Namun hendaklah tidak dilupakan, bahwa bukan berarti semua kerusakan ada pada Bangsa Arab. Ada juga sifat-sifat baik dan mulia yang tersebar di bangsa Arab, yaitu:
⑴ Ringan tangan untuk membantu
⑵ Memuliakan tamu
Bahkan disebutkan bahwasanya jika salah seorang di antara mereka hanya memiliki 1 ekor unta saja dan itu merupakan sumber penghasilannya (dengan diambil susunya dan lainnya), ketika ada tamu yang datang dari jauh dan tidak ada yang bisa digunakan untuk memuliakan tamunya maka dia akan memotong untanya agar bisa disuguhkan kepada tamunya.
Diantara orang jahiliyyah yang terkenal mulia dan dermawan adalah ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i, -sebagaimana telah lalu- dia memotong 10 ribu unta untuk jama’ah haji. Suatu kedermawanan yang sangat luar biasa, walaupun amalannya sia-sia karena dia adalah seorang musyrik, bahkan pelopor kesyirikan.
Ada juga seorang jahiliyyah bernama ‘Abdullāh bin Jud’an, dia sangat dermawan dan terkenal akan kedermawanannya. Dia meninggal sebelum Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus menjadi seorang Nabi, tetapi Nabi mendapati masa ‘Abdullāh bin Jud’an ini. Diantara kebaikannya adalah tatkala Syuhaib Ar-Rūmi datang kepadanya ketika masih budak, Syuhaib dibeli dan dibebaskan oleh ‘Abdullah bin Jud’an, sehingga mereka tinggal bersama sampai ‘Abdullāh bin Jud’an meninggal. Syuhaib kemudian dikenal sebagai Maula Ibnu Jud’an, karena yang membebaskan dia adalah ‘Abdullāh bin Jud’an. Dia juga sering menyambung silaturahim dan sering mengundang tamu. Jika ada permasalahan, orang-orang akan berkumpul di rumahnya, bahkan ada persekutuan yang dinamakan dengan Al-Hilful Fudhul, yaitu terjadi kezhaliman di Mekkah, ada orang yang menjual barang lalu barangnya diambil tanpa dibayar oleh orang Quraisy, orang ini berteriak dan didengar oleh orang-orang Quraisy yang lain, lalu mereka berkumpul di rumah ‘Abdullah bin Jud’an untuk mengatasi masalah ini, sampai-sampai Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sendiri pun mengingat hal tersebut.
Nabi ﷺ mengatakan:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِى بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ وَلَوِ أُدْعَى بِهِ فِى الإِسْلاَمِ لأَجَبْتُ
“Sungguh aku telah menghadiri di rumah Abdullah bin Jud’an suatu perjanjian yang aku tidak suka jika kehadiranku tersebut ditukar dengan onta merah. Seandainya dalam Islam (setelah saya sudah diutus menjadi Nabi) diajak pertemuan seperti itu maka saya akan penuhi.” (HR Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro no 13461)
Ibnu Katsir menyebutkan suatu riwayat dalam Bidayah wa Nihayah bahwa saat terjadi perang Badr, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh para shāhabat untuk mencari mayatnya Abū Jahl. Kemudian kata Beliau kepada para sahabat:
تَطْلُبُوْهُ بَيْنَ الْقَتْلَى، وَتَعْرِفُوْهُ بِشَجَّةٍ فِي رُكْبَتِهِ فَإِنِّي تَزَاحَمْتُ أَنَا وَهُوَ عَلَى مَأْدُبَةٍ لابْنِ جُدْعَانَ فَدَفَعْتُهُ فَسَقَطَ عَلَى رُكْبَتِهِ فَانْهَشَمَتْ فَأَثَرُهَا بَاقٍ فِي رُكْبَتِهِ
“Carilah mayat Abu Jahl diantara mayat-mayat, kalian akan mengetahuinya dengan bekas luka yang ada di lututnya, karena aku dan dia (tatkala masih kecil) saling dorong-dorongan di santapan jamuan undangan Abdullah bin Jud’an, maka aku pun mendorongnya dan ia pun terjatuh di atas lututnya, lalu lututnya terluka dan bekasnya masih ada di lututnya” (Al-Bidayah wa An-Nihaayah 3/266)
Namun kebaikan Abdullah bin Ju’dan ini tidaklah bermanfaat bagi dirinya. Dalam hadits, ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā pernah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟
“Yā Rasūlullāh, bagaimana dengan ‘Abdullāh bin Jud’an, waktu di zaman jahiliyah ia menyambung silaturahim, memberi makan kepada orang miskin, apakah bermanfaat bagi dia kebaikannya?
Nabi berkata:
لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Tidak bermanfaat, dia sama sekali tidak pernah berdo’a kepada Allāh: Yā Allāh ampunilah dosa-dosaku pada hari kiamat kelak.” (HR Muslim no 214)
Dia mati dalam keadaan musyrik sama seperti ‘Amr bin Luhay, meskipun mereka adalah orang yang sangat dermawan.
Diantara pembesar Arab jahiliyah lainnya yang sangat dermawan adalah Al-Hātim, ayahnya Adi bin Hātim. Hātim seorang yang sangat dermawan bahkan sering disebutkan cerita-cerita tentang kedermawannya, sampai-sampai dijadikan permisalan kedermawanan orang Arab. Anaknya, Adi bin Hātim masuk Islam dan menjadi salah satu shāhabat Nabi ﷺ. Anaknya pernah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحْمِ، وَيَفْعَلُ وَيَفْعَلُ، فَهَلْ لَهُ فِي ذَلِكَ يَعْنِي مِنْ أَجْرٍ؟
“Yā Rasūlullāh, ayahku dulu menyambung silaturahim dan dia melakukan ini dan ini, apakah dia dapat pahala?”
Maka kata Nabi:
إِنَّ أَبَاكَ طَلَبَ أَمْرًا، فَأَصَابَهُ
“Sesungguhnya ayahmu melakukan itu semua karena dia mencari sesuatu dan dia mendapatkan sesuatu tersebut.” (HR Ahmad no 19387).
Dalam riwayat yang lain :
يَعْنِي الذِّكْرَ
“Yaitu (ayahmu) ingin disebut-sebut (dipuji).” (HR Ahmad no 18262, Ibnu Hibban no 332, Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro no 15019)
Inilah diantara kebaikan-kebaikan orang Arab meskipun mereka di zaman jahiliyyah.
Diantara sifat baik dan mulia orang Arab jahiliyyah yang lain adalah:
- menepati janji
- keberanian yang dimilikinya
- kejujuran (dusta merupakan perkara yang sangat menjatuhkan harga diri seseorang, mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran meskipun menimbulkan kerusakan yang lain)
Dari sini, kita tahu bahwasanya kondisi orang Arab dari sisi agama dan akhlak sangat parah dan rusak, meskipun ada beberapa sisi akhlak yang baik. Oleh karena itu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad no 8952, al-Hakim dalam al-Mustadrok no 422, dan Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no 273 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Artinya, sebelum beliau diutus sudah ada akhlak mulia dan beliau hanya diperintahkan untuk menyempurnakannya. Karena kondisi semacam inilah merupakan waktu yang tepat untuk diutusnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam demi memperbaharui agama nenek moyangnya yaitu agama Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām dan agama Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām, agama tauhid.
Jakarta, 22-01-1439 H / 12-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com