanya ta’at kepada kedua orangtua tatkala mereka berdua menyuruh kita kepada perkara yang ma’ruf. Oleh karenanya, Allāh ingatkan dalam Al-Qurān:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya menyuruhmu untuk berbuat syirik kepadaKu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah engkau ta’ati keduanya. Akan tetapi tetaplah pergaulilah mereka berdua dengan cara yang baik.” (QS. Luqmān: 15)
Ayat ini menunjukkan kewajiban berbakti kepada kedua orangtua bagaimanapun kondisi mereka. Perhatikan dengan saksama ayat ini. Ayat ini menceritakan kedua orangtua yang sangat besar dosanya. Mereka bukan hanya sekedar peminum khamr, pembunuh, atau pencuri melainkan mereka adalah orang musyrik dan bahkan juga menyuruh anaknya untuk berbuat syirik. Maka Allāh mengatakan bahwa sang anak tidak boleh ta’at kepada kedua orangtua, akan tetapi sang anak tetap diwajibkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya.
Seringkali timbul pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini.
- “Ustadz, bagaimana jika orangtua saya ternyata menzhalimi saya?”
- “Ustadz, bagaimana jika ternyata orangtua saya dulu tidak menafkahi saya?”
- “Ustadz, bagaimana dengan ayah saya, sejak kecil saya dan ibu saya ditinggalkan oleh ayah saya.” “Bagaimana, apakah saya wajib untuk berbakti?”
Maka jawabannya adalah tetap wajib berbakti bagai-manapun kondisi orangtua. Orang tua merupakan sebab seorang anak ada di dunia ini. Seandainya kedua orangtua tidak ada atau salah satunya tidak ada, maka seorang anak tidak akan muncul di atas muka bumi ini. Maka bagaimanapun kondisi orangtua, tetap wajib bagi anak untuk berbakti kepadanya. Jangankan hanya sekedar orangtua tidak memberi nafkah, bahkan orangtua di atas kesyirikan pun wajib bagi si anak untuk berbakti kepada orangtua.
Akan tetapi jika orangtua menyuruh kepada kemaksiatan maka tidak boleh dita’ati. Rasūlullāh ﷺ bersabda,
لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقٍ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bemaksiat kepada Allāh ﷻ.” (Shahih, HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim, dan yang lain, dengan lafadz Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani; Lihat As-Shahihah No. 179)
Hadits ini merupakan kaidah dasar yang perlu dipahami. Jika ternyata orangtua memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh dita’ati. Tidaklah layak bagi seorang muslim untuk menyenangkan orangtua tetapi dengan mendatangkan kemurkaan Allāh ﷻ. Jika orangtua menyuruh untuk meninggalkan suatu yang wajib, maka tidak boleh ditaati. Akan tetapi jika orang tua menyuruh kita kepada perkara-perkara baik atau perkara yang mubah (diperbolehkan), maka wajib ditaati oleh anaknya.
Sebagian ulama menyebutkan, “Jika ada perkara ilmu agama yang wajib dipelajari tetapi orang tua tidak mengizinkan, maka seorang anak boleh untuk tidak meminta izin kepada orang tuanya dan tetap belajar tanpa izinnya.
Misalnya, seseorang anak hendak melaksanakan ibadah haji tetapi ia tidak tahu cara berhaji. Dalam situasi seperti ini, wajib baginya belajar ilmu tentang haji. Contoh lainnya, seorang anak tidak tahu cara shalat yang benar, dia harus belajar fiqh shalat. Jika ia ingin menikah, maka ia pun wajib belajar ilmu tentang pernikahan. Dalam situasi seperti ini, ia wajib menuntut ilmu tanpa meminta izin orang tua meskipun orang tua tidak ridha.
Mengapa demikian? Karena menuntut ilmu dalam situasi seperti itu termasuk fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan kewajiban dari Allah ﷻ tidak boleh dikalahkan dengan kewajiban untuk membahagiakan orang tua.
Ada permasalahan yang sering ditanyakan, “Bagaimana jika orangtua menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya?”
Permasalahan seperti ini sering ditanyakan kepada para ulama. Maka para ulama menjelaskan permasalahan ini secara khusus.
Jika orangtua benci dengan istri anaknya kemudian mereka menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya?Maka apa yang harus dilakukan oleh sang anak?
Jawabannya adalah: bahwasanya menceraikan istri adalah perkara yang buruk dan dicintai oleh syaithān. Dengan demikian jika seorang anak disuruh orang tuanya untuk menceraikan istrinya tanpa ada alasan yang syar’i, maka perintah orang tua tersebut tidak boleh ditaati. Misalnya perintah orang tua itu hanya didasarkan pada silang pendapat antara dirinya dengan menantunya, persinggungan perasaan, atau hal-hal yang tidak syar’i lainnya.
Bagaimana pun istri si anak memiliki hak terhadap suaminya. Dia telah dinikahi dan telah berkorban untuk suaminya. Maka istri tidak berhak diceraikan begitu saja tanpa ada alasan-alasan syar’i yang kuat. Adapun jika alasannya adalah alasan yang syar’i maka boleh saja perintah itu dilaksanakan dengan penuh pertimbangan.
Ada seseorang bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullāh: “Sesungguhnya ayahku memerintahkan aku untuk menceraikan istriku.” Maka kata Imam Ahmad: “Jangan engkau ceraikan istrimu.” Maka orang ini berkata: “Bukankah ‘Umar bin Khaththāb radhiallahu ‘anhu pernah memerintahkan putranya (‘Abdullāh bin ‘Umar) untuk menceraikan istrinya?” Maka kata Imam Ahmad rahimahullāh: “Kalau ayahmu sudah seperti ‘Umar bin Khaththāb, lalu memerintahkanmu untuk menceraikan istrimu, maka lakukanlah.”
Inilah fiqih yang agung dari Imam Ahmad. Ketika ‘Umar bin Khaththāb radhiallahu ‘anhu menyuruh ‘Abdullah Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya tentu bukan tanpa alasan syar’i yang kuat. Bagaimana pun ‘Umar bin Khaththāb adalah seorang yang bertaqwa dan sangat memahami tentang masalah fiqh cerai. Maka jika ayah penanya sama ‘ālim dan bertaqwanya sebagaimana ‘Umar, kemudian ia memerintahkannya untuk menceraikan istrinya, maka boleh saja perintah itu ditaati. Atau jika memang orang tua memerintahkan untuk mencerai namun memang perintahnya tersebut dibangun diatas alasan syar’i maka tidak mengapa sang anak menceraikan. Adapun jika ternyata orang tuanya tidak seperti Umar, perintah menceraikannya tidak dibangun diatas alasan yang syar’i, maka tidak boleh ditaati.
Demikianlah, betapa agungnya berbakti kepada kedua orangtua. Jika seorang anak menjadikan orangtua ridhā kepadanya, berarti ia telah mendatangkan keridhāan Allāh kepada dirinya. Namun jika seorang anak menjadikan orangtua murka kepadanya, maka sesungguhnya anak tersebut telah mendatangkan kemurkaan Allāh bagi dirinya sendiri.
Wallahu a’lam.