Mengusap perban (penutup luka)
Sekelompok ulama (diantaranya adalah Ibnu Hazm) menyebutkan bahwasanya hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah perban adalah dho’if, oleh karena itu Ibnu Hazm tidak membolehkan mengusap perban. Beliau memandang hadits-hadits dho’if tersebut tidak bisa saling menguatkan[39]. Selain itu dia tidak membenarkan adanya qiyas (yaitu diqiyaskannya perban dengan ‘imamah). Namun terjadi khilaf diantara mereka (ulama yang tidak membolehkan mengusap perban) :
Sebagian mereka berpendapat bahwa diganti kewajiban mencuci dengan tayammum. Caranya yaitu dicuci anggota-anggota yang bersih sedangkan anggota-anggota wudlu yang ada perbannya cukup ditayammumi.
Sebagian yang lain berpendapat tidak perlu tayammum, karena dia tidak mampu untuk mencuci anggota wudlu yang luka tersebut maka kewajiban mencucinya gugur sebagaimana gugurnya kewajiban-kewajiban yang lain (jika ada udzur)[40]. Sebab Allah ta’ala berfirman :
لاَ يُكَلِّفُ اللهَُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا (Allah tidak membebani seorangpun kecuali dengan apa yang dia mampui), dan juga sabda Rosulullah :إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ (Jika aku memerintah kalian dengan suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian). Selain itu mengganti mencuci anggota wudlu (yang wajib dicuci) dengan tayammum atau mengusap adalah pensyari’atan yang harus berdasarkan kepada dalil yang shohih.
Namun ini adalah pendapat yang paling lemah (menurut Syaikh Utsaimin) sebab telah menjatuhkan hukum mencuci tanpa pengganti, tidak ke tayammum dan juga tidak diusap, sebab anggota wudlu tersebut masih ada dan tidak hilang sehingga hilang pula kewajiban mencucinya. Jika dia tidak mampu untuk mencucinya maka dia membersihkan anggota yang ada lukanya tersebut dengan pengganti mencuci yaitu tayammum atau mengusap [41]
Namun Syaikh Bin Baz menyebutkan bahwasanya hadits-hadits tentang perban bersama dengan hadits-hadits tentang mengusap khuf menunjukan akan disyari’atkannya mengusap perban.
Alasan-alasan yang menunjukan disyari’atkannya mengusap perban :
1. Qiyas, sebab mengusap khuf adalah untuk taisir (kemudahan) maka mengusap perban lebih aula (layak) lagi untuk diusap.
2. Anggota tubuh yanga ada lukanya tersebut masih ada sehingga kewajiban untuk diwudlui masih ada. Kalau tidak bisa dengan wudlu maka dengan penggantinya yaitu tayammum atau diusap. Dengan tayammum sesuai dengan keumuman ayat :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ ….فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا..
Dan jika kalian sakit atau dalam safar atau…… lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah..(Al-Maidah :6)
Dan luka adalah termasuk penyakit’ jadi dengan tayammum. Namun yang lebih benar adalah dengan diusap karena usapan itu menggunakan air sehingga lebih bersih dibandingkan tayammum yang menggunakan tanah. Selain itu jika luka yang diperban tersebut di kaki maka dia tidak terkena tayammum sebab tayammum tempatnya hanya pada muka dan tangan[42].
Dan karena keadaan perban yang darurat, maka tidak disyari’atkan padanya batasan-batasan waktu pengusapan.
Perbedaan mengusap perban dengan mengusap kaus kaki dan khuf:
1. Tidak boleh mengusap mengusap perban kecuali jika dengan melepaskan perban tersebut bisa menimbulkan kemudhorotan. Dan hal ini berbeda dengan khuf (yang tidak ada mudhorot dengan melepaskannya)
2. Wajib untuk diusap seluruh perban tersebut kecuali bagian perban yang keluar dari anggota wudlu yang wajib, karena tidak ada kemudhorotan dengan mengusap seluruh perban. Hal ini berbeda dengan khuf karena sesungguhnya sulit untuk mengusap khuf seluruhnya maka cukup untuk mengusap sebagian khuf saja sebagaimana yang dijelaskan oleh sunnah.
3. Mengusap perban tidak memiliki batasan-batasan waktu karena mengusap perban disebabkan oleh dharurat, maka ditentukan dengan ukurannya.
4. Mengusap perban untuk hadats besar dan hadats kecil, berbeda dengan mengusap khuf yang hanya dikhususkan untuk hadats kecil.
5. Tidak disyaratkan ketika memakai perban sipemakai harus dalam keadaan suci, ini menurut pendapat yang rojih. Hal ini berbeda dengan khuf [43]
6. Perban tidak dikhususkan untuk anggota tubuh tertentu, berbeda dengan khuf yang hanya dikhususkan untuk kaki[44].
(Nampaklah bahwasanya dengan keenam perbedaan ini maka tidaklah bisa diqiyaskan antara khuf dengan perban. Sehingga hal ini memperkuat pendapat Ibnu Hazm dan Syaikh Al-Albani, wallohu a’lam)
Cara mengusap perban
Jika ada luka di daerah anggota wudlu, maka ada tingkatan-tingakan :
1. Tingkatan pertama : Luka tersebut terbuka dan tidak berbahaya untuk dicuci. Maka dalam keadaan ini wajib dicuci luka tersebut.
2. Tingkatan kedua : Luka tersebut terbuka dan berbahaya untuk dicuci tetapi tidak mengapa untuk diusap, maka ketika wudlu wajib diusap luka tersebut.
3. Tingkatan ketiga : Luka tersebut terbuka dan berbahaya untuk dicuci dan diusap. Maka luka tersebut harus ditutup dengan perban dan diusap diatas perban tersebut. Jika tidak bisa ditutup (mungkin dengan ditutup malah semakin parah luka tersebut) maka cukup dengan tayamum (tidak perlu berwudlu).
4. Tingkatan keempat : Luka tersebut tertutup dengan gips atau perban atau yang semisalnya, maka dalam keadaan seperti ini cukup diusap penutup tersebut dan tidak perlu dicuci.
Namun dalam keadaan seperti tingkatan keempat ini, apakah boleh menggabungkan antara mengusap dengan tayammum ?. Sebagian ulama mewajibkan penggabungan tersebut untuk hati-hati. Namun yang benar tidak wajib digabungkan, sebab mereka yang berpendapat akan wajibnya tayammum mereka tidak mewajibkan diusap dan juga sebaliknya. Dan mewajibkan dua cara berthoharoh pada satu anggota tubuh adalah menyelisihi qoidah syar’iyah. Dan tidak ada dalam syari’at yang semisal hal ini. Dan Allah ta’ala tidaklah membebani hamba dengan dua ibadah dengan sebab yang satu [45]. Sehingga yang benar bahwasanya jika dia telah mengusap anggota wudlu maka dia tidak perlu untuk tayammum, sehingga janganlah dia menggabungkan antara mengusap dan tayammum kecuali jika di sana ada anggota wudlu lain yang tidak bisa diusap[46].
Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com
[1] Syarhul Mumti’ 1/183 dan fathul Bari 1/306, telah dibahas di Fiqh Wudlu’
[2] Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni 1/360.
[3] Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalan al-fath 1/306 dan dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dia menyebutkannya dalam at-talkhis al-habir 1/158 dan dikuatkan juga oleh Ibnul Mundzir dalam Al-ausath 1/344 dan 1/427).
[4] (Syarhul Mumti’ 1/153)
[5] (Syarhul Mumti’ 1/182)
[6] (Zadul Ma’ad 1/99 dan Al-Mugni 1/360)
[7] Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 2/108 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam al-irwa’ no 564
[8] Riwayat At-Thobroni dan Ibnu Hibban dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 3/11-13. Dan yang dimaksud dengan ‘azimah adalah kewajiban. Sedangkan dalam shohih Muslim 2/786 no 1115 dari hadits Jabir radliyallahu ‘anhu :عَلَيْكُمْ بِرُخْسَةِ اللهِ الَّذِي رَخَصَ لَكُمْ (Atas kalian terhadap rukhsoh Allah yang telah Allah berikan, keringanan bagi kalian)
[9] Al-Fiqh Al-Islami 1/317
[10] Riwayat Bukhori no 206 dan Muslim 1/230 dan 1/274
[11] Al-Fiqh Al-Islami 1/325
[12] Majmu’ fatawa 4/174
[13] Hadits shohih riwayat Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi , irwaul golil no 104
[14] Riwayat Muslim 1/232 no 276
[15] Riwayat Ibnu Khuzaimah 1/96, Ibnu Hibban dan Daruqutni, dan lihat At-Talkhis Al-Habir 1/157
[16] Syarhul Mumti’ 1/186
[17] Syarhul Mumti’ 1/187
[18] Dari hadits Abu Bakroh, diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 556, Ibnu Abi Syaibah 1/179 dan selain mereka. Berkata Ibnu Hajar dalam talkhis Al-habir 1/157 : “Dishohihkan oleh As-Syafi’i” dan dalam At-Ta’liq Al-Mughni 1/194 “Dihasankan oleh Al-Bukhori” (Syarhul Mumti’ 1/186,203)
[19] Majmu’ fatawa 4/161,186
[20] Majmu’ fatawa 4/175,176
[21] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no 650 dan Ahmad 3/20,92 sedangkan riwayat (بِالأَرْضِ)merupakan riwayat Ahmad. Dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih Abu dawud no 605 dan dalam al-irwa’ no 284
[22] Syarhul Mumti’ 1/188
[23] Asy-Syarhul Mumti’ 1/210
[24] (Syarhul Mumti’ 1/189 dan Al-mugni 1/373 dan ini adalah fatwa Syaikh Bin Baz)
[25] Al-Fiqh Al-Islami 1/331.
[26] Riwayat ini merupakan riwayat yang mu’allaq yang dicantumkan oleh Bukhori dalam shohihnya 1/225 namun telah disambung dengan sanad yang shohih sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam tamamul minnah hal 114
[27] Tamamul minnah hal 114-115.
[28] Majmu’ Fatawa 4/179,188
[29] Riwayat Abu Dawud no 162 dan dishohihkan oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33 dan al-irwa’ no 103
[30] Riwayat Abu Dawud no 161 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33
[31] (Al-Mugni 1/378 dan lihat syarhul umdah hal 372)
[32] Majmu’ Fatawa 4/177
[33] (Riwayat Abu Dawud no 159 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33)
[34] (Al-Mugni 1/375, Zadul Ma’ad 1/199, Syarhul Umdah hal 251)
[35] Majmu’ Fatawa 4/170
[36] Berkata Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam majmu’ fatawa 21/218 :”Jika siwanita takut akan dingin dan yang semisalnya, maka dia mengusap khimarnya, karena sesungguhnya Ummu Salamah pernah mengusap khimarnya. Dan hendaknya dia mengusap juga sebagian rambutnya. Adapun jika tidak ada hajah maka ada khilaf diantara para ulama”. ( Syarhul Mumti’ 1/196 )
[37] Majmu’ Fatawa 4/170
[38] Ini adalah ringkasan dari perkataan Syaikh Ali Bassam (Taisirul ‘Alam 1/206)
[39] Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 133-135
[40] Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 135
[41] Syarhul Mumti’ 1/200
[42] Syarhul Mumti’ 1/200-201
[43] (Al-Mugni 1/356 dan majmu’ fatawa 21/176-179)
[44] (Syarhul Mumti’ 1/204)
[45] Syarhul Mumti’ 1/201
[46] Fatawa lajnah daimah 5/248, Syarhul Mumti’ 1/202