Larangan Mendahului Mengucapkan Salam kepada Orang Kafir
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc MA
Dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
قال رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم “لَا تَبْدَؤُوا اَلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ, وَإِذَا لَقَيْتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ, فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ”
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani. Dan jika kalian bertemu dengan mereka di jalan maka buatlah mereka tergeser ke jalan yang sempit.” (HR. Muslim)
Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian orang. Mereka mengatakan, “Islam kok demikian? Kok mengajarkan sikap keras terhadap orang-orang kafir?”
Sebenarnya hadits ini sama sekali tidak menjadi masalah, karena kita menempatkan dalil-dalil sesuai dengan kondisinya. Ada dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana rahmatnya Islam. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan bagaimana sikap Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang kafir dengan muamalah thayyibah, dengan sikap yang baik dalam rangka untuk mengambil hati mereka. Bahkan terhadap orang yang sangat membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Abdullāh bin ‘Ubay bin Salūl, yang ketika meninggalnya tidak mempunyai kain kafan, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan baju yang beliau pakai untuk mengafaninya. Padahal Abdullāh bin ‘Ubay bin Salūl adalah gembong orang munafiq yang sering menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah yang telah memimpin kaum munafiqin menuduh ‘Āisyah radhiallahu ‘anhaa telah berbuat zina. Namun, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermuamalah dengan baik dengannya.
Banyak lagi contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermuamalah dengan baik dengan orang-orang kafir, seperti kepada orang Yahudi yang pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika orang Yahudi itu sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya dan mendakwahinya.
Ada sangat banyak dalil yang menjelaskan bagaimana sikap lemah lembut kaum muslimin terhadap orang-orang kafir. Itu dalam bab tentang muamalah, di mana seorang muslim diajarkan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang salah satu tujuannya adalah dalam rangka untuk mengambil hati mereka.
Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, di mana umat Islam dituntut untuk menunjukkan ketinggian Islam, maka lihatlah hadits ini. Ketika seorang muslim melewati suatu jalan, kemudian ada orang kafir lewat, maka janganlah ia kemudian minggir mempersilahkan orang kafir. Hal ini menunjukkan kehinaan. Tetapi hendaknya ia tetap berjalan di tengah dan janganlah mengalah karena tidak percaya diri atau karena lemah. Ia hendaknya bersikap tinggi dan mulia di hadapan orang kafir.
Itulah saatnya bagi seorang muslim untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki ‘izzah (kemuliaan), bukan sebaliknya merasa lemah dan loyo di hadapan semua orang.
Sayangnya hal seperti itulah yang justru kadang terjadi. Misalnya, dalam suatu perkumpulan orang muslim malu untuk berbicara, hingga akhirnya orang kafir terus yang berbicara. Orang muslim merasa pekewuh dan tidak enakan, sehingga akhirnya orang kafirlah yang menguasai majelis.
Hal seperti itu tidak bisa dibenarkan. Dalam kondisi seperti itu, seorang muslim hendaknya menunjukkan bahwa Islam harus memiliki ‘izzah (kemuliaan) di hadapan orang-orang kafir. Oleh karenanya, seorang muslim harus bisa menempatkan diri. Kalau berbicara masalah muamalah hasanah maka itu adalah masalah tersendiri, adapun jika seorang muslim dituntut harus menunjukkan keutamaan Islam maka dia harus menunjukkannya.
Ada beberapa poin yang berkaitan dengan hadits ini.
Pertama, seorang muslim tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Mengapa demikian? Karena, salam menunjukkan pemuliaan dan di dalamnya juga terdapat do’a. Jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaykum” berarti kita telah mendoakan keselamatan bagi dia. Padahal, dengan kekufurannya itu dia tidak berhak untuk mendapatkan keselamatan. Dia kafir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dia kafir terhadap Nabi Muahammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia berbuat kesyirikan. Lalu bagaimana kita mendoakan keselamatan bagi mereka. Karena itu, kita tidak berhak dan bahkan tidak boleh mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka.
Kedua, bagaimana kalau kalau mereka yang lebih dahulu mengucapkan salam kepada kita? Kalau mereka mengucapkan “assalaamu’alaykum,” kita jawab, “wa’alaykum (demikian juga bagi kalian).”
Ketiga, bagaimana jika kondisinya sulit untuk tidak saling mengucapkan salam kepada mereka? Misalnya, mereka adalah bos kita, rekan kerja kita, atau orang-orang yang sangat sering bertemu dengan kita. Bukankah jika kita tidak mau mengucapkan salam sama sekali akan menyulitkan diri kita? Kita bisa dianggap ekstrim, tidak mau bergaul, tidak ramah, atau prasangka-prasangka lain yang mungkin timbul.
Jika situasinya seperti itu, maka para ulama (banyak ulama) seperti Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Albani rahimahullāh membolehkan kita untuk mengucapkan salam kepada mereka. Kita tidak perlu mengucapkan “Assalaamu’alaykum” kepada mereka, tetapi cukup dengan menggunakan kalimat salam yang umum seperti, “Selamat pagi”, “Bagaimana kondisimu?”, “Good morning” dan sejenisnya.
Ucapan salam seperti itu tidak menjadi masalah karena di dalamnya tidak mengandung doa rahmat dan keselamatan kepada mereka. Berbeda dengan “assalaamu’alaykum” yang merupakan do’a yang tidak pantas untuk diberikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir kepada Allāh serta kafir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.