BEBERAPA PERISTIWA DI MASA KECIL NABI
Dalam bab ini, akan dibahas beberapa peristiwa:
⑴ Dibelahnya dada Nabi ﷺ.
⑵ Wafatnya ibu Nabi ﷺ.
⑶ Bagaimana Nabi ﷺ dirawat oleh kakeknya ‘Abdul Muththalib kemudian oleh pamannya Abū Thālib.
⑷ Bagaimana Nabi ﷺ menggembalakan kambing.
Dibelahnya dada Nabi Muhammad ﷺ
Diantara mu’jizat yang dialami Nabi ﷺ yaitu dibelahnya dada Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan bahwa proses pembelahan dada Nabi ﷺ terjadi 2 kali;
⑴ Tatkala beliau dirawat oleh Halīmah As-Sa’diyyah.
⑵ Tatkala beliau akan melakukan Isrā Mi’raj.
Kejadian pembelahan pertama, diceritakan dalam hadits shahīh yang terdapat dalam banyak riwayat, diantaranya adalah:
Dari shāhabat Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata:
انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ , فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ قَلْبَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً , قَالَ : هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ , ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ , ثُمَّ لأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ , وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ ـ يَعْنِي ظِئْرَهُ ـ فَقَالُوا : إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ , فَاسْتَقْبَلَتْ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ , قَالَ أَنَسٌ : قَدْ كُنْتُ أَرَى أَثَرَ الْمَخِيطِ فِي صَدْرِهِ
Bahwasanya Rasūlullāh ﷺ pernah didatangi Malaikat Jibrīl saat beliau sedang bermain dengan anak-anak lain. Lalu Jibrīl menggenggam beliau dan menjatuhkannya lalu membelah dadanya kemudian mengambil jantung dan mengeluarkan segumpal darah darinya, lantas Jibrīl berkata: “Ini adalah bagian syaithan darimu.” Kemudian jantung beliau dicuci oleh Jibrīl di sebuah tempayan yang terbuat dari emas dengan dibilas air zamzam, lalu dijahit kembali oleh Jibrīl setelah jantung itu dikembalikan ke tempatnya semula. Teman-teman beliau (ketakutan dan) lari ke ibu persusuan beliau dan melaporkan: “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.” Kemudian ibu persusuan Nabi segera menuju ke Nabi dan Nabi saat itu dalam keadaan pucat. Kata Anas: “Saya melihat bekas jahitan di dada Rasūlullāh ﷺ.” (HR. Imam Muslim)
Dan juga dalam riwayat lain yang lebih terperinci.
Rasūlullāh ﷺ berkata:
كَانَتْ حَاضِنَتِي مِنْ بَنِي بَكْرِ بْنِ سَعْدٍ ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنٌ لَهَا فِي بَهْمٍ لَنَا ، وَلَمْ نَأْخُذْ مَعَنَا زَادًا ، فَقُلْتُ لِأَخِي : يَا أَخِي ، اذْهَبْ فَائْتِنَا بِزَادٍ مِنْ عِنْدِ أُمِّنَا ، فَذَهَبَ أَخِي وَمَكَثْتُ عِنْدَ الْبَهْمِ ، فَأَقْبَلَ إِلَيَّ طَيْرَانِ أَبْيَضَانِ كَأَنَّهُمَا نِسْرَانِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : أَهُوَ هُوَ ؟ فَقَالَ الْآخَرُ : نَعَمْ ، قَالَ : فَأَقْبَلَا يَبْتَدِرَانِي ، فَأَخَذَانِي ، فَبَطَحَانِي لِلْقَفَا ، فَشَقَّا بَطْنِي ، فَاسْتَخْرَجَا قَلْبِي ، فَشَقَّاهُ ، فَأَخْرَجَا مِنْهُ عَلَقَتَيْنِ سَوْدَاوَيْنِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : ائْتِنِي بِمَاءِ ثَلْجٍ ، فَغَسَلَا بِهِ جَوْفِي ، ثُمَّ قَالَ : ائْتِنِي بِمَاءِ بَرَدٍ ، فَغَسَلَا بِهِ جَوْفِي ، ثُمَّ قَالَ : ائْتِنِي بِالسَّكِينَةِ ، فَدَرَّهَا فِي قَلْبِي ، ثُمَّ أَظُنُّهُ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : حُصَّهُ ، فَحَاصَّهُ ، وَخَتَمَ عَلَيْهِ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : اجْعَلْهُ فِي كِفَّةٍ ، وَاجْعَلْ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِهِ فِي كِفَّةٍ ، فَإِذَا أَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْأَلْفِ فَوْقِي أُشْفِقُ أَنْ يَخِرَّ عَلَيَّ بَعْضُهُمْ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : لَوْ أَنَّ أُمَّتَهُ وُزِنَتْ بِهِ ، لَمَالَ بِهِمْ ، ثُمَّ انْطَلَقَا وَتَرَكَانِي ، وَفَرَقْتُ فَرَقًا شَدِيدًا ، ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّي ، فَأَخْبَرْتُهَا بِالَّذِي لَقِيتُ ، فَأَشْفَقَتْ أَنْ يَكُونَ قَدِ الْتُبِسَ بِي ، فَقَالَتْ : أُعِيذُكَ بِاللَّهِ ، فَرَحَّلَتْ بَعِيرًا لَهَا ، فَحَمَلَتْنِي عَلَى الرَّحْلِ وَرَكِبَتْ خَلْفِي ، حَتَّى بَلَغْنَا إِلَى أُمِّي ، فَقَالَتْ : قَدْ أَدَّيْتُ أَمَانَتِي وَذِمَّتِي ، وَحَدَّثَتْهَا بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَقِيتُ ، فَلَمْ يَرُعْهَا ذَلِكَ ، وَقَالَتْ : إِنِّي رَأَيْتُ خَرَجَ مِنِّي نُورٌ أَضَاءَ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ
“Saat itu yang mengasuhku adalah seorang wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr. Kemudian aku bersama seorang anaknya pergi menuju tempat pengembalaan kambing kecil kami, namun kami tidak membawa bekal. Aku pun berkata, ‘Wahai saudaraku, pergi dan ambillah bekal (makanan) dari ibu kita’ Maka saudaraku itu pergi dan aku tetap berada di sisi domba gembalaan kami. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung berwarna putih yang sepertinya kedua burung itu adalah burung nasar. Salah satu dari burung itu berkata kepada temannya, ‘Apakah dia, orang (yang kita cari)?’ temannya menjawab, ‘Ia.’ Lalu keduanya pun bergegas menujuku lalu memegangku dan menelungkupkanku di atas leherku. Kemudian keduanya pun membelah dadaku dan mengeluarkan hatiku. Mereka mengeluarkan dua gumpalan darah hitam darinya. Setelah itu, salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya, ‘Ambilkan air salju.’ Lalu mereka mencuci isi perutku dengan air dan salju. Kemudian salah satu dari mereka berkata lagi, ‘Ambilkanlah air yang dingin.’ Dan mereka pun mencuci hatiku dengan air dingin itu. Salah satunya berkata lagi, ‘Ambilkanlah as-Sakinah (ketenangan dan kedamaian).’ Keduanya pun menebarkannya di dalam jantungku. Setelah itu, salah satu dari keduanya berkata, ‘Jahitlah (tutuplah).’ Ia pun menutupnya kembali dan memberikannya tanda kenabian.’ Maka ia pun menjahitnya kembali. ‘Dan tandailah.’ Maka ia pun memberinya tanda dengan tanda kenabian. Lalu salah satu dari keduanya berkata kepada temannya, ‘Letakkanlah ia pada satu timbangan, kemudian letakkanlah seribu dari umatnya pada timbangan yang lain.’ Maka aku pun melihat seribu dari ummatku itu berada di atasku, aku kawatir bila sebagian dari mereka terjatuh menimpaku. Salah satunya berkata lagi, ‘Sekiranya umatnya itu ditimbang dengannya niscaya ia akan lebih berat daripada mereka.’ Setelah itu, mereka berdua pergi meninggalkanku. Akupun merasa sangat ketakutan. Aku kembali pulang menemui ibuku dan mengabarkan kejadian itu padanya, hingga ia khawatir jika aku telah terganggu. Kemudian ibuku berkata, ‘Aku meminta kepada Allah untuk melindungimu.’ Kemudian ia meletakan pelana di atas unta miliknya, lalu ia meletakkanku di atas pelana unta tersebut, sementara ia duduk di belakangku, hingga kami sampai pada ibu kandungku. Ibu asuhku lalu berkata (kepada ibu kandungku), ‘Aku telah menunaikan amanahku, dan tanggunganku.’ Kemudian ia menceritakan tentang kejadian yang menimpaku, namun kejadian itu tidaklah mengejutkan ibuku. Ibuku berkata, ‘Sesungguhnya, aku telah melihat cahaya yang keluar dariku yang menerangi istana-istana di negeri Syam.’ (HR Al-Hakim no 4230 dan dishaihihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa inilah sebab mengapa Halīmah As-Sa’diyyah akhirnya mengembalikan Nabi ﷺ ke ibu kandungnya. Awalnya ibu kandungnya beberapa kali meminta agar Nabi dikembalikan, tetapi karena Halīmah berat hati melepaskan Muhammad kecil, beliau senang jika ada Muhammad di kampungnya karena mendatangkan keberkahan. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa yang menakutkan ini, membuat Halīmah khawatir sehingga dia terpaksa merelakan ibunya mengambil Muhammad saat berusia 4 tahun. Kemudian Muhammad ﷺ diasuh oleh ibunya sampai berusia 6 tahun.
Pembelahan dada Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu mu’jizat Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan banyak hikmah dari pembelahan dada ini, yaitu:
⑴ Nabi ﷺ sejak kecil sudah ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Oleh karena itu, beliau tumbuh tidak seperti anak-anak kecil yang lain.
Ibnu Hajar berkata :
وَكَانَ هَذَا فِي زَمَنِ الطُّفُولِيَّةِ فَنَشَأَ عَلَى أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ مِنَ الْعِصْمَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Pembelahan dada ini terjadi tatkala Nabi masih kecil, sehingga beliau tumbuh dalam kondisi yang paling sempurna dengan terjaganya beliau dari syaitan” (Fathul Bari 7/205)
Saat beranjak dewasa (remaja), beliau tidak pernah melakukan kemaksiatan atau kelalaian, berhura-hura seperti yang dilakukan para pemuda lain di kota Mekkah. Hal ini karena hati beliau sudah disucikan oleh Allāh. Bagian yang mungkin untuk diganggu oleh syaithan telah diambil oleh malaikat. Bahkan disebutkan dalam suatu hadits, Rasūlullāh ﷺ mengatakan:
مَا هَمَمْتُ بِمَا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَهُمُّونَ بِهِ إِلَّا مَرَّتَيْنِ مِنَ الدَّهْرِ كِلَاهُمَا يَعْصِمُنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُمَا. قُلْتُ لَيْلَةً لِفَتًى كَانَ مَعِي مِنْ قُرَيْشٍ فِي أَعْلَى مَكَّةَ فِي أغنامٍ لِأَهْلِهَا تَرْعَى: أَبْصِرْ لِي غَنَمِي حَتَّى أَسْمُرَ هَذِهِ اللَّيْلَةَ بِمَكَّةَ كَمَا تَسْمُرُ الْفِتْيَانُ قَالَ: نَعَمْ فَخَرَجْتُ فَلَمَّا جِئْتُ أَدْنَى دَارٍ مِنْ دُورِ مَكَّةَ سَمِعْتُ غَنَاءً وَصَوْتَ دُفُوفٍ وَزَمْرٍ فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: فُلَانٌ تَزَوَّجَ فُلَانَةَ لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَلَهَوْتُ بِذَلِكِ الْغِنَاءِ وَالصَّوْتِ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي فَنِمْتُ فَمَا أَيْقَظَنِي إِلَّا مَسُّ الشَّمْسِ فَرَجَعْتُ فَسَمِعْتُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقِيلَ لِي مِثْلَ مَا قِيلَ لِي فَلَهَوْتُ بِمَا سَمِعْتُ وَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَمَا أَيْقَظَنِي إِلَّا مَسُّ الشَّمْسِ ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى صَاحِبِي فَقَالَ: مَا فَعَلْتَ؟ فَقُلْتُ: مَا فَعَلْتُ شَيْئًا ” قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَوَاللَّهِ مَا هَمَمْتُ بَعْدَهَا أَبَدًا بِسُوءٍ مِمَّا يَعْمَلُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ حَتَّى أَكْرَمَنِي اللَّهُ تَعَالَى بِنُبُوَّتِهِ
“Tidak pernah terbetik dalam hatiku untuk mengikuti acara-acara kaum jahiliyah kecuali hanya dua kali, dan itupun Allah menjagaku pada dua kemungkinan tersebut. Suatu malam aku bersama seorang pemuda Quraisy yang berada di pinggiran kota Mekah sedang menggembalakan kambing keluarganya. Aku berkata kepadanya, “Tolong jaga kambingku, aku ingin begadang malam ini di Mekah sebagaimana para pemuda lainnya begadang.” Ia berkata, “Baik”. Akupun pergi, dan tatkala aku tiba di rumah pertama dari rumah-rumah penduduk Mekah, aku mendengar nyanyian dan suara rebana serta seruling, aku berkata, “Acara apa ini?”. Mereka berkata kepadaku, “Si fulan telah menikah dengan si fulanah putrinya si Fulan dari Quraisy”. Akupun terlena dengan nyanyian tersebut dan suara (alat musik) tersebut hingga akhirnya aku tertidur (dalam riwayat yang lain : Maka Allah pun menutup kedua telingaku). Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari. Lalu aku kembali (pada malam yang lain-pen) kemudian aku kembali mendengar seperti yang pernah aku dengar, dan dikatakan kepadaku seperti pada malam yang lalu, akupun terlena dengan apa yang aku dengar, hingga akhirnya aku tertidur. Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari. Lalu aku kembali kepada sahabatku (penggembala kambing). Sahabatku bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?”. Aku berkata, “Aku tidak melakukan apapun”. Maka demi Allah aku tidak pernah lagi berkeinginan untuk melakukan keburukan apapun yang dilakukan oleh kaum jahiliyah hingga Allah memberi kemuliaan kenabian kepadaku.” (HR Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah 1/413, Al-Hakim no 7619, dan Ibnu Ishaq dalam sirohnya. Hadits ini diperselisihkan akan keshahihannya, Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-Albani)
Perhatikan bahwasanya beliau dibuat tertidur (tidak sadar) oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga tidak jadi mengikuti acara-acara kemaksiatan tersebut. Ini merupakan bentuk penjagaan Allah kepada beliau bahkan sebelum menjadi Nabi.
Karena itu, sebelum menjadi Nabi beliau dikenal oleh orang-orang Quraisy dengan “Al-Amīn” (orang yang terpercaya) yang akhlaknya paling mulia.
Sejumlah orang Nasrani berusaha mengingkari kejadian pembelahan dada Nabi ﷺ. Mereka membawakan 2 hujjah:
⑴ Kejadian ini tidak sesuai dengan tabiat manusia.
⑵ Kejadian ini tidak masuk akal (di luar sunnatullāh, karena apabila jantung dikeluarkan seharusnya menyebabkan kematian).
Tetapi hujjah mereka ini rapuh dan bisa dijawab dengan perkataan bahwasanya justru inilah mu’jizat, yaitu kejadian-kejadian luar biasa yang dimiliki oleh para Nabi. Arti mu’jizat adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan walaupun di luar nalar dan logika, karena Allāhlah yang mengatur sunnatullāh maka Allāh pula yang bisa merubah sunnah tersebut.
Contohnya, Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām memiliki mu’jizat, yaitu beliau dibakar namun malah merasa sejuk. Padahal api secara sunnatullāh bersifat membakar, namun karena Allāh yang menciptakan api tersebut sehingga apabila Dia memerintahkan agar api dingin, maka apa tersebut akan dingin.
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
“Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api jadilah engkau dingin dan penyelamat bagi Nabi Ibrāhīm.” (QS Al-Anbiyā : 69)
Diantaranya Nabi ‘Isa ‘alayhissalām waktu kecil (bayi) sudah bisa berbicara. Hal ini jelas keluar dari sunnatullāh dan di luar nalar manusia. Selain itu, Nabi ‘Isa ‘alayhissalām juga bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta, sakit kusta, dll. Dan ini semua keluar dari kewajaran.
Jika mereka tidak percaya dengan pembelahan jantung Nabi ﷺ, maka seharusnya mereka juga tidak boleh percaya akan mu’jizat Nabi ‘Isa yang bisa berbicara di waktu kecil dan bisa menyembuhkan penyakit serta mu’jizat-mu’jizat lainnya.
Di zaman modern seperti ini, jantung bisa diangkat dari tubuh manusia tanpa menyebabkan kematian, seperti kasus kelainan jantung pada anak yang tidak memiliki katup jantung, dengan berbagai proses ilmiah maka katup jantungnya bisa dipasang. Adapula orang yang jantungnya rusak kemudian ditransplantasi dengan jantung yang berasal dari orang lain.
Terkadang, apa yang datang dari Al-Qurān maupun Sunnah tidak mampu dijangkau oleh akal. Namun disinilah peran keimanan. Belum lagi tentang hal-hal ghāib lainnya, seperti malaikat, surga, neraka dan hal ghaib lainnya. Jika kita hanya berbekal akal saja, niscaya kita tidak akan mampu menjangkaunya karena akal kita terbatas.
Pada zaman sekarang, dengan ilmu modern jantung itu bisa dikeluarkan dari tubuh manusia. Sehingga apa yang terjadi pada Nabi ﷺ di masa kecilnya adalah kejadian yang sangat mudah bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk lakukan.
إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Jika Allāh berkendak, maka Allāh akan berkata ‘Jadi’ maka jadilah.” (QS Yāsin : 82)
Dan diantara bukti bahwa jantung Nabi menjadi bersih dan tidak ada gangguan syaithan padanya nampak pada akhlak Nabi ﷺ. Apabila kita mempelajari akhlak Nabi, kita akan dapati bahwa akhlak Nabi seluruhnya adalah mu’jizat,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami utus engkau kecuali rahmat bagi alam semesta.” (QS Al-Anbiyā : 107)
Betapa menakjubkan dan mempesonanya akhlak Nabi sampai-sampai Anas bin Mālik Radhiyallâhu anhu pernah mengisahkan :
خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ ، فَوَاللَّهِ مَا قَالَ لِي : أُفٍّ قَطُّ ، وَلَمْ يَقُلْ لِشَيْءٍ فَعَلْتُهُ : لِمَ فَعَلْتَ كَذَا ، وَلا لِشَيْءٍ لَمْ أَفْعَلْهُ أَلا فَعَلْتَ كَذَا
“Saya bekerja sebagai pelayan Nabi ﷺ selama 10 tahun. Demi Allah! Tidak pernah sedikitpun beliau menghardikku dengan perkataan “ha”, dan beliau tidak pernah mengkritisi pekerjaanku, “kenapa kamu berbuat ini dan itu, kenapa ini belum kamu kerjakan…” (HR Muslim no 2309)
Adakah di dunia ini seorang majikan yang tidak pernah protes atau tidak mengatur pembantunya selama 10 tahun?
Kisah yang lain juga berdasarkan hadits dari Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Beliau berkata :
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ
“Aku berjalan bersama Nabi ﷺ dan beliau memakai selendang dari Najron yang kasar bagian pinggirannya. Tiba-tiba beliau disusul oleh seorang Arab Badui, lalu arab badui tersebut menarik selendang beliau dengan tarikan yang keras. Sampai aku melihat di leher beliau ada bekas pinggiran selendang akibat tarikan yang keras tersebut. Arab badui itu berkata: “Hai Muhammad, perintahkanlah (anak buahmu) untuk memberikan kepadaku harta Allāh yang ada padamu.” Nabi lalu melihat orang arab badui itu lalu Nabi tersenyum kemudian memerintahkan untuk memberikan pemberian kepada orang arab badui itu.” (HR Al-Bukhari no 3149 dan Muslim no 1057).
Perhatikanlah, orang arab badui ini meminta harta kepada Nabi dengan cara yang tidak beradab yaitu memberhentikan beliau dengan cara yang kasar dan memanggilnya dengan “Muhammad” bukan Rasūlullāh serta meminta harta beliau dengan ucapan yang kasar. Namun dalam kondisi demikian, hal yang sangat menakjubkan adalah Nabi sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum dan mengatakan: “Berikan lah kepada orang ini.” Saat itu juga beliau langsung tersenyum menanggapi perlakuan Arab badui tersebut kepada beliau, siapa yang bisa seperti ini? Andai saja hal ini terjadi kepada kita, misalnya mobil kita terserempet, maka kita akan marah seketika dan membutuhkan waktu yang tidak singkat agar bisa tersenyum kembali.
Anas bin Malik juga berkata :
مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، قَالَ: فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَأَعْطَاهُ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إِلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: يَا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لَا يَخْشَى الْفَاقَةَ
“Tidaklah Rasulullah dimintai sesuatu karena Islam kecuali Rasulullah akan memberikannya. Maka datanglah seseorang kepada beliau, kemudian beliau memberikan kepada orang tersebut kambing sepenuh lembah diantara dua gunung (yaitu kambing yang banyak-pen). Orang tersebut kembali ke kaumnya lalu berkata, “Wahai kaumku masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad itu memberi pemberian seperti seseorang yang tidak takut miskin.” (HR Muslim no 2312)
Begitu mudahnya beliau bersedekah. Sampai-sampai ada seseorang yang minta kambing kepada Rasūlullāh ﷺ sehingga beliau memberikan kepadanya kambing sepenuh lembah diantara 2 gunung. Ini adalah sebuah ibarat orang Arab, maksudnya kambingnya banyak sekali. Rasūlullāh ﷺ memberikan banyak kambing kepadanya yang membuat orang tersebut masuk Islam. Kemudian dia pulang ke kampungnya dan menyeru kaumnya, apabila ingin mendapatkan kambing yang banyak maka hendaklah meminta kepada Muhammad dengan cara masuk Islam.
Dan memang benar, Rasūlullāh ﷺ tidak pernah takut ditimpa kemiskinan karena jantungnya sudah dicuci oleh Allāh. Ini bukti bahwa tidak ada yang bisa berakhlak seperti akhlaknya Rasūlullāh ﷺ. Oleh karena itu, kejadian mencuci jantung adalah kejadian nyata yang pernah terjadi. Di samping didukung oleh hadits-hadits shahīh berikut atsar dan buktinya.
Perhatikan pula saat Nabi diberi amanah oleh orang-orang kafir untuk dititipkan barang-barang berharga dimana saat itu beliau belum diutus sebagai Nabi. Beliau dikenal sebagai “Al-Amīn” (orang yang sangat terpercaya). Kemudian setelah beliau diutus menjadi Nabi, mulailah mereka merubah julukan Al-Amīn dengan Al-Kadzdzāb (pendusta), penyihir, dukun, orang gila, penyair, dan gelaran-gelaran buruk lainnya. Namun anehnya, meskipun pada siang harinya mereka menjuluki Nabi dengan sebutan yang buruk, tetapi mereka tetap saja menitipkan barang-barangnya kepada Nabi. Seakan-akan hati kecil mereka mengatakan bahwasanya Muhammad tidak mungkin bohong.
Hal yang menakjubkan lagi adalah saat Nabi ﷺ hijrah menuju Madinah. Nabi tidaklah mengambil barang-barang titipan tersebut untuk dimanfaatkannya, bahkan beliau menugaskan ‘Ali bin Abi Thālib selama 3 hari untuk mengembalikan barang-barang titipan tersebut karena beliau mau dibunuh oleh orang-orang kafir. Padahal beliau mempunyai kesempatan untuk mengambil semua barang tersebut, akan tetapi Nabi ﷺ tidak melakukannya. Ini membuktikan bahwa akhlak Nabi adalah mu’jizat dan tidak mungkin akhlak Nabi bisa seperti ini kecuali apabila beliau memang utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Diantara pelajaran penting lain yang bisa kita petik dari kisah pembelahan dada Nabi ﷺ, yaitu segala perkara yang datang dari Al-Qurān maupun Sunnah Nabi ﷺ yang terkadang zhahirnya tidak sesuai dengan akal kita, maka kita wajib menundukkan akal kita karena akal kita yang sangat rendah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh adalah urusan Rabbku, kalian tidak diberi ilmu kecuali sangat-sangat sedikit.” (QS Al-Isrā : 85)
Dengan teknologi dan alat secanggih apapun, manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat ruh, padahal ruh itu eksis dan berada di dalam tubuh. Apabila kita datangkan 100 pakar untuk meneliti tentang ruh, mulai dari saat sakaratul maut sampai keluar ruhnya, niscaya akan melahirkan 100 pendapat pula. Karena tidak ada satupun dari manusia yang memiliki ilmunya, dan kesemuanya hanyalah asumsi, dugaan, perkiraan, dan semisalnya. Ini hanyalah satu contoh yaitu tentang ruh yang mana kita yakini ruh tersebut ada di dalam jasad kita. Apalagi kita berbicara tentang hal ghāib lainnya seperti hakikat jin, malaikat, surga, neraka, dll. Dari sini seharusnya kita menyadari bahwasanya akal manusia mempunyai batasan. Barangsiapa yang ingin menembus batasan-batasan akal dengan akalnya maka sejatinya dia adalah orang yang tidak berakal.
Bersambung insya Allah…
Subhanallah