Hukum Shalat dengan Merenggangkan Shaf Hingga 2 Meter
Oleh : Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc. MA
Tentu tidak diragukan bahwa rapatnya shaff adalah kesempurnaan shalat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam. Nabi bersabda :
وَتَرَاصُّوا
“Dan rapatkanlah shaff” (HR Al-Bukhari no 719).
Nabi juga menyuruh untuk menutup celah dan kerenggangan, beliau bersabda :
وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ للشَّيْطَان وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهُ قطعه الله
“Tutuplah celah, lembutlah kepada tangan-tangan saudara-saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi syaitan. Barang siapa yang menyambung shaff maka Allah menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskan shaff maka Allah akan memutuskannya” (HR Abu Daud no 672 dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 743)
Namun karena kondisi yang mengkhawatirkan maka sebagian saudara-saudara kita ketika shalat dengan jarak hingga lebih dari semeter. Tentu merekapun tidak mau melakukan demikian, akan tetapi kondisi mengharuskan demikian karena kawatir penularan wabah covid 19. Lantas apa hukumnya?
Adapun hukumnya maka sebagai berikut :
Pertama : Jika kerenggangan tersebut tidak mengeluarkan dari hukum shaff, dalam artian meskipun renggang akan tetapi masih dianggap shaff maka berarti makmum hanya meninggalkan perkara yang disepakati tidak membatalkan shalat. Hal ini karena para mayoritas ulama berpendapat bahwa merapatkan shaff hukumnya adalah sunnah dan tidak wajib.
Kedua : Jika kerenggangan sampai dianggap memutuskan shaff, maka para ulama juga memandang bahwa hal ini tidaklah membatalkan shalat.
Adapun jarak kerenggangan yang dianggap memutuskan shaf telah dibahas oleh para ulama terdahulu pada pembahasan shalat diantara tiang-tiang masjid. Mereka menjelaskan bahwa tidak semua tiang dianggap memutuskan shaf (yaitu jika tiangnya kecil). Adapun ukuran tiang yang dianggap memutuskan shaf dikembalikan kepada úrf/tradisi (karena tidak adanya dalil yang tegas akan hal ini), dan mereka menyatakan bahwa ukuran lebar tiang yang dianggap memutuskan shaf adalah 3 dziro’ (1 dziro’ = 61 cm, 3 dziro’= 183 cm = 1,83 m). Berikut pernyataan para ulama hanbali :
Berkata imam Ibnu Muflih (Al Jad) Al Hanbali:
وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِمِقْدَارِ ماَ يَقْطَعُ الصَّفَّ وَكَأَنَّهُ يَرْجِعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ، وَشَرَطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنْ يَكُوْنَ عَرْضُ السَّارِيَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الصَّفَّ ثَلاَثَةَ أَذْرُعٍ وَإِلاَّ فَلاَ يَثْبُتُ لَهَا حُكْمُ الْقَطْعِ وَلاَ حُكْمُ الْخَلَلِ
“Dan beliau (Majduddin Abu Al Barokat) tidak menyinggung batas dikatakan terputusnya shaff. Sepertinya masalah itu dikembalikan kepada ‘urf yang berlaku. Dan sebagian ‘ulama kami (Hanabilah) batasannya adalah: Apabila lebar tiang itu tiga hasta. Dan jika tidak, maka tidak bisa dikatakan shaf itu terputus dan tidak dikatakan shaf itu terdapat celah”. ([1])
Berkata imam Al-Mardawi Al-Hanbali:
قَوْلُهُ ” إذَا قَطَعَتْ صُفُوفَهُمْ ” أَطْلَقَ ذَلِكَ كَغَيْرِهِ، وَكَأَنَّهُ يَرْجِعُ إلَى الْعُرْفِ قَالَ ابْنُ مُنَجَّا فِي شَرْحِهِ: شَرَطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: أَنْ يَكُونَ عُرْضُ السَّارِيَةِ ثَلَاثَةَ أَذْرُعٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ الَّذِي يَقْطَعُ الصَّفَّ
“Adapun ucapan beliau: “jika sampai memutus shaf”. Beliau memutlakkan di sini, sepertinya yang demikian dikembalikan kepada ‘urf (apakah jarak itu sudah dikatakan memutus shaff). Berkata Ibnu Al Munajja: “Sebagian ‘ulama kami mensyaratkan lebar tiang itu tiga hasta, karena yang demikianlah yang disebut memutus shaff” ([2])
Dan jika ternyata ukuran lebar tiang lebih dari 3 dziro’ maka shalat diantara tiang dianggap telah memutuskan shaf, sehingga hukumnya adalah makruh dengan syarat tanpa ada kebutuhan. Adapun jika ada kebutuhan seperti masjid sempit maka tidak mengapa shalat diantara dua tiang dan tidak makruh. Demikian juga jika ternyata shaff di belakang imam hanya sedikit orang sehingga cukup diantara dua tiang, maka ini juga tidak mengapa.
Berkata Al-Buhuti Al-Hanbali:
(وَيُكْرَهُ وُقُوْفُهُمْ) أَيْ الْمَأْمُوْمِيْنَ (بَيْنَ السَّوَارِي إِذَا قَطَعْنَ) الصُّفُوْفَ عُرْفًا بِلاَ حَاجَةٍ … فَإِنْ كَانَ الصَّفُّ صَغِيْرًا قَدْرَ مَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَلاَ بَأْسَ
“Dan makruh bagi makmum untuk shalat di antara tiang-tiang, jika secara úrf dianggap memutus shaff tanpa ada kebutuhan…dan jika shaff itu kecil seukuran di antara dua tiang maka tidak mengapa (shalat diantara dua tiang). ([3])
Berkata syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin:
وأما السَّواري التي دون ذلك فهي صغيرة لا تقطعُ الصُّفوفَ، ولا سيَّما إذا تباعدَ ما بينها. وعلى هذا؛ فلا يُكره الوقوفُ بينها، ومتى صارت السَّواري على حَدٍّ يُكره الوقوفُ بينها فإنَّ ذلك مشروطٌ بعدمِ الحاجةِ، فإنْ احتيجَ إلى ذلك بأن كانت الجماعةُ كثيرة والمسجدُ ضيقاً فإن ذلك لا بأس به من أجلِ الحاجةِ، لأنَّ وقوفَهم بين السَّواري في المسجدِ خيرٌ مِن وقوفهم خارجَ المسجدِ، وما زال النَّاسُ يعملون به في المسجدين المسجدِ الحرامِ والمسجدِ النَّبويِّ عند الحاجةِ؛ وإنما كُرِهَ ذلك لأنَّ الصَّحابةَ كانوا يَتوقَّون هذا، حتى إنَّهم أحياناً كانوا يُطْرَدون عنها طَرْداً. ولأنَّ المطلوبَ في المصافةِ التَّراصُ مِن أجل أن يكون النَّاسُ صفَّاً واحداً، فإذا كان هناك سواري تقطع الصُّفوفَ فاتَ هذا المقصود للشَّارعِ.
“Adapun tiang yang lebarnya di bawah yang telah disebutkan, maka dia di anggap tiang yang kecil dan tidak memutus shaff. Terlebih lagi jika tiang-tiang tersebut saling berjauhan. Dan dengan ini, maka tidak dimakruhkan berdiri (shalat) di antara tiang tersebut. Dan kapan saja tiang itu sampai pada kadar yang telah dimakruhkan shalat di antaranya, sesungguhnya yang demikian dikatakan makruh dengan syarat tidak adanya kebutuhan (untuk shalat di sana di antara tiang-tiang). Dan jika ada kebutuhan, seperti jama’ah masjid tersebut banyak dan masjidnya kecil, maka yang demikian itu tidak mengapa karena ada kebutuhan. Karena berdirinya mereka di antara tiang itu jauh lebih baik dari berdirinya mereka di luar masjid. Dan orang-orang selalu melakukan yang demikian di Masjidil Harom dan Masjid Nabawi ketika ada hajah. Hanya saja dimakruhkan hal itu, karena para sahabat selalu menghidar dari shalat di antara tiang, bahkan sampai-sampai terkadang mereka diusir dari situ. Dan karena yang diperintah pada bershoff itu adalah saling merapat, agar manusia ini menjadi satu shaff. Dan jika di sana ada tiang yang memutus shaff, maka hilanglah hal yang dijadikan tujuan oleh syari’at”. ([4])
Madzhab Maliki juga senada dengan madzhab Hambali.
Ibnu Árofah berkata :
مَفْهُومُ الْمُدَوَّنَةِ إذَا كَانَ الْمَسْجِدُ مُتَّسِعًا كُرِهَتْ الصَّلَاةُ بَيْنَ الْأَسَاطِينِ
“Mafhum dari (perkataan Imam Malik yang tercantum di ) al-Mudawwanah, jika masjid luas maka makruh shalat diantara tiang-tiang” ([5])
Ibnu Rusyd al-Jadd berkata :
خُفِّفَ انْقِطَاعُ الصُّفُوْفِ لِضُرُوْرَةِ الشَّمْسِ؛ لِأَنَّ التَّرَاصَّ فِي صُفُوْفِ الصَّلاَةِ مُسْتَحَبٌّ
“Diberi keringanan terputusnya shaf-shaf karena panas matahari, karena rapat dalam shaf-shaf shalat adalah mustahab (tidak wajib)” (Al-Bayaan wa at-Tahshiil 1/265)
Apakah shalat dengan shaf yang renggang tersebut dianggap shalat sendirian di belakang imam?
Dzohir dari madzhab Hanbali bahwa hal tersebut tidak dianggap shalat sendirian di belakang imam, akan tetapi dianggap tetap masih dalam satu shaf, hanya saja shafnya terputus-putus. Karenanya jika ternyata seseorang sendirian dipojok karena terpisah dari shaf dikarenakan ada tiang maka tidak dianggap ia shalat sendirian.
Ibnu Rojab al-Hanbali berkata :
وَمِنْ أَهْلِ الْحَدِيْثِ مَنْ حَمَلَ الْكَرَاهَةَ عَلَى مَنْ صَلَّى وَحْدَهُ مَعَ الْجَمَاعَةِ بَيْنَ السَّوَارِي، لِأَنَّهُ يَصِيْرُ فَذًّا، بِخِلاَفِ مَنْ صَلَّى مَعَ غَيْرِهِ، وَهَذَا بَعِيْدٌ جِدًّا، وَلاَ فَرْقَ فِي هَذَا بَيْنَ مَا بَيْنَ السَّوَارِي وَغَيْرِهَا
“Dan sebagian ahlul hadits memahami sebab makruhnya orang yang shalat sendiri di antara tiang, karena yang demikian itu menjadikannya terhitung shalat sendiri, berbeda jika dia shalat di antara tiang bersama yang lainnya. Namun yang demikian ini pemahaman sangat jauh sekali (dari kebenaran). Dan tidak ada bedanya dalam hal ini antara shalat di antara tiang ataupun yang lainnya”. ([6])
Maka masalah ini bisa dianalogikan kepada maslah shaf yang berjarak. Dan sesuai dengan ucapan imam Ibnu Rojab, bahwa yang demikian tidak bisa dikatakan orang yang shalat yang berjarak sehingga memutus shaf tidak bisa dikatakan shalat sendiri.
Syaikh al-Munajjid berkata :
فإذا جئت إلى المسجد، وقد وقف الناس في الصف، ولم تجد مكاناً في الصف إلا بعد العمود فلا حرج في ذلك، وليس هذا من الصلاة خلف الصف منفردا، لأنك لم تقف خلف الصف، وإنما وقفت في الصف مع المصلين ولكن قُطع الصف بالعمود للحاجة إلى ذلك
“Jika engkau ke masjid dan ternyata orang-orang sudah di shaff, dan engkau tidak mendapat tempat untuk masuk shaff kecuali setelah tiang, maka tidak mengapa. Ini tidaklah termasuk shalat di belakang shaf sendirian, karena engkau tidak berdiri di belakang shaf, akan tetapi engkau berdiri dalam shaf bersama jama’ah, hanya saja shafnya terputus oleh tiang karena engkau perlu untuk sholat demikian” (https://islamqa.info/ar/answers/135898/ حكم-الصف-بين-سواري-المسجد)
Adapun jika dianggap shalat sendirian permasalahannya kembali kepada hukum shalat sendirian di belakang imam. Maka jumhur ulama berpendapat shalatnya tetap sah meski tanpa udzur, apalagi jika dengan udzur([7]). Namun yang lebih kuat bahwasanya kondisi ini tidak dianggap shalat sendirian di belakang shaf, karena sesungguhnya ia di dalam shaf, hanya saja shafnya terputus-putus. Wallahu a’lam.
Ceger, Jakarta Timur 7 April 2020
Artikel ini juga dipublis Bekalislam.com
__________________________
Footnote:
([1]) An-Nukat Wa Al Fawaid Assunniyyah ‘Ala Muskil Al Muharror, Ibnu Muflih Al Jad, 1/124
([2]) Al Inshof Fi Ma’rifati Arrojihi Min Al Khilaf, Al Mardawi, 2/299
([3]) Arroudh Al Murbi’, Al Buhuti, 1/139
([4]) Asy-Syarh Al-Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin, 4/309
([5]) at-Taaj wa al-Ikliil 2/433
([6]) Fath Al Bari, Ibnu Rojab al Hanbali, 4/61
([7]) Terjadi silang pendapat di antara ulama menjadi tiga pendapat:
Pertama : Shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, An-Nakha’i, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnul Mundzir.
Dalil mereka adalah hadits Nabi :
لا صَلاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf” (HR. Ahmad 4/23, Ibnu Majah 1003. Imam Ahmad mengatakan hadits ini hasan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Talkhisul Habir 583)
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melihat seorang shalat sendiri di belakang shaf, beliau pun memerintahnya mengulang shalat. (HR. Ahmad 4/227-228, Abu Dāwud 682, Tirmidzi 230 dan mengatakan hadits ini hasan.)
Seandainya shalatnya sah, tentu beliau tidak memerintahnya mengulang shalat.
Kedua : Shalatnya tetap sah baik karena ada udzur maupun tidak, sekalipun masih ada celah di shaf. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalilnya adalah bahwa orang ini shalat bersama jamaah, dan mengerjakan shalat yang telah diperintahkan padanya, dan ia telah mengikuti imam, ia bertakbir ketika imam bertakbir dan seterusnya. Dan Ibnu Abbas tatkala dipindah oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dari kanan beliau maka menyendiri walaupun sebentar, sedangkan sesuatu yang membatalkan shalat tidak ada beda antara sedikit dan banyak.
Ketiga : Diperinci, jika ada udzur maka shalatnya sah, jika tidak maka shalatnya tidak sah.
Pendapat yang kuat adalah:
Yang pertengahan, yaitu diperinci apakah ada udzur ataukah tidak. Karena tidak sahnya shalat sendirian di belakang shaf menunjukkan wajibnya masuk ke shaf, dan meniadakan sahnya sesuatu tidak terjadi kecuali disebabkan mengerjakan keharaman atau meninggalkan kewajiban, sedangkan jika tidak mampu maka salah satu kaidah syariat adalah kewajiban gugur pada hal itu, dan diwajibkan bertakwa semampu kita. Maka seorang yang mendapati shaf sudah penuh pada saat ini ia berdiri sendiri di belakang shaf karena ada udzur, sehingga shalatnya sah, ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 4/268-269)