Hukum Mengusap Khuf
Disyari’atkan menurut Al-Kitab dan As-Sunnah, serta ijmak Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan firman Allah ta’ala
وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأََرْجُلَِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Dan usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki (Al-Maidah 6)
Jika dibaca dengan majrur (mengkasrohkan huruf ل pada َأََرْجُلِكُمْ ) maka merupakan dalil untuk mengusap kaki yang tertutup, adapun qiro’ah dengan mansub (memfathahkan ل pada َأََرْجُلَكُمْ), maka dibawakan pada mencuci kedua kaki yang terbuka[1].
Adapun berdasarkan As-Sunnah, maka telah mutawatir hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang disyari’atkannya hal ini. Sehingga Imam Ahmad berkata:
لَيْسَ فِيْ قَلْبِيْ مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ, فِيْهِ أَرْبَعُوْنَ حَدِيْثًا عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم , مَا رَفَعُوْا إِلَى النَّبِيِّ r وَمَا وَقَفُوْا
Tidak ada dalam hatiku (keraguan) sedikitpun tentang mengusap (khuf). Ada empat puluh hadits dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang marfu’ dan ada yang mauquf [2].
Berkata Hasan Al-Bashri :
حَدَّثَنِيْ سَبْعُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم, أَنَّهُ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf [3]
Namun bolehnya mengusap khuf ini diselisihi oleh Syi’ah Rofidloh. Mereka telah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jam’ah dalam masalah thoharoh pada tiga hal:
1. Mereka tidak mencuci kaki-kaki mereka ketika berwudlu, tetapi mereka cukup mengusapnya (lihat fiqh wudlu).
2. Mereka mengusap kaki mereka ketika wudlu tidak sampai ke kedua mata kaki tetapi hanya sampai ke punggung kaki.
3. Mereka tidak mengusap kedua khuf, mereka memandang bahwa hal itu adalah harom, padahal mereka tahu bahwa salah seorang dari para sahabat yang meriwayatkan masalah mengusap khuf adalah Ali bin Abi Tholib radliyallahu ‘anhu. Padahal Ali radliyallahu ‘anhu menurut mereka adalah imamnya para imam[4].
Oleh karena itu sebagian ulama memasukkan pembahasan mengusap kedua khuf dalam buku-buku mengenai aqidah, padahal ini bukan masalah aqidah. Sebabnya adalah untuk menunjukan penyimpangan Syi’ah dalam masalah ini yang kemudian penyimpangan ini menjadi syi’ar mereka[5]
Dan yang afdhol terhadap setiap orang adalah sesuai dengan keadaan kakinya. Maka bagi pemakai khuf -jika syarat-syaratnya telah terpenuhi- adalah mengusap khufnya dan dia tidak membuka khufnya dalam rangka mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Adapun bagi orang yang kakinya terbuka maka hendaknya dia mencuci kakinya tersebut dan janganlah dia bersusah payah untuk memakai khuf (kalau memang tidak dibutuhkan -pent) agar bisa diusap.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci kedua kakinya jika terbuka dan mengusap jika beliau memakai khuf[6], sesuai dengan hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
Sesungguhnya Allah ta’ala menyukai rukhsoh-rukhsoh-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia membenci dilakukannya kemaksiatan.[7]
Dan juga hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُقْبَلَ رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
Sesungguhnya Allah ta’ala menyukai rukhsoh-rukhsoh (keringanan-keringanan)-Nya diterima sebagaimana dia menyukai dilaksanakannya ‘azimah-‘azimah-Nya[8].
Syarat-syarat mengusap kedua khuf dan yang semisalnya
Khuf adalah penutup kaki hingga ke mata kaki atau lebih, yang terbuat dari kulit dan semisalnya.[9] Agar bisa diusap (sebagai ganti mencuci kaki) harus memenuhi syarat sebagai berikut
1. Si pemakai dalam keadaan suci (bersih dari hadats) ketika memakai kedua khufnya
Berdasarkan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu ‘anhu, beliau berkata :
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم، فِيْ سَفَرٍ فَأَهْوَيْتُ لأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ :” دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن”،ِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar, lalu aku turun untuk melepas kedua khufnya, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Tinggalkanlah kedua khuf tersebut (jangan dilepaskan –pent), karena sesungguhnya aku memasukkan keduanya dan kedua kakiku dalam keadaan suci”. Maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengusap kedua khuf beliau.[10]
Jumhur Ulama mensyaratkan si pemakai khuf tersebut harus berthoharoh dengan air, jika dengan tanah (tayammum) maka tidak sah untuk mengusap khuf. Adapun madzhab Syafi’iyyah membolehkan dengan tayammum.[11]
Dan yang dirojihkan oleh Syaikh Utsaimin adalah pendapat jumhur, beliau berdalil dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن (kedua kakiku dalam keadaan suci), hal ini menunjukan bahwa kedua kaki Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dalam keadaan suci, sedangkan tayammum tidak berhubungan dengan kaki tapi dengan wajah dan kedua tangan. Oleh karena itu jika seseorang tidak mendapat air atau dia sakit sehingga tidak bisa menggunakan air untuk wudlu, maka dia menggunakan khuf walaupun dia tidak dalam keadaan suci, dan dia terus memakai khuf tersebut tanpa dibatasi oleh waktu sampai dia menemukan air (jika semula dia tidak mendapatkan air) atau sampai dia sembuh (jika semula dia sakit sehinga tidak bisa menggunakan air), karena kaki tidak ada hubungannya dengan tayammum.[12]
2. Mengusap khuf hanya dilakukan untuk hadats kecil
Berdasarkan hadits :
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرَ أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَة، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
Dari Sofwan bin ‘Asal radliyallahu ‘anhu berkata :”Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah dilepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur”[13].
Maka tidak boleh mengusap khuf jika ditimpa junub atau hal-hal yang mewajibkan mandi.