3. Mengusap dilakukan dalam waktu yang ditentukan secara syar’i
Waktunya tersebut adalah sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari tiga malam untuk orang yang bersafar, sesuai dengan hadits Ali bin Abi Tholib radliyallahu ‘anhu beliau berkata :
جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهِنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْماً ولَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi yang mukim [14]
Dan juga sesuai dengan hadits Sofwan bin ‘Assal radliyallahu ‘anhu yang telah lalu. Dan juga hadits Abu Bakroh radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّهُ رَخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهِنَّ ، وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْماً ولَيْلَةً, إِذّا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (untuk mengusap khuf –pent) bagi musafir tiga hari tiga malam, dan bagi mukim sehari semalam. Jika beliau bersuci maka beliau memakai kedua khuf beliau untuk mengusap keduanya. [15]
Kapankah mulai dihitung waktu tersebut ?. Ada tiga kemungkinan yang berhubungan dengan awal mulai dihitungnya waktu tersebut.
1. Pertama : Dihitung mulai ketika memakai khuf. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
2. Kedua : Dihitung ketika pertama kali berhadats setelah memakai khuf. Dihikayatkan oleh Al-Mawardi dan As-Syasyi pendapat ini dari Hasan Al-Bashri.
3. Ketiga : Dihitung ketika pertama kali mengusap khuf setelah berhadats[16], dan ini adalah pendapat Al-Auza’i, Abu Tsaur, satu riwayat dari Imam Ahmad, Dawud, dan disampaikan oleh Ibnul Mundzir bahwa ini adalah pendapat Umar bin Khottob radliyallahu ‘anhu.
Dan ukuran waktu ini yang benar dihitung dari awal pertama kali mengusap khuf setelah berhadats dan berakhir waktu tersebut setelah dua puluh empat jam bagi orang yang mukim dan setelah tujuh puluh dua jam bagi musafir[17]. Dalilnya adalah dalam riwayat yang lain
يَمْسَحُ الْمُقِيْمُ يَوْمًا وَ لَيْلَةً وَ يَمْسَحُ الْمُسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
Orang yang mukim mengusap sehari semalam dan musafir mengusap selama tiga hari.[18]
Dalam hadtis ini untuk menghitung waktu pengusapan harus ada pengusapan karena Rosulullah bersabda “Orang mukim mengusap….musafir mengusap”, dan ini tidaklah mungkin mulai dihitung waktunya kecuali dengan memulai pengusapan untuk pertama kali.[19]
Misalnya seseorang berwudlu untuk sholat subuh pada tanggal 3. Setelah sholat dia memakai khuf lalu dia terus dalam keadaan suci hingga jam sembilan pagi. Kemudian dia berhadats dan belum berwudlu. Dia baru berwudlu pada jam dua belas siang untuk sholat dhuhur. Maka menurut pendapat yang benar bahwa hitungan waktu baru dimulai pada jam dua belas siang. Jika dia seorang mukim maka dia wajib membuka kedua khufnya pada jam 12 siang tanggal 4. Dan jika dia seorang musafir maka dia wajib membuka kedua khufnya pada jam 12 siang pada tanggal 6.
Perhatian :Jika seseorang mengusap khuf dan dia mukim lalu dia bersafar, maka menurut pendapat yang rojih waktu mengusapnya adalah dia menempurnakan waktu mengusap musafir (yaitu tiga hari tiga malam), karena dia bersafar. Dan demikian juga sebaliknya jika dia mengusap dalam keadaan dia bersafar lalu mukim, maka selanjutnya waktu mengusapnya adalah waktu mengusap mukim (yaitu sehari semalam).[20]
4. Kedua khuf atau perban atau sorban harus dalam keadaan suci (tidak terkena najis)
Jika terkena najis maka tidak boleh diusap. Dan kedua khuf atau perban atau sorban tersebut harus suci bukan merupkan najis ‘aini/dzati (misalnya khufnya terbuat dari kulit himar atau kulit babi) dan juga bukan mutanajis (najis hukmi) yaitu asalnya suci namun terkena najis (misalnya khufnya terbuat dari kulit onta namun terkena najis). Namun jika khufnya mutanajis, lalu dibersihkan maka boleh diusap dan boleh sholat dengan menggunakan khuf tersebut. Ada yang mengambil dalil dari hadits Mugiroh radliyallahu ‘anhu yaitu pada perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن (Sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci) bahwa ini menunjukan bahwa kedua khuf dalam keadaan suci. Namun pendalilan ini salah, sebab yang dimaksud dengan “keduanya dalam keadaan suci” adalah kedua kaki beliau, sebagaimana dijelaskan dalam lafal hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no 151 dengan lafal : فَإِنِّي أَدْخَلْتُ الْقَدَمَيْنِ الْخُفَّيْنِ وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ(Sesungguhnya aku memasukkan kedua kakiku ke kedua khuf dan kedua kakiku dalam keadaan suci).
Namun disana ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Sa’id Al-Khudri رضي الله عنه beliau berkata :
بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم صَلاَتَهُ قَالَ : “مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ ؟” قَالُوْا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :”إِنَّ جِبْرِيْلَ عليه السلام أَتَانِي فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ فِيْهِمَا قَذْرًا”، وَ قَالَ : “إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ, فَإِنْ رَأَى فِيْ نَعْلَيْهِ قَذْرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ (بِالأَرْضِ) وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا
Ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau membuka kedua sendal beliau lalu meletakkannya di kiri beliau. Ketika kaum (para sahabat yang diimami Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) melihat hal itu maka mereka (juga melepaskan dan -pent) melemparkan sendal-sendal mereka. Ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan sholatnya maka beliau berkata :”Apa yang membuat kalian membuang sendal-sendal kalian?”, maka para sahabat menjawab :”Kami melihat engkau melempar kedua sendal engkau maka kamipun membuang sendal-sendal kami”, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku lalu mengkhabarkan kepadaku bahwa ada kotoran (najis) pada kedua sendal tersebut”. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Jika salah seorang dari kalian mendatangi mesjid maka hendaklah dia melihat (kedua alas kakinya –pent), jika dia melihat ada najis atau kotoran maka hendaklah dia mengusapnya (menggosokkannya-pent) (di tanah) dan hendaknya dia sholat dengan kedua sendal tersebut[21].
Hadits ini menunjukan bahwasanya tidak boleh sholat dengan menggunakan sesuatu yang ada najisnya, dan karena najis jika diusap dengan air maka air tersebut akan terkotori dengan najis, maka tidak boleh mengusap dengan air[22].
5. Khuf tersebut harus menutupi anggota-anggota wudlu yang wajib dan harus tebal serta tidak boleh mensifatkan kulit.
Madzhab Ahmad (dan juga dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz) berpendapat bahwa tidak boleh nampak kulit kaki yang wajib dicuci ketika wudlu, apakah karena tipisnya khuf atau karena lembutnya khuf atau karena ada robekan-robekan pada khuf. Ta’lilnya (sebabnya) :
1. Karena jika nampak kulit kaki karena tipisnya khuf atau karena robekan maka yang nampak itu harus dicuci (sedangkan yang tertutup khuf dengan diusap), padahal tidak boleh digabungkan antara usapan dan cucian, keduanya tidak bisa bergabung dalam satu anggota wudlu.
2. Adapun sebab tidak sah mengusap pada khuf yang lembut sehingga mensifatkan kulit kaki adalah sebab disyaratkan khuf itu adalah menutup, sedangakan khuf yang seperti ini tidak menutupi. Sebagaimana jika seseorang sholat dengan menggunakan baju yang mensifatkan kulit tubuhnya maka sholatnya tidak syah.
Adapun madzhab Syafi’i, khuf yang mensifatkan kulit kaki tidak mengapa untuk diusap sebab kaki telah tertutup sehingga tidak bisa terkena air. Dan tidak mengapa walaupun nampak kulit kaki sebab kaki itu bukan aurot yang wajib untuk ditutupi (sehingga diqiaskan dengan baju yang digunakan untuk sholat adalah tidak tepat, sebab baju menutup aurot). Dan tidak ada dalil dalam sunnah yang menunjukan disyaratkannya kaki tertutup oleh khuf.
Sebagian ulama menyatakan tidak disyaratkan khuf menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dicuci. Sebab nas-nas yang ada tentang mengusap khuf adalah mutlaq. Dan apa yang datang dalam keadaan mutlaq maka wajib tetap dimutlaqan. Maka siapapun yang menambah adanya syarat yang lain, dia harus membawa dalil. Sebab banyak para sahabat yang miskin, dan kebanyakan orang miskin mesti khuf-khuf mereka ada robekannya. Jika keadaannya seperti ini dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskannya maka hal ini menunjukan bahwa menutup seluruh kaki (dari jari kaki hingga mata kaki) bukanlah syarat. Dan inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Sedangkan ta’lil mereka -bahwasanya bagian kaki yang nampak harus dicuci dan tidak boleh digabungkan dengan usapan- maka bantahannya adalah :
1. Ini dibangun diatas pendapat mereka bahwa khuf harus menutup kaki. Dan ini telah terbantahkan.
2. Khuf jika masih bisa dikatakan khuf[23] (walaupun agak banyak robekannya) menurut apa yang diitlaqqan oleh sunnah maka bagian kaki yang nampak (karena robek) mengikuti hukum khuf, sehingga cukup diusap.
3. Pendapat tidak blehnya digabungkan antara usapan dan cucian adalah salah, sebab untuk masalah perban (akan datang penjelasannya nanti) boleh digabungkan antara cucian dan usapan.
6. Khufnya harus mubah bukan haram yaitu dengan curian ataupun rampokan dan juga bukan dari sutra (bagi laki-laki)
Karena yang namanya keharoman ada dua. Pertama yaitu dzatnya sudah harom seperti sutra untuk laki-laki, sepatu yang ada gambar-gambar yang bernyawa. Yang kedua yaitu harom karena usaha mendapatkannya, seperti khuf yang diperoleh dengan mencuri atau merampok. Maka tidak sah mengusap pada kedua macam model khuf ini. Karena mengusap khuf adalah rukhsoh maka tidak boleh dipergunakan untuka bermaksiat. Selain itu pendapat yang menyatakan bolehnya (sahnya) mengusap pada kedua macam khuf ini konsekuensinya adalah pengakuan terhadap bolehnya memakai hal yang harom ini, padahal keharoman itu wajib untuk diingkari[24].ini adlah Madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan Syafi’iyyah tidak mensyaratkan hal ini.[25]
7. Setelah diusap, khuf tidak dilepas sebelum selesai waktunya.
Bila dia melepaskan kedua khufnya atau yang semakna dengannya (yaitu misalnya sendal dan kaus kaki, lihat dalil akan bolehnya mengusap sendal dan kaus kaki pada hal 6) setelah mengusap kedua khufnya, maka dia mengulang wudlu dengan mencuci kedua kaki. Dan pendapat ini telah dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz, dan beliau berkata :”Ini adalah pendapat jumhur, dan ini yang benar”. Namun pendapat ini terbantahkan dengan adanya atsar dari Ali radliyallahu ‘anhu sebagaimana akan datang penjelasannya.
Disana ada syarat-syarat yang lain yang disebutkan oleh para ulama namun tidak ada dalilnya atau sudah masuk dalam syarat-syarat di atas.