Panduan dan Tata cara Shalat Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan:
فَإِنَّ الْعِيدَ مُشْتَقٌّ مِنَ الْعَوْدِ وَقِيلَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ يَعُودُ فِي كُلِّ عَامٍ وَقَدْ نَقَلَ الْكَرْمَانِيُّ عَنِ الزَّمَخْشَرِيِّ أَنَّ الْعِيدَ هُوَ السُّرُورُ الْعَائِدُ وَأَقَرَّ ذَلِكَ فَالْمَعْنَى أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ شُرِعَ تَعْظِيمُهُ يُسَمَّى عِيدًا
“‘Ied diambil dari kata al-‘aud (sesuatu yang kembali), dikatakan demikian karena terulang setiap tahun. Al-Kirmani menukil dari az-Zamakhsyari bahwa ‘ied adalah kebahagiaan yang berulang, lalu ia menetapkan hal tersebut. Maka maknya ‘ied adalah semua hari yang disyariatkan untuk diagungkan.” ([1])
Hari raya kaum muslimin untuk setiap tahun ada dua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik:
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ: ” إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ النَّحْرِ “
“Ketika Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, penduduk Madinah ketika itu memiliki dua hari khusus yang mereka bermain-main padanya di masa Jahiliah. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya. Yaitu hari al-fithri dan hari an-Nahr.” ([2])
Dalil Disyariatkan Shalat ‘Ied Hari Raya
Para ulama sepakat bahwa shalat hari raya disyariatkan dalam Islam.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’āla:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” ([3])
Berkata Qotadah: “dia adalah shalat idul adha.” ([4])
Dalil dari sunnah di antaranya hadits Ummu ‘Athiyyah:
«أَمَرَنَا – تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ»
“Nabi ﷺ memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat.” ([5])
Hukum Shalat ‘Ied Hari Raya
Hukumnya adalah sunnah muakkadah([6]), karena Rasulullah tidaklah mewajibkan shalat kecuali shalat lima waktu. Dari Tholhah Bin Ubaidillah, ketika datang seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ menanyakan tentang Islam, Rasulullah pun menjawab:
«خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: «لاَ، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»
“Shalat lima waktu di setiap sehari semalam, lalu lelaki itu bertanya kembali: Apakah ada selainnya yang diwajibkan untukku? Beliaupun menjawab: Tidak, kecuali jika engkau melakukan yang sunnah.” ([7])
Hikmah disyariatkan Shalat ‘Ied Hari Raya
Hal tersebut dikarenakan setiap kaum memiliki suatu hari, mereka berpenampilan baik dan keluar dengan menggunakan hiasan-hiasan mereka, mereka bermain-main pada hari itu, kebiasaan ini tak satupun yang bisa terlepas darinya, entah itu dari Bangsa Arab atau Non Arab. Maka Agama Islam menjadikan dua hari raya dalam setiap tahun untuk dirayakan oleh kaum muslimin, sebagaimana dalam hadits Anas:
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ: ” إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ النَّحْرِ “
Ketika Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, dan penduduk Madinah ketika itu memiliki dua hari khusus yang mereka bermain-main pada dua hari tersebut di masa Jahiliah. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik lagi darinya. Yaitu ‘Iedul Fithri dan hari an-Nahr (‘Iedul Adha).” ([8])
Hari tersebut diisi dengan perayaan dan kebahagiaan, namun tidak lepas dari nilai-nilai ibadah seperti takbir dan shalat. Berkata Ibnu ‘Abbas:
كان ابن عباس يقول: حقٌّ على المسلمين إذا نظروا إلى هلال شوال أن يكبرِّوا الله حتى يفرغوا من عيدهم، لأن الله تعالى ذكره يقول: “ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم”
“Wajib bagi kaum muslimin apabila mereka melihat hilal Bulan Syawal untuk bertakbir hingga selesai dari hari raya mereka, karena Allah berfirman {Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian}.” ([9])
Waktu Shalat ‘Ied Hari Raya
Para ulama mengatakan bahwa waktunya dimulai dari terbitnya matahari sampai matahari tergelincir, berkata An-Nawawi:
ووقتها ما بين طلوع الشمس إلى ان تزول والافضل ان يؤخرها حتى ترتفع الشمس قيد رمح
“Waktu sholat ‘ied adalah antara terbitnya matahari sampai tergelincir, dan yang lebih utama adalah mengakhirkannya hingga matahari meninggi setinggi tombak.” ([10])
Dan disunnahkan mengakhirkan shalat idul fitri dan menyegerakan shalat idul adha, berkata Ibnu Qudamah:
وَيُسَنُّ تَقْدِيمُ الْأَضْحَى؛ لِيَتَّسِعَ وَقْتُ التَّضْحِيَةِ، وَتَأْخِيرُ الْفِطْرِ؛ لِيَتَّسِعَ وَقْتُ إخْرَاجِ صَدَقَةِ الْفِطْرِ. وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
“Disunnahkan untuk menyegerakan shalat idul adha agar waktu menyembelih lebih luas, dan disunnahkan mengakhirkan shalat idul fitri untuk meluangkan waktu pengeluaran zakat fitroh. Dan ini adalah madzhab syafi’i dan aku tidak mengetahui ada khilaf di dalamnya.” ([11])
Tempat Shalat ‘Ied Hari Raya
Disunnahkan melaksanakan shalat hari raya di tempat yang lapang, hal ini sebagaimana yang diriwayatakan oleh Abu Sa’id al-Khudri:
خرج رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في أضحى أو فطر إلى المصلى
“Rasulullah ﷺ keluar pada hari raya idul fitri dan idul adha ke tempat shalat.” ([12])
Kecuali ada uzur, maka lebih baik dikerjakan di masjid, dan pelaksanaan di tanah lapang ini dikatakan sebagai ijma’. ([13])
Tata Cara Shalat Idul Fitri dan idul Adha
Ada dua tata cara:
Pertama: Tata cara sholat ‘ied yang mencukupi, yaitu dengan melakukan sholat dua rakaat pada umumnya, dengan mendatangkan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan sunnah-sunnahnya.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh imam an-Nawawi
أَمَّا الْأَحْكَامُ فَصَلَاةُ الْعِيدِ رَكْعَتَانِ بِالْإِجْمَاعِ وَصِفَتُهَا المجزئة كصفة سائر الصلوات وسننها وهيآتها
“Adapun hukum-hukumnya, maka shalat ‘ied dua raka’at berdasarkan kesepakatan para ulama. Tata cara yang mencukupi adalah seperti tata cara shalat-shalat yang lain, sunnah-sunnahnya dan gerakan-gerakannya.” ([14])
Kedua: Tata cara sholat yang sempurna, yaitu sebagai berikut:
- Memulai dengan takbiratul ihrom, kemudian membaca istiftah sebagaimana shalat-shalat lainnya.
- Kemudian bertakbir zawaid (takbir tambahan([15])) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- untuk raka’at pertama, dan lima kali takbir -selain takbirotul intiqol-pada raka’at kedua sebelum memulai membaca Al Fatihah (namun jika melakukan takbir selain dengan bilangan ini maka boleh sebagaimana yang akan dijelaskan).
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ، اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى، وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bertakbir pada shalat dua hari raya sebanyak 12 kali takbir; 7 kali takbir di raka’at pertama, dan 5 takbir pada raka’at kedua, selain 2 takbir shalat (takbirotal ihrom dan takbirotul intiqal).” ([16])
Hukum Takbir Tambahan Dalam Shalat Hari Raya
Dan hukum takbir tambahan ini bukanlah wajib, melainkan sunnah. Muhammad shiddiq khon ketika menjelaskan perbedaan pendapat dalam jumlah bilangan takbir tambahan, beliau menyebutkan:
والحاصل: أنه سنة لا تبطل الصلاة بتركه عمدا ولا سهوا
“Kesimpulannya takbir tambahan hukumnya sunnah, tidak membatalkan shalat jika meninggalkannya secara sengaja maupun lupa.” ([17])
Dan takbir tambahan ini terletak antara istiftah dan ta’awwudz:
مذهبنا أن التكبيرات الزَّوَائِدَ تَكُونُ بَيْنَ دُعَاءِ الِاسْتِفْتَاحِ وَالتَّعَوُّذِ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً
“Madzhab kami (Syafi’iyyah): Takbir tambahan terletak antara do’a istiftah dan ta’awwudz, ini adalah pendapat ulama secara keseluruhan.” ([18])
Disunnahkan Mengangkat Tangan Setiap Kali Takbir
Dan juga disunnahkan untuk mengangkat tangan setiap kali bertakbir, berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar bahwasanya mengangkat kedua tangannya sebelum ruku’:
وَيَرْفَعُهُمَا فِي كُلِّ تَكْبِيرَةٍ يُكَبِّرُهَا قَبْلَ الرُّكُوعِ
“dan beliau mengangkat kedua tangannya di setiap kali bertakbir sebelum ruku’.” ([19])
Sisi pendalilan: keumuman hadits ini menunjukkan bahwa setiap takbir yang terletak sebelum ruku’ disyari’atkan mengangkat kedua tangan.
Apakah ada dzikir tertentu di sela-sela takbir tersebut?
Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama, sebagian mengatakan tidak ada dzikir atau bacaan apapun di antara takbir tambahan tersebut, dan sebagian lain mengatakan ada, ini pendapat madzhab syafi’iyyah dan hanabilah berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Mas’ud. ([20])
Syaikh Utsaimin condong kepada pendapat yang mengatakan tidak ada dzikir di antara keduanya, namun beliau tetap mengatakan orang yang berdzikir di antara dua takbir berada di atas kebaikan. ([21])
- Kemudian membaca Ta’awwudz lalu Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya.
Surat yang dibaca oleh Nabi
Surat yang dibaca oleh Nabi ﷺ adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah ﷺ ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab:
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi ﷺ biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”([22])
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dari An-Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah ﷺ biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. ([23])
- Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
- Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
- Kemudian bertakbir (takbir zawaid/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
- Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
- Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah Shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
Disyariatkan untuk berkhutbah untuk shalat hari raya, dilakukan setelah mengerjakan shalat ‘ied. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas:
شَهِدْتُ الصَّلاَةَ يَوْمَ الفِطْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ يُصَلِّيهَا قَبْلَ الخُطْبَةِ
“Aku menyaksikan shalat idul fitri bersama Rasulullah ﷺ, dan abu bakar, Umar, dan ‘Utsman, dan mereka semua shalat sebelum khutbah.” ([24])
Dan hukum khutbah ini sunnah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah Bin As-Saib:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: ” إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ “
“Aku menyaksikan hari raya bersama Rasulullah ﷺ, setelah selesai shalat beliau berkata: Kami akan berkhutbah, barangsiapa yang suka untuk duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan barangsiapa yang suka untuk kembali maka silahkan kembali.” ([25])
Seandainya wajib maka Nabi tidak akan memberikan pilihan untuk meninggalkannya bagi yang mau. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi. ([26])
Adapun bilangannya, maka mayoritas ulama mengatakan bahwa khutbah hari raya dua kali, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah ijma’ yang tidak ada perselisihannya di dalamnya. ([27])
Permasalahan Seputar Shalat Hari Raya
Masbuq
Jika seseorang masbuq dalam shalat ‘ied maka ia harus melengkapi shalat yang tertinggal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Qotadah dari ayahnya ketika mendengar suara orang-orang gaduh, Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika kalian datang menuju shalat, datangilah (berjalanlah) dengan tenang. Apa yang kalian dapati (dari gerakan imam, pent.), maka ikutilah. Dan apa yang kalian tertinggal, maka sempurnakanlah.” ([28])
Namun jika yang tertinggal adalah beberapa takbir tambahan, tidak perlu mengqodho takbir tambahan tersebut. ([29])
Luput darinya shalat ‘ied secara berjama’ah
Ada dua keadaan:
Keadaan Pertama: Satu orang atau sedikit
Bagi orang yang terlewatkan shalat ‘ied secara berjama’ah maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah ia mengqodhonya atau tidak ada qodho baginya?
Imam Nawawi menukilkan bahwa kebanyakan ulama membolehkan untuk mengqodhonya walaupun mereka berbeda dari segi tata caranya. ([30])
Keadaan Kedua: Jumlahnya banyak
Namun jika yang luput dari shalat ‘ied adalah kebanyakan kaum muslimin, seperti ketika menyangka hari tersebut masih Bulan Ramadhan lalu datang seseorang yang jujur memberikan persaksian di hadapan pemimpinnya bahwa ia telah melihat hilal Bulan Syawal, kemudian pemimpin tersebut mengatakan bahwa hari itu adalah hari raya, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membatalkan puasanya.
Adapun shalatnya maka ada dua perincian:
Pertama: Ketika persaksian tersebut terjadi belum tergelincir matahari dan cukup waktunya untuk melaksanakan shalat ‘ied, maka mereka melakukan shalat ‘ied saat itu juga, karena mereka masih dalam waktu mengerjakan shalat ‘ied.
Kedua: Persaksian tersebut setelah tergelincir matahari, maka shalat ‘ied dikerjakan pada esok hari. ([31])
Hal ini berdasarkan riwayat Abu ‘Umair bin Anas:
أنَّ ركبًا جاؤوا إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يَشهَدون أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمسِ، فأمَرَهم أن يُفطِروا، وإذا أصبَحوا يُغدُوا إلى مصلَّاهم
“Sekelompok orang datang kepada Nabi ﷺ bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka, dan jika telah datang waktu subuh mereka pergi ke tanah lapang.” ([32])
Jika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at
Terjadi perselisihan dari kalangan ulama jika hari raya bertepatan dengan hari jum’at, dan penulis condong dengan pendapat siapa saja yang telah menyaksikan shalat ‘ied, gugur terhadapnya kewajiban menghadiri shalat Jum’at. Namun, imam masjid tetap menegakkan shalat Jum’at agar siapa saja yang ingin shalat jum’at bisa melakukannya. ([33])
Berkata Ibnu Qudamah:
وَإِنْ اتَّفَقَ عِيدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الْجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى الْعِيدَ، إلَّا الْإِمَامَ، فَإِنَّهَا لَا تَسْقُطُ عَنْهُ إلَّا أَنْ لَا يَجْتَمِعَ لَهُ مَنْ يُصَلِّي بِهِ الْجُمُعَةَ
“Jika hari raya bertepatan dengan hari jum’at, maka shalat jum’at gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat hari raya kecuali imam maka tidak gugur baginya, kecuali jika tidak ada orang yang akan melaksanakan shalat jum’at.” ([34])
Berdasarkan riwayat dari Iyas bin Abi Romlah:
شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا؟ قَالَ: نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ
“Saya menyaksikan Mu’âwiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ‘Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dua ‘ied berkumpul?’ (Zaid) menjawab, ‘Iya. Beliau melaksanakan shalat ‘ied pada awal siang, kemudian memberi keringanan pada (shalat) Jum’at dengan berkata, ‘Siapa saja yang hendak menegakkan (shalat) Jum’at hendaknya dia menegakkan (shalat) Jum’at tersebut.” ([35])
Hadits lain adalah dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah bertemu dua ‘ied pada hari kalian ini. Siapa saja yang berkehendak (untuk tidak menghadiri shalat Jum’at), (shalat ‘ied -nya) telah mencukupinya dari (shalat) Jum’at. Namun, kami (tetap) akan menegakkan (shalat) Jum’at.” ([36])
Juga dari Abu ‘Ubaid bahwa beliau berkata: “Saya menghadiri shalat ‘ied bersama Utsman bin Affan, sedang waktu itu adalah hari Jum’at. (Utsman) melaksanakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua Ied untuk kalian. Oleh karena itu, siapa saja di antara penduduk ‘awâlî (pelosok kota) yang ingin menunggu (pelaksanaan shalat) Jum’at, silakan menunggu. Akan tetapi, siapa saja yang ingin kembali, telah kuizinkan untuknya.” ([37])
Artikel ini tercetak di buku Bekal Shalat karya ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
FOOTNOTE:
([4]) Tafsiir Abdur Rozzaaq 3/466
([5]) HR. Muslim 2/605 No. 890
([6]) Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum sholat ‘ied:
Pendapat pertama: shalat hari raya hukumnya wajib.
Ini adalah pendapat madzhab hanafiyyah, istilah wajib menurut madzhab mereka berbeda dengan fardhu. Berkata Az-Zaila’i ketika menjelaskan hukum shalat dua hari raya menurut madzhab hanafiyah:
تَجِبُ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ عَلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ بِشَرَائِطِهَا
“Shalat dua hari raya hukumnya wajib bagi orang yang wajib untuk melaksanakan shalat jum’at dengan syarat-syaratnya.” (Tabyiinul haqooiq syarhu kanzu ad-daqooiq 1/223)
Perbedaan antara wajib dan fardhu dalam madzhab mereka adalah:
Fardhu: adalah sesuatu yang wajib dengan dalil yang qoth’i seperti shalat wajib lima waktu,. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Mu’adz:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Maka ajarkanlah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat di setiap hari dan malamnya.” (HR. Bukhori No. 1395 dan Muslim No. 19)
Lafaz “mewajibkan kepada mereka” ini adalah dalil yang sangat jelas menunjukkan wajibnya shalat lima waktu.
Wajib: adalah sesuatu yang wajib dengan dalil zhonni (berdasarkan ijtihad) seperti shalat witir, shalat hari raya dan yang lainnya menurut madzhab mereka.
Berkata Asy-Syairozi membawakan pendapat madzhab hanafiyyah dalam membedakan wajib dan fardhu:
وقال أصحاب أبي حنيفة الواجب ما ثبت وجوبه بدليل مجتهد فيه كالوتر والأضحية عندهم والفرض ما ثبت وجوبه بدليل مقطوع به كالصلوات الخمس والزكوات المفروضة وما أشبهها
“Dan berkata murid-murid Abu Hanifah: wajib adalah yang kewajibannya ditetapkan dengan dalil ijtihad, seperti shalat witir dan berkurban menurut mereka. Dan fardhu adalah yang kewajibannya ditetapkan dengan dalil yang qoth’i seperti shalat lima waktu, zakat wajib, dan semisalnya”. (Al-Luma’ Fii Ushuul Al-Fiqhi 1/23)
Akan tetapi dijelaskan oleh Asy-Syairozi bahwa ini adalah pendapat yang salah:
وهذا خطأ لأن طريق الأسماء الشرع واللغة والاستعمال وليس في شيء من ذلك فرق بين ما ثبت بدليل مقطوع به أو بطريق مجتهد فيه.
“Ini adalah kesalahan, karena metode penamaan adalah berdasarkan syari’at, bahasa, dan penggunaan. Dan tidak ada satupun hal tersebut yang membedakan antara sesuatu yang ditetapkan dengan dalil qoth’i dan yang ditetapkan dengan dalil ijtihad.” (Al-Luma’ Fii Ushuul Al-Fiqhi 1/23)
Dalil yang mereka gunakan untuk menyatakan bahwa shalat hari raya adalah wajib adalah firman Allah:
{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ}
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (Al-kautsar: 2)
Dan juga Nabi senantiasa mengerjakannya di tiap tahunnya dan belum pernah meninggalkannya, berkata Az-Zaila’i:
{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2] الْمُرَادُ بِهَا صَلَاةُ الْعِيدِ ..وَقَدْ وَاظَبَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ غَيْرِ تَرْكٍ، وَهُوَ دَلِيلُ الْوُجُوبِ
“(Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah) yang dimaksud dengannya adalah shalat hari raya (idul adha)… dan Nabi ﷺ senantiasa mengerjakannya tanpa meninggalkannya, dan ini adalah dalil menunjukkan wajib.” (Tabyiinul haqooiq syarhu kanzi ad-daqooiq 1/224)
Pendapat kedua: mengatakan shalat hari raya hukumnya fardhu kifayah.
Ini adalah pendapat madzhab hanabilah, berkata Ibnu Qudamah:
وَصَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ
“dan shalat ‘ied hukumnya adalah fardhu kifayah.” (Al-Mughni 2/272)
Adapun dalil yang menunjukkan fardhu kifayah maka sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah:
أَنَّهَا لَا يُشْرَعُ لَهَا الْأَذَانُ، فَلَمْ تَجِبْ عَلَى الْأَعْيَانِ، كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ
“karena shalat tersebut tidak disyariatkan untuk adzan, maka menjadi tidak wajib ain, sebagaimana shalat jenazah.” (Al-Mughni 2/272)
وَلِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ عَلَى الْأَعْيَانِ لَوَجَبَتْ خُطْبَتُهَا، وَوَجَبَ اسْتِمَاعُهَا كَالْجُمُعَةِ
“Karena jika shalat tersebut diwajibkan untuk setiap individu maka akan diwajibkan juga khutbahnya, serta akan diwajibkan untuk mendengarkannya khutbah tersebut sebagaimana shalat sum’at.” (Al-Mughni 2/272)
Pendapat ketiga: mengatakan hukum shalat hari raya adalah sunnah muakkadah.
Ini adalah pendapat madzhab malikiyyah dan syafi’iyyah, berkata Imam An-Nawawi:
وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ مَشْرُوعَةٌ وَعَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ فَرْضَ عَيْنٍ وَنَصَّ الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورُ الْأَصْحَابِ عَلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat ‘ied disyariatkan, dan bahwa hukumnya adalah sunnah bukan wajib. Imam Asy-Syafi’i dan mayoritas murid-muridnya mengatakan bahwa hukumnya sunnah.” (Al-majmu’ syarh al-muhadzdzab 5/2)
Dan dalil perkataan mereka adalah:
Dari Tholhah bin Ubaidillah, ketika datang seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ menanyakan tentang Islam, Rasulullah pun menjawab:
«خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: «لاَ، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»
“Shalat lima waktu di setiap hari dan malamnya, lalu lelaki itu bertanya kembali: Apakah ada selainnya yang diwajibkan untukku? Beliaupun menjawab: tidak kecuali engkau melakukan yang sunnah.” (HR. Bukhori no. 2678 Muslim no. 11)
Hadits Mu’adz:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Maka ajarkanlah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat di setiap hari dan malamnya.” (HR. Bukhori no 1395 Muslim no 19)
Sisi pendalilannya dalam dua hadits di atas adalah Nabi menyebutkan bahwa shalat yang wajib dikerjakan oleh umat Islam terbatas hanya lima shalat wajib saja.
Dan juga shalat ini hukumnya bukan fardhu kifayah, berkata Imam An-Nawawi membantah perkataan yang mengatakan fardhu kifayah dengan beberapa alasan:
(1) Dengan berhujjah dengan hadits Tholhah, lalu seandainya shalat hari raya hukumnya fardhu kifayah, maka Nabi tidak memutlakkan ini, karena fardhu kifayah hukumnya wajib untuk semua, akan tetapi tidak ada dosa jika ada sebagian orang yang melakukan, karenanya seandainya semuanya meninggalkannya maka semuanya berdosa. (2) Karena waktu yang terbatas. (3) Tidak ada adzan dan iqomat untuk shalat ini. (4) Sunnah adalah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan belakangan.
Adapun pengkiyasan shalat ‘Ied dengan shalat jenazah maka ada perbedaan antara keduanya, karena shalat jenazah ini berkaitan dengan hak si mayit, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Huroiroh:
«حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ» قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟، قَالَ: «إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ»
“Hak seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu ada enam, kemudian ada yang bertanya: apa itu wahai Rasulullah? beliaupun menjawab: jika engkau bertemu dengannya maka berilah salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, jika ia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah maka tasymitkanlah ia (yaitu dengan mendoakan ia dengan ucapan “yarhamukallah”), jikalau ia sakit, tinjaulah ia dan jikalau ia meninggal dunia, maka ikutilah jenazahnya”. (HR. Muslim No. 2162)
Berkata Syaikh Ali Bin Sulthon Muhammad dalam menjelaskan makna “وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ”,
أَيْ: جِنَازَتَهُ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَلِلدَّفْنِ أكْمَلُ
“Yaitu jenazahnya untuk dishalati dan untuk dikuburkan untuk lebih sempurnanya.” (Mirqootul Mafaatiih Syarh Misykaatul Mashoobiih 3/1120)
Kesimpulan dari semua pemaparan di atas penulis lebih memilih pendapat ketiga yang menyatakan bahwa shalat ied hukumnya sunnah muakkadah.
([7]) HR. Bukhori no. 2678 dan Muslim no. 11
([9]) Tafsiir Ath-Thobari Jaami’ul Bayan Fii Takwiilil Quraan 3/479
([10]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/3
([12]) HR. Bukhori No. 956 dan Muslim No. 889
Berkata Ibnu Qudamah:
السُّنَّةُ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِيدَ فِي الْمُصَلَّى، أَمَرَ بِذَلِكَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. وَاسْتَحْسَنَهُ الْأَوْزَاعِيُّ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُنْذِرِ.
“Disunnahkan untuk melaksanakan shalat ‘ied di musholla (tanah lapang), ‘Ali memerintahkan hal tersebut dan Al-Auza’i dan Ashab Ar-Ra’yi menganggapnya hal yang baik, dan ini adalah perkataan Ibnu Mundzir. (Al-Mughni 2/275)
وَلَنَا «، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَخْرُجُ إلَى الْمُصَلَّى وَيَدَعُ مَسْجِدَهُ» ، وَكَذَلِكَ الْخُلَفَاءُ بَعْدَهُ، وَلَا يَتْرُكُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْأَفْضَلَ مَعَ قُرْبِهِ، وَيَتَكَلَّفُ فِعْلَ النَّاقِصِ مَعَ بُعْدِهِ، وَلَا يَشْرَعُ لِأُمَّتِهِ تَرْكَ الْفَضَائِلِ، وَلِأَنَّنَا قَدْ أُمِرْنَا بِاتِّبَاعِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالِاقْتِدَاءِ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَأْمُورُ بِهِ هُوَ النَّاقِصَ، وَالْمَنْهِيُّ عَنْهُ هُوَ الْكَامِلَ، وَلَمْ يُنْقَلُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ صَلَّى الْعِيدَ بِمَسْجِدِهِ إلَّا مِنْ عُذْرٍ، وَلِأَنَّ هَذَا إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ. فَإِنَّ النَّاسَ فِي كُلِّ عَصْرٍ وَمِصْرٍ يَخْرُجُونَ إلَى الْمُصَلَّى، فَيُصَلُّونَ الْعِيدَ فِي الْمُصَلَّى، مَعَ سَعَةِ الْمَسْجِدِ وَضِيقِهِ، وَكَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي فِي الْمُصَلَّى مَعَ شَرَفِ مَسْجِدِهِ،
“Dan hujjah kami, sesungguhnya Nabi ﷺ keluar menuju musholla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya, dan begitu juga para Kholifah setelahnya, dan Nabi tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang lebih utama (Masjid Nabawi) yang jaraknya dekat lalu membebani untuk melakukan sesuatu yang kurang utama dan juga jaraknya jauh, beliau tidak mungkin memberikan syari’at pada umatnya untuk meninggalkan perkara-perkara yang utama, karena kita diperintahkan untuk mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meneladaninya, dan tidak boleh sesuatu yang diperintahkan dia adalah sesuatu yang kurang dan yang dilarang adalah sesuatu yang sempurna, dan tidak ada penukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau shalat ‘ied di masjidnya kecuali ada udzur, dan karena ini adalah ijma’ kaum muslimin, sesungguhnya manusia di setiap waktu dan di setiap daerah selalu keluar menuju tanah lapang dan melakukan shalat ‘ied di tanah lapang bersamaan dengan luasnya masjid dan sempitnya masjid. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat ‘ied di tanah lapang bersamaan dengan mulianya masjidnya.” (Al-Mughni 2/276)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Sunnah Nabi sudah tetap bahwa beliau meninggalkan masjidnya ketika shalat dua hari raya, beliau mengerjakannya di mushalla yang berada di pintu luar Madinah”. (Zadul Ma’ad 1/441)
Hanya saja Imam Syafi’i berpendapat bahwa penduduk Makkah, tidak shalat ied kecuali di Masjidil Haram, karena itu adalah tempat paling baik di dunia. (Lihat Al-Umm 1/207)
([14]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/17
([15]) Takbir tambahan adalah takbir yang terletak antara takbirotul ihrom dan takbir untuk ruku’ untuk ruku’ pada raka’at pertama, dan pada raka’at kedua adalah yang terletak antara takbir ketika bangkit dari sujud dan takbir untuk ruku’.
([16]) Syarhu ma’aani al-aaatsar no. 7262
Dalam masalah takbir tambahan ada beberapa pendapat dari kalangan ulama:
Pendapat pertama: Bertakbir 3 kali setelah takbirotul ihrom pada raka’at pertama dan 3 kali takbir setelah takbirotul intiqol pada raka’at kedua. Total 6 takbir tambhan, ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah, berkata Ibnu ‘Abidin:
وَهِيَ ثَلَاثُ تَكْبِيرَاتٍ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، هَذَا مَذْهَبُ ابْنِ مَسْعُودٍ وَكَثِيرٍ مِنْ الصَّحَابَةِ، وَرِوَايَةٌ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَبِهِ أَخَذَ أَئِمَّتُنَا الثَّلَاثَةُ،
“dan dia (takbir tambahan) ada 3 takbir di setiap raka’at. Ini adalah madzhab Ibnu Mas’ud dan kebanyakan para sahabat, dan ini adalah salah satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, dan pendapat ini yang diambil oleh para imam yang tiga.” (Ad-durrul mukhtar 2/172)
Mereka berdalil dengan riwayat Al-Aswad bin Yazid:
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ ” كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ تِسْعًا تِسْعا: أَرْبَعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، وَفِي الثَّانِيَةِ يَقْرَأُ فَإِذَا فَرَغَ كَبَّرَ أَرْبَعًا، ثُمَّ رَكَعَ “
“Sesungguhnya Ibnu Mas’ud bertakbir pada shalat dua hari raya masing-masing 9 kali takbir: 4 kali takbir sebelum membaca (termasuk di dalamnya takbirotul ihrom), kemudian bertakbir, lalu ruku’, dan pada raka’at kedua membaca lalu bertakbir 4 kali kemudian ruku’.” (Mushonnaf Abdur Rozzaq 5686)
كَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ جَالِسًا وَعِنْدَهُ حُذَيْفَةُ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ، فَسَأَلَهُمَا سَعِيدُ بْنُ الْعَاصِ عَنِ التَّكْبِيرِ فِي الصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فَجَعَلَ هَذَا يَقُولُ: سَلْ هَذَا، وَهَذَا يَقُولُ: سَلْ هَذَا، فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ: سَلْ هَذَا ـ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ـ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «يُكَبِّرُ أَرْبَعًا ثُمَّ يَقْرَأُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُومُ فِي الثَّانِيَةِ فَيَقْرَأُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ أَرْبَعًا بَعْدَ الْقِرَاءَةِ»
“Ibnu Mas’ud sedang duduk, disisinya ada Hudzaifah dan Abu Musa Al-Asy’ari, kemudian Sa’id bin al-‘Ash bertanya kepada keduanya tentang takbir dalam sholat di hari raya, kemudian yang ini berkata: bertanyalah kepada ini, dan yang lain pun mengatakan hal yang sama, akhirnya Hudzaifah berkata, bertanyalah kepada ini yaitu Abdullah bin Mas’ud. Akhirnya Sa’id Bin al’Ash pun bertanya kepadanya, lalu Ibnu Mas’ud pun menjawab: Bertakbir 4 kali (termasuk di dalamnya takbirotul ihrom) kemudian membaca, kemudian bertakbir lalu ruku’, kemudian bangkit ke raka’at kedua kemudian membaca lalu bertakbir 4 kali takbir (termasuk di dalamnya takbir untuk ruku’) setelah membaca.” (Mushonnaf Abdur Rozzaq 5687)
Dan ini juga salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas. (Lihat Mushonnaf Abdur Rozzaq 5689)
Pendapat kedua: Bertakbir 6 kali takbir pada raka’at pertama dan 5 kali takbir pada raka’at kedua. Total 11 takbir tambahan, dan ini adalah pendapat madzhab Imam Malik:
ويكبر في الركعة الأولى سبع تكبيرات وفي الركعة الثانية خمس تكبيرات… وإن جعلها سبعا في الأولى بتكبيرة الإحرام فهو مذهب مالك
“Bertakbir pada raka’at pertama 7 kali dan pada raka’at kedua 5 kali, … dan jika menjadikan 7 kali takbir pada rakaat pertama dengan memasukkan takbirotul ihrom maka ini adalah madzhab Malik. (Al-Kaafii Fii Fiqhi Ahlil Madinah 1/264)
Dan ini juga pendapat hanabilah Hanabilah, berkata Ibnu Qudamah:
قَالَ: أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: يُكَبِّرُ فِي الْأُولَى سَبْعًا مَعَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ، وَلَا يَعْتَدُّ بِتَكْبِيرَةِ الرُّكُوعِ؛ لِأَنَّ بَيْنَهُمَا قِرَاءَةً، وَيُكَبِّرُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ، وَلَا يَعْتَدُّ بِتَكْبِيرَةِ النُّهُوضِ
“Berkata Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad): takbir pada raka’at pertama 7 kali bersama dengan takbirotul ihrom, dan takbir untuk ruku’ tidak termasuk hitungan, karena di antara keduanya ada bacaan. Dan bertakbir pada raka’at kedua 5 kali, dan takbir ketika bangkit tidak masuk dalam hitungan.” (Al-Mughni 2/282)
Dalil mereka adalah:
شَهِدْتُ الأَضْحَى وَالْفِطْرَ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَكَبَّرَ فِي الرَّكْعَةِ الأَولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ، وَفِي الآخِرَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ.
“Aku menyaksikan shalat idul adha dan idul fitri bersama Abu Huroiroh, ia bertakbir pada raka’at pertama 7 kali sebelum membaca, dan pada raka’at terakhir (kedua) bertakbir sebanyak 5 kali sebelum membaca.” (Muwattho’ imam Malik no. 590)
Pendapat ketiga: Bertakbir pada raka’at pertama 7 kali, dan pada raka’at kedua 5 kali, sehingga total takbir tambahan ada 12 takbir, dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah.
ثُمَّ يُكَبِّرَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ وَسِوَى تَكْبِيرَةِ الرُّكُوعِ وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَةِ الْقِيَامِ مِنْ السُّجُودِ وَالْهَوِيِّ إلَى الرُّكُوعِ
“Kemudian bertakbir pada raka’at pertama 7 kali selain takbirotul ihrom dan takbir untuk ruku’, dan pada raka’at kedua bertakbir 5 kali selain takbir bangkit dari sujud dan selain takbir untuk turun ruku’.” )Al-Majmu’ syarhul muhadzdzab 5/17)
Dalil mereka adalah riwayat ‘Aisyah:
«يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً سِوَى تَكْبِيرَةِ الِاسْتِفْتَاحِ»
“Veliau ﷺ bertakbir pada shalat 2 hari raya 12 kali takbir selain takbirotul istiftah (takbirotul ihrom).” (Sunan ad-daruquthni no. 1720)
Dan juga terdapat riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah bertakbir tambahan dengan bilangan selain yang disebutkan di atas, seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah:
«التَّكْبِيرُ فِي يَوْمِ الْعِيدِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى أَرْبَعًا، وَفِي الْآخِرَةِ ثَلَاثًا، فَالتَّكْبِيرُ سَبْعٌ سِوَى تَكْبِيرُ الصَّلَاةِ»
“Bertakbir pada shalat hari raya pada raka’at pertama 4 kali dan pada raka’at kedua 3 kali. Maka takbir ada 7 kali selain takbir untuk shalat.” (Mushonnaf ‘Abdurrozzoq No. 5694)
Kesimpulan
Melihat banyaknya perbedaan dalam bilangan takbir tambahan dalam shalat maka yang tampak lebih baik adalah boleh melakukan semuanya, sebagaimana sikap Imam Ahmad dalam permasalahan ini, beliau berkata:
اخْتَلَفَ أَصْحَابُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي التَّكْبِيرِ وَكُلُّهُ جَائِزٌ
Para sahabat Rasulullah berselisih dalam masalah takbir, dan semuanya boleh. (Al-Furuu’ wa Tashiihul Furuu’ karya Ibnu Muflih 3/230)
Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikh ‘Utsaimin, beliau menjelaskan tentang pendapat Imam Ahmad lalu menguatkannya, beliau berkata:
أنه يرى أن السلف إذا اختلفوا في شيء، وليس هناك نص فاصل قاطع، فإنه كله يكون جائزاً؛ لأنه ـ رحمه الله ـ يعظم كلام الصحابة ويحترمه، فيقول: إذا لم يكن هناك نص فاصل يمنع من أحد الأقوال فإن الأمر في هذا واسع.
ولا شك أن هذا الذي نحا إليه الإمام أحمد من أفضل ما يكون لجمع الأمة واتفاق كلمتها
“Sesungguhnya beliau (Imam Ahmad) memandang bahwa salaf apabila berselisih terhadap sesuatu dan tidak ada nas yang memutuskannya secara tegas, maka semuanya menjadi boleh, karena beliau mengagungkannya perkataan para sahabat dan memuliakannya. Beliau mengatakan: jika tidak ada nash yang memutuskan untuk menghalangi dari salah satu pendapat, maka perkara dalam masalah ini luas. Dan tidak diragukan bahwa jalan yang ditempuh oleh Imam Ahmad ini termasuk yang paling mulia untuk menyatukan umat.” (Asy-Syarhul Mumti’ 5/137)
([17]) Ar-Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad-Durori Al-Bahiyyah 1/144
([18]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/20-21
Dan disebutkan juga dalam kitab ini bahwa beberapa ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, seperti Abu Hanifah beliau berpendapat bahwa pada raka’at kedua takbir tambahan terletak setelah membaca, dan juga Ibnu Ash-Shobbagh menghikayatkan dari Abu Yusuf bahwa takbir tambahan terletak setelah ta’awwudz agar ta’awwudz bersambung dengan doa istiftah, dan juga Syaikh Abu Hamid menukilkan dari Muhammad bahwasanya takbir terletak sebelum doa istiftah. Dan semua pendapat tersebut dibantah oleh Imam An-Nawawi.
Ada perbedaan pendapat dalam mengangkat tangan ketika takbir tambahan:
Pendapat pertama: disyariatkannya mengangkat kedua tangannya di setiap takbir tambahan.
Ini adalah pendapat mayoritas Ulama dari madzhab Hanafiyyah (Lihat: Badai’u Ash-Shonai’ Fii Tartiib Asy-Syarooi’ 1/277), Syafi’iyyah (Lihat: Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab 5/21) dan Hanabilah (Lihat: Al-Mughni Libni Qudamah 2/283), dan juga ini salah satu riwayat dari Imam Malik (Lihat: An-Nawadir Wa Az-Ziyadaat 1/501).
Hadits di atas adalah dalil yang sifatnya umum, mereka juga memiliki beberapa dalil yang sifatnya khusus menjelaskan tentang masalah ini, sebagian lemah dan sebagiannya lagi shohih, di antaranya riwayat Umar bin Khotthob dan Ibnu Umar, dari Bakr bin Sawadah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةِ فِي الْجِنَازَةِ وَالْعِيدَيْنِ “
“Sesungguhnya Umar Bin Khotthob radhiyallahu ‘anhu mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir dalam shalat jenazah dan shalat dua hari raya.”
Namun atsar ini dikatakan oleh para ulama lemah karena di dalamnya terdapat perowi bernama Ibnu Lahi’ah. (Lihat: adh-Dhu’afaa’ li Abi Az-Zur’ah 2/330)
Ibnul Qoyyim juga mengatakan:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ تَحَرِّيهِ لِلِاتِّبَاعِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ
“Ibnu Umar dalam usaha beliau untuk mengikuti sunnah, beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir.” (Zaadul ma’aad 1/427) Namun atsar ini tidak didapati sanadnya.
Dan ada juga atsar dari tabi’in yaitu dari ‘Atho:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: «يَرْفَعُ الْإِمَامُ يَدَيْهِ كُلَّمَا كَبَّرَ هَذِهِ التَّكْبِيرَةِ الزِّيَادَةَ فِي صَلَاةِ الْفِطْرِ؟» قَالَ: «نَعَمْ، وَيَرْفَعُ النَّاسُ أَيْضًا»
“Dari juroij, aku bertanya kepada ’Atho: Apakah imam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir tambahan ini pada shalat idul fitri? Ia menjawab: iya, dan orang-orang mengangkat kedua tangannya juga.” (Mushonnaf Abdurrozzaq no. 5699, juga disebutkan dalam as-sunanul kubro lil baihaqi 3/413)
Pendapat kedua: Tidak disyariatkannya mengangkat tangan ketika bertakbir tambahan.
Ini adalah pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Abu Laila. (Lihat: al-Majmu’ syarh al-muhadzdab 5/21)
Alasan mereka adalah karena tidak adanya dalil yang shohih yang menjelaskan hal tersebut. (Lihat: Ad-Diinul Khoolish 4/337)
([20]) Terdapat dua pendapat dalam masalah bacaan di antara takbir tambahan:
Pendapat pertama: di setiap antara dua takbir terdapat dzikir-dzikir seperti tahmid, ats-tsana’, dan bersalawat kepada Nabi. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Syaikh Bin Baz pun mengambil pendapat ini.
Berkata imam Asy-Syafi’i:
ثُمَّ وَقَفَ بَيْنَ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ قَدْرَ قِرَاءَةِ آيَةٍ لَا طَوِيلَةٍ وَلَا قَصِيرَةٍ فَيُهَلِّلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَحْمَدُهُ ثُمَّ صَنَعَ هَذَا بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ مِنْ السَّبْعِ وَالْخَمْسِ
“Kemudian berdiam antara takbir pertama dan kedua sebatas membaca satu ayat, tidak panjang juga tidak pendek. Kemudian bertahlil, bertakbir, bertahmid, lalu melakukan hal yang sama di antara setiap dua takbir dari 7 dan 5 takbir.” (Al-Umm 1/270)
Berkata Ibnu Qudamah:
وَيَسْتَفْتِحُ فِي أَوَّلِهَا، وَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ، وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ
“Membaca istiftah di awal, dan bertahmid, tsanaa, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ di antara setiap dua takbir.” (Al-Mughni 2/283)
Dalil mereka adalah berdasarkan penjelasan dari Ibnu Mas’ud ketika ditanya oleh Al-Walid bin Uqbah,
أَنَّ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ، دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَحُذَيْفَةُ، وَأَبُو مُوسَى فِي عَرْصَةِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ الْوَلِيدُ: إِنَّ الْعِيدَ قَدْ حَضَرَ فَكَيْفَ أَصْنَعُ؟ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «تَقُولُ اللهُ أَكْبَرُ، وَتَحْمَدُ اللهَ، وَتُثْنِي عَلَيْهِ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَدْعُو اللهَ، ثُمَّ تُكَبِّرُ، وَتَحْمَدُ اللهَ، وَتُثْنِي عَلَيْهِ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُكَبِّرُ، وَتَحْمَدُ اللهِ، وَتُثْنِي عَلَيْهِ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَدْعُو اللهَ، ثُمَّ تُكَبِّرُ، وَتَحْمَدُ اللهَ، وَتُثْنِي عَلَيْهِ وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَدْعُو، ثُمَّ كَبِّرْ وَاقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَسُورَةٍ، ثُمَّ كَبِّرْ وَارْكَعْ وَاسْجُدْ، ثُمَّ قُمْ فَاقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَسُورَةٍ، ثُمَّ كَبِّرْ، وَاحْمَدِ اللهَ، وَأَثْنِ عَلَيْهِ، وَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَادْعُ ثُمَّ كَبِّرْ، وَاحْمَدِ اللهَ، وَأَثْنِ عَلَيْهِ، وَصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَارْكَعْ وَاسْجُدْ» قَالَ: فَقَالَ حُذَيْفَةُ، وَأَبُو مُوسَى: أَصَابَ
“Walid Bin Uqbah masuk masjid, sedangkan Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, dan Abu Musa di halaman masjid, lalu Walid berkata: Sesungguhnya hari raya telah tiba, apa yang harus aku lakukan? Ibnu Mas’ud pun menjawab: Engkau ucapkan takbir, tahmid, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ dan berdoa kepada Allah, kemudian bertakbir, tahmid, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ, kemudian bertakbir, tahmid, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ dan berdoa, kemudian bertakbir, tahmid, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ dan berdoa, kemudian bertakbirlah dan bacalah al-fatihah dan surat, kemudian bertakbirlah dan ruku’lahlah dan sujudlah, kemudian bangkit dan bacalah al-fatihah dan surat. Lalu, bertahmidlah, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ dan berdoalah. Kemudian bertakbirlah bertahmidlah, tsana’, dan bersalawat kepada Nabi ﷺ, lalu ruku’ dan sujudlah. Berkata Hudzaifah dan Abu Musa: benar.” (HR. Ath-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9515, hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Gholil 3/114)
Pendapat kedua: Tidak ada bacaan antara dua takbir. Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Ibnu Qudamah menukilkan pendapat mereka:
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ: يُكَبِّرُ مُتَوَالِيًا، لَا ذِكْرَ بَيْنَهُ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ بَيْنَهُ ذِكْرٌ مَشْرُوعٌ لَنُقِلَ، كَمَا نُقِلَ التَّكْبِيرُ، وَلِأَنَّهُ ذِكْرٌ مِنْ جِنْسٍ مَسْنُونٍ، فَكَانَ مُتَوَالِيًا، كَالتَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.
“Abu Hanifah, Malik, dan Al-Auza’i berpendapat: Bertakbir terus menerus dan tidak ada dzikir di antara keduanya, karena seandainya di antara keduanya ada dzikir yang di syari’atkan tentunya akan dinukilkan, sebagaimana dinukilkannya takbir, dan karena takbir adalah dzikir yang termasuk jenis yang disunnahkan, maka dilakukan terus menerus sebagaimana tasbih ketika ruku’ dan sujud.” (Al-Mughni 2/284)
وقال بعض العلماء: يكبّر بدون أن يذكر بينهما ذكراً. وهذا أقرب للصواب، والأمر في هذا واسع، إن ذكر ذكراً فهو على خير، وإن كبّر بدون ذكر، فهو على خير
“Sebagian ulama mengatakan: bertakbir tanpa berdzikir di antara keduanya. Dan ini lebih dekat kepada kebenaran, dan perkara dalam permasalahan ini luas, jika seseorang berdzikir di antara keduanya maka ia di atas kebaikan, dan jika bertakbir tanpa berdzikir maka ia di atas kebaikan.” (Asy-Syarhu Al-Mumti’ 5/139-140)
([22]) HR. Muslim 2/607 No. 891
([23]) HR. Muslim 2/598 no. 878
([24]) HR. Bukhori no. 4895, Muslim no. 884
([25]) Syarh Musykil Al-Aatsaar no. 3740
([26]) Beliau berkata: “Disunnahkan ketika selesai dari shalat untuk berkhutbah.” (Al-Majmu’ syarhul muhadzdzab 5/21)
فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ فَخَطَبَ النَّاسَ خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا جِلْسَةً، فَإِذَا أَتَمَّهُمَا افْتَرَقَ النَّاسُ. فَإِنْ خَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلَيْسَتْ خُطْبَةً، وَلَا يَجِبُ الْإِنْصَاتُ لَهُ، كُلُّ هَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ
“Jika imam telah salam hendaknya ia bangkit untuk berkhutbah dua kali dan ia duduk di antara keduanya. Jika ia telah menyempurnakan khutbahnya maka orang-orang bisa berpencar. Dan jika ia berkhutbah sebelum shalat maka ini bukanlah khutbah dan tidak wajib diam (untuk mendengarkannya). Semua ini tidak ada perselisihan di dalamnya.” (Al-muhalla bil aatsaar 3/293)
([28]) HR. Bukhari no. 635 dan Muslim no. 602
وَكَذَا إنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ قَائِمًا بَعْدَ التَّكْبِيرِ الزَّائِدِ أَوْ بَعْضِهِ لَمْ يَأْتِ بِهِ
“Begitu juga seandainya ia mendapati imam dalam keadaan berdiri setelah takbir tambahan atau sebagiannya maka ia tidak perlu mendatangkannya.” (Kasysyaf al-qina’ 2/55)
([30]) Beliau berkata menjelaskan madzhab ulama:
وَإِذَا صَلَّاهَا مَنْ فَاتَتْهُ مَعَ الْإِمَامِ فِي وَقْتِهَا أَوْ بَعْدَهُ صَلَّاهَا رَكْعَتَيْنِ كَصَلَاةِ الْإِمَامِ وَبِهِ قَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ وَعَنْهُ رِوَايَةٌ يُصَلِّيهَا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ وَإِنْ شَاءَ بِتَسْلِيمَتَيْنِ وَبِهِ جَزَمَ الْخِرَقِيُّ وَالثَّالِثَةُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الثَّوْرِيِّ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّيهَا أَرْبَعًا وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ رَكْعَتَيْنِ بِلَا جَهْرٍ ولا تكبيرات زوائد وقال اسحق ان صلاها في المصلى فكصلاة الامام والا اربعا
“Jika seseorang yang luput darinya shalat ‘ied bersama imam pada waktunya atau telah lewat waktunya, maka: (1) Hendaknya ia melakukan shalat tersebut (qodho) dua raka’at seperti shalat imam. Ini adalah pendapat Abu Tsaur dan ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. (2) Ada riwayat lain darinya (Imam Ahmad): yaitu shalat 4 raka’at dengan satu salam dan jika ia mau boleh dengan dua salam, ini yang dipastikan oleh Al-Khiroqi. (3) Dan riwayat ketiga: boleh memilih antara 2 atau 4 raka’at, ini adalah madzhab At-Tsauri. (4) Ibnu Mas’ud berkata: shalat 4 raka’at. (5) Dan berkata al-Awza’i: shalat 2 raka’at tanpa mengeraskan suara dan juga tanpa takbir tambahan. (6) Dan berkata Ishaq: seandainya ia shalat di tempat lapang maka ia shalat seperti shalatnya imam, jika bukan di tempat lapang maka shalat 4 raka’at.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/30)
Dari sini kita dapati bahwa kebanyakan ulama membolehkan bagi orang yang luput darinya shalat ‘ied berjama’ah untuk mengqodho shalat ‘ied tersebut. Dan juga perlu diketahui bahwa mengqodho shalat ‘ied bukanlah wajib, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr:
وَلَيْسَ قَضَاءُ صَلَاةِ الْعِيدِ بِوَاجِبٍ لِمَنْ فَاتَتْهُ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ
“Mengqodho shalat ‘ied bukanlah sesuatu yang wajib kecuali bagi yang mau.” (Al-Istidzkar 2/398)
(فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِالْعِيدِ إلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ أَوْ أَخَّرُوهَا) وَلَوْ (لِغَيْرِ عُذْرٍ خَرَجَ مِنْ الْغَدِ فَصَلَّى بِهِمْ قَضَاءً وَلَوْ أَمْكَنَ) قَضَاؤُهَا (فِي يَوْمِهَا)
“Jika hari raya tidak diketahui kecuali setelah zawal (tergelincirnya matahari) atau mereka mengakhirkannya walau tanpa udzur, (maka imam) keluar di esok harinya dan mengimami orang-orang sebagai qodho walaupun memungkinkan untuk mengqodhonya pada hari saat itu.” (Kasysyaful qina’ 2/50)
([33]) Perbedaan pendapat dalam masalah ini:
Perkataan pertama: Shalat Jumat tidak gugur, dan ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat yang mewajibkan untuk shalat jum’at
Pendapat kedua: Orang yang menghadiri shalat ‘ied gugur baginya kewajiban menghadiri shalat jum’at tetapi tetap wajib bagi mereka untuk melaksanakan shalat zhuhur, namun bagi imam wajib untuk menegakkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah, dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahkan beliau menyebutkan bahwa ini adalah perkara yang disepakati oleh para sahabat:
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ مَنْ شَهِدَ الْعِيدَ سَقَطَتْ عَنْهُ الْجُمُعَةُ لَكِنْ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُقِيمَ الْجُمُعَةَ لِيَشْهَدَهَا مَنْ شَاءَ شُهُودَهَا وَمَنْ لَمْ يَشْهَدْ الْعِيدَ. وَهَذَا هُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ: كَعُمَرِ وَعُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَغَيْرِهِمْ. وَلَا يُعْرَفُ عَنْ الصَّحَابَةِ فِي ذَلِكَ خِلَافٌ. وَأَصْحَابُ الْقَوْلَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ لَمْ يَبْلُغْهُمْ مَا فِي ذَلِكَ مِنْ السُّنَّةِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا اجْتَمَعَ فِي يَوْمِهِ عِيدَانِ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ
“Pendapat ketiga dan ini adalah pendapat yang benar bahwa yang menyaksikan shalat ‘ied gugur baginya shalat jum’at, akan tetapi imam wajib menegakkan shalat agar bisa dihadiri orang yang ingin untuk melakukannya dan orang yang belum menghadiri shalat ‘ied. Ini adalah yang bersumber dari Nabi ﷺ dan para sahabat beliau seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan selain mereka. Tidak diketahui ada perselisihan dari para sahabat. Adapun dua pendapat pertama yang lalu belum sampai kepada mereka sunnah Nabi ﷺ ketika berkumpul dua hari raya, beliau shalat ied kemudian memberi rukhshah untuk shalat jumat.” (Majmu’ al-fatawa 24/211)
Pendapat ketiga: Shalat jum’at tetap wajib kecuali untuk orang-orang yang tinggal di pedalaman desa dan semisalnya yang jauh dari masjid jami’. Dan ini adalah pendapat madzhab syafi’iyyah, berkata Imam An-Nawawi:
فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ إذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمْ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ فَصَلَّوْا الْعِيدَ لَمْ تَسْقُطْ الْجُمُعَةُ بِلَا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الْأُمِّ وَالْقَدِيمُ أَنَّهَا تَسْقُطُ
“Asy-Syafi’i dan pengikutnya berkata: Kika bertepatan hari raya dan hari jum’at dan dihadiri penduduk desa yang wajib shalat jum’at, karena adzan terdengar di daerah mereka, lalu mereka shalat ‘ied, maka shalat jum’at tidak gugur bagi penduduk kota, adapun untuk penduduk desa maka ada dua pendapat, dan yang shohih dan dinaskan oleh Syafi’I dalam kitab al-Umm dan mazhab lama, bahwasanya shalat jum’at gugur”. (Al-majmu’ syarhul muhadzdzab 4/491)
([35]) HR. Ahmad no. 19318. Hadits ini shohih li ghoirih, sanadnya lemah karena Iyas bin Abu Romlah adalah perawi majhul. Berkata al-Hakim hadits ini shohih sanadnya, dan tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dan ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishohihkan oleh Ibnul Madini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafiz dalam at-Talkhish 2/88. Nampaknya ia menshohihkan karena syahid-syahid yang lain. Lihat Musnad Imam Ahmad 32/68-69.
([36]) HR. Abu Dawud no 1073, dishohihkan oleh Al-Albani
([37]) HR. Bukhori 5572. Al-‘Awali adalah perkampungan dekat dengan Madinah dari arah timur. (Lihat Fathul Bari 10/27)