Usaha Kaum Musyrikin Quraisy Dalam Menghalangi Dakwah Nabi
Pada awalnya orang-orang kafir Quraisy menyangka bahwasanya dakwah Nabi sama seperti dakwah orang-orang ahnaaf yang kadang muncul kadang hilang. Namun ternyata tidak, dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam terus menerus berkembang. Di samping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam mulai berani berdakwah secara terang-terangan, mulai membicarakan tentang sesembahan-sesembahan orang-orang Quraisy, mulai berbicara mengenai tauhid, dan mulai melarang mereka untuk melakukan kesyirikan. Seandainya Nabi bertauhid hanya seorang diri dan tidak mengusik mereka, maka hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka. Akan tetapi ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam menyuruh mereka untuk meninggalkan kesyirikan dan mengatakan bahwa apa yang selama ini mereka dan nenek moyang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, maka ini telah mengusik urusan pribadi mereka. Akhirnya mulailah mereka menolak dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam.
Adapun sebab-sebab kenapa orang kafir Quraisy menolak dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, maka diantaranya adalah;
⑴ Karena pertimbangan duniawi.
Ka’bah di kota Mekah merupakan pusat peribadatan. Orang-orang dari penjuru dunia datang ke kota Mekah untuk melakukan praktek kesyirikan. Selain untuk thawaf dan haji, mereka juga berdoa kepada patung-patung yang ada di Mekah. Berbagai macam kabilah datang untuk meminta permintaan kepada patung-patung tersebut. Kita tahu bahwa banyak patung (360 patung) yang berada di Ka’bah, masing-masing patung punya fungsi sendiri, ada patung khusus untuk meminta rizki, ada patung khusus untuk meminta jodoh. Demikian juga masing-masing kabilah mungkin menggandrungi patung tertentu. Oleh karena itu, seandainya patung-patung ini disingkirkan, orang-orang tidak akan datang lagi ke kota Mekah.
Selain itu, Mekah juga merupakan pusat perdagangan. Hal ini disebabkan karena orang-orang berbondong-bondong datang dan berkumpul di situ, sehingga terjadilah banyak transaksi perdagangan. Seandainya patung-patung yang berada di Ka’bah dibersihkan sehingga orang-orang menjauh dari kota Mekah, maka perdagangan di kota Mekah akan menjadi lambat atau bahkan terhalang.
⑵ Taklid terhadap nenek moyang
Namun diantara perkara yang paling membuat mereka tidak mau meninggalkan ajaran mereka adalah karena taklid terhadap nenek moyang mereka. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan perkataan orang-orang kafir Quraisy. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
Dan demikianlah, tidaklah Kami mengutus sebelum engkau wahai Muhammad pada setiap negeri dari Rasul yang memberi peringatan, kecuali orang-orang yang hidup mewah diantara mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami berada di atas agama ini dan kami hanya mengikuti ajaran mereka.” (QS Az-Zukhruf : 23)
Ini adalah perkara yang sangat berat bagi mereka apabila mereka meninggalkan kesyirikan-kesyirikan tersebut, karena mereka sudah ratusan tahun berada dalam keadaan ini. Dan sesungguhnya mempertahan tradisi yang salah adalah sebab yang paling besar yang menghalangi seseorang dari hidayah. Karenanya para Nabi ditolak oleh kaum mereka karena bertentangan dengan tradisi nenek moyang mereka.
Kaum ‘Aad menolak dakwah Nabi Huud ‘alaihis salam dengan alasan tradisi nenek moyang. Allah berfirman :
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar” (QS Al-A’roof : 70)
Demikian pula Kaum Tsamuud tatkala menolak dakwah Nabi Sholih ‘alaihis salam. Allah berfirman :
يَاصَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَذَا أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ (62)
Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS Huud : 62)
Demikian penolakan penduduk Madyan terhadap Nabi Syu’aib ‘alaihis salam. Allah berfirman :
قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ (87)
Mereka berkata: “Hai Syu´aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (QS Huud : 87)
Demikian juga alasan kaum Ibrahim tatkala menolak dakwah Nabi Ibrahim, Allah berfirman :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ (69) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ (70) قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَاماً فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ (71) قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ (72) أَوْ يَنفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ (73) قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (74)
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām berkata kepada kaumnya, “Apa yang kalian sembah?” Mereka menjawab, “Kami menyembah patung-patung berhala, kami akan terus i’tikaf di patung-patung ini dan kami tidak akan meninggalkan patung-patung ini.” Kata Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām, “Apakah mereka mendengar kalian ketika kalian menyeru mereka, ataukah patung-patung tersebut memberi manfaat kepada kalian atau memberi kemudharatan kepada kalian?” Mereka menjawab, “Demikianlah kami mendapati nenek moyang kami berbuat begitu.” (QS Asy-Syu’arā 70-71)
Namun Allah tidak menerima hujjah tradisi nenek moyang yang dijadikan argument oleh kaum musyrikin, Allah berfirman :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172) أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ (173)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? (QS AL-A’roof : 172-173)
Orang-orang kafir Quraisy berada di atas kesyirikan selama ratusan tahun, sejak pemerintahan Bani Khuza’ah dimana pertama kali kesyirikan dilakukan di jazirah Arab oleh ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i. Kemudian terus berlanjut hingga ratusan tahun sampai pada zaman Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassallam. Sehingga tradisi nenek moyang yang telah mengakar dalam diri mereka sulit untuk ditinggalkan.
Oleh karena itu, Abu Thalib paman Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam seorang yang selama ini selalu membela dakwah Nabi, akhirnya meninggal dunia di atas kesyirikan. Lantas apa yang telah membuatnya tidak mau bertauhid dan tetap berada di atas kesyirikan sehingga tidak mau masuk islam? Ketika Abu Thalib dalam keadaan sakaratul maut (akan meninggal dunia), Nabi mendatanginya dan mengatakan,
عَمِّ، قُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku ucapkanlah Laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan bela engkau di sisi Allah.”
Pada saat itu Abu Jahal ikut hadir sedang menjenguk Abu Tholib. Nabi mendakwahi pamannya Abu Tholib, namun Abu Jahal juga mendakwahi Abu Tholib. Abu Jahal berusaha melawan Nabi dengan mengucapkan satu kalimat saja kepada Abu Thalib. Yang kalimat tersebut adalah kata kunci yang bisa mengunci Abu Tholib tetap di atas kesyirikannya. Abu Jahal berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟
“Wahai Abu Thalib, apakah engkau benci dengan agama bapakmu Abdul Muttholib?”
Inilah kata kuncinya, yaitu mengingatkan Abu Tholuib untuk bertahan dengan tradisinya yang telah berlangsung secara turun-temurun, sehingga Abu Thalib tidak berani mengucapkan kalimat tauhid tersebut. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassallam kembali mengulangi, “Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illallah satu kalimat yang dengannya aku akan bela engkau di hadapan Allah.” Abu Jahal kembali berusaha mempertahankan agama Abu Thalib dengan tidak banyak bicara, tetapi cukup mengatakan, “Apakah engkau benci dengan agama nenek moyangmu?” Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak mau mengucapkan laa ilaaha ilallah. (HR Al-Bukhari no 1360 dan Muslim no 24)
Ini menunjukkan bahwa masalah tradisi merupakan penghalang terbesar untuk kembali kepada kebenaran, baik itu berkaitan dengan tauhid maupun masalah yang lain. Kita dapati pula di tanah air kita banyaknya tradisi semisalnya acara walimah yang melanggar aturan-aturan Islam, cara menikah yang melanggar aturan-aturan islam. Bersamaan dengan itu, masyarakat tidak mau meninggalkannya karena merupakan warisan tradisi nenek moyang, mereka tidak ingin menyelisihi kebanyakan masyarakat. Oleh karena itu, ketika Abu Lahab menyerang dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, dia mengatakan, “Tinggalkan shābi’ ini”.
Dari Robii’ah bin ‘Ibaad Ad-Diiliy (رَبِيعَةَ بْنِ عِبَادٍ الدِّيلِيِّ), ia berkata :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَصَرَ عَيْنِي بِسُوقِ ذِي الْمَجَازِ، يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوا ” وَيَدْخُلُ فِي فِجَاجِهَا وَالنَّاسُ مُتَقَصِّفُونَ عَلَيْهِ، فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا يَقُولُ شَيْئًا، وَهُوَ لَا يَسْكُتُ،يَقُولُ: ” أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ تُفْلِحُوا ” إِلَّا أَنَّ وَرَاءَهُ رَجُلًا أَحْوَلَ وَضِيءَ الْوَجْهِ، ذَا غَدِيرَتَيْنِ يَقُولُ: إِنَّهُ صَابِئٌ، كَاذِبٌ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، وَهُوَ يَذْكُرُ النُّبُوَّةَ، قُلْتُ: مَنْ هَذَا الَّذِي يُكَذِّبُهُ؟ قَالُوا: عَمُّهُ أَبُو لَهَبٍ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -yaitu mataku melihat beliau- di pasar “Dzil Majaaz”, beliau berkata, “Wahai manusia sekalian, ucapkanlah Laa ilaaha illalllahu niscaya kalian beruntung !”. Beliau masuk di lorong-lorong pasar sementara orang-orang berkumpul kepada beliau (heran dengan perkataan beliau), maka aku tidak melihat seorangpun yang berkomentar, sementara beliau terus tidak berhenti berkata, “Wahai manusia sekalian, ucapkanlah Laa ilaaha illalllahu niscaya kalian akan beruntung !”. Hanya saja di belakang beliau ada seorang yang juling yang tampan, dan rambutnya ada dua kepangan, ia berkata, “Ini adalah Shobi’ (yang meninggalkan tradisi leluhur) pendusta”. Aku berkata, “Siapa ini?”. Mereka berkata,”Muhammad bin Abdillah, dan ia menyebutkan tentang kenabian”. Aku berkata, “Lantas siapa itu yang mendustakannya?”. Mereka berkata, “Pamannya yaitu Abu Lahab” (HR Ahmad no 16023, dan dinyatakan shahih lighoirihi oleh para pentahqiq Al-Musnad)
Abu Lahab cukup memprovokasi masyarakat Quraisy kala itu dengan mengatakan bahwa Muhammad telah berani meninggalkan tradisi nenek moyang yang sudah berjalan selama ratusan tahun. Abu Lahab tidak menuduh Nabi sebagai orang gila, tetapi cukup menggelarinya dengan shābi’, yaitu orang yang meninggalkan tradisi nenek moyang. Dan provokasi ini lebih laku daripada dengan provokasi dengan menuduh Nabi sebagai orang gila atau penyihir.
Oleh karena itu, orang-orang musyrikin arab tidak mau meninggalkan tradisi mereka. Mereka mengatakan, “Kami mendapati nenek moyang kami di atas tradisi ini, dan kami hanya tinggal mengikuti saja.”
Allah berfirman :
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ (22) وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)
Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (QS Az-Zukhruf : 22-23)
Seakan-akan mereka mengatakan, “Apa yang salah dari tradisi kami? Nenek moyang kami dahulu bahagia, kita juga ingin bahagia. Mengapa kau berani mengubah tata cara beribadah kami. Dahulu kami hidup aman-aman saja, mengapa kau berani membuat kegaduhan?” Sehingga benarlah bahwa diantara penghalang yang paling besar yang menghalangi manusia agar kembali kepada kebenaran adalah tradisi.
(3) Fanatik kesukuan.
Para ulama juga menyebutkan bahwa diantara sebab kenapa sebagian orang-orang kafir Quraisy tidak mau beriman kepada Nabi, yaitu karena ta’assub (fanatik) suku/kabilah. Abu Jahal, yang digelari dengan Fir’aun hādzihil ummah (Fir’aun ummat ini) nama aslinya adalah ‘Amr bin Hisyam bin Al-Mughirah Al-Makzhūmi Al-Kinani. Dia dari Bani Makzhum, dari Kinanah, dan merupakan seorang Quraisy juga. Dialah yang paling gencar untuk melawan dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam. Bapaknya adalah Hisyam seorang pemimpin kabilah Bani Makzhum. Dan Bani Makzhum selalu bersaing dengan Bani Abdi Manaf (sukunya Nabi) dalam meraih kemuliaan, meskipun keduanya sama-sama berinduk kepada suku Quraisy. Oleh karena itu, ketika Bani Abdi Manaf berbuat baik, bani Makhzuum juga berbuat baik, Bani Abdi Manaf memberi makan kepada jama’ah haji, mereka juga memberi makan jama’ah haji.
Sebenarnya Abu jahal digelari oleh kaumnya dengan Abul Hakam, seorang pemegang keputusan. Karena kalau ada permasalahan maka kaumnya bermusyawarah dengannya dan mengambil keputusannya. Dan ini menunjukan bahwa ia adalah orang yang cerdas. Akan tetapi kemudian gelar Abul Hakam inipun berubah dan diganti menjadi Abu Jahal (si goblok). Sebagian mengatakan bahwa orang yang menggelari dia dengan Abu Jahal adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Ada pula yang mengatakan bahwa orang yang menggelari dia dengan Abu Jahal adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Yang jelas dia dikenal di dalam buku-buku tarikh dan dikatakan dalam hadist-hadist dengan julukan Abu Jahal (si goblok), tadinya dikenal dan diberi gelar dengan si bijak kemudian akhirnya dikenal dengan si goblok.
Abu Jahal berkata
تَنَازَعْنَا نَحْنُ وَبَنُو عَبْدِ مَنَافٍ الشَّرَفَ: أَطْعَمُوا فأطعمنا وَحَمَلُوا فَحَمَلْنَا، وَأَعْطَوْا فَأَعْطَيْنَا، حَتَّى إِذَا تَجاثينا عَلَى الرُّكَب، وَكُنَّا كَفَرَسي رِهَان، قَالُوا: مِنَّا نَبِيٌّ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ مِنَ السَّمَاءِ! فَمَتَى نُدْرِكُ هَذِهِ؟ وَاللَّهِ لَا نُؤْمِنُ بِهِ أَبَدًا وَلَا نُصَدِّقُهُ
“Kami -Bani Makzhum- bersaing dengan Bani Abdi Manaaf dalam meraih kemuliaan. Mereka (Bani Abdi Manaaf) memberi makan maka kami (Bani Makhzuum) juga memberi makan, mereka mengangkat kami juga mengangkat, mereka memberi maka kami juga memberi. Hingga tatkala kita (Bani Makhzuum dan Bani Abdi Manaaf) telah berimbang, dan kita telah setara dalam persaingan lantas mereka (Bani Abdi Manaaf) berkata, “Ada nabi dari kami yang wayhu dari langit telah turun kepadanya”, maka bagaimana kami bisa menyamai/menyaingi mereka (dalam hal ini)?. Demi Allah kami tidak akan beriman kepadanya selama-lamanya dan tidak akan membenarkannya” (Siroh Ibnu Hisyaam 1/276 dan Tafsiir Ibnu Katsiir 3/251-252, dengan riwayat yang mursal)
Demikianlah pernyataan Abu Jahal. Inilah penyebab Abu Jahal tidak mau beriman karena adanya fanatik kabilah (kesukuan).
Sangat luar biasa blog ustad firanda,jazakallahu khair ustad