Menghilangkan Penderitaan Sesama Muslim
Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Dari shāhabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang Muslim penderitaannya dari penderitaan-penderitaan di dunia, maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya dari penderitaan-penderitaan hari Kiamat. Barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang mengalami kesulitan karena terlilit utang, maka Allāh akan memudahkan baginya urusan di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib orang Islam, maka Allāh akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allāh senantiasa menolong hamba tersebut jika seorang hamba menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan kaidah yang sangat agung yaitu
الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Balasan sesuai dengan amal perbuatan.”
Barangsiapa yang melakukan kebaikan, maka Allāh akan balas dengan kebaikan. Barangsiapa yang melakukan keburukan, maka Allāh akan balas dengan keburukan. Perhatikan hadits ini!
* Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan orang lain, maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya.
* Barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan, maka Allāh akan mengilangkan kesulitannya.
* Barangsiapa yang menutup aurat seorang Muslim, maka Allāh akan menutup auratnya.
* Barangsiapa menolong seorang hamba, maka Allāh akan menolongnya.
Ini semua menunjukkan bahwasanya “balasan seusai dengan perbuatan”.
Hadits ini membicarakan beberapa permasalahan.
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim dari penderitaan-penderitaannya di dunia maka Allāh ﷻ akan menghilangkan penderitaanya pada hari kiamat kelak.”
Di sini Rasūlullāh ﷺ tidak mengatakan “Allāh akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan di akhirat”, tetapi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hanya mencukupkan “Allāh akan menghilangkan penderitaannya di hari kiamat kelak.”
Kenapa bisa demikian? Hal ini dijelaskan oleh Al-Hāfizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jamī’ul ‘Ulūm wal Hikām, beliau menyebutkan bahwasanya, “Karena penderitaan di dunia tidak ada apa-apanya (tidak ada bandingannya) jika dibandingkan dengan penderitaan pada hari kiamat kelak.”
Sesungguhnya penderitaan pada hari kiamat kelak sangatlah berat. Oleh karenanya, Allāh menyediakan bagi orang yang menghilangkan penderitaan saudaranya di dunia, Allāh akan menghilangkan penderitaannya di akhirat.
Kenapa? Penderitaan di dunia masih bisa dihadapi tapi penderitaan di akhirat maka sangat mengerikan. Tidak ada orang yang bisa menghadapi penderitaan di akhirat, kecuali jika ditolong oleh Allāh ﷻ.
Seperti dalam hadits disebutkan,
يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ , يُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ , فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَا لا يُطِيقُونَ وَلا يَحْتَمِلُونَ , فَيَقُولُ النَّاسُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : أَلا تَرَوْنَ مَا قَدْ بَلَغَكُمْ , أَلا تَنْظُرُونَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ
Rasūlullāh ﷺ mengatakan bahwasanya, “Allāh akan mengumpulkan seluruh manusia sejak awal sampai akhir di satu dataran; Matahari akan direndahkan oleh Allāh ﷻ; Maka orang-orang akan mengalami penderitaan dan kesulitan dan penderitaan yang mereka tidak mampu untuk menghadapinya, mereka tidak mampu untuk memikulnya; Maka sebagian orang berkata kepada yang lainnya, “Tidakkah kalian melihat yang kalian rasakan, tidakkah kalian melihat siapa yang bisa memberi syafa’at bagi kita di sisi Rabb kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah hadits tentang syafa’at yang menjelaskan manusia dalam kondisi sangat sulit tatkala itu, karena matahari diturunkan dalam jarak satu mil.
Dalam hadits lain Rasūlullāh ﷺ mengatakan,
تُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلا
“Kalian akan dibangkitkan oleh Allāh pada hari kiamat dalam kondisi tidak memakai alas kaki, dalam kondisi tidak berpakaian, dan dalam kondisi belum disunat.”
‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata,
الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيعًا ، يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟
“Ya Rasūlullāh, lelaki dan wanita akan saling melihat diantara mereka (kalau mereka dikumpulkan bersama)?”
Kata Rasūlullāh ﷺ,
الأَمْرَ أَشَدُّ أَنْ يُهِمَّهُمْ مِنْ ذَلِك
“Perkaranya sangat dahsyat sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allāh mengatakan,
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
“Hari dimana Allāh menjadikan anak-anak menjadi beruban.” (QS. Al-Muzzammil: 17)
Karena dahsyatnya hari itu, sehingga seandainya hari tersebut dilihat olah anak-anak, maka rambut mereka bisa langsung beruban karena begitu mengerikannya hari tersebut.
Tatkala matahari didekatkan oleh Allāh ﷻ maka manusia bercucuran keringat. Ada yang keringatnya sampai di mata kakinya, ada yang sampai di betisnya, ada yang di pinggangnya, bahkan sampai keringatnya di mulutnya karena hebatnya panas dan penderitaan pada hari tersebut.
Nabi bersabda :
«تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ، حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ، فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا» قَالَ: وَأَشَارَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ
“Matahari pada hari kiamat didekatkan kepada manusia, hingga jaraknya dari mereka hanya satu mil. Maka orang-orang berdasarkan amalannya dalam hal keringat. Ada diantara mereka yang keringatnya hingga dua mata kakinya, diantaranya ada yang keringatnya hingga kedua lututnya, ada yang keringatnya hingga kedua pinggangnya, dan ada yang keringatnya samapi ke mulutnya menahan mulutnya” (HR Muslim No. 2864)
Oleh karenanya, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh ﷻ,
Di sini Rasūlullāh ﷺ mengkhususkan “Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang mukmin di dunia maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya di akhirat,” karena penderitaan di dunia masih bisa dihadapi. Adapun penderitaan akhirat siapa yang bisa menghadapinya? Penderitaan dengan berbagai macam model penderitaan. Maka barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang Mukmin, maka dia akan dihilangkan penderitaannya di hari kiamat.
Naffasa (نَفَّسَ) dalam bahasa Arab diambil dari التَنْفِيْس yang artinya “melegakan.” Jika ada orang tercekik, susah bernapas, dadanya sempit, udara sulit keluar dari kerongkongannya, kemudian kita lepaskan. Itulah namanya tanfis. Jadi seakan-akan ia mudah untuk bernapas lagi.
Ini merupakan isyarat bahwasanya ketika seseorang melihat saudaranya mengalami penderitaan, bisa jadi dia tidak menghilangkan penderitaannya secara total, tapi paling tidak dia meringankan seperti pada contoh di atas, orang yang sebelumnya sulit untuk bernapas, sulit untuk bergerak, tiba-tiba dia bisa lagi menghembuskan udara/nafasnya sehingga dia merasa ringan. Oleh karenanya, jika seseorang berusaha membantu saudaranya semaksimal mungkin maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya pada hari kiamat.
Meskipun disebutkan bahwa hadits ini menunjukkan al jazā min jinsil ‘amal (balasan sesuai dengan perbuatan). Namun pada hakikatnya, amalan kita tidak sebanding dengan pemberian Allāh, dengan balasan yang Allāh berikan. Bayangkan, kita hanya menghilangkan penderitaan seseorang di dunia, tetapi balasannya penderitaan kita di akhirat yang akan dihilangkan Allāh ﷻ. Tentu tidak ada bandingannya antara penderitaan di dunia dengan penderitaan di akhirat.
***
Sabda Rasūlullāh ﷺ,
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang memudahkan seorang yang sedang mengalami kesulitan karena terlilit utang maka Allāh akan memudahkan dia di dunia maupun di akhirat.”
Kita tahu bahwasanya meminjam uang itu adalah hal yang diperbolehkan selama bukan merupakan kebiasaannya karena seseorang terkadang mengalami kesulitan dan dia terpaksa meminjam uang. Oleh karenanya, seorang (hendaknya) tidaklah meminjam uang kecuali dalam kondisi-kondisi terdesak.
Dalam hadits disebutkan bahwa Rasūlullāh ﷺ berlindung dari bahaya utang ini. Rasūlullāh ﷺ pernah berdo’a,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Ya Allāh , aku berlindung kepada Engkau dari adzab kubur. Dan aku berlindung kepada Engkau dari fitnah Al-Masīh Ad-Dajjāl. Dan aku berlindung kepada Engkau dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allāh, aku berlindung kepada Engkau dari dosa dan utang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ dengan berkata,
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنْ الْمَغْرَمِ
“Ya Rasūlullāh, sering sekali engkau berlindung kepada Allāh dari utang, kenapa demikian?”
Rasūlullāh ﷺ mengatakan,
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
“Seseorang kalau sudah berutang, jika berkata maka dia akan berdusta, jika berjanji maka dia akan menyelisihi.”
Oleh karenanya, terkadang utang sering menjerumuskan orang ke dalam dosa-dosa yang lainnya yaitu jika berkata dusta, kemudian jika berjanji akan membayar utang, ternyata tidak membayar utangnya.
Demikian pula utang menjadikan seseorang tidak tentram dalam kehidupannya, karena ia merasa terlilit hutang dan merasa ada tanggungan yang selalu ia pikul. Karenanya Nabi bersabda :
لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا ” قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: “الدَّيْنُ”
“Janganlah kalian menjadikan diri kalian dalam ketakutan setelah tadinya kalian merasa aman !”. Mereka berkata, “Apakah itu Ya Rasulullah?”. Nabi berkata, “Utang” (HR Ahmad No. 17320 dengan sanad yang hasan)
Apalagi kalau seseorang terlilit utang yang banyak kemudian datang para penagih utang, maka dia akan dalam kondisi yang sangat sulit dan penuh kekawatiran. Jika dia mengalami kesulitan seperti ini, lantas ada seorang mukmin menolongnya di dunia, maka Allāh akan menolongnya di dunia dan di akhirat.
Menghilangkan beban utang bisa dengan beberapa bentuk;
- Pertama
Misalnya seseorang memiliki utang kepada kita sampai kemudian tiba jatuh tempo untuk membayarnya. Kemudian dia datang kepada kita dengan mengatakan, “Mohon maaf saya belum bisa membayar utang saya.” Kemudian kita katakan, “Tidak mengapa, ditunda bulan depan.”
Kata para ulama penundaan kita atas pembayaran utang orang tersebut kepada kita sudah termasuk ke dalam hadits ini, karena hal itu termasuk memberikan keringanan kepada orang yang berutang.
Dan ini yang disebutkan oleh Allāh ﷻ,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Jika dia memiliki kesulitan maka tundalah sampai tiba waktu dia mudah untuk membayar.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Inilah bentuk yang pertama, yaitu memberikan tenggang waktu kepada peminjam sehingga ia berkesempatan untuk melunasi utangnya.
- Kedua
Di antara bentuk menghilangkan kesulitan seorang yang terlilit utang adalah membebaskannya dari sebagian utangnya, yaitu kita menyuruhnya tidak perlu membayar semua utangnya, melainkan sebagian saja. Misalnya, seseorang berutang kepada kita sepuluh juta, maka kita katakan kepadanya, “Sudah, antum bayar lima juta atau tiga juta saja. Lainnya tidak perlu dikembalikan”
Maka hal seperti ini termasuk memberi keringanan kepadanya. Yakinlah bahwa sikap kita dengan mengurangi utang ini pasti akan dibalas oleh Allāh di dunia maupun di akhirat. Allāh akan mencatat amal kita dan akan memberi balasan di dunia dan di akhirat.
- Ketiga
Yang terbaik adalah membebaskannya dari seluruh utangnya atau kita lunaskan utangnya. Allāh berkata,
وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan engkau bersedekah maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Artinya, memberikan kelonggaran waktu untuk membayar utang itu baik dan akan lebih baik lagi kalau utang itu dihapuskan/dianggap lunas. Dalam istilah kita mungkin dengan ungkapan, “Ya sudah, saya ikhlaskan.” Inilah yang lebih baik di dunia dan di akhirat.
Oleh karenanya, telah datang hadits-hadits khusus tentang masalah ini, yaitu bagi orang yang memberi keringanan kepada orang yang terlilit utang. Karena terlilit utang membuat seseorang pusing, sulit untuk tidur karena memikirkan bagaimana cara membayar utang, sementara para penagih menagih terus. Kondisi ini membuat seseorang merasa sangat menderita.
Contoh hadits-hadits yang khusus membahas tentang masalah ini adalah sabda Nabi ﷺ,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا
“Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allāh ﷻ yaitu rasa gembira yang engkau masukkan ke dalam hati seorang Muslim, atau engkau hilangkan penderitaannya, atau engkau lunaskan hutangnya, atau engkau hilangkan rasa laparnya” (HR At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Awshoth No. 6026, dan dihasankan oleh Al-Albani)
Inilah di antara amalan yang sangat dicintai oleh Allāh ﷻ, yaitu engkau melunasi utang orang tersebut.
Dalam hadits yang lain juga Rasūlullāh ﷺ menyebutkan (bercerita), beliau berkata,
تَلَقَّتِ الْمَلَائِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَقَالُوا: أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا، قَالُوا: تَذَكَّرْ، قَالَ: كُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ فَآمُرُ فِتْيَانِي أَنْ يُنْظِرُوا الْمُعْسِرَ، وَيَتَجَوَّزُوا عَنِ الْمُوسِرِ، قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: تَجَوَّزُوا عَنْهُ
Para malaikat menerima dengan ruh seorang dari sebelum kalian. Maka para malaikat berkata, “Apakah engkau pernah melakukan kebaikan walaupun sedikit?” Orang ini mengatakan, “Saya tidak pernah melakukan kebaikan.” Malaikat berkata, “Coba diingat, mungkin engkau pernah melakukan kebaikan.” Maka diapun ingat suatu kebaikan yang pernah dia lakukan.
(Artinya, orang ini tidak pernah atau jarang melakukan kebaikan, tetapi dia ingat, dia berusaha mengingat-ingat apa kebaikan yang dia pernah lakukan waktu dia masih hidup, ternyata ada kebaikan yang pernah dia lakukan -pen)
Dia mengatakan, “Saya dahulu memberi pinjaman utang kepada orang-orang, namun saya menyuruh para pembantuku (anak buahku) untuk menunda orang yang sulit untuk membayar, dan untuk memaafkan orang yang mudah untuk membayar utang.”
(Artinya kalau ada orang belum mampu untuk membayar maka ia memberi kesempatan untuk menunda waktu pembayaran hingga orang tersebut mampu untuk membayar. Dan jika orang yang dihutangi mampu untuk membayar utang maka ia memaafkan, yaitu dengan salah satu dari dua cara, pertama : memaafkan dengan menerima pembayaran utang yang tidak penuh, atau kedua : (dan ini lebih baik), memaafkan dengan mengikhlaskan utang tersebut tidak usah dibayar sama sekali -pen)
Maka Allāh azza wa jalla berkata, “Ampuni dosa-dosanya.” (HR Al-Bukhori No. 2077 dan Muslim No. 1560)
Sebagaimana dia memaafkan orang yang tidak bisa membayar utang, maka kata Allāh, “Ampunilah dosa-dosanya.”
Dalam hadits yang lain dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, Rasūlullāh ﷺ pernah berkata,
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ
“Ada seorang pedagang yang sering memberi utangan kepada orang-orang. Jika dia melihat ada seorang yang sulit untuk membayar utang, maka dia berkata kepada anak buahnya, “Maafkan dia (tidak usah dia bayar). Semoga Allāh akan memaafkan saya”, Maka Allāhpun mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karenanya, jika seseorang memberi keringanan kepada orang yang berutang, maka semoga Allāh ﷻ akan menghapuskan (memaafkan) dosa-dosanya. Semoga Allāh menjauhkan kita dari kesulitan utang dan semoga Allāh memudahkan kita untuk membantu orang yang berutang.
***
Selanjutnya Nabi ﷺ bersabda,
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمٍ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang menutup seorang Muslim, maka Allāh ﷻ akan menutupnya di dunia dan di akhirat.”
Dalam riwayat yang lain,
وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ
“Barangsiapa menutup dari seorang Muslim.” (HR Abu Dawud No. 4946 dan At-Tirmidzi No. 1425)
Dan dalam hadits ini tidak disebutkan apa yang harus ditutup, Rasūlullāh ﷺ hanya memberikan secara umum. Dan sebagaimana dalam kaidah “Sesuatu yang tidak disebutkan berarti memberikan faidah keumuman.”
Misalnya, jika maf’ūl bih tidak disebutkan,
وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ
“Jika seorang muslim menutup.”
Menutup apa? Objeknya tidak disebutkan dalam hadits, berarti memberikan faidah keumuman. Karenanya mencakup seluruh perkara yang seorang Muslim tidak ingin diketahui oleh orang lain, baik aib yang berkaitan dengan badannya atau aib yang berkaitan dengan kemaksiatan yang mungkin dia lakukan.
Intinya segala perkara yang seorang Muslim tidak ingin diketahui oleh orang lain maka hendaknya kita menutup aibnya tersebut, jangan kita sebarkan.
Dan apa ganjarannya? Kata Nabi ﷺ,
سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Allāh akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.”
Di dunia, jika dia punya aib, dia akan tertutup, kenapa? Karena dia telah menutup aib saudaranya. Terlebih lagi tatkala di akhirat, Allāh tidak akan mengungkap aibnya di hadapan seluruh manusia. Hadits ini memberi isyarat bahwa Allah bisa membongkar aib-aib seorang hamba dihadapan hamba-hamba yang lain. Karenanya dalam hadits-hadits banyak disebutkan bagaimana seorang pelaku maksiat akan dibongkar aibnya di hadapan manusia (khalayak) pada hari kiamat kelak.
Maka seseorang yang menutup aib saudaranya, akan ditutup pula aibnya oleh Allāh pada hari kiamat. Dan diharapkan jika aibnya ditutup maka akan diampuni oleh Allāh ﷻ. Inilah faidahnya berusaha menutup aib saudaranya, yaitu dia akan mendapatkan ganjaran yang luar biasa.
Siapa yang tidak punya aib? Kita semua pasti punya aib. Kalau Allāh berkehendak aib kita dibuka, maka akan terbuka, mudah bagi Allāh untuk membuka aib kita. Masih banyak aib-aib kita yang orang lain tidak tahu, masih banyak maksiat yang kita lakukan tatkala kita bersendirian.
Untuk menutup aib-aib kita itu, maka Rasulullah mengajarkan kepada kita doa,
اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ
“Ya Allāh, tutuplah auratku.” (HR. Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah, lihat Shahih Ibnu Mājah 2/332)
Selain dengan doa itu, kita juga diajarkan cara lain menutup aib diri kita, yaitu dengan cara menutup aurat saudara kita, jangan kita sebarkan/bongkar rahasianya, jangan kita beberkan keburukannya/kekurangannya. Sebaliknya kita berusaha untuk menutup aibnya.
Yang perlu diingat, menutup aib saudara kita yang terjerumus ke dalam kemaksiatan bukan berarti kita membiarkanya, pura-pura tidak tahu, dan tidak menasihatinya. Akan tetapi, kita tetap menasihatinya secara empat mata atau sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian kita tetap menasihatinya tanpa membuka aibnya.
Hal ini berbeda dengan ghībah. Kalau ghibah sebaliknya, yaitu membongkar aib. Kita bongkar aibnya di sana di sini, kita ceritakan keburukan-keburukannya, maka Allāh akan bongkar aib kita juga. Kalau kita mengghībah maka kita akan dighībahi juga oleh orang lain suatu hari, belum lagi kalau Allāh membongkar aib kita di akhirat kelak. Oleh karenanya, bukan berarti tatkala kita menutup aib, kita tidak menasihati, tapi kita menasihati dengan cara yang terbaik.
Namun demikian, para ulama mengecualikan jika orang tersebut terkenal melakukan kemungkaran, suka menggangu orang lain, terkenal dengan kerusakan, maka orang seperti ini tidak perlu ditutup aibnya. Justru kita harus laporkan orang ini, harus kita beberkan, harus kita ingatkan umat dari kerusakan orang seperti ini.
Mengapa demikian? Karena kalau kita tutup aibnya terus maka dia akan terus melakukan kemungkaran dan kerusakan. Maka orang seperti menjadi sangat berbahaya bagi umat (kaum muslimin). Karenanya orang seperti ini hendaknya dibongkar aibnya dan dibeberkan aibnya demi menyelamatkan umat.
Semoga Allāh ﷻ membiasakan diri kita untuk menutup aib-aib saudara kita sehingga Allāh akan menutup aib-aib kita di dunia maupun di akhirat.
***
Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ, selanjutnya di bagian akhir hadits yang kita bahas ini Rasūlullāh ﷺ bersabda,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allāh menolong hamba, jika seorang hamba menolong saudaranya.”
Hadits ini sebenarnya kesimpulan dari pada lafadz-lafadz sebelumnya yang menjelaskan bahwasanya segala bentuk pertolongan seorang hamba kepada saudaranya akan dibalas juga dengan pertolongan Allāh ﷻ. Bahkan balasan itu pasti lebih baik daripada apa yang dia berikan kepada saudaranya.
Lafazh (hadits) yang terakhir ini bersifat umum, mencakup hal-hal sebagai berikut
* Bantuan Apapun
Mungkin seseorang membantu saudaranya dengan kata-katanya, tenaganya, hartanya, hatinya, do’anya. Jika dengan kata-kata yang indah bisa membantu saudaranya, maka ini dianggap bantuan. Pokoknya bantuan dalam bentuk apapun, termasuk dalam hadits ini.
* Apa yang Dibantu
Kebutuhan saudaranya apapun, apakah saudaranya membutuhkan bantuan yang besar atau bantuan yang kecil. Bantuan dalam model apapun, diberikan dalam kebutuhan apapun, maka Allāh akan membantu hamba-Nya yang membantu saudaranya.
Oleh karenanya, dalam hadits Rasūlullāh ﷺ menyebutkan,
لأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا
“Saya menemani saudara saya dalam rangka memenuhi kebutuhannya lebih saya sukai daripada i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan.” (HR. Ath-Thabrani, di dalam Al-Mu’jam Al-Kabīr, no. 13.646, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahādīts Ash-Shahīhah no. 906)
Hal itu karena i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan, faidahnya berkaitan dengan seorang hamba itu sendiri. Tetapi menemani saudara, ikut berjalan bersamanya, ini berkaitan dengan membantu saudara. Dan amalan yang muta’addi (yang faidahnya sampai kepada orang lain), lebih disukai oleh Allāh ﷻ daripada amalan yang faidahnya terbatas pada pelakunya sendiri.
Kemudian dalam hadits diisyaratkan oleh Rasūlullāh ﷺ,
مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allāh akan membantu seorang hamba selama hamba membantu saudaranya.”
Perhatikan! Rasūlullāh ﷺ, mengatakan “Selama hamba membantu saudaranya.” Artinya apa? Rasūlullāh ﷺ tidak mengatakan “selama dia membantu orang lain”, tetapi mengatakan “selama dia membantu saudaranya”. Artinya, orang lain yang dia bantu tersebut adalah saudaranya.
Padahal konsekuensi dari persaudaraan yaitu kita membantu. Kalau kita tidak membantu, apa fungsinya dikatakan sebagai saudara sesama Muslim?
***
Selanjutnya Rasūlullāh ﷺ mengatakan,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ
“Dan Allāh akan membantu sang hamba.”
Di sini Rasūlullāh ﷺ tidak mengatakan
وَاللَّهُ يُعِيْنِهُ
“Akan membantunya.”
Jadi, orang yang membantu saudaranya dikatakan sebagai hamba Allāh ﷻ. Ini sebenarnya pujian secara khusus. Oleh karenanya, dalam sebagian ayat Allāh ﷻ memuji Rasūlullāh ﷺ dengan menyebut Nabi sebagai hamba-Nya.
Seperti firman Allāh ﷻ,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha Suci Allāh yang telah memperjalankan hamba-Nya dari masjidil Harām ke masjidil Aqsha di malam hari yang diberkahi sekelilingnya.” (QS. Al-Isrā: 1)
Di sini Allāh mengatakan hamba-Nya.
Oleh karenanya, dalam hadits ini orang yang membantu saudaranya adalah benar-benar hamba Allāh ﷻ. Berarti dia beribadah dan yakin kepada Allāh ﷻ bahwasanya Allāh akan membantu dia. Di sini Allāh memberi sifat ‘ubudiyyah kepada orang yang membantu saudaranya.
Oleh karenanya, para pembaca yang dirahmati oleh Allāh ﷻ, hendaknya kita ada waktu untuk beribadah, untuk menenangkan hati kita, ada waktu untuk membantu kerabat kita, ada waktu untuk membantu orang tua kita, ada waktu untuk mengurus anak dan istri kita. Ada waktu juga kita sisihkan untuk membantu saudara-saudara kita. Meskipun tidak ada hubungan kerabat dengan kita, meskipun dia tidak pernah membantu kita, tetapi kita membantunya karena Allāh ﷻ.
Ingat! Barangsiapa yang membantu saudaranya, maka Allāh akan membantunya. Dan jika Allāh sudah membantu seorang hamba, maka pasti akan dimudahkan, karena “biyadihi al-amru kulluhu”, di tangan Allāh segala perkara/urusan. Dan jika Allāh menghendaki sesuatu, tinggal mengatakan “kun fayakun”, jadi maka jadilah.