Tafsir Surat Al Infithar
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc, MA
Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir surat At-Takwir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi tentang surat At-Takwir, Al-Infithar, dan Al-Insyiqaq yang ketiga surat ini membicarakan tentang dahsyatnya, ngerinya hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ كَأَنَّهُ رَأْيُ عَيْنٍ. فَلْيَقْرَأْ: إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ، وَإِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ، وَإِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
“Barangsiapa yang ingin merasakan hari kiamat seperti menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, hendaklah ia membaca “idzas syamsu kuwirat, idzas samaaunfatarat, dan idzas samaaunsyaqat”. (HR At-Tirmidzi no. 3333)
Dalam hadist yang lain disebutkan juga tentang surat Al-Infithar. Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,
صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الْأَنْصَارِيُّ لِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ. فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا. فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ؟ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى»
“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adzpun berkata, ‘’Sesungguhnya ia seorang munafik’’. Tatkala perkataan Mu’adz sampai kepada orang tersebut maka iapun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin menjadi pembuat fitnah, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim, no. 465)
Dalam riwayat An-Nasaai Jabir berkata
قَامَ مُعَاذٌ فَصَلَّى الْعِشَاء الْآخِرَةَ فَطَوَّلَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَتَّانٌ يَا مُعَاذٌ؟ أَفَتَّانٌ يَا مُعَاذُ؟ أَيْنَ كُنْتَ عَنْ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَالضُّحَى، وَإِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ؟»
‘’Mu’adz sholat isya dan ia memperpanjang sholatnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘’Apakah engkau membuat fitnah wahai Mu’adz?, apakah engkau membuat fitnah wahai Mu’adz?. Kemanakah engkau tidak membaca surat سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى dan surat وَالضُّحَى dan surat إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ?’’ (HR An-Nasaai no 997 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Para ulama bersepakat bahwa surat Al-Infithar adalah surat makiyyah yaitu surat yang diturunkan sebelum Nabi berhijrah dari mekkah menuju madinah. Patut diketahui bahwa diantara ciri-ciri surat-surat makiyyah yaitu pada umumnya suratnya jumlah ayatnya sedikit dan potongan-potongan ayat tersebut pendek. Kemudian topik yang diangkat dalam surat-surat makiyyah kebanyakan tentang hari kiamat dan iman kepada Rasul. Hal ini disebabkan karena yang menjadi sasaran dakwah ketika itu adalah orang-orang musyrikin arab di mekkah yang mengingkari adanya hari kiamat dan mendustakan Rasulnya.
Surat Al-Infithaar sedikit berbeda dengan surat At-Takwir. Pada surat At-Takwir Allah benar-benar menyebutkan tentang kedahsyatan hari kiamat dalam banyak rentetan ayat. Enam ayat pertama tentang kejadian sebelum tiupan sangkakala kedua dan enam ayat berikutnya tentang kejadian setelah tiupan sangkakala yang kedua. Adapun pada surat Al-Infithar Allah hanya menyebutkan sebagian dari kedahsyatan hari kiamat. Tujuannya adalah sebagai mukaddimah (pengantar) untuk mencela orang-orang yang kafir kepada Allah, padahal mereka telah diberikan nikmat yang berlimpah oleh Allah. Dan untuk mencela orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan terhadap hari kebangkitan.
Allah berfirman dalam Surat Al-Infithar:
1. إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
“tatkala langit terbelah”
Semua manusia mengetahui bahwa langit adalah makhluk yang paling besar yang pernah kita saksikan. Tidak ada makhluk yang lebih besar dan lebih luas dibandingkan dengan langit. Bahkan matahari sekalipun berada di dalam langit, rembulan di dalam langit, bintang-bintang juga berfungsi sebagai perhiasan langit berada di dalamnya. Karenanya, langit merupakan makhluk paling besar yang pernah kita saksikan. Dan Allah menciptakan langit dengan penciptaan yang luar biasa. Allah berfirman :
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun langit dengan kekuasaan (Kami), dan kami yang meluaskannya.” (QS Az-Zariyat : 47)
Allah menyatakan bahwasanya Dia telah meluaskan langit tersebut. Oleh karena itu, penciptaan manusia itu lebih ringan daripada penciptaan langit. Allah subhanallahu wata’ala berfirman:
أَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ ۚ بَنَاهَا
“Apakah penciptaan kalian yang lebih hebat, ataukah langit yang telah dibangun-Nya?” (QS An-Nazi’at : 27)
Allah pula lah yang telah meninggikan langit tanpa ada tiang. Allah berfirman :
وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
”Dan (apakah mereka tidak melihat) bagaimana langit ditinggikan?”
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya. (QS Luqman : 10)
وَيُمْسِكُ السَّماءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Dan Dia menahan langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? (QS Al-Hajj : 65)
Sungguh menakjubkkan, langit adalah makhluk yang sangat besar dan di dalamnya terdapat makhluk yang besar pula. Langit berada di atas bumi dan dia adalah payung/atap bagi bumi ini akan tetapi tidak ada tiang yang menopangnya hingga ke bumi. Dan langit yang luar biasa besarnya ini pada hari kiamat kelak akan dirubah kondisinya oleh Allah. Di samping itu, Allah akan merubah kondisi seluruh alam semesta ini sebagai pertanda bahwasanya akan ada kehidupan dan suasana yang baru yaitu kehidupan akhirat. Langit yang begitu megahnya akan dihancurkan oleh Allah subhanallahu wata’ala.
Para ahli fisika mengatakan –wallahu a’lam akan kebenarannya– bahwasanya antara bumi dengan planet-planet lainnya mempunyai gaya gravitasi yang menghasilkan efek tarik-menarik satu dengan yang lainnya. Gaya gravitasi inilah yang mengikat antara planet-planet tersebut, begitupun antara bumi dengan matahari, dan benda-benda langit lainnya. Seakan-akan ada kekuatan yang tidak terlihat yang mereka namakan dengan gaya gravitasi. Gaya gravitasi ini yang menyebabkan stabilitas posisi planet-planet dan benda-benda langit lainnya terjaga sehingga semua berjalan pada orbitnya masing-masing. Dalam Al-Quran Allah menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ أَنْ تَزُولا
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak melenceng.” (QS Fathir : 41)
At-Thobari berkata :
لِئَلَّا تَزُولَا مِنْ أَمَاكِنِهِمَا
‘’Yaitu agar langit dan bumi tidak tergelincir dari tempatnya’’ (Tafsir at-Thobari 19/390)
Sebagian ulama zaman sekarang mengatakan bahwa diantara makna zawaal adalah tergelincir. Sehingga makna ayat tersebut adalah langit dan bumi tetap pada orbitnya. Seandainya langit dan bumi bergeser atau tergelincir maka tidak ada yang bisa mengembalikannya. Begitu pula seandainya satu buah bintang saja terlepas dari orbitnya maka tidak ada yang bisa mengembalikan bintang tersebut ke garis orbitnya.
Oleh karena itu, orbit-orbit ini pada hari kiamat kelak atau hukum gaya gravitasi ini yang menyebabkan keteraturan antara planet satu dengan planet lainnya, antara satu bintang dengan bintang lainnya, antara bumi dengan matahari, atau antara bulan dengan bumi, semua keteraturan tersebut akan rusak dan hancur pada hari kiamat.
Tentang keadaan langit, Allah juga menyebutkan dalam ayat yang lain. Seperti dalam surat Al-Insyiqaq, Allah berfirman:
إِذَا السَّمَاءُ انشَقَّتْ
“Tatkala langit terbelah.” (QS Al-Insyiqaq : 1)
Perbedaan antara infithar dan insyiqaq, infithar adalah permulaan terbelahnya langit. Setelah itu, semakin lama akhirnya langit benar-benar terbelah, itu lah yang disebut denga insyiqaq.
Ibnu Zaid berkata :
فَإِذَا جَاءَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ انْفَطَرَتْ ثُمَّ انْشَقَّتْ، ثُمَّ جَاءَ أَمْرٌ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ انْكَشَطَتْ
‘’Jika tiba hari kiamat maka langitpun mengalami infithoor lalu insyiqooq, lalu terjadi yang lebih besar lagi dari itu yaitu mengalami al-kasyth’’ (Tafsir At-Thobari 23/122)
Kemudian setelah langit terbelah, jadilah langit tersebut menjadi lemah. Karena sebelumnya Allah menyebut langit dengan makhluk yang kokoh lagi kuat. Allah berfirman:
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا
“Dan Kami membangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh.” (QS An-Naba’ : 12)
Namun tatkala terjadi hari kiamat maka langit kemudian terbelah dan sehingga jadilah langit itu menjadi sangat lemah. Allah berfirman :
وَانشَقَّتِ السَّمَاءُ فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ
“Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh.” (QS Al-Haqqah : 16)
Allah kemudian melakukan al-kasyth yaitu melepas langit tersebut sebagaimana kulit yang dilepaskan dari seekor hewan. Setelah langit dilepaskan lalu dilipat oleh Allah. Allah berfirman:
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ ۚ
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti lembaran-lembaran buku.” (QS Al-Anbiya : 104)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit akan dilipat dengan tangan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS Az-Zumar : 67)
Jadi urutan perubahan langit sebagai berikut :
- Al-infithoor (awal terbelahnya langit) lalu,
- al-insyiqooq (terbelahnya langit secara sempurna) lalu,
- langit menjadi lemah lalu,
- al-kasyth (langit dilepas dari tempatnya) lalu,
- at-Thoyy (langit dilipat oleh Allah)
Ini adalah kondisi-kondisi perubahan alam semesta yang akan terjadi pada hari kiamat. Bagaimanapun kengerian yang kita bayangkan, niscaya tidak akan sama dengan kengerian yang akan terjadi pada hari kiamat kelak. Kita mungkin pernah mendengar suara guntur yang sangat keras, kita mungkin pernah melihat meteor yang jatuh, dan kita juga mungkin pernah melihat kejadian-kejadian dahsyat lainnya, tetapi kejadian-kejadian tersebut tidak akan ada apa-apanya dibanding dengan kedahsyatan hari kiamat.
Allah subhanallahu wata’ala menyebutkan dalam ayat berikutnya :
2. وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انتَثَرَتْ
“dan tatkala bintang-bintang berjatuhan”
Yaitu bintang-bintang tersebut akan keluar dari orbitnya kemudian berjatuhan.
Kemudian Allah berfirman:
3. وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
“dan tatkala lautan dijadikan meluap”
Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir surat At-Takwir bahwasanya lautan dalam bahasa arab mencakup lautan, sungai, danau, selat. Pada asalnya antara air laut dan air tawar juga ada pembatasnya, sehingga tidak bisa bersatu. Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَّحْجُورًا
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit, dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak bisa ditembus.” (QS Al-Furqan : 53)
Sehingga antara air laut dan air tawar tidak akan pernah bersatu, seakan-akan ada pembatas yang menjadi pemisah diantara mereka. Namun pada hari kiamat kelak pembatas ini akan diangkat oleh Allah sehingga lautan meluap. Seluruh lautan yang ada di alam semesta akan bersatu. Setelah semuanya bersatu, Allah kemudian membakar lautan tersebut sehingga menjadi lautan api. Sebagaimana yang telah berlalu bahwa air itu terdiri dari unsur oksigen dan hidrogen, dan berdasarkan penelitian para ilmuwan kedua unsur tersebut sangat mudah terbakar. Oksigen dan hidrogen tersebut saat ini masih digabungkan oleh Allah membentuk air dan pada hari kiamat kelak Allah mampu memisahkan kedua unsur tersebut kemudian membakarnya. Akan tetapi –wallahu a’lam– ini hanya sekedar perkataan sebagian ulama. Sehingga secara ilmu pengetahuan saja Allah sangat mudah membuat itu terjadi. Bahkan sesuatu yang mustahil dalam nalar manusia pun Allah sangat mampu. Setelah lautan meluap kemudian menjadi lautan api lalu pada akhirnya lautan menjadi kering.
Kemudian Allah berfirman:
4. وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ
“dan tatkala kuburan-kuburan dibalik”
Yaitu kuburan dibalik sehingga yang dibawah menjadi di atas, maksudnya yaitu manusia dikeluarkan dari kuburnya, dibangkitkan untuk dikumpulkan di padang mahsyar.
Kemudian Allah berfirman:
5. عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
“(maka) setiap jiwa apa yang telah dikerjakan dan dilalaikan(nya).”
Setelah Allah bersumpah dengan beberapa makhluknya akan kejadian yang akan menimpa para makhluknya tersebut mulai dari langit tatkala terbelah, bintang-bintang tatkala berjatuhan, lautan tatkala meluap, dan manusia tatkala dibangkitkan dari kuburan mereka kemudian Allah berkata bahwa semua itu agar maka setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia lakukan selama dia hidup di dunia.
Tentang makna مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ terdapat beberapa tafsiran dari para salaf. Tafsiran pertama yaitu dia akan melihat seluruh keburukan-keburukan yang pernah dia lakukan. Ditambah dia tidak sekedar melihat dan mengetahui kembali perbuatannya dulu tetapi dia juga akan mengetahui balasan apa yang pantas dia dapatkan. Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
(7) Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (8) Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Az-Zalzalah : 7-8)
Bukan hanya sekedar melihat catatan amalnya tetapi dia juga akan melihat balasannya. Jika itu adalah amalan kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan, jika itu amalan keburukan akan dibalas dengan keburukan.
Diantara tafsiran salaf terhadap ayat ini yaitu dia akan mengetahui segala kebaikan yang pernah dia lakukan dan dia juga akan mengetahui segala keburukan yang pernah dia lakukan karena Allah akan menghadirkan di hadapannya.
Tafsiran yang lain menurut para salaf yaitu setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia kedepankan dan apa yang telah dia akhirkan. Yang dikedepankan maksudnya adalah amalan-amalan yang dilakukan semasa hidupnya dan diakhirkan adalah amalan-amalan yang berjalan setelah dia meninggal. Ini merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang melakukan amalan-amalan yang kelak setelah meninggal dunia amalan pahala dari amalan tersebut tetap mengalir. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh.” (HR Muslim no. 1631)
Ketiga amalan tersebut termasuk amalan yang dia akhirkan meskipun dia meninggal dunia. Karena pahala yang dia dapatkan masih mengalir bahkan setelah dia meninggal dunia. Banyak sekali amalan yang bisa diakhirkan. Misalnya dia bangun masjid maka pahala akan terus mengalir kepadanya karena orang-orang tetap shalat di masjid tersebut. Dia menyekolahkan seorang anak ke sebuah pondok pesantren kemudian membiayainya hingga menjadi seorang da’i, maka selama anak ini berdakwah maka pahalanya juga mengalir kepada dirinya. Dia mencetak buku-buku agama dan dia bagikan secara gratis, kemudian ada yang membaca buku tersebut dan beramal shaleh dengannya maka seluruh amalan shaleh yang orang ini kerjakan berdasarkan panduan dalam buku tersebut, maka pahalanya juga akan mengalir kepadanya tanpa mengurangi pahala orang ini. Ada orang yang menggali sumur kemudian sumur tersebut diwakafkan, maka selama sumur tersebut dimanfaatkan pahala akan terus mengalir kepadanya. Atau seorang yang mendidik anaknya lalu jadilah anaknya shaleh dan bertakwa kepada Allah, maka setelah dia meninggal anaknya terus mendoakan dia sehingga pahala-pahala kebajikan mengalir kepadanya.
Kita menginginkan pahala sebanyak-banyaknya sementara umur kita tidak cukup, kemampuan kita terbatas, dan semangat kita turun naik. Oleh karena itu, apabila punya modal maka lakukanlah amalan-amalan yang bisa terus mengalir tersebut meskipun sudah meninggal dunia. Sesungguhnya orang yang seperti ini adalah orang yang sangat bahagia.
Sebaliknya orang yang sangat menderita adalah orang yang melakukan keburukan yang dosanya mengalir. Mereka adalah orang-orang yang menyebarkan atau mengajarkan keburukan kepada orang lain. Mengajari seorang pemuda untuk minum khamr, mengajari bermain musik yang mana disepakati oleh 4 madzhab akan keharamannya, atau mengajari ilmu-ilmu kesesatan kemudian para pemuda itu terus-menerus mengamalkannya, maka orang yang mengajarinya juga akan mendapatkan dosa, bahkan ketika dia telah meninggal dunia pun jika keburukan itu masih terus dikerjakan oleh murid-muridny tadi. Keburukan yang bisa terus mengalir bisa juga akibat tempat-tempat haram yang dia buka, membuka rumah-rumah perzinahan, maka dosa-dosanya akan terus mengalir kepada dirinya.
Sungguh menakjubkan, meskipun telah meninggal dunia namun seakan-akan mereka masih hidup. Yaitu orang-orang yang berbuat baik meskipun sudah meninggal dunia namun amalan-amalanya masih hidup atau sebaliknya orang-orang yang berbuat kejahatan meskipun sudah meninggal dunia namun hasil keburukannya masih terus berjalan. Intinya ayat ini menjelaskan bahwasanya pada hari kiamat kelak, setiap jiwa akan mengetahui secara detail seluruh apa yang dia kerjakan baik amalan kebajikan maupun amalan keburukan.
Setelah Allah menjelaskan tentang kondisi hari kiamat, Allah subhanallahu wata’ala kemudian mencela manusia. Allah berfirman :
6. يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Mulia”
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kalimat الْإِنسَانُ jika datang dalam surat makiyyah maka yang dimaksudkan bukan manusia secara umum tetapi ditujukan untuk orang kafir. Sehingga ayat ini berkaitan dengan orang kafir, apa yang telah membuat mereka terperdaya sehingga durhaka kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah tidak menggunakan kalimat بِإِلَاهِكَ الْكَرِيمِ (dengan kata ilah) melainkan dengan بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (dengan kata rabb). Allah memakai kata Rabb karena orang-orang musyirikin arab beriman kepada rububiyah Allah subhanallahu wata’ala bahwasanya Allah yang menciptakan seluruh alam semesta termasuk diri-diri mereka.
Ibnu Katsir berkata :
إِنَّمَا أَتَى بِاسْمِهِ الْكَرِيمِ لِيُنَبِّهَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَابَلَ الكريم بالأفعال القبيحة وأعمال الفجور
‘’Allah menyebutkan nama-Nya ‘’Al-Kariim’’ (Yang Maha Baik) untuk mengingatkan manusia bahwasanya tidak pantas baginya untuk membalas Allah Yang Maha Baik dengan perbuatan-perbuatan yang buruk dan amal-amal yang fajir’’ (Tafsir Ibnu Katsir 8/339)
Ibnu Abbas berkata :
مَا الَّذِي غَرَّكَ حَتَّى كَفَرْتَ؟ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ أَيِ الْمُتَجَاوِزِ عَنْكَ
‘’Apakah yang telah memperdayamu sehingga engkau kafir? Kepada Robbmu yang maha baik, yaitu yang mudah memaafkanmu?’’ (Tafsir al-Qurthubi 19/245).
Yang telah memperdayainya adalah syaitan, atau kebodohannya.
Akan tetapi mereka tidak tunduk kepada Allah dan mereka bermaksiat kepada Allah. Sehingga Allah mengingatkan mengapa mereka bisa terperdaya padahal Allah yang telah menciptakannya. Oleh karena itu, pada ayat selanjutnya Allah berfirman:
7. الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
“yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan penciptaanmu seimbang”
Allah menyebutkan kenikmatan yang telah diberikan-Nya kepada manusia. Bahwasanya diantara kenikmatan yang diberikan Allah adalah penciptaan dirinya. Namun mengapa mereka malah berbuat syirik dan menyembah kepada selain Allah padahal Allah telah menciptakannya dalam bentuk yang sempurna dan menjadikannya memiliki bentuk yang seimbang.
Bentuk tubuh yang dimiliki oleh manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Kita lihat bagaimana hewan-hewan hampir semuanya berjalan dengan kaki empat atau lebih, adapun yang berjalan dengan dua kaki pun tidak bisa tegak lurus seperti manusia melainkan dengan bongkok. Termasuk monyet yang diklaim oleh Darwin sebagai asal-muasal manusia setelah melalui proses evolusi. Padahal dari dulu sampai sekarang tidak satu monyet pun yang semakin hari semakin menyerupai manusia, bahkan tidak ada perubahan. Lebih dari itu, para ahli fisika dan ahli biologi mengatakan bahwasanya tulang-tulang yang ditemukan oleh Darwin hanyalah sekedar klaim dan cocok-cocokan belaka. Tulang-tulang yang disusun tersebut tidak berasal dari satu tempat, tetapi satu ditemukan di suatu bagian bumi dan yang lainnya ditemukan di bagian bumi yang lain. Intinya umat manusia sekarang adalah keturunan Nabi Adam ‘alaihissallam, dan pendapat yang berlawanan dengan itu adalah kebatilan dan bertentangan dengan Al Quran.
Allah mengatakan bahwasanya Dia telah menjadikan bentuk kita adalah bentuk yang sangat sempurna dan seimbang. Tidak ada makhluk seperti manusia yang memiliki organ-organ tubuh yang sangat serasi. Oleh karena itu, apabila kita ingin mengetahui bagaimana organ-organ tubuh kita bekerja maka tanyakanlah kepada para dokter, bagaimana proses kerja jantung dalam memompa darah, bagaimana cara kerja retina mata, dan lain sebagainya, niscaya kita akan sadar bahwa Allah menciptakannya begitu sempurna, seimbang, dan semuanya dalam bentuk yang indah.
Kemudian Allah berfirman :
8. فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاءَ رَكَّبَكَ
“dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu”
Allah menyusun rupa kita sesuai kehendak Allah dan bukan kehendak kita. Kita tidak bisa mengatur punya anak yang memiliki rupa tertentu. Apabila bapaknya berkulit hitam sedangkan ibunya berkulit putih, maka anaknya bisa saja berkulit hitam walaupun menginginkannya berkulit putih. Bahkan bisa jadi apabila bapaknya berkulit putih demikian juga ibunya berkulit putih anaknya malah berkulit hitam. Karena bisa jadi sang anak malah mirip dengan pamannya, kakeknya, atau neneknya, hal tersebut tidak bisa diatur kecuali oleh Allah semata. Bahkan dalam kemiripan tidak ada dua manusia yang sama persis di alam semesta ini, sekalipun orang yang kembar. Maha berkuasa Allah subhanallahu wata’ala yang bisa menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna dan masing-masing mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sebagaimana sidik jari yang setiap manusia itu berbeda-beda. Sesungguhnya ini semua tergantung kehendak Allah.
Kemudian Allah berfirman :
9. كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ
“sekali-kali jangan begitu! Bahkan kalian mendustakan hari pembalasan”
Yaumuddin adalah salah satu nama hari kiamat. Hari kiamat mempunyai banyak nama, bahkan ada yang menyebutkan sampai puluhan nama. Nama-nama surat dalam Al Quran seperti Al Qari’ah dan Al Haaaqqah adalah diantara contoh-contoh nama lain hari kiamat. Diantaranya yaumuddin yaitu hari pembalasan. Dinamakan hari pembalasan karena pada hari tersebut semua umat manusia akan dibalas sesuai amal perbuatannya.
Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya untuk membuktikan eksistensi hari kiamat bisa ditunjukkan dengan logika. Allah menciptakan manusia dengan berbagai model, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang kuat ada yang lemah, ada lelaki ada perempuan. Dari situ terjadi beberapa variasi perbuatan, ada yang suka berbuat dzalim ada pula yang baik, ada yang mendzalimi ada yang didzalimi, dan seterusnya. Apakah semua ini tidak akan ada perhitungannya? Kemudian sirna begitu saja tanpa ada kelanjutan? Secara akal hal tersebut tidak mungkin. Allah juga tidak akan membiarkan semua orang dengan berbagai macam ragam amalan dibalas dengan balasan yang sama karena Allah itu Maha Adil. Oleh karena itu, hari kiamat pasti akan terjadi dan disitulah akan ditegakkan hari pembalasan.
Kemudian Allah berfirman lagi :
10. وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ
“dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (amalanmu)”
Allah menegaskan bahwa malaikat-malaikat pencatat amalan itu benar-benar ada. Allah menggunakan lafadz إِنَّ yang dalam dalam bahasa arab bermakna “sesungguhnya”, ditambah lam taukid pada لَحَافِظِينَ ini menunjukkan bahwasanya malaikat pencatat amalan itu benar-benar nyata. Kemudian bagaimanakah sifat-sifat malaikat-malaikat tersebut? Allah berfirman:
11. كِرَامًا كَاتِبِينَ
“yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu)”
Seluruh yang kita lakukan akan dicatat oleh malaikat tersebut, tanpa terkecuali. Allah berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf : 18)
Seluruh apa yang kita lakukan baik itu perkataan, penglihatan, lirikan mata pandangan haram, semuanya akan dicatat oleh malaikat. Allah menyifati malaikat tersebut dengan malaikat yang mulia agar kita mempunyai rasa malu terhadap malaikat apabila kita hendak bermaksiat.
Sebagian salaf menyatakan bahwa ayat يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Mulia?) bukan hanya berkaitan dengan orang kafir tetapi juga berkaitan dengan orang muslim yang akan dihisab oleh Allah subhanallahu wata’ala. Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah ditanya,
لَوْ أَقَامَكَ اللَّهُ تعالى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ لَكَ: مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ؟ مَاذَا كُنْتَ تَقُولُ؟
“Jika Allah subhanallahu wata’ala menghadirkan engkau di hadapan-Nya kemudian Allah bertanya kepada engkau, ‘Wahai Fudhail apa yang membuat engkau terperdaya sehingga engkau bermaksiat kepadaku?’”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
كُنْتُ أَقُولُ غَرَّنِي سُتُورُكَ الْمُرْخَاةِ، لِأَنَّ الْكَرِيمَ هُوَ السَّتَّارُ
“Saya akan menjawab, ‘’Aku terpedaya oleh sitarmu yang terjulur (menutupi maksiatku), karena al-Kariim (yang Maha Baik) adalah As-Sattaar (yang Maha menutupi aib manusia).” (Tafsir al-Qurthubi 19/245-246)
Inilah yang membuat orang banyak yang terperdaya karena setiap dia bermaksiat, Allah tidak membongkar aibnya. Seandainya setiap bermaksiat Allah membongkar aib kita, niscaya tidak akan ada yang berbuat maksiat. Namun Allah selalu menutup aib yang kita lakukan ketika bermaksiat. Inilah yang membuat kita akhirnya terus bermaksiat, karena menyangka tidak ada yang melihat dan mencatat segala pebuatan kita. Oleh karena itu, Allah menyebutkan dalan surat ini كِرَامًا كَاتِبِينَ bahwasanya ada para malaikat-malaikat yang mulia yang senantiasa mencatat amalan kita, sehingga hendaknya kita malu kepada malaikat-malaikat tersebut.
Sesungguhnya malaikat-malaikat itu benar-benar hadir menyertai kita, meskipun mereka adalah makhluk-makhluk yang ghaib. Dan keghaiban malaikat itu melebihi keghaiban para jin. Jin adalah makhluk ghaib tetapi kehadiran jin kadang masih bisa kita rasakan, kita menyaksikan ada yang kesurupan jin, atau ada yang merinding karena merasakan adanya jin. Adapun malaikat maka benar-benar tidak kita rasakan. Padahal malaikat benar-benar melihat dan mencatat semua apa yang kita lakukan.
Kemudian Allah berfirman:
12. يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“mereka mengetahui apa yang kalian lakukan”
Oleh karena itu, jika hati kita tergerak untuk berbuat maksiat ditambah kita sedang berada di tempat yang tersembunyi dan tidak ada satu pun yang melihat kita, maka ingatlah bahwasanya malaikat bersama kita, malaikat yang mulia yang akan mencatat seluruh perbuatan kita. Seluruh lirikan mata yang kita lakukan terhadap hal-hal yang haram meskipun tidak ada yang mengetahuinya, ingatlah bahwasanya malaikat mengetahuinya dan tidak sekalipun lalai dari mencatatnya. Dan seluruh catatan tersebut akan dihadirkan di hadapan kita pada hari kiamat kelak. Sesungguhnya malaikat tugasnya hanya mencatat tetapi isi catatan amal tersebut pada hakikatnya kitalah yang mengisi.
Setelah Allah menyebutkan beberapa perkara tentang hari kiamat, tentang keadaan manusia yag terperdaya, dan tentang kehadiran malaikat pencatat amal, Allah kemudian menyebutkan tentang bagaimana kesudahan orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat.
Allah subhanallahu wata’ala berfirman:
13. إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang baik benar-benar berada dalam kenikmatan”
الْأَبْرَارَ adalah jamak dari البَرُّ atau الْبَارُّ yang diambil dari masdar البِرٌّ, Al-Azhari berkata :
البِرّ: الاتِّسَاع فِي الْإِحْسَان والزّيادة فِيهِ…وسُمِّيت البَرِّيّة لاتِّساعها.
البِرٌّ artinya lapang dan tambah dalam berbuat kebaikan…dan dinamakan darat dengan البَرِّيَّةُ karena lapangnya (Tahdziib Al-Lughoh 15/138)
Az-Zabiidi berkata :
إِن أَصلَ معنَى البِرِّ السَّعَةُ، وَمِنْه أُخِذَ البَرُّ مُقَابِل البَحْرِ
“Sesungguhnya asal makna dari البِرٌّ adalah السَّعَةُ “kelapangan”, dari makna inilah daratan yang luas dinamakan البَرُّ sebagai lawan dari البَحْرِ lautan yang luas” (Taajul ‘Aruus 10/151)
Artinya orang yang disebut الْبَارُّ berbuat kebaikan yang sangat banyak. Jika bersilaturrahmi, dia tidak hanya bersilaturrahmi kepada ayahnya dan ibunya, tetapi dia juga bersilaturrahmi kepada pamannya, bibinya, kakaknya, adik-adiknya, yaitu apabila dia menjalanlan suatu amalan maka dikerjakannya dengan sangat baik. Jika dia shalat, dia tidak hanya shalat 5 waktu saja tetapi dia shalat 5 waktu di masjid ditambah shalat-shalat Sunnah lainnya. Jika dia mengeluarkan zakat maka dia tidak mencukupkan dengan yang wajib saja tetapi dia juga bersedekah kepada para fakir miskin, kepada para penuntut ilmu, dan semua itu dia berikan dalam keadaan lapang dada dan ikhlas. Dia tidak hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja akan tetapi disempurnakan dengan amalan dan kebaikan-kebaikan lain yang banyak. Inilah yang dinamakan denganالْأَبْرَارَ .
Allah tidak mengatakan إِنَّ الْأَبْرَارَ عَلَى نَعِيمٍ (sesungguhnya orang-orang yang baik di atas kenikmatan), tetapi Allah mengatakan لَفِي نَعِيمٍ “benar-benar berada dalam kenikmatan”, yaitu seakan-akan mereka tenggelam dalam kenikmatan tersebut.
Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan bahwasanya ayat ini mencakup kenikmatan dalam tiga kondisi, kenikmatan di dunia, kenikmatan di alam barzakh, maupun kenikmatan di alam akhirat.
Beliau berkata :
وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، ..؟
‘’Janganlah engkau menyangka bahwa firman Allah ((Sesungguhnya orang-orang yang baik benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka)) hanya terbatas pada kenikmatan dan adzab akhirat saja, akan tetapi mencakup tiga alam, yaitu alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat. Maka mereka yang satu dalam kenikmatan, sementara mereka yang lainnya dalam kesengsaraan. Dan bukankah kenikmatan kecuali kebahagiaan hati?, dan bukankah adzab yang sesungguhnya adalah kesengsaraan hati?. Dan adzab apakah yang lebih sengsara dari ketakutan, kegelisahan, kesedihan, sempitnya hati, sikap berpaling dari Allah dan kampung akhirat, ketergantungan kepada selain Allah…? (Al-Jawaab al-Kaafi hal 76)
Meskipun kenikmatan yang paling sempurna adalah kenikmatan di surga/di akhirat. Tetapi orang yang baik pasti akan merasakan kenikmatan di dunia sebelum di akhirat. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata:
إِنَّ فِيْ الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الآخِرَةَ
“Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.” (Madarijus Salikin, 1/488)
Artinya untuk memastikan bahwasanya orang yang berbuat baik pasti akan merasakan kebahagiaan. Ibnu Taimiyyah juga pernah berkata:
مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِيْ بِيْ؟ أَنَا جَنَّتِيْ وَبُسْتَانِيْ فِيْ صَدْرِيْ، أَيْنَ رَحْتُ فَهِيَ مَعِيْ لَا تُفَارِقُنِيْ، أَنَا حيسي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِيْ شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِيْ مِنْ بَلَدِيْ سَيَاحَةٌ
“Apa yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Aku ini surga dan tamanku dalam dadaku. Kemana pun aku pergi, ia selalu bersamaku tidak berpisah dariku. Jika aku dipenjara, maka ia bagiku khalwat (bersendirian dengan Allah). Jika aku terbunuh, maka ia bagiku kesyahidan. Jika aku diusir dari negeriku, maka bagiku ia adalah wisata.” (Al-Waabilush Shayyib, hal. 109)
Hal ini karena beliau merasakan bahwa seluruhnya adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, orang yang beramal shaleh pasti dia akan merasakan kebahagiaan. Itulah kebahagiaan. Berbeda dengan sekedar kelezatan, karena kelezatan berkaitan dengan rasa, makan enak itu adalah kelezatan, mencium bau yang enak adalah kelezatan. Adapun kebahagiaan itu dari dalam, dan dia terbina secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman kepada Allah subhanallahu wata’ala diberikan kehidupan yang bahagia bagaimanapun kondisinya. Mungkin dia tidak merasakan kelezatan makanan tetapi dia merasakan kelezatan hati yang disebut dengan kebahagiaan. Sehingga orang yang beriman harus yakin bahwasanya dia akan bahagia, jika dia menjalankan sunnah Nabi maka dia pasti bahagia baik itu di dunia, di alam barzakh, terlebih lagi dia akan bahagia di alam akhirat kelak dengan kenikmatan yang Allah sediakan baginya. Berbeda dengan orang-orang yang fajir. Allah berfirman dalam kelanjutan ayat:
14. وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
“dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka”
Sebaliknya para pelaku kefajiran yang berkaitan dengan i’tiqad (keyakinan) baik berupa kesyirikan atau keyakinan sesat, ataupun kefajiran yang berkaitan dengan tubuh seperti berzina, mendzalimi, atau minum khamr maka mereka berada di dalam neraka Jahannam. Sebagaimana telah lalu penjelasan Ibnul Qoyyim bahwasanya kesengsaraan dan penderitaan yang mereka rasakan mencakup penderitaan di dunia dan juga di alam barzakh meskipun penderitaan mereka di akhirat tentu lebih sempurna lagi.
Kemudian Allah berfirman:
15. يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ
“mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan”
16. وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ
“mereka sama sekali tidak akan ghaib dari neraka jahannam tersebut”
Tidak akan ghaib artinya adalah mereka senantiasa hadir di dalam neraka jahannam dan mereka kekal di dalamnya, tidak pernah sedetik pun berhenti dari siksaan. Apabila orang-orang kafir sudah memasuki neraka Jahannam, mereka akan meminta agar siksaannya diringankan, namun Allah tidak akan memberi keringanan. Allah berfirman:
فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَاباً
“Rasakanlah adzab Allah Subhanallahu wata’ala maka kami tidak akan menambah pada kalian kecuali adzab.” (QS An-Naba’ : 30)
Ini adalah ayat yang sangat ditakutkan oleh para penghuni neraka Jahannam. Mereka tidak diadzab dengan satu jenis adzab, tetapi adzabnya akan ditambah terus-menerus. Sampai-sampai Abdullah bin ‘Amr berkata :
مَا أُنْزِلَتْ عَلَى أَهْلِ النَّارِ آيَةٌ قَطٌّ أَشَدُّ مِنْهَا
“Tidak pernah turun satu ayatpun yang lebih berat kepada penghuni neraka dari pada ayat ini” (Fathul Qodiir 5/444)
Kapan mereka akan keluar dari neraka jahannam? Jawabannya adalah hingga unta bisa masuk ke lubang jarum, dan hal tersebut adalah sebuah kemustahilan. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.” (QS Al-A’raf : 40)
Maka sungguh beruntung orang-orang yang bertauhid kepada Allah subhanallahu wata’ala yang diselamatkan dari adzab neraka jahannam yang kekal. Karena keberuntungan yang hakiki adalah bisa masuk surga dan terselamatakan dari neraka jahannam.
Kemudian Allah berfirman:
17. وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
“dan tahukah kalian apa itu hari pembalasan?”
18. ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
“sekali lagi, kemudian tahukah kalian apa itu hari pembalasan?”
Allah mengulang-ulang pertanyaan ini untuk menunjukkan dahsyatnya hari kiamat. Sebagaimana dalam surat Al-Qari’ah, Allah juga mengulang-ulang pertanyaan dengan model yang serupa. Allah berfirman:
الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ (3)
(1) Hari kiamat ; (2) Apakah hari kiamat itu? ; (3) Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu? (QS Al-Qari’ah : 1-3)
Pertanyaan diulang-ulang untuk menunjukkan dahsyatnya hari tersebut.
Dalam ayat ini Allah ingin menyampaikan apa itu hari pembalasan. Hari dimana akan dibalaskan segala apa yang pernah kita lakukan, bahkan sekecil apapun akan ada balasannya. Rasulullah bersabda :
وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722)
Allah juga berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
(7) Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya ; (8) Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (QS Az-Zalzalah : 7-8)
Kemudian Allah subhanallahu wata’ala menutup surat Al-Infithar dengan menjelaskan apa itu hari pembalasan. Allah berfirman :
19. يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا ۖ وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِّلَّهِ
“(yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”
Pada hari tersebut tidak ada seorang pun yang bisa menolong orang lain, semua akan sibuk dengan dirinya masing-masing. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kerabat-kerabatnya:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ، لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللهِ، لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ، سَلِينِي بِمَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Wahai orang-orang Quraisy, tebuslah diri-diri kalian dari adzab Allah! Aku tidak bisa membantu kalian sama sekali dari keputusan Allah! Wahai Bani Abdul Muththolib Aku tidak bisa membantu kalian sama sekali dari keputusan Allah! Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Shafiyyah (binti Abdul Muththolib) bibi Rasulullah, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Fatimah putri Rasulullah mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak apa yang engkau mau, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah!” (HR Muslim no 204)
Kalau orang-orang terdekat Nabi saja tidak bisa di selamatkan oleh beliau, bagaimana dengan yang selainnya. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa mengharapkan pertolongan orang lain kecuali jika dia bertakwa dan beriman kepada Allah subhanallahu wata’ala, yaitu syafaat jika diizinkan oleh Allah subhanallahu wata’ala bagi orang-orang yang bertauhid. Adapun jika dia suka bermaksiat dan melakukan kesyirikan kemudian berharap akan ditolong oleh orang lain maka mustahil Allah akan mengizinkannya pada hari tersebut.
Pada hari kiamat nanti manusia berusaha menemui Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa untuk dapat memintakan syafa’at kepada Allah, tetapi mereka semua menolak, hingga akhirnya manusia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dalam hadits yang berbunyi:
Pada hari Kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan seluruh makhluknya, yang pertama sampai terakhir di satu tanah luas yang datar, hingga orang yang memanggil dapat memperdengarkan kepada mereka, dan orang dapat melihat mereka seluruhnya, dan matahari mendekat sehingga manusia mengalami kesusahan dan mencapai kekritisan, yang mereka tidak mampu dan tidak bisa menanggungnya.
Maka sebagian manusia berkata kepada yang lainnya: “Tidakkah kalian melihat keadaan kalian sekarang? Tidakkah kalian melihat yang telah menimpa kalian? Tidakkah kalian mencari orang yang dapat memintakaan syafa’at untuk kalian kepada Allah?”
Sebagian lainnya berkata : “Mari (kita) datangi Adam!” Lalu mereka menemui beliau, dan berkata: “Wahai Adam! Engkau adalah bapak (seluruh) manusia. Allah menciptakanmu dengan tanganNya dan meniupkan kepadamu dari ruh-ruhNya, serta memerintah para malaikat untuk sujud, dan malaikat pun sujud kepadamu. Mintalah kepada Rabb-mu syafaat untuk kami! Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
Adam pun menjawab : “Sungguh, Rabb-ku telah murka pada hari ini, dengan kemurkaan yang belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya, dan tidak juga setelahnya. Dia telah melarangku dari sebuah pohon, lalu aku langgar. Pergilah kepada Nuh,” maka mereka pun menemui Nuh dan berkata : “Wahai Nuh! Engkau adalah rasul pertama (yang Allah utus) di bumi dan Allah menamakanmu hamba yang bersyukur. Maka mintakanlah untuk kami syafa’at kepada Rabb-mu, Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
Nuh pun berkata kepada mereka: “Sungguh, Rabb-ku telah murka pada hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya, dan tidak juga setelahnya. Sungguh dahulu aku memiliki sebuah doa, yang aku gunakan untuk mendoakan keburukan kepada kaumku. Pergilah kalian kepada Ibrahim!”
Kemudian, mereka pun mendatanginya dan berkata : “Engkau adalah nabi dan kekasih Allah dari penduduk bumi. Maka mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami! Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
Ibrahim pun berkata kepada mereka : “Sungguh, Rabb-ku telah murka pada hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya, dan tidak juga setelahnya,” lalu beliau menyampaikan beberapa kedustaannya (dan berkata): “Pergilah menemui selain aku. Pergilah kepada Musa!”
Mereka kemudian mendatangi Musa dan berkata : “Wahai Musa! Engkau adalah rasulullah. Allah memuliakan engkau atas sekalian manusia dengan kerasulan dan pembicaraanNya. Maka mintakanlah syafa’at untuk kami kepada Rabb-mu. Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
Musa pun berkata kepada mereka: “Sungguh, Rabb-ku telah murka pada hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya, dan tidak juga setelahnya. Sungguh aku pernah membunuh jiwa yang tidak diperintahkan membunuhnya. Pergilah kalian kepada selain aku. Pergilah kepada Isa!”
Mereka pun kemudian menemui Isa dan berkata: Wahai Isa! Engkau adalah rasulullah dan engkau berbicara kepada manusia ketika bayi, dan (engkau adalah) kalimat Allah yang diberikan kepada Maryam, serta ruh dariNya. Maka mintakanlah syafa’at untuk kami kepada Rabb-mu! Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
‘Isa pun berkata kepada mereka : Sungguh, Rabb-ku telah murka pada hari ini dengan kemurkaan yang belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya, dan tidak juga setelahnya”. Beliau tidak menyebut satupun dosanya. (Lalu berkata),”Pergilah kepada selain aku. Pergilah kepada Muhammad!”
Lalu mereka menemuiku dan berkata: “Wahai Muhammad! Engkau adalah rasulullah dan penutup para nabi, serta orang yang telah diampuni dosanya yang lalu dan akan dating. Maka mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami. Tidakkah engkau melihat keadaan kami? Tidakkah engkau lihat sampai sedemikian beratnya (yang menimpa kami)?”
“Maka aku pun pergi dan datang di bawah Al ‘Arsy, lalu bersujud kepada Rabb-ku, kemudian Allah membukakan dan mengilhamkan kepadaku sesuatu dari puja dan pujian indah yang tidak diberikan kepada selain diriku sebelumnya. Kemudian ada yang berkata : ‘Wahai Muhammad! Bangunlah! Mintalah, niscaya diberi dan mohonlah syafa’at, niscaya dikabulkan,’ maka akupun bangun dan berkata : “Wahai Rabb-ku! Umatku, umatku!’.” (HR Bukhari dan Muslim, dan ini lafazh Muslim)
Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta syafaat kepada Allah kemudian dimulailah hari persidangan. Oleh karena itu, setiap orang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing dengan amalan shalihnya sendiri. Tidak mungkin dia akan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam demikian juga sayafat kaum mukminin yang lain kecuali jika dia bertakwa dan bertauhid kepada Allah subhanallahu wata’ala setelah mendapat izin dari Allah.
Maka seluruh perkara kembali kepada izin Allah, tidak ada yang bisa memberi syafaat kecuali setelah mendapat izin dari Allah, dan tidak seorangpun mendapat syafaat kecuali setelah dizinkan dan diridoi oleh Allah. Maka sungguh benar firman Allah :
وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِّلَّهِ
‘’Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah’’