Pembatal-pembatal mengusap khuf
1. Jika muncul hal-hal yang mewajibkan mandi
Seperti janabah, maka batallah pengusapan dan kedua kaki wajib untuk dicuci
2. Jika melepas kedua khuf
atau yang semakna dengan hal ini, setelah mengusap kedua khuf maka batallah wudlu menurut pendapat yang rojih sebagaimana telah lalu.
3. Jika telah selesai waktunya menurut syar’i
Syaikh Bin Baz merojihkan bahwasanya selesainya waktu membatalkan pengusapan dengan mafhum (mukholafah) dari hadits-hadits yang menerangkan tentang waktu-waktu pengusapan (Sebagaimana hadits Sofwan radliyallahu ‘anhu dan Ali radliyallahu ‘anhu -pent). Jika telah selesai waktunya maka hendaklah dia melepaskan kedua khufnya dan dia mencuci kedua kakinya dan dia hendaknya dia melepaskan sorbannya dan mengusap kepalanya.
Perhatian : Untuk pembatal kedua dan ketiga maka menurut Syaikh Al-Albani tidak ada dalilnya sama sekali. Dan ini juga merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana perkataannya (dalam Al-Ikhtiaroot hal 9) :”Tidaklah batal wudlunya orang yang mengusap khuf dan ‘imamah dengan membuka keduanya, dan tidak juga (batal wudlu) dengan habisnya waktu. Dan tidak wajib baginya untuk mengusap kepalanya (setelah melepaskan ‘imamahnya -pent) dan tidak juga mencuci kedua kakinya (setelah melepaskan kedua khufnya –pent). Dan ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, sebagaimana (tidak batal wudlu dengan) menghilangkan (memotong) rambut yang diusap menurut pendapat yang benar dari madzhab Ahmad dan pendapat jumhur.”
Al-Hasan berkata : “Jika dia mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya atau dia melepaskan kedua khufnya, maka tidak ada wudlu atasnya.” [26]Dan ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Tholib radliyallahu ‘anhu . Imam Baihaqi (1/288) dan Imam At-Thohawi (syarhul ma’ani 1/58) telah mengeluarkan atsar dari Abu Dzobyan bahwasanya dia telah melihat Ali radliyallahu ‘anhu kencing dalam keadaan berdiri kemudian dia meminta air lalu berwudlu dan mengusap kedua sendalnya. Kemudian dia masuk mesjid dan melepaskan kedua sendalnya, lalu sholat. Imam Baihaqi mendambahkan :”Lalu dia mengimami manusia”. Sanad atsar ini shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim[27].
Dan ini juga merupakan pendapat Syaikh Utsaimin, namun menurut beliau yang batal adalah mengusapnya. Artinya jika dia melepas kedua khufnya maka wudlunya tidak batal, tetapi jika dia memakai lagi khufnya dan ketika dia batal maka dia tidak boleh mengusap khufnya walaupun belum habis waktu mengusap, tetapi dia harus membuka khufnya dan mencuci kedua kakinya. [28].
Cara mengusap khuf, kaus kaki dan sorban
Yang diusap adalah bagian atas (yaitu yang menutupi punggung kaki –pent) kedua khuf atau kedua kaus kaki sesuai dengan hadits Ali radliyallahu ‘anhu beliau berkata :
لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ. وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Kalau agama itu dengan akal maka bagian bawah khuf lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya (karena bagian yang kotor adalah bagian bawah khuf –pent). Sungguh aku telah melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuf. [29]
Dan juga berdasarkan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَ قَالَ : “عَلَى ظَهْرِ الْخُفَّيْنِ
Bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan beliau berkata :” bagian atas kedua khuf” [30]
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (1/377) : Al-Kholal telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :
ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ, فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى خُفِّهِ الأَيْمَنِ, وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى خُفِّهِ الأَيْسَرِ, ثُمَّ مَسَحَ أَعْلاَهُمَا مَسْحَةً وَاحِدَةً حَتَّى كَأَنِّي أَنْظُرُ اِلَى أَثَرِ أَصَابِعِهِ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Kemudian beliau berwudlu dan mengusap kedua khuf, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas khufnya yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas khufnya yang kiri, kemudian beliau mengusap bagian atas kedua khuf tersebut dengan sekali usapan sehingga seakan-akan aku melihat bekas jari-jari beliau di kedua khuf.
Berkata Ibnu ‘Aqil : “Sunnahnya mengusap (khuf) adalah demikian : Hendaklah dia mengusap kedua khufnya dengan kedua tangannya, tangan kanan untuk (mengusap) khuf yang kanan dan tangan kiri untuk (mengusap) khuf yang kiri”, dan berkata Ahmad :”Bagaimanapun engkau melakukannya maka boleh, (apakah) dengan satu tangan atau dengan kedua tangan”[31].
Namun yang lebih baik dia mengusap kedua khufnya sekaligus dengan kedua tangannya, sebagaimana ini merupakan dzohir dari hadits Mughiroh radliyallahu ‘anhu فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا (lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap atas kedua khufnya) dan Mughiroh t tidak berkata “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari yang kanan”.[32]
Dan mengusap kedua kaus kaki sama persis dengan cara mengusap kedua khuf, sesuai dengan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu beliau berkata :
تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللهِ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَ النَّعْلَيْنِ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dan beliau mengusap kedua kaus kaki dan kedua sendal[33].
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwasanya jika seseorang mengusap kedua kaus kaki dan kedua sendal secara bersamaan maka setelah mengusap janganlah dia melepaskan kedua sendalnya (untuk sholat)[34]. Namun pendapat ini telah dibantah oleh Syaikh Al-Albani sebagaimana telah lalu pada hal 5
Mengusap ‘imamah dan khimar
Adapun cara yang benar untuk mengusap ‘imamah (sorban) dan khimar (kerudung/penutup kepala wanita) ada dua cara :
1. Mengusap ‘imamah atau khimar saja tanpa mengusap ubun-ubun.
2. Mengusap ubun-ubun kemudian dilanjutkan mengusap ‘imamah atau khimar
Dan menurut pendapat yang benar, disyaratkan untuk ‘imamah dan khimar apa-apa yang disyaratkan untuk mengusap khuf (sebagaimana telah lalu). Dan ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz.
Perbedaan antara mengusap ‘imamah dan khimar dengan mengusap khuf :
1. Mengusap ‘imamah tidak memiliki waktu karena tidak ada dalil dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak disyaratkan ketika memakai ‘imamah harus dalam keadaan suci sebagaimana disyaratkan ketika memakai khuf. Namun untuk lebih hati-hati hendaknya dia memakai ‘imamah dalam keadaan suci.[35]
Perhatian :
1. Adapun tentang khimar (penutup kepala wanita), telah terjadi khilaf tentang kebolehannya. Pendapat pertama mengharamkannya, sebab Allah ta’ala memerintahkan untuk mengusap kepala. Kalau seorang wanita mengusap khimarnya berarti dia tidak mengusap kepalanya. Pendapat kedua membolehkan mengusap khimar, yaitu dengan mengqiaskan khimar dengan ‘imamah. Khimar pada wanita kedudukannya sama dengan ‘imamah pada pria.Namun bagaimanapun jika timbul kesulitan apakah karena dinginnya udara atau karena sulit untuk dilepas (atau tempat wudlunya terbuka seperti kebanyakan yang terdapat di Indonesia, sehingga bisa dilihat oleh pria ajnabi-pent), maka toleransi (boleh untuk diusap) dalam keadaan seperti ini. Namun jika keadaannya tidak demikian maka yang lebih baik tidak diusap, dan tidak ada nas-nas yang shohih tentang bolehnya mengusap khimar[36].
2. Adapun topi, songko, dan penutup kepala yang merupakan perpanjangan baju (seperti yang terdapat di jaket-jaket) tidak boleh diusap karena tidak sama dengan ‘imamah. Adapun penutup kepala yang digunakan di daerah dingin yang menutup telinga dan memiliki ikatan di leher maka boleh diusap sebab jika harus dibuka penutup kepala tersebut maka akan menimbulkan kesulitan.[37]
Peringatan : Ada orang-orang umum dan para penuntut ilmu yang ta’assub mereka menganggap bahwa menghidupkan sunnah ini (yaitu memakai khuf atau sendal ketika sholat) termasuk dosa besar yang tidak boleh didiamkan. Jika kita tunjukan kepada mereka dalil-dalil akan sunnahnya hal ini mereka akan menjawab :”Itu untuk zaman dahulu bukan untuk sekarang”, seakan-akan telah adatang seseorang yang telah mengahapus syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggantinya.
Yang benar yaitu barang siapa yang ingin menjalankan sunnah ini ataupun yang lainnya yang seandainya ditinggalkan tidak menyentuh inti dari Islam maka hendaknya dia melihat-lihat terlebih dahulu. Apabila melaksanakannya atau meninggalkannya menyebabkan fitnah atau kejelekan yang lebih besarr daripada maslahatnya maka hendaknya dia memilih maslahat. Karena syari’at ada ketika didapatkan maslahah yang murni atau maslahat yang lebih kuat daripada mafsadah.[38]