Syubhat-syubhat para pendukung bid’ah hasanah
(Imam Syafii mendukung bid’ah hasanah??)
Syubhat pertama :
Mereka berdalil dengan perkataan beberapa ulama yang mengesankan dukungan terhadap adanya bid’ah hasanah.
Diantaranya adalah perkataan Imam As-Syafi’i dan perkatan Al-Izz bin Abdissalam rahimahumallah.
Adapun perkataan Imam As-Syafi’i maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad beliau hingga Harmalah bin Yahya-,
ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
Dari Harmalah bin Yahya berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”, dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Hilyatul Auliya’ 9/113)
Sebelum menjelaskan maksud dari perkataan Imam As-Syafii ini apalah baiknya jika kita menelaah definisi bid’ah menurut beberapa ulama, sebagaiamana berikut ini:
Definisi bid’ah menurut para ulama
Imam Al-‘Iz bin ‘Abdissalam berkata :
هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ
((Bid’ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Qowa’idul Ahkam 2/172)
Imam An-Nawawi berkata :
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
((Bid’ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Tahdzibul Asma’ wal lugoot 3/22)
Imam Al-‘Aini berkata :
هِيَ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ
((Bid’ah adalah perkara yang tidak ada asalnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan dikatakan juga (bid’ah adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada juga di masa para sahabat)) (Umdatul Qori’ 25/37)
Ibnu ‘Asaakir berkata :
مَا ابْتُدِعَ وَأُحْدِثَ مِنَ الأُمُوْرِ حَسَناً كَانَ أَوْ قَبِيْحًا
((Bid’ah adalah perkara-perkara yang baru dan diada-adakan baik yang baik maupun yang tercela)) (Tabyiinu kadzibil muftari hal 97)
Al-Fairuz Abadi berkata :
الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ
((Bid’ah adalah perkara yang baru dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga : apa yang diada-adakan sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan)) (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231)
Dari defenisi-defenisi di atas maka secara umum dapat kita simpulkan bahwa bid’ah adalah segala perkara yang terjadi setelah Nabi, sama saja apakah perkara tersebut terpuji ataupun tercela dan sama saja apakah perkara tersebut suatu ibadah maupun perkara adat.
Karena keumuman ini maka kita dapati sekelompok ulama yang membagi hukum bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, bahkan ada yang membagi bid’ah sesuai dengan hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah), sebagaimana pembagian bid’ah menurut Al-‘Iz bin Abdissalam yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima (wajib, mustahab, haram, makruh, dan mubah), beliau berkata,
“Bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang mandub (mustahab), bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang mubah. Cara untuk mengetahui hal ini yaitu kita hadapkan bid’ah tersebut dengan kaidah-kaidah syari’at, jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah-kaidah pewajiban maka bid’ah tersebut wajib, jika termasuk dalam kaidah-kaidah pengharaman maka bid’ah tersebut haram, jika termasuk dalam kaidah-kaidah mustahab maka hukumnya mustahab, dan jika masuk dalam kaidah-kaidah mubah maka bid’ah tersebut mubah. Ada beberapa contoh bid’ah yang wajib, yang pertama berkecimpung dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu tersebut dipahami perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at hukumnya wajib dan tidak mungkin menjaga syari’at kecuali dengan mengenal ilmu nahwu, dan jika suatu perkara yang wajib tidak sempurna kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang lain tersebut hukumnya wajib. Contoh yang kedua adalah menjaga kata-kata yang ghorib (asing maknanya karena sedikit penggunaannya dalam kalimat) dalam Al-Qur’an dan hadits, contoh yang ketiga yaitu penulisan ushul fiqh, contoh yang keempat pembicaraan tentang al-jarh wa at-ta’dil untuk membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang lemah. Kaidah-kaidah syari’at menunjukan bahwa menjaga syari’at hukumnya fardlu kifayah pada perkara-perakra yang lebih dari ukuran yang ditentukan dan tidaklah mungkin penjagaan syari’at kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan (di atas).”
Ada beberapa contoh bid’ah yang haram, diantaranya madzhab Qodariyah, madzhab Al-Jabariah, madzhab Al-Murji’ah, dan membantah mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Ada beberapa contoh bid’ah yang mustahab diantaranya pembuatan Ar-Robt dan sekolah-sekolah, pembangunan jembatan-jembatan, dan setiap hal-hal yang baik yang tidak terdapat pada masa generasi awal, diantaranya juga sholat tarawih, pembicaraan pelik-pelik tasowwuf (sejenis mau’idzoh yang sudah ma’ruf), perdebatan di tengah keramaian orang banyak dalam rangka untuk beristidlal tentang beberapa permasalahan jika dimaksudkan dengan hal itu wajah Allah. Contoh-contoh bid’ah yang makruh diantaranya menghiasi masjid-masjid, menghiasi mushaf (Al-Qur’an), adapun melagukan Al-Qur’an hingga berubah lafal-lafalnya dari bahasa Arab maka yang benar ia termasuk bid’ah yang haram.
Contoh-contoh bid’ah yang mubah diantaranya berjabat tangan setelah sholat subuh dan sholat ashar, berluas-luas dalam makanan dan minuman yang lezat, demikian juga pakaian dan tempat tinggal, memakai at-thoyaalisah (sejenis pakaian yang indah/mahal) dan meluaskan pergelangan baju. Terkadang beberapa perkara diperselisihkan (oleh para ulama) sehingga sebagian ulama memasukannya dalam bid’ah yang makruh dan sebagian ulama yang lain memasukannya termasuk sunnah sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini seperti beristi’adzah dalam sholat dan mengucapkan basmalah.” (Qowa’idul ahkam 2/173-174)
Ada 3 hal penting berkaitan dengan pengklasifikasian ini:
Pertama : Jika kita perhatikan perkataan Al-‘Iz bin Abdissalam secara lengkap dengan memperhatikan contoh-contoh penerapan dari pengklasifikasiannya terhadap bid’ah maka sangatlah jelas maksud beliau adalah pengklasifikasian bid’ah menurut bahasa, karena contoh-contoh yang beliau sebutkan dalam bid’ah yang wajib maka contoh-contoh tersebut adalah perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah al-mursalah (yaitu perkara-perkara yang beliau contohkan yang berkaitan dengan bid’ah wajib) bahkan beliau dengan jelas menyatakan bahwa syari’at tidak mungkin dijalankan kecuali dengan bid’ah yang wajib tersebut.
As-Syathibi berkata “Sesungguhnya Ibnu Abdissalam yang nampak darinya ia menamakan maslahah mursalah dengan bid’ah karena perkara-perkara maslahah mursalah secara dzatnya tidak terdapat dalam nas-nas yang khusus tentang dzat-dzat mashlahah mursalah tersebut meskipun sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at…dan ia termasuk para ulama yang berpendapat dengan mashlahah mursalah, hanya saja ia menamakannya bid’ah sebagaimana Umar menamakan sholat tarawih bid’ah” (Al-I’tishom 1/192)
Demikian juga bid’ah yang mustahab, berkaitan dengan wasilah dalam menegakkan agama. Sholat tarawih adalah termasuk perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan sholat tarawih secara berjama’ah bersama para sahabatnya beberapa malam. Dan pada tahun yang lain Nabi meninggalkan tarawih karena dikawatirkan akan diwajibkan karena tatkala itu masih zaman diturunkannya wahyu (ta’syri’). Hal ini menunjukan pada asalnya Nabi sholat malam bersama para sahabatnya dan di waktu yang lain beliau meninggalkannya karena kekawatiran akan diwajibkan. Namun kekawatiran ini tidak terdapat lagi di zaman Abu Bakar dan Umar. Hanya saja Abu akar tidak melaksanakan sholat tarawih karena ada dua kemungkinan, yang pertama karena mungkin saja ia memandang bahwa sholat orang-orang di akhir malam dengan keadaan mereka masing-masing lebih baik dari pada sholat di awal malam dengan mengumpulkan mereka pada satu imam (hal ini sebagaimana disebutkan oleh At-Thurtusi), atau karena kesibukan beliau mengurus negara terutama dengan munculnya orang-orang yang murtad sehingga beliau harus memerangi mereka yang hal ini menyebabkan beliau tidak sempat mengurusi sholat tarawih. (lihat Al-I’tishom 2/194)
Demikian contoh-contoh lain dari bid’ah mustahab (hasanah) yang disampaikan oleh beliau diantaranya : pembangunan sekolah-sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu, dan pembicaraan tentang pelik-pelik tasawwuf yang terpuji adalah termasuk bab mau’izhoh (nasehat) yang telah dikenal.
Kedua : Dalam contoh-contoh bid’ah yang disyari’atkan (baik bid’ah yang wajib maupun bid’ah yang mustahab) sama sekali beliau tidak menyebutkan bid’ah-bid’ah yang dikerjakan oleh para pelaku bid’ah (Seperti sholat rogoib, maulid Nabi, peringatan isroo mi’rooj, tahlilan, dan lain-lain) dengan dalih bahwa bid’ah tersebut adalah bid’ah hasanah, bahkan beliau dikenal dengan seorang yang memerangi bid’ah.
Ketiga : Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid’ah-bid’ah yang disebut-sebut sebagai bid’ah hasanah.
Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-‘Iz bin Abdissalam),
“Beliau (Al-‘Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid’ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya’ban dan melarang kedua sholat tersebut” (Tobaqoot Asy-Syafi’iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-‘Iz bin Abdissalam)
Beliau ditanya : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar hukumnya mustahab atau tidak? Doa setelah salam dari seluruh sholat mustahab bagi imam atau tidak? Jika engkau berkata hukumnya mustahab maka (tatkala berdoa) sang imam balik mengahadap para makmum dan membelakangi kiblat atau tetap menghadap kiblat?…
Jawab : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari’atkan tatkala datang.
Setelah sholat Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beliau berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam As-Syafi’i suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari’atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut, dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut” (Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-‘Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)
Beliau juga menyatakan bahwa mengirim bacaan qur’an kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa beliau hal 96). Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid’ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)
Pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, “Dan bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang jelek dan bid’ah hasanah”, kemudian beliau menukil perkataan Al-‘Iz bin Abdissalam dan perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas (lihat Tahdzibul Asma’ wal lugoot 3/22-23).
Kembali pada perkataan Imam Asy-Syafi’i :
Dari Harmalah bin Yahya berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”, dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Hilyatul Auliya’ 9/113)
Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkataan Imam As-Syafi’i ini :
Pertama : Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid’ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob :”Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)”. Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kedua : Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi’i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa’ wa Al-Lughoot (3/23)
“Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”(lihat juga manaqib As-Syafi’i 1/469)
Lihatlah Imam As-Syafi’i menyebutkan bahwa bid’ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa.
Berkata Ibnu Rojab, “Adapun maksud dari Imam Asy-Syafi’i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwasanya pokok dari bid’ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari’ah yang bisa dijadikan landasan, dan inilah bid’ah yang dimaksudkan dalam definisi syar’i (terminology). Adapun bid’ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid’ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 267)
Ketiga : Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid’ahpun dari bid’ah-bid’ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid’ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid’ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid’ah zaman sekarang ini.
Diantara amalan-amalan yang dianggap bid’ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafii adalah :
– Acara mengirim pahala buat mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.
Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur’an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:
“Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi’i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur’aan maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi’I adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…” (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
– Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai mesjid atau tempat ibadah
Imam As-Syafi’I berkata :
وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس
“Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya” (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu’ syarhul Muhadzdzab 5/280)
Bahkan Imam As-Syafii dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ… وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك
“Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan diatas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan…
Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat para fuqohaa mencela penghancuran tersebut”(Al-Umm 1/277)
– Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu
Berkata Abu Syaamah :
“Imam As-Syafi’i berkata : Aku benci seseroang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau merupakan amalan yang baik” (Al-Baa’its ‘alaa inkaar Al-Bida’ wa Al-Hawaadits hal 48)
Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi
« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »
“Janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum’at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian” (yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)
Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi’i.
Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari’atkan??!
Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari’atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??
Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm
“Dan aku suka jika imam menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyampaikan mau’izhoh, dan membaca qiroa’ah, dan tidak menambah lebih dari itu”.
Imam As-Syafii berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada ‘Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. ‘Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.
Imam As-Syafii berkata, “Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya” (Al-Umm 2/416-417)
Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi’i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang menkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum’at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu ‘Athoo’) yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan “Muhdats” (bid’ah). Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan “aku benci” yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A’lam.
Keempat : Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at”
(Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari’at yang baru.
Kesimpulan :
Pertama : Ternyata banyak ulama yang menyebutkan mashlahah mursalah dengan istilah bid’ah hasanah. Karena memang dari sisi bahasa bahwasanya perkara-perkara yang merupakan mashlahah mursalah sama dengan perkara-perkara bid’ah dari sisi keduanya sama-sama tidak terdapat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karenanya semua sepakat bahwa ilmu jarah wa ta’dil hukumnya adalah wajib, demikian juga mempelajari ilmu nahwu, namun sebagian mereka menamakannya bid’ah hasanah atau bid’ah yang wajib (sebagaimana Al-Izz bin Abdissalam) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah (sebagaimana Imam As-Syathibi dalam kitabnya Al-I’tishoom). Demikian juga semuanya sepakat bahwa membangun madrasah-madrasah agama hukumnya adalah mandub (dianjurkan) namun sebagian mereka menamakannya bid’ah hasanah (bid’ah mandubah) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah.
Meskipun terjadi khilaf diantara mereka tentang hukum permasalahan tertentu maka hal itu adalah khilaf dalam penerapan saja yang khusus berkaitan dengan permasalahan itu saja yang khilaf itu kembali dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, khilaf mereka bukan pada asal (pokok kaidah) tentang pencelaan terhadap bid’ah dan pengingkarannya.
Namun bagaimanapun lebih baik kita meninggalkan istilah klasifikasi bid’ah menjadi bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah karena dua sebab berikut
a. Beradab dengan sabda Nabi, karena bagaimana pantas bagi kita jika kita telah mendengarkan sabda Nabi ((semua bid’ah itu sesat)) lantas kita mengatakan ((tidak semua bid’ah itu sesat, tapi hanya sebagian bid’ah saja))
b. Pengklasifikasian seperti ini terkadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk melegalisasikan sebagian bid’ah (padahal para imam yang berpendapat dengan pengkasifikasian bid’ah mereka berlepas diri dari hal ini), yang hal ini mengakibatkan terancunya antara sunnah dan bid’ah
Kedua : Para ulama yang dituduh mendukung bid’ah hasanah (seperti Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam As-Syafi’i) ternyata justru membantah bid’ah-bid’ah yang tersebar di masyarakat yang dinamakan dengan bid’ah hasanah
Ketiga : Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam yang juga bermadzhab syafiiyah yang dituduh mendukung bid’ah hasanah ternyata tidak mendukung bid’ah-bid’ah hasanah yang sering dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi’i. Oleh karenanya saya meminta kepada orang-orang yang melakukan bid’ah -dan berdalil dengan perkataan Imam As-Syafii atau perkataan Al-Izz bin Abdisalaam- agar mereka memberikan satu contoh atau dua contoh saja bid’ah hasanah yang dipraktekan oleh kedua imam ini !!???
Sebagai tambahan penjelasan, berikut ini penulis menyampaikan perbedaan antara bid’ah hasanah dengan maslahah mursalah :
Maslahah mursalah harus memenuhi beberapa kriteria yaitu
1 Maslahah mursalah sesuai dengan maqosid syari’ah yaitu tidak bertentangan dengan salah satu usul dari usul-usul syari’ah maupun dalil dari dalil-dalil syar’i, berbeda dengan bid’ah
2 Maslahah mursalah hanyalah berkaitan dengan perkara-perkara yang bisa dipikirkan kemaslahatannya dengan akal (karena sesuatu yang bisa diketahui memiliki maslahah yang rajihah atau tidak adalah seauatu yang bisa dipikirkan dan dipandang dengan akal), artinya jika maslahah mursalah dipaparkan kepada akal-akal manusia maka akan diterima
Oleh karena itu maslahah mursalah tidaklah berkaitan dengan perkara-perkara peribadatan karena perkara-perkara peribadatan merupakan perkara yang tidak dicerna oleh akal dengan secara pasti (jelas) dan secara terperinci (hanyalah mungkin diketahui hikmah-hikmahnya), seperti wudhu, tayammum, sholat, haji, puasa, dan ibadaah-ibadah yang lainnya.
Contohnya thoharoh (tata cara bersuci) dengan berbagai macamnya yang dimana setiap macamnya berkaitan khusus dengan peribadatan yang mungkin tidak sesuai dengan pemikiran. contohnya keluarnya air kencing dan kotoran yang merupakan najis maka penyuciannya tidak hanya cukup dengan membersihkan tempat keluar kedua benda tersebut namun harus juga dengan berwudhu (meskipun anggota tubuh untuk berwudhu dalam keadaan bersih dan suci), kenapa demikian ??, sebaliknya jika anggota tubuh untuk berwudhu kotor namun tanpa disertai hadats maka tidak wajib untuk berwudhu, kenapa demikian?? kita tidak bisa mencernanya secara terperinci. Demikian juga halnya dengan tayammum, tanah yang sifatnya mengotori bisa menggantikan posisi air (yang sifatnya membersihkan) tatkala tidak ada air, kenapa demikan??, tidak bisa kita cerna dengan jelas, pasti dan terperinci. Demikan juga ibadah-ibadah yang lainnya seperti sholat dan haji terlalu banyak perkara-perkara yang tidak bisa kita cernai. Contohnya tentang tata cara sholat, jumlah rakaat, waktu-waktu sholat, hal-hal yang dilarang tatkala berihrom, dan lain sebagainya. Sungguh benar perkataan Ali لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لكان أَسفَلُ الخُفِّ أولى بالمسحِ من أعلاه ((Kalau memang agama dengan akal tentu yang lebih layak untuk di usap adalah bagian bawah khuf dari pada mengusap bagian atasnya)).
3 Maslahah mursalah kembali pada salah satu dari dua perkara dibawah ini
a. Bab wasilah (perantara) bukan tujuan, dan termasuk dalam kaidah مَا لاَ يَتِمُّ الوَلجبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجب ((sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan perkara yang lain maka perkara tersebut juga hukumnya wajib)), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka penyempurnaan pelaksaan salah satu dari dhoruriaat dalam agama. Contohnya seperti pengumpulan Al-Qur’aan, pemberian harokat pada Al-Qur’aan, mempelajari ilmu nahwu, mempelajari ilmu jarh wa ta’diil, yang semua ini merupakan perkara-perkara yang tidak ada di zman Nabi hanya saja merupakan maslahah mursalah
b. Bab takhfif (peringanan), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka menolak kesulitan yang selalu melazimi.
Jika demikian maka kita mengetahui bahwa bid’ah berbeda bahkan bertentangan dengan maslahah mursalah, karena obyek dari maslahah mursalah adalah perkara yang bisa dicerna dan ditangkap dengan akal secara terperinci seperti perkara-perkara adat, berbeda dengan perkara-perkara ibadat, oleh karena peribadatan sama sekali bukanlah obyek dari maslahah mursalah. Adapun bid’ah adalah sebalikinya yang menjadi obyeknya adalah peribadatan. Oleh karena itu tidak butuh untuk mengadakan peribadatan-peribadatan yang baru karena tidak bisa dicerna secara terperinci berbeda dengan perkara-perkara adat yang berkaitan tata cara kehidupan maka tidak mengapa diadakannya perkara-perkara yang baru. Para ulama telah menjelaskan bahwa asal hukum dalam peribadatan adalah haram hingga ada dalil yang menunjukan akan keabsahannya, berbeda dengan perkara-perkara adat asal hukumnya adalah boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya. Demikian juga perkara-perkara bid’ah biasanya maksudnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah karena pelakunya tidak puas dengan syariat yang dibawa oleh Nabi, maka ia bukanlah termasuk maslahah mursalah karena di antara tujuan dari maslahah mursalah adalah untuk peringanan.
Dan perbedaan yang paling jelas bahwasanya masalahah mursalah adalah wasilah untuk bisa melaksanakan seeuatu perkara dan bukan tujuan utama, berbeda dengan bid’ah.
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27 November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Assalamu’alaikum ustadz, ana izin copas untuk ana share di blog ana. Syukron
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
عفوا، سامحني بنقلها… هذا وشكرا
menurut anda, apakah yang anda lakukan ini, menulis artikel, copy paste haditz, ayat alqur’an, serta artinya, di website adalah sebuah dakwah?
setahu saya rasul SAW tidak pernah berdakwah dengan cara seperti ini.
[quote name=”Rupiah”]menurut anda, apakah yang anda lakukan ini, menulis artikel, copy paste haditz, ayat alqur’an, serta artinya, di website adalah sebuah dakwah?
setahu saya rasul SAW tidak pernah berdakwah dengan cara seperti ini.[/quote]
setahu saya ada hadits berbunyi begini “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
got any complain with it?
jazaakallohu khair ust, artikelnya bagus sekali. semoga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya bagi saudara-sudara kita yang masih membela dan meyakini adanya bid’ah hasanah, semoga kita semua selalu mendapatkan bimbingan dari Alloh untuk meniti jalan yang benar
Assalaamu’alaykum.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ana telah berusaha untuk membaca beberapa buku karya para ulama Salafi tentang kaidah2 bid’ah tapi tentu saja ada hal2 yang belum ana pahami terutama untuk mengaplikasikannya di Lapangan.
Pertanyaan pertama:
Apakah menuliskan lafazh shalawat setelah nama Rasulullah dalam kitab2 -misalnya- termasuk bid’ah? Bukankah Rasulullah ketika mengirim surat kepada Heraklius tidak menyertakan lafazh shalawat dibelakang namanya? Dan setahu ana ini pun tidak ada contohnya dari Rasulullah dan tidak pula ada dalil eksplisit tentang hal ini. Paling mentok -setahu ana- adalah berdalil dengan dalil2 mutlak tentang keutamaan/sunnahnya bershalawat atas beliau.
Mohon jawaban antum. Ana harap diskusi ini berlanjut sampai ana benar2 paham. Ana sadar untuk bicara masalah bid’ah di masyarakat bukanlah hal yang mudah, ana harus merasa benar2 paham baru ana mau bicara. Oleh karena itu ana ingin berkorespondensi dengan antum via blog ini mengenai masalah2 yang musykil bagi ana seputar tema bid’ah. Semoga antum bersedia meluangkan waktu…
Ibnu Saleh,Setahu ana perintah bershalawat itu dari Allah Ta’ala dan Rasulullah kepada semua muslimin.Malah yg tdk mau bershalawat dianggap “BAKHIL”.Perintah itu tdk ditujukan kpd pribadi Rasulullah. Maksudnya,Rasulullah tdk diperintah utk mengucapkan shalawat bila namanya disebutkan oleh dirinya sendiri.Surat kpd heraklius,Rasulullah sbg pengirimnya.Dan kenapa shalawat dianjurkan ditulis sesudah disebut nama Rasulullah,karena tulisan ini kan utk dibaca,shg shalawat ditulis juga supaya tdk telupa.Salam, (Nahdi Sungkar)
@Ibnu Sholeh :Walaikumsalam
Berikut jawaban ana yang singkat (namun mohon maaf ana belum sempat melihat lebih lanjut perkataan para ulama tentang hal ini, mengingat waktu yang sempit) :
Penulisan shallallahu ‘laihi wa sallam bukanlah bid’ah dari beberapa segi :
pertama : Surat yang ditujukan Nabi kepada Heraklius atau raja-raja yang lainnya adalah surat yang ditujukan Nabi kepada orang kafir. dan kita tahu bahwasanya orang kafir tidak disyari’atkan untuk bersholawat kepada Nabi. Nabi menulis surat kepada mereka agar mereka beriman. Oleh karenanya dalam perjanjian Hudaibiyyah bahkan Nabi menghapus kalimat Rasulullah atas permintaan kaum kafir Quraisy, sehingga Nabi hanya menulis Muhammad bin Abdillah.
Kedua : Kita mengikuti sunnah Nabi bisa dengan contoh perbuatan nabi atau dengan perkataan nabi meskipun tidak ada dalil yang shahih tentang praktek Nabi. sebagai contoh, Nabi menyunahkan seseorang untuk sholat isyrooq (yaitu setelah sholat subuh duduk menunggu hingga matahari terbit lalu sholat dua rakaat), hal ini datang dalam perkataan Nabi, namun sepanjang sepengetahuan ana (afwan ana belum sempat mengecek, siapa tahu ana keliru) yaitu tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan praktek Nabi tersebut. dan saya rasa contoh untuk hal ini banyak.
Nah ini juga cocok dengan pertanyaan antum, dimana taruhlah Nabi pernah menulis surat kepada seorang sahabat muslim, lalu Nabi menulis nama beliau tanpa ada sholawat(meskip un setahu ana inipun tidak pernah terjadi) maka kita katakan meskipun secara praktek tidak dilakukan Nabi akan tetapi dalil yang shorih menunjukan bahwa Nabi menjelaskan orang yang bakhiil (pelit) adalah orang yang tidak bershalawat tatkala disebutkan Namaku.
Ketiga : Demikian pula disyari’atkan untuk bershoalwat kepada nabi tatkala berdoa (sebagaimana dalam hadits) akan tetapi tidak didapatkan nabi mempraktekan hal ini. Sebagaimanpula dalam hadits yang shahih nabi mensyari’atkan untuk bersahlawat tatkala dalam halaqoh, akan tetapi tidak ada dalil yang menunjukann praktek Nabi akan hal itu.
Keempat : Para ulama tatkala menulis sholawat maksudnya agar orang yang membaca bersholawat kepada nabi, sebagai pelaksanaan perintah nabi. oleh karenanya tidak mengapa seseorang menulis nama nabi tanpa menulis lafa shlolawat jika kemudian sholawat tersebut ia ucapkan dengan lisannya mekipun tanpa ditulis
kelima : Para ulama telah ijmak tentang disunnahkan menuliskan shalawat setelah penulisan nama Nabi. dan ijmak merupakan salah satu sumber dalil, meskipun tidak penah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulan : Menuliskan sholawat bukanlah perkara bid’ah karena ada dalilnya dan itu adalah praktek para salaf, dan itu merupakan ijmak para ulama. adapun dalil bahwa nabi tidak pernah melakukannya dengan bukti bahwa nabi tatkala menulis surat ke heraklius tanpa bersholawat maka itu merupakan pendalilan yang kurang tepat karena surat tersebut ditujukan kepada orang kafir yang tidak disyariat’kan untuk bersholawat, bahkan mereka tidak tahu bahwasanya Muhammad adalah seorang nabi.
Adapun bid’ah-bid’ah yang ada maka sama sekali tidak pernah dipraktekan oleh salaf, dan tidak ada dalil khusus yang menunjukan akan hal itu, dan tidak ada ijmak ulama akan hal itu. semoga bisa dipahami (sekali lagi saya mohon maaf karena belum bisa melihat perkataan para ulama tentang hal ini)
Pertama, ana benar2 sangat senang dan berterima kasih untuk ilmu dan waktu -ditengah2 kesibukan antum- yang telah antum luangkan untuk menjawab pertanyaan ana. Jujur, pertanyaan semisal ini telah ana sebarkan di website2 -besar- salafi tapi hanya antum yang menjawab, jazaakallahu khairan…
Kedua, ana sudah pahami kelima point penjelasan dari antum diatas -semampu ana-. Diantara lima jawaban tersebut, ada dua hal yang ingin ana tanyakan:
a. Menurut ana jawaban yang paling telak dalam hal ini adalah adanya ijma’. Kalau boleh tahu siapa diantara para ulama yang menukil adanya ijma’ dalam hal ini?
Di kitab apa?
Atau mungkin jenis ijma’ -yang antum maksud- disini adalah tidak diketahuinya satu orang ulama pun yang menyelisihi hal ini padahal pendapat ini sudah sangat tersebar plus penerimaan umat terhadapnya maka jadilah dia hujjah yang sangat kuat?
Benarkah begitu ustadz?
Ijma’ -sependek pengetahuan ana- tentu ada dasarnya/argumennya -ga langsung tiba2 jadi ijma’- maka ana ingin tanyakan point b berikut:
b. Apakah perintah untuk mengucapkan shalawat atau bershalawat secara mutlak bisa diqiyaskan dengan menuliskannya? Dimana letak sisi pengqiyasannya? Shalawat adalah ibadah, apakah ini termasuk jenis ibadah yang bisa diqiyaskan?
Lain urusan jika si penulis niatnya adalah untuk mengingatkan pembaca agar bershalawat -tapi kali ini yang ana tanyakan bukan itu-.
Atau gambaran lainnya -dari pertanyaan ana- begini: Ketika seseorang menulis nama Rasulullah apakah sama saja dengan dia mengucapkan nama Rasulullah sehingga dia disunnahkan untuk bershalawat?
Dan apakah dengan menuliskan lafazh “shallallahu’alayhiwasallam” maka telah terangkat beban darinya untuk tidak bershalawat dengan lisan?
Dimana letak qiyasnya?
Ana masih belum paham sebab dalam hadits2 -sependek pengetahuan ana- yang masyru’ adalah mengucapkan bukan menuliskan itu pun jika nama Rasulullah disebut bukan ditulis…
NB: Ana menulis pertanyaan diatas murni karena ingin mencari ilmu -sama sekali- bukan untuk memperpanjang pembicaraan seperti yang dibenci oleh para ulama salaf yang mulia.
Ustadz, ana mencintai antum karena Allah…
Sekian, terima kasih…
pertanyaan semacam ini menunjukkan ketidak puasan yang biasa terjadi pada kalangan nahdiyiiiiin…
belajar banyak adalah kuncinya.
assalaamu’alaykum ustadz…
semoga Alloh Ta’aala merahmati kita semua dan mengampuni kita semua..
ternyata di Indonesia ada golongan lain yg mengaku ahlus shunnah wal jama’ah..
padahal yg lebih tepat dari perkataan mereka, seharusnya ber-label,..
Ahlul bid’ah hasanah wal jama’ah..?
Mudah2an Alloh Ta’aala membantu antum dalam menegakkan & menyebarkan ‘ilmu shunnah rosululloh saw..
sekalian ana minta izin copas thd tulisan2 ustadz.
Ana mencintai antum karena Alloh Ta’aala.
wassalaamu’alaikum.
Muhamad Imam
daripada jidat item celana gatung …
daripada melaksanakan ibadah2 yg ternyata tidak diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dan akhirnya membuat Allah tidak ridho….
ane mah ngikutin ulama yang telah dipercaya .. ulama kan pewarisnye Nabi ..
ane bingung nih yang kaya” nte belajar dari buku doank.. sekarang banyak hadits shahih tapi palsu … naaah
mendingan nte belajar ame ulama yang sanadnye jelas bukan dari buku yang isinye udah bikin bingung orang …
Alhamdulillah, kami disini jg belajar kepada guru2 dan ustadz2 yg insya Allah ‘amanah dlm menyampaikan ilmu, mana yg shahih dijelaskan dan mana yg maudhu’ dipisahkan. Alhamdulillah, masalah sanad insya Allah sanad guru2 kami jg ulama2 yg terpercaya, ana kira tidak perlu gembar gembor sanad lah, cukup ilmunya yg ‘amanah sesuai dengan qur’an dan hadits shohih.
Ape nte tau amalan nte bakalan diterima sama Allah swt, kalau nte pengen tau, nte kudu mati dulu baru disitu nte tau diterima apa gak amalan nte ya gak.
Lah ente sudah pernah mati belum mengamalkan amalan yang menurut ente benar?
Assalamualaikum…
Ustadz Ana izin copy
ketika antum menantang mereka untuk memberi contoh bid’ah hasanah yg dilakukan imam syafii, mereka menulis dibawah ini.Bagaimana pendapat ustad?
=====================================
Imam Syafi’i ada beberapa “kreasi” sholawat diantaranya
“Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada sayyid kita Muhammad, sebanyak dzikirnya orang yang berdzikir dan sebanyak lalainya orang yang lalai. “
(shalawat yg ditulis Imam Asy Syafi’i r.a. Dalam kitab Ar Risalah.)
atau kreasi Beliau yang lain
بسم الله الرحمن الر حيم اللهم صل على سيدنا محمد بعدد من صلى عليه وصل على سيدنا محمد بعدد من لم يصل عليه وصل على سيدنا محمد كماتحب وترضى أن يصلى عليه وصل على سيدنا محمد كماأمرتنا بالصلاة عليه وصل على سيدنا محمد كما تنبغي الصلاة عليه وصل على جميع الأنبياء والمرسلين والملائكة المقربين وعلى عبادك الصالحين برحمتك ياأرحم الراحمين
من قرأها ليلا ونهارا غفرالله له بلاشك ولا ريب
Allah memerintahkan kita untuk bersalawat kepada Nabi. dan Nabi telah mengajarkan kita cara bersalawat kepada Nabi tatkala sholat. oleh karenanya tatkala bershalawat dalam shaolat kita tidak berkreasi, sebagaimana doa-doa dan dzikir-dzikir juga kita tidak berkreasi dalam sholat.Tentunya tidak seorangpun yang membolehkan bersahalawt dalam sholat sebagaimana shalawat kreasi Imam Syafii tersebut !!!
Adapun Shalawat dan salam kepada nabi di luar sholat maka bebas bebas aja terserah bagaimana shigohnya (bentuk kalimatnya), selama maknanya benar. Dan hal ini (kreasi seperti ini) banyak dilakukan oleh para ulama dalam buku-buku mereka terutama di awal buku mereka. bahkan para ulama saudi juga demikian, baik dalam buku-buku maupun di khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah mereka.
hal ini sebagaimana doa, bisa juga bebas “berkreasi”.
Sebgaimana pula bebas berkreasi dalam berdakwah, dalam ceramah, dalam memuji Allah, dll, selama tidak bertentangan dengan syair’at.
Hal ini berbeda dengan salawat nariyah misalnya atau shalawat fatih yang diyakini memiliki keutamaan tertentu. ini adalah kreasi bida’ah, selain isinya juga bertentangan dengan syari’at
Yang menjadi permasalahan kita adalah adalah kreasi membuat ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. apakah Imam syaifii pernah mencontohkannya???, hal inilah yang tidak akan pernah dijawab oleh mereka yang mengaku-ngaku pengikut madzhab syafii !!!!
assalamualaikum pak firanda ..
saya mau bertanya : internet termasuk bid’ah atau apa ??
tolong dijawab dengan sejelas-jelasnya ..
syukron..
wassalamualaikum .
internet termasuk bid’ah dunia, karena jaman nabi tdk ada. nah yg dilarang oleh islam adalah bid’ah dalam agama, karena agama ini telah sempurna, sebagaimana yg disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:”wa kulla bid’atin dholaalah (dan setiap bid’ah/ yg baru dalam agama sesat” hanya dimaksudkan dalam hal agama saja. sedangkan dunia pasti berkembang
[quote name=”Rudi Elprian”]internet termasuk bid’ah dunia, karena jaman nabi tdk ada. nah yg dilarang oleh islam adalah bid’ah dalam agama, karena agama ini telah sempurna, sebagaimana yg disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:”wa kulla bid’atin dholaalah (dan setiap bid’ah/ yg baru dalam agama sesat” hanya dimaksudkan dalam hal agama saja. sedangkan dunia pasti berkembang[/quot[quote name=”Rudi Elprian”]internet termasuk bid’ah dunia, karena jaman nabi tdk ada. nah yg dilarang oleh islam adalah bid’ah dalam agama, karena agama ini telah sempurna, sebagaimana yg disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:”wa kulla bid’atin dholaalah (dan setiap bid’ah/ yg baru dalam agama sesat” hanya dimaksudkan dalam hal agama saja. sedangkan dunia pasti berkembang[/quote]
lah yang di lakukan om Firaun-da ini apaan?
menggunakan internet untuk ngebahas masalah dunia atau masalah agama?
Bid’ah itu adalah amalan hal yg tidak di kerjakan oleh golongan om firaun-da ini dan teman temannya..
Kalau amalan orang lain mereka sebut bid’ah…
[quote name=”robby”]
lah yang di lakukan om Firaun-da ini apaan?
menggunakan internet untuk ngebahas masalah dunia atau masalah agama?
Bid’ah itu adalah amalan hal yg tidak di kerjakan oleh golongan om firaun-da ini dan teman temannya..
Kalau amalan orang lain mereka sebut bid’ah…[/quote]
sudahlah ya akhi. berlapangdadalah dalam menerima nasihat. merasa beruntunglah antum karena ada saudara yang mengingatkan kita sebelum terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
jazaakollah khair. ana makin ngerti tentang bid’ah. ana izin copy
Logika sederhana ….
Bid’ah Hasanah….
Hasanah = Baik
Terus yg memberi stempel itu baik siapa yach
Siapa yg melegitimasi satu amalan itu baik….???
Allah atau Rasul-NYA….
Kalau yg melegitimasi suatu amalan itu baik adalah Allah atau Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa ssalam tentunya bukan bid’ah
Tapi kalau yg melegitimasi dan memberi stempel baik itu adalah si fulan, atau si fulan …. tetap dholallah namanya walaupun maksudnya baik ….
Wallahu’alam
salam,,sedikit menambahkan masalah penulisan shalawat setelah penulisan Nama Nabi atau semisalnya,,hal ini sangat mirip dengan penjelasan imam ibnu hajar tatkala beliau membahas tentang awal kitab dalam shahih bukhori,,masalahnya adalah mengapa Imam Bukhori langsung memulai kitabnya dengan menuliskan bismillah, bab penurunan wahyu. beliau sama sekali tidak berhamdalah dan bershalawat dalam bentuk tulisan. inti masalahnya adalah apakah hukum tulisan mengikuti lisan dan apakah juga berlaku kebalikannya (hukum lisan mengikuti tulisan). atau hukum tulisan sama sekali berbeda dengan hukum lisan. apabila hukumnya sama,,maka tidak ada masalah dalam penulisan shalawat kepada nabi setelah penulisan nama beliau,,karena kita diperintahkan bershalawat secara lisan, berarti tulisan mengikuti hukum lisan. adapun apabila hukumnya berbeda, maka tidak ada perintah untuk menulis shalawat setelah nama nabi dan semisalnya. akan tetapi, secara global hukum lisan mengikuti tulisan dan juga sebaliknya, kecuali di dalam beberapa masalah yang sedikit. bahkan hukum tulisan terkadang lebih kuat dibanding dengan lisan,,karena lisan bisa saja tersilap atau dalam bahsa arabnya (sabqullisan).jadi kesimpulannya tidak ada masalah dalam penulisan shalawat kepada Nabi, karena hal tersebut permasalahan yang mana lisan dan tulisan memiliki kedudukan yang sama. adapun permasalahan terjadi tatkala, misalnya seseorang mengaku memiliki hutang kepada si pulan secara tulisan , akan tetapi dia inkar secara lisan,,maka pengakuan mana yang diambil, tulisan atau lisan? ini contoh kasus nya,,,,,semoga bermanfaat (wallahu a`lam)
dan perlu ditambahkan juga,,terjadi permasalahan tatkala apabila seseorang melakukan setengah2,,seperti kasus pembelaan imam ibnu hajar terhadap imam bukhori,,beliau mengatakan bahwa (yang maksudnya)bisa saja imam bukhori tatkala menulis kitab shohih nya telah berhamdalah dan bershalawat secara lisan akan tetapi tidak ditulis baru setelah itu beliau menulis kitabnya..dan kaitannya dengan masalah shalawat secara tertulis,,tidak sedikit ditemukan didalam kitab2 turats yang ditulis dengan tulisan lama,,tidak terdapat tulisan shalawat setelah nama Nabi,,akan tetapi bukan berarti penulis tidak bershalawat tatkala menyebutkan nama nabi,,akan tetapi bila dibandingkan dengan zaman saat ini,,shalwat hanya dijadikan sebagai simbol tulisan. sehingga hanya dengan menekan salah satu tuts pada keyboard langsung muncul simbol shalawat,padahal si penulis tidak menulis atau lebih tepatnya tidak mengetik shalawat huruf demi huruf, tapi hanya menekan simbol terus muncul lafad shalawat.
kesimpulannya,,sebagaimana yang tersirat dari penjelasan imam ibnu hajar,,semuanya kembali kepada niat,,makanaya ketika penyebutan hadis innamal a`maal binniyyat,,a`maal disini memilki makna general termasuk tulisan, lisan bahkan pikiran. allahumma zidna ilman wa fiqhan
Bismillah.
Saudaraku seiman yang kami mulyakan….
aku sangat heran terhadap orang yang slalu bicara sanad, sanad, sanad. orang yang punya sanadnya betul g’ mungkinlah berfaham bid’ah,,,,,,, berfaham sesat,,,, berfaham syiriiikk,,,. sufiah itu adik kakak sama syi’ah… syi’ah g’ mampu memadamkan cahaya sunnah dia pakai cara licik, dengan mengkafirkan para sahabat, sehingga konsekwensinya sekian banyak hadits harus ditolak,, hampir separuh agama bisa hilang…. begitu juga sufiah gak bisa memadamkan cahaya sunnah, pakai istilah sanad, sanad, sanad, sehingga orang yang dianggap gak punya sanad tidak benar semua perkataannya. sungguh orang bodoh dan dungu seperti kalian inilah yang merusak agama ini. ya Allah tunjukilah mereka ke jalan yang lurus,,,.
Mereka tiada ubahnya seperti apa yang pernah saya baca. ada dua orang yang berselisih tentang hakikat benda. si A berkata benda yang disebrang sana itu adalah burung, si B menjawab ah! tidak ! itu adalah kambing,, maka si A mengajak si B mendekati benda tersebut untuk menjadi kebenaran, setelah amat dekat ternyata benda itu terbang, si A berkata nah! benar kan apa yang saya bilang, bahwa itu burung,, si B berkata ah! tidak!! itu kambing walaupun terbang,,,,! he he he. demikianlah permisalan ahlussunnah dengan ahlul bid’ah, dholal, syirik. dn yang semisal dengan mereka. sudah nampak hujjah yg terang malamnya seperti siangnya tapi mereka tetap berpegang kepada fahamnya yang bathil.
Sy bingung dg anda2 sekalian, yg mdah skli mnyesatkan dan mengkafirkn orng lain..
Seperti ini lah yg mngakibatkan Islam tdk berkembang, saling menyalahkan yg berakibat perselisihan..
Tdk ada rasa saling menghargai pendapat. Akan seperti apa Islam beberapa thn kdpan jika generasi sblmnya sprti ini. Yg satu mnyalahkn yg lain, bgtupun sbliknya..
Coba tengok sejarah dlu, masing2 ulama pnya argumen masing2 dan ada yg brbeda, tp tak prnh brtabrakan argumen.
Orng skrg, bru pnya ilmu seadanya (maaf bkan mksud menghina), yg tak sebanding dg lautan ilmu para ulama trdahulu sdh sling mnyalahkan.
Sy tdk memihak kpd slh satu pihak, krna sy hnya seorang ‘fakir’ ilmu yg cinta Islam..
Jadi agen2 muslim yg senantiasa mnyebarkn rahmat kpd semesta alam..
Sy ber-istighfar kpd Allah apabila trdpt kslahan dlm ucapan sy ini. Krn kebenaran hnya milik Allah Swt.
[quote name=”Muh Farid Z.”]Sy bingung dg anda2 sekalian, yg mdah skli mnyesatkan dan mengkafirkn orng lain..
Seperti ini lah yg mngakibatkan Islam tdk berkembang, saling menyalahkan yg berakibat perselisihan..
Tdk ada rasa saling menghargai pendapat. Akan seperti apa Islam beberapa thn kdpan jika generasi sblmnya sprti ini. Yg satu mnyalahkn yg lain, bgtupun sbliknya..
Coba tengok sejarah dlu, masing2 ulama pnya argumen masing2 dan ada yg brbeda, tp tak prnh brtabrakan argumen.
Orng skrg, bru pnya ilmu seadanya (maaf bkan mksud menghina), yg tak sebanding dg lautan ilmu para ulama trdahulu sdh sling mnyalahkan.
Sy tdk memihak kpd slh satu pihak, krna sy hnya seorang ‘fakir’ ilmu yg cinta Islam..
Jadi agen2 muslim yg senantiasa mnyebarkn rahmat kpd semesta alam..
Sy ber-istighfar kpd Allah apabila trdpt kslahan dlm ucapan sy ini. Krn kebenaran hnya milik Allah Swt.[/quote]
anda pernah mendengar hadits riwayat Bukhori dan Tirmidzi tentang orang-orang yang menaiki sebuah kapal? ada yang naik di bagian atas dan ada yang naik di bagian bawah. kemudian orang-orang yang naik kapal di bagian bawah ingin mengambil air dengan melubangi lambung kapal. apa yang akan terjadi seandainya orang-orang yang berada di atas kapal tidak mencegah perbuatan orang-orang yang hendak melubangi kapal ini? mereka semua akan celaka bersama-sama.
itulah yang terjadi seandainya tidak ada orang yang mencegah kemungkaran yang dilakukan oleh orang lain. sekalipun dia tidak melakukan kemungkaran, akan tetapi karena diamnya ia ketika ia melihat suatu kemungkaran di depan matanya, maka dia pun juga akan ikut tertimpa azab dari Alloh.
Sebodoh2nya saya dalam pemahaman agama, saya juga tahu akan makna hadits tsb. dan pernah diajarkan oleh guru saya.
Makna dari hadits tersebut adalah berkenaan dg masalah maksiat mas, bkn masalah “ikhtilaf” dlm pemahaman agama yg berbeda2…
Nah, harusnya hadits yg anda kutip itu dianalogikan untuk perbuatan maksiat dalam “af’al” atau perbuatan…
klo yg sering diperdebatkan oleh banyak orang itu adlah masalah pemahaman atau dala ikhtilaf…
Jika anda menganalogikan orang yg berbeda pemahaman sebagai orang yg merusak agama bahkan bisa tertimpa azab Allah, kan agak aneh..
Ulama2 terdahulu pun banyak terjadi ikhtilaf satu dg yg lainnya.
Saya juga tidak merasa benar dalam segala ucapan yg saya sampaikan ini..
Namun, saya merasa kesal terhadap orang yg saling menyalahkan. Padahal, masing2 paham pun pasti tidak semena2 dijadikan sebuah faham jika tidak berdasarkan dalil.
Coba lah kita berfikir seperti Imam al-Ghazali yg menggambarkan bahwa ilmu Allah itu bagaikan seekor gajah yg dipegang oleh banyak orang buta, mereka ada yg memegang kakinya, telinganya, belalainya bahkan memegang tubuhnya yg besar. Dan ketika mereka ditanya bagaimana bentuk gajah itu, mereka pasti ada yg menjawab gajah itu seperti tiang (krn memegang kaki), ada yg menjawab seperti kipas (krn memegang telinga), ada yg menjawab seperti terompet (krn memegang belalainya), ada yg menjawab seperti gulungan kasur besar (krn memegang perutnya). Semua jawaban adalah betul, krn semua itu adalah bagian2 dr gajah.
Nah, bgtu jg ilmu Allah yg Maha Luas, kita pasti banyak yg menginterpretasi ilmu-Nya yg Maha Luas itu berbeda pendapat. Krn memang tlh ditegaskan oleh Allah “wamaa uutiitum minal ‘ilmi illaa qoliilan”…
Oleh krn itu, Imam Ghazali menganjurkan kita untk slalu mengatakan “Allahu a’lam bish-showab”, krn bisa saja yg kita katakan itu benar bisa juga salah. Dan hanya Allah-lah yg Maha Tahu.
Saya paling tidak senang kepada orang yg saling menyalahkan. Selama kita punya argumen masing2, lakukanlah apa yg kita yakini dg argumen yg kita punya…
sebelum itu, antum harus mengetahui dahulu MACAM-MACAM ikhtilaf, kemudian barulah antum mengetahui CARA MENYIKAPI ikhtilaf yang ada.
tidak semua ikhtilaf itu bisa diterima dan ditoleransi. bagaimana mungkin menuntut suatu toleransi terhadap ikhtilaf antara sunnah-bid’ah, antara tauhid-syirik, antara halal-haram?
memang sering terjadi ikhtilaf di kalangan ulama ahlus sunnah, bahkan semenjak zaman para sahabat sampai zaman kita yang modern ini dan sampai nanti di hari kiamat. akan tetapi sekali lagi harus diperhatikan dulu ikhtilaf mana yang bisa ditoleransi dan tidak bisa ditoleransi.
apakah antum tidak pernah mendengar pertentangan yang begitu sengit antara ahlus sunnah dengan rofidhoh, khowarij, jahmiyah, mu’tazilah, murji’ah, jabariyah, qodariyah dan sebagainya?
apakah antum kira ahli bid’ah itu tidak punya dalil dan argumen masing?
[quote name=”Muh Farid Z.”]
Saya paling tidak senang kepada orang yg saling menyalahkan. Selama kita punya argumen masing2, lakukanlah apa yg kita yakini dg argumen yg kita punya…[/quote]
tapi antum menyalahkan manhaj dakwah salafiyun yang hendak memberantas syirik dan bid’ah. apakah antum tidak merasa bahwa perbuatan antum bertentangan dengan perkataan antum sendiri?
ass
khi yang ane tau nih ye ente masih mbeler guru dari guru – guru kite nih yang sudah almarhum yang ente sesat-sesatin gara-gara bid’ah nih lebih lebih alim, lebih tawadhuk dengan keilmuannya, lebih ikhlas dengan pengajaran dan amalannya bila dibandingin dengan ente, saran gue nih ente berhenti mengupas masalah khilafiyah dan bid’ah, ndak ada putusnye itu sudah masa lalu, lebih baik kite bersatu bagaimana mengajak adik adik remaja kita agar jangan terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba dan yang lebih penting bisa sholat, bisa mengaji al-qur’an dengan baik dan benar agar ummat islam tidak seperti busa diatas lautan yang datangnya lebih awal karena pemimpinnya lebih senang berseteru. Tuhan kite same, Al-qur’an kite sama, nabi kite sama, syahadat kite same ngapain ente terus mencari dasar hukum hanya untuk memuaskan pendapat egois ente yang seneng malah setan. ok khi sekian dulu ye komentar ane mohon maaf bila ada salah ane.
wass
[quote name=”mazham”]ass
khi yang ane tau nih ye ente masih mbeler guru dari guru – guru kite nih yang sudah almarhum yang ente sesat-sesatin gara-gara bid’ah nih lebih lebih alim, lebih tawadhuk dengan keilmuannya, lebih ikhlas dengan pengajaran dan amalannya bila dibandingin dengan ente, saran gue nih ente berhenti mengupas masalah khilafiyah dan bid’ah, ndak ada putusnye itu sudah masa lalu, lebih baik kite bersatu bagaimana mengajak adik adik remaja kita agar jangan terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba dan yang lebih penting bisa sholat, bisa mengaji al-qur’an dengan baik dan benar agar ummat islam tidak seperti busa diatas lautan yang datangnya lebih awal karena pemimpinnya lebih senang berseteru. Tuhan kite same, Al-qur’an kite sama, nabi kite sama, syahadat kite same ngapain ente terus mencari dasar hukum hanya untuk memuaskan pendapat egois ente yang seneng malah setan. ok khi sekian dulu ye komentar ane mohon maaf bila ada salah ane.
wass[/quote]
menghadapi maksiat lebih mudah mengenalnya bagi orang awam seperti saya, tapi menghadapi bid’ah jauh lebih sulit.. sebab pelaku bid’ah tidak menyadari perbuatannya itu malah membawanya ke api neraka.
buktinya menghadapi penguasa yg dzalim kita disuruh bersabar, tapi menghadapi ahlul bid’ah kita disuruh menyelisihi dan berlepas diri dari mereka.
Tugas orang berilmu seperti p firanda utk.menjelaskan ini ke khalayak/ ummat,
wong utk.kemaslahatan ummat koq jangan ragu2 dan harus ikhlas utk.agama/ bukan utk.maksud lain.
iklan mengajak kemaksiatan saja massif dimana2, masak dakwah ilmu diabaikan begitu saja ? sesuatu yg salah bila disampaikan berulang2 akan menjadi ‘kebenaran’. Beruntunglah mereka orang2 yg diberi ilmu agama dan menyebarkannya.
lanjut…
Assalamu’alaikum ustadz, ana izin copas
mazham, bukan ane ikut campur masalah ente nh, gw rasa yang lw sebutin perlu juga ngajak saudara2 kita biar ga terjerumus ke pergaulan bebas, ga menuju ke narkoba dan lain,tapi perlu juga mazham menjelaskan saudara2 kita agar melakukan ibadah sesuai tuntunan nabi, jangan sampai shalat ga sama kaya nabi, wudhunya ga sama kaya nabi, shalawatnya ga sama kaya nabi,dzikirnya ga sama kaya nabi,karna itu perlu juga mazham, bkan na mau mengkritik,okay.
busett orang “SAWAH” emang banyak banget yang bernaama ‘ABU” wkwk
sahabat dan ulama juga buanyak yang pake nama ABU-ABU
Nabi Muhammad juga nama panggilannya “Abu Qasim”.
Assalammu’alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah:3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Pada hari itu lebih dari 14 abad yang lalu, Allah menyatakan melalui Nabi-Nya dengan disaksikan generasi awal umat ini bahwa Syariat Islam telah sempurna. Syariat yang telah dilakukan sebelumnya itulah Islam, sedangkan yang ditambah setelahnya bukan Islam.
Pantaskah orang yang kemudian yang mengaku Muslim, beriman kepada Allah dan Hari Akhir mengingkari apa yang telah Allah tetapkan ?.
Allah berfirman : “Telah Kusempurnakan untuk kamu Agamamu.” selanjutnya ahlul bid’ah dengan amalannya “menambah syariat agar agama ini lebih sempurna melebih dari yang Allah tetapkan”, sehingga pada dasarnya amalan baru adalah bentuk protes kepada Allah dalam bentuk :
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk Peringatan Maulid Nabi.
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk Tahlil Kematian.
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk Peringatan Nisfu Sya’ban.
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk Pengajian 7 bulan kehamilan.
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk peringatan Isra’ Mi’raj.
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena ………..
* Syariat Islam belum sempurna Ya Allah, karena belum termasuk 1001 macam syariat tentang perayaan dan peringatan.
Begitulah hakekat bid’ah tidak terima dengan apa yang Allah telah tetapkan atau mungkin ada pemberi petunjuk lain selain Allah?.
Wassalam.
Mabruk. Anda berhasil membuat emosi kita semua tersulut; saling tuduh satu sama lain. Menganggap diri paling benar. Jika memang ini tujuan dari tulisan ini, selamat.
bagi orang yang dilapangkan dadanya, membaca tulisan ini merupakan bentuk kasih sayang saudaranya yang telah memperingatkannya sebelum ia terjatuh ke dalam jurang yang akan membinasakannya.
namun bagi orang yang disempitkan dadanya akan menilai tulisan ini provokatif, penghasutan, menganggap diri paling benar dan lain-lain.
bersyukurlah wahai orang2 yang lapang dadanya, dan bagi yang sempit dadanya teruslah meminta pada Alloh
trus lo mo ap?
[quote name=”Tommi”]daripada melaksanakan ibadah2 yg ternyata tidak diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dan akhirnya membuat Allah tidak ridho….[/quote]
betul….
setuju dengan akhi Ibnu abi irfan…..dan para penambah syariat islam sadarlah kalian bahwa apa yang kalian lakukan itu diluar dari yang diperintahkan dan dilakukan Nabi kita…:)
Mantap ustadz…bongkar terus penyimpangan2 ahlul bidah