Wafatnya Ibunda Nabi ﷺ
Telah berlalu sebelumya penjelasan bahwa ketika Rasūlullāh ﷺ berusia 4 tahun, ibu asuh Nabi ﷺ (Halimah) mengantar beliau kembali ke pangkuan ibu kandungnya, dan ini terjadi setelah proses pembelahan dada Nabi. Para ulama menjelaskan bahwa diantara sebab Halimah bersedia mengembalikan Muhammad ﷺ adalah kejadian pembelahan dada tersebut menyebabkan Halīmah khawatir jika suatu saat Nabi akan diserang lagi sedangkan Nabi adalah amanahnya untuk dia jaga. Akhirnya dia mengembalikan Nabi ﷺ kepada ibundanya. Setelah itu, Nabi Muhammad dirawat oleh ibunya sendiri dari umur 4 tahun sampai 6 tahun. Saat berumur 6 tahun, beliau dibawa ke Madinah oleh ibunya untuk menziarahi makam ayahanda beliau, karena ayah Nabi meninggal di Madinah. Selain itu banyak akhwāl (saudara laki-laki ibu) Abdul Muttholib (kakek Nabi) dari Bani Najjaar[1] yang tinggal di Madinah. Adapun ‘ammamnya (saudara laki-laki bapak) banyak di Mekkah.
Disebutkan oleh para ahli sejarah, setelah menjenguk kuburan ayah Nabi ﷺ, mereka berjalan pulang. Ketika sampai di suatu tempat bernama Abwā yang terletak sekitar 235 km dari Mekkah, Aminah, ibunda Nabi ﷺ meninggal dunia.
Sungguh, ini adalah cobaan luar biasa yang dialami oleh Nabi ﷺ yang saat itu masih anak-anak. Nabi telah mencapai puncak keyatiman (meninggal dalam keadaan ayahnya tidak ada) kemudian dirawat oleh ibundanya hanya 2 tahun, lalu ibunda beliau pun meninggal saat pulang dari safar di suatu tempat yang jauh dari Mekkah dan Madinah. Jika beliau meninggal di Mekkah maka akan ada paman-pamannya dari sisi ayahnya dan kalau di Madinah akan ada paman-pamannya dari sisi kakeknya. Namun ibundanya meninggal di tengah-tengah antara Mekkah dan Madinah (Abwā) sehingga tidak ada orang yang beliau bisa menyampaikan keluh kesahnya. Nabi ﷺ melihat langsung bagaimana ibundanya menghadapi kematian.
Para ulama menyebutkan bahwa semakin orang itu bertaqwa maka cobaan yang akan dia hadapi akan semakin berat. Apabila kita mempelajari tentang cobaan-cobaan yang dialami oleh Nabi ﷺ maka sangatlah luar biasa. Beliau lahir dalam keadaan yatim, umur 6 tahun melihat ibunya meninggal, sendirian tidak ada siapa-siapa di sisi beliau, di tempat yang asing. Begitu besar kesedihan yang dirasakan oleh Nabi ﷺ. Oleh karena itu ujian Nabi ﷺ sangat luar biasa. Sebagaimana dalam hadits:
الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi kemudian orang-orang shālih kemudian selanjutnya dan selanjutnya. Seorang hamba diuji berdasarkan agamanya” (HR Ibnu Majah no 4023 dan At-Tirmidzi no 2398)[2]
Nabi ﷺ telah menjadi yatim piatu semenjak masih anak-anak. Karena itulah beliau sangat sayang kepada anak-anak yatim, sampai-sampai beliau ﷺ mengatakan:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
“Aku bersama orang yang menanggung anak yatim seperti 2 jari ini disurga.” (HR Al-Bukhari no 5304)
Nabi ﷺ mengatakan demikian bukan hanya sekedar berdasarkan teori tetapi beliau telah merasakan sendiri susahnya menjadi anak yatim.
Dikisahkan bahwasanya ada seorang shahābat Nabi ﷺ datang menemui beliau, dia mengatakan: “Yā Rasūlullāh, hatiku seakan-akan keras.” Maka Rasūlullāh ﷺ berkata:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ
“Kalau engkau ingin hatimu lunak (yaitu mudah terenyuh/menangis tatkala mendengar ayat-ayat Allāh, khusyū’ tatkala shalat) maka berilah makan kepada fakir miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR Ahmad no 5756 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 854)
Hal ini karena Nabi mengetahui kerinduan anak yatim tatkala diusap kepalanya. Bagaimana seorang anak ketika didatangi oleh orangtuanya, dia rindu untuk diusap kepalanya. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin hatinya bersih dan mudah mendapatkan nashihat maka perhatikanlah orang miskin, berilah makan untuk mereka, datangi dan santuni anak yatim serta usaplah kepala mereka. Kita bisa mengirim uang atau santunan untuk anak yatim, tetapi alangkah lebih indah lagi jika kita bisa bertemu langsung dengan anak yatim kemudian mengusap kepalanya dan turut merasakan kesedihan yang dirasakan anak yatim tersebut.
Nabi ﷺ benar-benar mengetahui kesedihan yang dialami oleh anak yatim, sehingga ketika beliau berbicara tentang rahmat (kasih sayang), maka hal ini benar-benar keluar dari lubuk hati beliau yang paling dalam. Beliau benar-benar mengerti bukan sekedar teori, tetapi beliau pernah merasakan langsung sebagai anak yatim dan juga sebagai orang miskin.
Di bawah asuhan sang Kakek
Setelah ibunda Nabi ﷺ meninggal dunia, Rasūlullāh ﷺ kemudian diasuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib, dia sangat mencintai cucunya tersebut. Disebutkan oleh para ahli sejarah bahwa ‘Abdul Muththalib sering duduk-duduk di bawah naungan Ka’bah. Dia memiliki semacam tempat duduk dari permadani, jika anak-anaknya datang (yaitu paman-paman Nabi), mereka hanya duduk di sekitar permadani tersebut, tidak ada yang berani duduk di permadani ‘Abdul Muththalib disebabkan haybah (kharismatik) yang dimiliki olehnya sehingga orang-orang segan terhadapnya. Adapun Nabi ﷺ kecil, yang masih berusia 6 tahun jika beliau datang ke Ka’bah maka beliau duduk di permadani kakeknya. Suatu hari beliau ﷺ pernah duduk di atas permadani sehingga dengan serta merta paman-paman beliau melarangnya. Namun Nabi ﷺ tetap duduk dan dibiarkan saja oleh ‘Abdul Muththalib, bahkan kakeknya menggendongnya dan duduk disampingnya, karena Abdul Muththalib sangat mencintainya. Mungkin saja diantara penyebabnya adalah karena bapak Nabi (‘Abdullāh) juga diantara anaknya yang sangat dicintainya, demikian pula cucunya, terlebih Nabi ﷺ hidup dalam keadaan yatim piatu. Suatu ketika saat paman-paman Nabi ﷺ melarang Muhammad duduk di atas permadani, maka ‘Abdul Muththalib membelanya dan mengatakan: “Biarkan cucuku, sesungguhnya dia memiliki suatu kehebatan.”[3]
Di bawah Asuhan Sang Paman
Tak berselang lama, ‘Abdul Muththalib juga meninggal dunia. Disebutkan bahwasanya dia wafat dalam usia sekitar 82 tahun (80 tahun lebih). Sebelum wafat, ‘Abdul Muththalib mewasiatkan kepada Abū Thālib (paman Nabi) agar dia yang mengasuh Muhammad kecil. Alasan beliau memilih Abū Thālib karena Abū Thālib dan ‘Abdullāh saudara kandung seibu dan sebapak. ‘Abdul Muththalib menikah dengan beberapa wanita, diantara anaknya yang lahir dari ibu yang sama adalah Abū Thālib dan ‘Abdullāh[4], sedangkan paman Nabi yang lain lahir dari ibu yang berbeda dengan mereka berdua.
Akhirnya pengasuhan kepada Nabi Muhammad ﷺ pun berpindah kepada paman beliau, Abū Thālib. Disebutkan bahwa Abū Thālib sangat mencintai dan memperhatikan Nabi ﷺ seperti anak beliau sendiri. Dia sering tidur di samping Nabi ﷺ dan jika pergi dia selalu mengajak Nabi ﷺ. Ketika Abū Thālib berdagang ke negeri Syam, Nabi Muhammad ﷺ diajak. Namun sayangnya Abū Thālib adalah orang yang miskin. Oleh karena itu, Nabi ﷺ ikut bekerja untuk membantu pamannya diantaranya dengan menggembala kambing.
Nabi ﷺ Biasa Menggembala Kambing
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
“Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kecuali menggembalakan kambing.” Kata para shahābat: “Engkau juga menggembalakan kambing, wahai Rasūlullāh?” Berkata Rasūlullāh ﷺ: “Ya, saya dulu menggembalakan kambing-kambingnya orang Mekkah agar dapat upah dari mereka.” (HR Al-Bukhari no 2262)
Nabi ﷺ sendiri tidak memiliki kambing. Kambing yang beliau gembalakan adalah milik orang lain, beliau hanya bertugas merawatnya supaya dapat upah, kemudian upah itu digunakan untuk membantu pamannya. Abu Thalib adalah orang yang terpandang tapi miskin secara ekonomi. Dan telah lewat pembahasannya bahwasa Nabi sewaktu masih kecil juga menggembalakan kambing di kampung Bani Sa’ad tatakala beliau tinggal bersama ibu susuannya, Halimah As-Sa’diyah.
Dalam hadits yang lain, dari Jābir bin ‘Abdillāh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, Jabir mengisahkan :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَجْنِي الْكَبَاثَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَيْكُمْ بِالْأَسْوَدِ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَطْيَبُهُ قَالُوا أَكُنْتَ تَرْعَى الْغَنَمَ قَالَ وَهَلْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَقَدْ رَعَاهَا
Suatu hari kami bersama Nabi ﷺ dan kami sedang mengambil kayu siwak. Lalu Rasūlullāh ﷺ berkata: “Carilah yang kayunya/batangnya hitam, karena itu siwak yang terbaik” Maka para shahābat heran, “Wahai Rasūlullāh, apakah engkau pernah menggembalakan kambing?” Rasūlullāh ﷺ berkata: “Bukankah setiap Nabi pernah menggembalakan kambing?” (HR. Al-Bukhari no 3406 dan Muslim no 2050)
Menurut para ulama, ini adalah salah satu dalil bahwasanya seluruh Nabi menggembalakan kambing. Bahkan sekalipun Nabi yang kaya raya pun juga ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing. Contohnya Nabi Mūsa ‘alayhissalām, beliau dibesarkan di istana Fir’aun, namun tetap ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing. Dalam al-Qur’an dikisahkan bahwa Nabi Mūsa pernah membunuh salah seorang penduduk Mesir yang menyebabkan beliau dikejar-kejar dan melarikan diri ke negeri Madyan. Di sana beliau bertemu dengan salah seorang penduduk Madyan, lalu dinikahkah dengan putrinya dengan mahar menggembalakan kambing selama 8 atau 10 tahun.
Menurut para ulama, hikmah para Nabi (terutama sebelum menjadi Nabi) ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing, diantaranya yaitu:
⑴ Untuk mengajarkan tawādhu’. Karena pekerjaan sebagai seorang penggembala tidak ada yang pantas disombongkan darinya. Bahkan Nabi menceritakan bahwa dia pernah menjadi penggembala kambing setelah ia menjadi Nabi. Ibnu Hajar berkata :
وَفِي ذِكْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ بَعْدَ أَنْ عُلِمَ كَوْنُهُ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عَلَى اللَّهِ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عَظِيمِ التَّوَاضُعِ لِرَبِّهِ وَالتَّصْرِيحِ بِمِنَّتِهِ عَلَيْهِ وَعَلَى إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang dirinya bahwa beliau adalah penggembala kambing setelah diketahui (oleh para sahabat-pen) jika dirinya adalah makhluk termulia di sisi Allah, menunjukan akan besarnya tawadhu’ beliau terhadap Rabbnya, dan dengan tegasnya beliau menyebutkan karunia Allah (yaitu menjadikannya sebagai penggembala kambing -pen) terhadapnya dan terhadap saudara-saudaranya dari para Nabi” (Fathul Baari 4/441)
⑵ Menunjukan perhatian terhadap hewan yang lemah yaitu kambing, tidak seperti unta, kuda, atau yang semisal.
⑶ Jenis kambing ada bermacam-macam, ada yang jinak dan ada yang liar. Mengetahui hal ini adalah penting sebagai bekal menghadapi berbagai tipe manusia, ada yang angkuh, rendah diri, kaya, miskin, dll.
Kambing tidak seperti bebek yang pada umumnya mudah untuk dikendalikan, jika satu digiring maka yang lain akan mengikutinya. Berkebalikan dengan yang terjadi pada kambing.
⑷ Menumbuhkan sikap mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Nabi ﷺ sejak kecil sudah mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
(5) Bahkan selain mandiri, Nabi juga bekerja untuk membantu orang lain (yaitu pamannya). Karenanya saat didatangi malaikat Jibrīl, Nabi ﷺ begitu tampak ketakutan. Beliau datang kepada Khadījah dan berkata: “Saya khawatir sesuatu menimpa diriku.” Kata Khadījah: “Sekali-kali tidak, demi Allāh, gembiralah wahai suamiku, engkau orang yang suka bersilaturahim, senantiasa jujur, menjamu tamu, membantu orang, bahkan engkau mencari uang untuk engkau berikan kepada orang yang tidak mampu, membantu orang yang terkena musibah.”
Oleh karena itu, hendaknya kita membiasakan diri agar tidak bergantung kepada orang lain. Diantara puncak kebahagiaan adalah seseorang itu tidak bergantung kepada makhluk apapun. Kita mengambil sebab, tapi jangan bergantung kepada sebab tersebut. Kapanpun seseorang menggantungkan hatinya kepada manusia dan berharap kepada manusia, maka suatu saat dia akan kecewa dan kebahagiaannya akan hilang. Berbeda jika seseorang senantiasa menggantungkan hatinya kepada Allāh maka dia akan senantiasa bahagia.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ الْعُلَمَاءُ الْحِكْمَةُ فِي إِلْهَامِ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ رَعْيِ الْغَنَمِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَنْ يَحْصُلَ لَهُمُ التَّمَرُّنُ بِرَعْيِهَا عَلَى مَا يُكَلَّفُونَهُ مِنَ الْقِيَامِ بِأَمْرِ أُمَّتِهِمْ وَلِأَنَّ فِي مُخَالَطَتِهَا مَا يُحَصِّلُ لَهُمُ الْحِلْمَ وَالشَّفَقَةَ لِأَنَّهُمْ إِذَا صَبَرُوا عَلَى رَعْيِهَا وَجَمْعِهَا بَعْدَ تَفَرُّقِهَا فِي الْمَرْعَى وَنَقْلِهَا مِنْ مَسْرَحٍ إِلَى مَسْرَحٍ وَدَفْعِ عَدُوِّهَا مِنْ سَبُعٍ وَغَيْرِهِ كَالسَّارِقِ وَعَلِمُوا اخْتِلَافَ طِبَاعَهَا وَشِدَّةَ تَفَرُّقِهَا مَعَ ضَعْفِهَا وَاحْتِيَاجِهَا إِلَى الْمُعَاهَدَةِ أَلِفُوا مِنْ ذَلِكَ الصَّبْرَ عَلَى الْأُمَّةِ وَعَرَفُوا اخْتِلَافَ طِبَاعَهَا وَتَفَاوُتَ عُقُولِهَا فَجَبَرُوا كَسْرَهَا وَرَفَقُوا بِضَعِيفِهَا وَأَحْسَنُوا التَّعَاهُدَ لَهَا فَيَكُونُ تَحَمُّلُهُمْ لِمَشَقَّةِ ذَلِكَ أَسْهَلَ مِمَّا لَوْ كُلِّفُوا الْقِيَامَ بِذَلِكَ مِنْ أَوَّلِ وَهْلَةٍ لِمَا يَحْصُلُ لَهُمْ مِنَ التَّدْرِيجِ عَلَى ذَلِكَ بِرَعْيِ الْغَنَمِ وَخُصَّتِ الْغَنَمُ بِذَلِكَ لِكَوْنِهَا أَضْعَفَ مِنْ غَيْرِهَا وَلِأَنَّ تَفَرُّقَهَا أَكْثَرُ مِنْ تَفَرُّقِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ لِإِمْكَانِ ضَبْطِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ بِالرَّبْطِ دُونَهَا فِي الْعَادَةِ الْمَأْلُوفَةِ وَمَعَ أَكْثَرِيَّةِ تَفَرُّقِهَا فَهِيَ أَسْرَعُ انْقِيَادًا مِنْ غَيْرِهَا
“Para ulama berkata bahwasanya hikmah dari diilhamkannya para Nabi untuk menggembalakan kambing sebelum diangkat menjadi Nabi yaitu agar mereka terlatih dalam menggembalakan kambing sehingga mampu menjalankan segala yang dibebankan kepada mereka dalam menjalankan urusan umat mereka. Dan juga dengan bercampur/bergaul dengan kambing akan menimbulkan kesabaran dan kasih saying. Dan jika mereka bersabar dalam menggembalakan kambing, mengumpulkan kambing-kambing setelah terpencarnya di daerah penggembalaan serta memindahkannya dari satu kawasan gembala ke kawasan yang lain, melindungi mereka dari musuhnya seperti hewan buas dan pencuri dan yang lainnya, kemudian mengetahui akan bervariasinya akhlak kambing-kambing dan begitu cepatnya kambing-kambing terpencar-pencar padahal begitu lemahnya, serta kebutuhan kambing-kambing tersebut terus diperhatikan, maka para Nabi akan terbiasa dengan kesabaran tersebut agar kelak bisa bersabar atas umat mereka. Mereka akan mengetahui betapa bervariasinya perangai umat dan bertingkat-tingkatnya akal mereka, mereka akan mudah menambal kekurangan umat, mereka akan bersikap lemah lembut kepada yang lemah diantara umatnya, dan mereka akan lebih baik dalam memperhatikan umatnya. Sehingga jadilah tugas para Nabi untuk mengurusi umatnya menjadi lebih ringan dibanding jika para Nnabi langsung dibebani untuk mengurusi umat tanpa tahapan sebelumnya yakni dengan menggembalakan kambing. Dan dikhususkan kambing, karena kambing lebih lemah dari pada yang lainnya (dari pada sapi dan onta-pen) serta berpencarnya kambing lebih sering daripada bepencarnya onta dan sapi, karena onta dan sapi mungkin untuk diikat tidak seperti kambing yang pada umumnya dilepas. Namun meskipun kambing sering berpencar, mereka lebih mudah patuh dibandingkan onta dan sapi.” (Fathul Baari 4/441)
Ibnu Hajar juga berkata :
قَالُوا وَالْحِكْمَةُ فِي رِعَايَةِ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ لَهَا لِيَأْخُذُوا أَنْفُسَهُمْ بِالتَّوَاضُعِ وَتَصْفَى قُلُوبُهُمْ بِالْخَلْوَةِ وَيَتَرَقَّوْا مِنْ سِيَاسَتِهَا بِالنَّصِيحَةِ إِلَى سِيَاسَةِ أُمَمِهِمْ بِالْهِدَايَةِ وَالشَّفَقَةِ
“Para ulama berkata bahwasanya hikmah para Nabi menggembalakan kambing yaitu agar mereka bersikap tawadhu’ dan agar hati mereka menjadi bersih dengan cara berkhalwat (bersendirian) dan agar kemampuannya semakin meningkat dengan bersiasat/mengatur kambing-kambing dengan yang terbaik untuk kelak diterapkan kepada umat-umat mereka dalam mengatur mereka, dalam memberi petunjuk kepada mereka, dan mengasihi mereka” (Fathul Baari 14/6)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata :
معنى قوله عليه السلام: (ما بعث الله نبيا إلا رعى الغنم) – والله أعلم – أن ذلك توطئة وتقدمةً فى تعريفه سياسة العباد، واعتبارًا بأحوال رعاة الغنم، وما يجب على راعيها من اختيار الكلأ لها، وإيرادها أفضل مواردها، واختيار المسرح والمراح لها، وجبر كسيرها، والرفق بضعيفها، ومعرفة أعيانها وحسن تعهدها، فإذا وقف على هذه الأمور كانت مثالاً لرعاية العباد، وهذه حكمة بالغة
“Makna sabda Nabi “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi-pun kecuali pernah menggembalakan kambing” –Wallahu a’lam– adalah ini sebagai pembukaan dan muqaddimah untuk mengenali cara mengatur para hamba. Dan untuk mengambil pelajaran dari kondisi para penggembala kambing, apa yang wajib bagi penggembala kambing dengan memilihkan rumput yang baik bagi kambing, menggiring kambing ke kawasan yang terbaik, memilih daerah gembalaan yang terbaik dan tempat istirahat yang terbaik, mengobati kambing yang sakit, lembut terhadap kambing yang lemah, mengenali pribadi setiap kambing, serta memberi perhatian yang baik terhadap mereka. Maka jika seorang nabi melakukan hal-hal tersebut, jadilah ia seorang teladan dalam mengurusi umat. Dan ini merupakan hikmah yang tinggi” (Syarah Shahih Al-Bukhari 6/386)
Nabi juga bersabda :
وَالفَخْرُ وَالخُيَلاَءُ فِي أَهْلِ الخَيْلِ وَالإِبِلِ، وَالفَدَّادِينَ أَهْلِ الوَبَرِ، وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الغَنَمِ
“Bangga diri dan kesombongan ada pada pemilik kuda dan onta, yaitu orang-orang yang bersuara keras yang tinggal di gurun. Adapun ketenangan ada pada pemilik kambing” (HR Al-Bukhari 3301 dan Muslim no 52)
At-Thibiy rahimahullah berkata :
تَخْصِيصُ الْخُيَلَاءِ بِأَصْحَابِ الْإِبِلِ، وَالْوَقَارُ بِأَهْلِ الْغَنَمِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مُخَالَطَةَ الْحَيَوَانِ تُؤَثِّرُ فِي النَّفْسِ وَتُعَدِّي إِلَيْهَا هَيْئَاتٍ وَأَخْلَاقًا تُنَاسِبُ طِبَاعَهَا وَتُلَائِمُ أَحْوَالَهَا،
“Dikhususkannya kesombongan untuk para penggembala onta dan dikhususkannya ketenangan bagi para penggembala kambing, menunjukkan bahwa kedekataan/pergaulan dengan hewan akan mempengaruhi jiwa dan menularkan kepada jiwa kondisi dan perangai yang sesuai dengan tabi’at dan kondisi jiwa tersebut.”(Syarh Misykat Al-Mashabih 12/3957)
Al-Qari mengomentari perkataan di atas :
قُلْتُ: وَلِهَذَا قِيلَ الصُّحْبَةُ تُؤَثِّرُ فِي النَّفْسِ، وَلَعَلَّ هَذَا أَيْضًا وَجْهُ الْحِكْمَةِ فِي أَنَّ كُلَّ نَبِيٍّ رَعَى الْغَنَمَ
“Karenanya dikatakan bahwasanya persahabatan itu akan memberi pengaruh terhadap jiwa. Dan mungkin saja ini juga salah satu hikmah mengapa semua Nabi menggembalakan kambing” (Mirqat al-Mafaatiih 9/4037)
Kisah pertemuan Nabi ﷺ dengan pendeta Buhairā.
Ini kisah yang sangat penting karena sering dijadikan dalil oleh orang-orang Nashara untuk menjatuhkan Nabi ﷺ. Abū Thālib paman Nabi ﷺ sangat mencintai Nabi seakan-akan anaknya sendiri. Sampai-sampai kemana dia pergi Nabi pasti diajak, bahkan dalam perjalanan yang sangat jauh yang mana ketika itu beliau masih berumur belasan tahun. Pada suatu perjalanan ke negeri Syam untuk berdagang, Nabi ﷺ bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhairā. Telah kita ketahui bersama bahwa saat itu negeri Syam dikuasai oleh orang-orang Romawi yang beragama Nasrani. Di sanalah para pendeta biasa berkumpul.
Dalam sebuah riwayat dari Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, dia berkata: Abū Thālib pergi ke negeri Syam membawa Nabi ﷺ beserta sejumlah orang yang sudah tua dari kalangan Quraisy untuk berdagang. Saat mereka sampai di tempat yang dekat dengan Buhairā, mereka berhenti untuk beristirahat dan unta-unta mereka diikatkan. Tak lama kemudian, Buhaira sang pendeta keluar menemui mereka, padahal sebelumnya para pendeta tidak pernah keluar menemui meskipun mereka sering lewat di tempat tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya Nabi ﷺ dalam rombongan tersebut. Saat rombongan Abu Thalib sedang sibuk membereskan unta, sang rahib-pun masuk di sela-sela mereka, lalu sang rahib bertemu dengan Nabi dan memegang tangan Beliau ﷺ sembari berkata: “Inilah pemimpin seluruh alam semesta, ini adalah Rasul Allāh pemimpin seluruh alam semesta. Allāh mengutus dia sebagai rahmat semesta alam.” Orang-orang Quraisy kemudian berkata kepada sang rahib: “Bagaimana engkau tahu hal demikian, mengapa engkau mengatakan anak kecil ini akan menjadi pemimpin alam semesta?” Maka sang rahib berkata: “Tatkala kalian pergi menuju ke sini, tidak ada satu pohon dan batu pun kecuali sujud kepadanya. Dan saya mengetahui bahwa dia seorang Nabi karena adanya tanda kenabian di bawah pundaknya, semacam tahi lalat besar dan padanya ada rambut.” Kemudian sang rahib pulang dan membuat makanan untuk mereka. Mereka melihat sebuah bayangan di bawah pohon yang bisa dijadikan tempat bernaung. Kemudian Nabi ingin istirahat di bawah bayangan tersebut, tapi orang-orang Quraisy sudah mendahului duduk di tempat tersebut sehingga Nabi duduk di sisi yang lain. Tiba-tiba bayangan pohon berpindah kepada Nabi dan menanunginya. Pendeta rahib Buhairā berkata: “Jangan engkau bawa Muhammad ke Romawi, berhati-hatilah karena apabila mereka mengetahuinya mereka akan membunuhnya. Karena mereka mengetahui akan keluar seorang Nabi baru.” Tak lama kemudian tibalah 7 orang pasukan Romawi. Mereka ditemui oleh sang pendeta dan bertanya: “Apa yang membuat kalian ke sini?” Mereka menjawab: “Kami mendengar bahwasanya akan ada seorang Nabi yang muncul di bulan ini dan dia akan melewati jalan ini, karena itulah kami bermaksud mencari Nabi tersebut. Setiap sudut jalan telah diutus orang untuk mencari Nabi tersebut.” Pendeta Buhaira berkata kepada pasukan: “Jika Allāh mengendaki sesuatu, adakah orang yang dapat menolaknnya? Maka berbaiatlah kepada Nabi tersebut jika ia telah muncul.”
Di akhir hadits dikatakan oleh Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy, Sang pendeta terus mengingatkan agar tidak membawa Muhammad ke negeri Romawi. Hal ini menyebabkan Abū Thālib memulangkan Nabi ﷺ bersama dengan Abū Bakr dan Bilāl, dikirim pulang ke Mekkah. (HR At-Tirmidzi no 3948)
Para ulama berbeda pendapat akan keshahīhan hadits di atas, karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ghazwān. Para ulama menilainya bahwasanya dia memiliki riwayat yang munkar.
Hadits ini dikatakan At-Tirmidzi dalam Sunannya sebagai hadits yang hasan gharīb dan kami tidak tahu dari jalur ini. Hadits ini juga dinilai shahih oleh Al-Hakim, Ibnu Hajar ( al-Ishobah 1/476), Ibnu Katsir (Al-Fushul fi siroh Ar-Rasul), Al-Albani (Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa As-Siroh 62-72).
Akan tetapi Imam Adz-Dzahabi (ulama besar Asy-Syāfi’ī, ahli hadits dan jarh wa ta’dil) membantah al-Hakim dan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang palsu, dengan membawakan banyak dalil yang menunjukkan kepalsuan hadits ini. Beliau membantah mengapa pada akhir hadits disebutkan bahwasanya Abū Thālib mengirim Nabi pulang ke Mekkah dengan ditemani oleh Abū Bakr dan Bilāl. Padahal pada saat itu Bilāl belum lahir sedangkan Abū Bakr 2,5 tahun lebih muda dari Nabi. Ini adalah lafal yang tidak benar dan diingkari oleh para ulama. Lalu bagaimana bayangan pohon tersebut bisa berpindah. Padahal jika bayangan berpindah itu artinya matahari juga harus berpindah. Demikian juga Abū Thālib mati dalam keadaan kafir. Seandainya hadits ini benar lalu mengapa Rasūlullāh ﷺ tidak pernah berkata kepada pamannya “Wahai paman, ingatkah kejadian saat aku berumur 12 tahun? Ingatkah perkataan pendeta Buhairā?”
Oleh karena itu, kisah ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menshahīhkan dan sebagian ulama mendha’īfkan. Diantaranya yang mendha’īfkan yaitu Adz-Adz-Dzahabi rahimahullāh Ta’āla.
Al-Hafiz Ibnu Hajar (demikian juga Syaikh Al-Albani) mengatakan dari sisi sanad dia shahīh kecuali lafazh yang terakhir. Namun anehnya, hadits yang diperselisihkan ini dijadikan dalil oleh orang-orang Nasrani dengan mengatakan bahwa Muhammad itu tidak mendapat wahyu dari Allāh, akan tetapi diajari oleh pendeta Buhairā saat mereka bertemu.
Berkenaan dengan asumsi mereka, hal ini bisa dibantah dengan beberapa alasan:
⑴ Kisah sanad hadits ini diperselisihkan, sehingga orang-orang Nashrani tidak pantas berdalil dengan kisah ini.
⑵ Jika memang benar mereka (kaum Nasrani) meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengambil ilmu dari Buhairā, lantas mengapa mereka tidak mau beriman kepada beliau? Bukankah ajarannya dibawa oleh pendeta Nashrani?!
⑶ Pertemuan Nabi Muhammad ﷺ dengan pendeta Buhairā hanya sebentar (sekedar makan siang) dan Nabi Muhammad berbahasa Arab sedangkan pendeta Buhairā berbahasa lain. Bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu Buhaira mampu mengajari Al-Qurān yang berisi lebih dari 6000 ayat.
Menurut sebagian mereka, pendeta Buhairā senantiasa mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Maka kita bantah dengan mengatakan bahwa ayat Al-Qurān turun berdasarkan kejadian-kejadian, artinya sang pendeta harus aktif segera mengirim suratnya karena ayat Al-Qurān langsung turun segera saat itu juga. Misalnya ketika perang Uhud, turun sebuah ayat, padahal komunikasi di zaman itu masih serba lama, paling cepat dengan kurir berkuda. Perhatikan pula bahwasanya isi Al-Qurān sendiri banyak bertentangan dengan isi Injil yang telah dirubah.
Bersambung Insya Allah…
FOOTNOTE:
[1] Karena ayah Abdul Muttholib yaitu Hasyim bin Abdi Manaf menikah dengan Salma bin ‘Amr An-Najjaariyah Al-Khazrajiyah, kemudian lahirlah Abdul Muttholib. Karenanya bani Najjar dari suku Khazraj di Madinah adalah akhwaal (saudara laki-laki ibu) dari Abdul Muttholib
[2] Al-Imam Al-Bukhari –dalam shahihnya- membuat suatu bab yang diberi judul:
بَاب أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
(Bab : Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi lalu yang paling shalih dan yang paling shalih), lalu beliau membawakan sebuah hadits dimana Nabi bersabda :
إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلَانِ مِنْكُمْ
“Aku sakit sebagaimana dua orang yang sakit diantara kalian.” (HR Al-Bukhari no 5648)
[3] Lihat Dalail An-Nubuwwah karya al-Baihaqi 1/404 dan Siroh Ibnu Hiysam 1/168
[4] Ibu mereka berdua adalah Fathimah binti ‘Amr bin ‘Aidz