Prolog :
Para pembaca yang budiman, pembahasan kita pada artikel-artikel yang lalu adalah tentang larangan beribadah yang ditujukan kepada Allah akan tetapi di kerjakan di kuburan orang sholeh atau para wali Allah. Terlalu banyak dalil dan perkataan para ulama syafiiyah yang tegas melarang hal itu –sebagaimana telah lalu-.
Dan telah lalu juga kita jelaskan bahwasanya diantara sebab terbesar dilarangnya beribadah kepada Allah di kuburan orang sholeh adalah karena hal itu bisa mengantarkan kepada pengagungan kepada penghuni kubur yang akhirnya mengantarkan kepada penyerahan sebagian ibadah kepada penghuni kubur, seperti berdoa dan meminta kepada penghuni kubur…atau beristighotsah (yaitu meminta pertolongan dalam kondisi terdesak) kepada penghuni kubur. (lihat kembali : http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/186)
Dan ternyata inilah yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yang “hobi” beribadah di kuburan orang sholeh. Bahkan ternyata ada sebagian dai yang membolehkan beristighotsah kepada penghuni kubur, bahkan menganjurkan !!!???
Makna Istighootsah :
Istighootsah secara bahasa Arab merupakan mashdar dari fi’il استغاث yang artinya adalah tolab al-ghouts (meminta pertolongan) untuk menghilangkan kesulitan. Diantara bentuk istighootsah adalah menyeru sesuatu/seseorang untuk (disertai dengan) permohonan pertolongan kepada orang yang diseru tersebut agar bisa menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Ada macam-macam istighotsah
Istighotsah yang syar’i ada dua model;
Pertama : istighotsah kepada Allah, inilah istighootsah yang diperintahkan oleh Allah, karena tidak ada yang bisa menolong dan menghilangkan kesulitan secara mutlak kecuali Allah. Allah berfirman
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُرْدِفِينَ (٩)
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut”. (QS Al-Anfaal : 9)
Kedua : Istighootsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perkara-perkara yang dimampui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang muslimpun yang menentang atau mengingkari hal ini. Bahkan kita boleh beristighootsah kepada mukmin mana saja pada perkara-perkara yang dimampuinya. Bahkan kita boleh beristighotsah kepada orang kafir dan orang fajir pada perkara-perkara yang mereka mampui. Tentunya semuanya dengan tetap meyakini bahwa yang mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot sesungguhnya hanyala Allah semata.
Allah berfirman tentang istighotsah model kedua ini, yaitu istighootsah yang ditujukan kepada Nabi Musa ‘alaihi salam pada perkara yang dimampui olehnya.
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” (QS Al-Qoshosh : 15)
Adapun istighootsah yang terlarang maka ada beberapa model:
Pertama : Istighootsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada sholihin di masa hidup mereka pada perkara-perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah semata. Seperti beristighotsah kepada mereka untuk memperoleh ampunan, atau agar memperoleh hidayah, atau memperoleh rizki. Karena yang mampu akan perkara-perkara ini hanyalah Allah semata.
Kedua : Istighootsah kepada mayat, baik mayat tersebut adalah para nabi maupun dari kaum sholihin. Karena beristighootsah kepada mayat adalah beristighootsah kepada sesuatu yang tidak mampu (akan datang penjelasanya lebih dalam dalam artikel selanjutnya insyaa Allah)
Ketiga : Istighootsah kepada orang yang hidup akan tetapi tidak sedang hadir. Adapun beristighotsah kepada seseorang yang tidak hadir dihadapan kita akan tetapi ada sarana komunikasi yang bisa menyampaikan permohonan kita kepadanya –seperti telepon genggam dll- maka hal ini tentu tidak mengapa, karena ia hukumnya seperti orang yang hadir di hadapan kita. Adapun jika seseroang ditengah lautan diombang ambingkan oleh ombak besar tanpa ada sarana komunikasi lantas ia beristighootsah dengan memanggil dan menyeru seseorang yang tidak hadir dihadapan dia maka ini tidak diperbolehkan. Karena hal ini melazimkan perkara-perkara yang haram, diantaranya:
– Ia meyakini bahwa orang yang diserunya tersebut mendengar dari kejauhan
– Ia meyakini bahwa orang yang diserunya tersebut mengetahui hal yang ghoib (mengetahui kondisi para hamba dimanapun hamba berada)
– Ia meyakini bahwa orang tersebut bisa mengatur sebagian alam semesta, dalam hal ini mengatur kondisi ombak dan lautan.
Keempat : Dan ini adalah istighootsah yang paling parah, yaitu beristighotsah kepada mayat pada perkara-perkara yang tidak ada yang mampu untuk melakukannya (mengabulkannya) kecuali Allah. Seperti seseroang yang pergi ke kuburan lantas meminta dan beristighootsah kepada penghuni kuburan agar mengangkat kesulitan hidupnya. Dan yang lebih parah lagi adalah kondisi seseorang yang ditengah lautan –sebagaimana telah lalu- lantas ia beristighootsah kepada mayat tersebut !!!
Saya mengajak orang-orang yang hendak beristighotsah atau meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah wafat (apalagi penghuni kuburan yang lain) agar merenungkan sepuluh perkara berikut sebelum mereka beristighotsah kepada penghuni kuburan.
PERTAMA : Tujuan dari ziarah kubur adalah (1) untuk mengingat akhirat dan (2) untuk mendoakan penghuni kubur
Rasulullah pernah melarang para sahabat untuk ziarah kubur di awal islam karena kawatir hati mereka terikat dengan para penghuni kubur sebagaimana kebiasaan kaum muysrikin.
Rasulullah bersabda :
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Sesungguhnya saya pernah melarang kalian untuk menziarahi kuburan, maka (*sekarang) ziarahilah kuburan” (HR An-Nasaai no 5652)
Berkata Al-Muhallab bin Ahmad (wafat tahun 435 H) ;
“Dan makna dari larangan menziarahi kuburan yaitu hanyalah dilarang tatkala di permulaan Islam, tatkala mereka baru saja (*terlepas) dari menyembah berhala dan menjadikan kuburan sebagai masjid –wallahu A’lam-. Maka tatkala Islam sudah kokoh dan kuat di hati-hati manusia dan aman dari (*timbulnya) peribadatan kuburan dan sholat ke arah kuburan maka dinaskh (*dihapuslah) larangan menziarahi kuburan, karena dengan berziarah kuburan akan mengingatkan akhirat dan menjadikan zuhud dalam dunia” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Battool dalam Syarh shahih Al-Bukhari, tahqiq Abu Tamiim Yasir bin Ibrahim, Maktabah Ar-Rusyd 3/271)
Berkata Al-Munaawi as-Syafi’i
“((Aku pernah melarang kalian dari ziaroh kuburan)) karena kalian baru saja meninggalkan kekufuran. Adapun sekarang tatkala telah hilang sisa-sisa jahiliyah dan telah kokoh Islam dan jadilah kalian orang-orang yang yakin dan takwa ((Maka ziarahilah kuburan)) yaitu dengan syarat tidak disertai dengan mengusap kuburan atau mencium kuburan atau sujud di atasnya atau yang semisalnya, karena hal itu -sebagaimana perkataan As-Subkiy- adalah bid’ah yang mungkar, hanyalah orang-orang jahil (bodoh) yang melakukannya” (Faidhul Qodiir 5/55, lihat juga At-Taisiir bi syarh Al-Jaami’ As-Shoghiir 2/439)
Setelah Islam para sahabat kokoh maka Rasulullah menghapus hukum larangan ziarah kuburan dan malah menganjurkan untuk berziarah kuburan mengingat faedah yang bisa diperoleh dari ziarah kuburan yaitu mengingat kematian dan akhirat.
Rasulullah bersabda :
فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kuburan, karena hal itu mengingatkan akan kematian” (HR Muslim no 976)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda :
فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ
“Ziarahilah kuburan karena hal itu akan mengingatkan akhirat” (HR At-Thirmidzi no 1054)
Karenanya bahkan dibolehkan menziarahi kuburan orang kafir dalam rangka mengingat akhirat.
Tatkala menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Aku meminta izin kepada Robku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku maka Allah tidak mengizinkan aku, dan aku meminta izin kepadaNya untuk menziarahi kuburan ibuku maka Allah mengizinkan aku)), Imam An-Nawawi berkata :
“Al-Qiidhi ‘Iyaadl rahimahullah berkata : Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kuburan ibunya ialah Nabi ingin kuatnya mau’izoh (nasihat) dan peringatan dengan melihat kuburan ibunya. Hal ini dikuatkan dengan sabda beliau di akhir hadits ((Maka ziarahilah kuburan karena hal itu mengingatkan kalian pada kematian))” (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 7/45)
Fungsi lain dari ziarah kubur adalah untuk berbuat ihsan (kebaikan) kepada penghuni kuburan dengan mendoakannya dan memohon ampunan untuknya.
Nabi mengajarkan para sahabat untuk mendoakan penghuni kubur. Buraidah bin Al-Hushoib radhiallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ كَانَ قَائِلُهُمْ يَقُوْلُ : السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari mereka jika mereka pergi ke pekuburan untuk berkata : “(*Semoga) keselamatan bagi kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin, sungguh kami insyaa Allah akan menyusul kalian. Aku memohon dari Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”(HR Muslim no 975)
Bahkan Allah memerintahkan Nabi untuk mendoakan para penghuni kuburan Baqii’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah
فَإِنَّ جِبْرِيْلَ أَتَانِي … فَقَالَ : إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ. قَالَتْ : قُلْتُ كَيْفَ أَقُوْلُ لَهُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : قُوْلِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Sesungguhnya Jibril mendatangiku… lalu berkata : Sesungguhnya Robmu memerintahkanmu untuk mendatangi para penghuni pekuburan Baqii’ lalu engkau memohonkan ampunan bagi mereka”. Aisyah berkata : “Apa yang aku ucapkan kepada mereka wahai Rasulullah?”. Nabi berkata : “Katakanlah : (*semoga) keselamatan bagi kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin dan muslimin, semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dahulu dan yang terbelakang dan sesungguhnya kami –insyaa Allah- akan menyusul kalian” (HR Muslim no 974)
Para pembaca yang budiman inilah yang disebut dengan ziarah yang syar’i yang dianjurkan dan disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ash-Shon’aaniy berkata ;
“Dan maksud dari ziarah kuburan adalah mendoakan mereka (*para penghuni kuburan) dan berbuat baik kepada mereka, dan untuk mengingat akhirat dan zuhud pada dunia. Adapun yang diada-adakan oleh orang-orang awam yang menyelisihi hal ini –seperti mereka berdoa kepada mayat, berteriak meminta pertolongan kepada mayat, beristighotsah kepadanya, meminta kepada Allah dengan hak sang mayat, dan meminta dipenuhi hajat kepada Allah dengan (*wasilah) sang mayat, maka ini adalah bid’ah dan kebodohan” (Subulus Salaaam 2/337)
Apa yang disebutkan oleh As-Shon’aaniy adalah ziarah yang tidak sesuai syari’at. Coba bandingkanlah ziarah yang tidak syar’i dengan ziaroh yang syar’i !!??. Seseorang yang berziarah sesuai sunnah Nabi maka akan memberi manfaat kepada sang mayat dengan medoakan sang mayat dan memohon ampunan baginya. Adapun ziarah yang tidak sesuai sunnah maka sebaliknya, mengganggu sang mayat dengan memikulkan beban kepada sang mayat dengan meminta-minta kepadanya, baik dengan meminta secara langsung kepada sang mayat (dengan berdoa dan beristighotsah) atau dengan meminta kepada Allah dengan menjadikan sang mayat sebagai wasilah (perantara).
Lihatlah contoh teladan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang telah banyak berkorban dan membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta, tenaga, dan pikiran…akan tetapi tidak pernah membebani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan permintaan dan penjabaran hajat dan kebutuhan. Dimana kedudukan Abu Bakar yang membantu Nabi dan tidak membebani Nabi dibandingkan dengan kedudukan seseorang yang tidak membantu Nabi namun malah membebani Nabi dengan berbagai permintaan dan kebutuhan??!!
KEDUA : Minta-minta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau bisa jadi mengganggu dan menyakiti beliau, bagaimana lagi jika setelah wafat beliau??
Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu berkata ;
أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم أَتَاهُ مَالٌ ، فَجَعَلَ يُقَسِّمُهُ بَيْنَ النَّاسِ , يَقْبِضُهُ وَيُعْطِيهِمْ ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، فسأله فَأَعْطَاهُ فِي طَرْفِ رِدَائِهِ ، فَقَالَ : زِدْنِي يَا رَسُولَ الله فَزَادَهُ ، ثُمَّ قَالَ : زِدْنَي يَا رَسُولَ الله فَزَادَهُ ، ثُمَّ قَالَ : زِدْنِي فَزَادَهُ ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِينِي فَأُعْطِيَهُ ، ثُمَّ يَسْأَلَنِي فَأُعْطِيَهُ ، ثُمَّ يَسْأَلَنِي فَأُعْطِيَهُ ، فَيَحْمِلُ فِي ثَوْبِهِ نَارًا ، ثُمَّ يَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ بِنَارٍ
“Bahwasanya datang harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabipun membaginya diantara manusia, Nabi menggenggamnya lalu memberikannya kepada mereka. Maka datanglah seseorang dari Quraisy lalu ia meminta kepada Nabi lalu Nabi memberikan kepadanya di ujung selendang orang tersebut, lalu orang itu berkata, “Tambahlah buatku wahai Rasulullah”, maka Nabipun menambahkan buatnya, kemudian ia berkata lagi, “Tambahkanlah buatku !”, maka Nabipun menambahkan buatnya, lalu ia berkata lagi, “Tambahkanlah buatku !”, lalu Nabipun menambah buatnya. Kemudian orang tersebut berpaling. Tatkala orang tersebut pergi maka Nabi berkata ; “Sesungguhnya seseorang datang kepadaku maka akupun memberikan kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan kepadanya, maka iapun membawa neraka di bajunya, kemudian ia kembali ke keluarganya dengan membawa api”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
رَوَاهُ مُسَدَّدٌ وَاللَّفْظُ لَهُ ، وَأَبُو يَعْلَى , وَرَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ بِسَنَدِ الصَّحِيحِ
“Diriwayatkan oleh Musaddad dan ini adalah lafalnya, dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang shahih” (Ithaaf al-Khiyaroh al-Maharoh bi zawaaid al-Masaaniid al-‘Asyaroh 3/48, hadits ini juga oleh Ibnu Hibbaan lihat Shahih Ibnu Hibbaan no 3265) :
KETIGA : Yang tidak minta kepada Nabi lebih disukai Nabi daripada yang minta kepada Nabi
Abu Sa’iid Al-Khudry radhiallahu ‘anhu berkata :
أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ بِهِ حَاجَةٌ فَقَالَ لَهُ أَهْلُهُ ائْتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْأَلْهُ فَأَتَاهُ وَهُوَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ اسْتَعَفَّ أَعَفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ اسْتَغْنَى أَغْنَاهُ اللَّهُ وَمَنْ سَأَلَنَا فَوَجَدْنَا لَهُ أَعْطَيْنَاهُ قَالَ فَذَهَبَ وَلَمْ يَسْأَلْ
“Ada seseorang dari kaum Anshoor memiliki kebutuhan, maka keluarganya berkata kepadanya : Datangilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mintalah kepadanya !”. Maka iapun mendatangi Nabi –dan Nabi sedang berkhutbah dan berkata : ((Barangsiapa berusaha menjaga dirinya (*dari perbuatan buruk) maka Allah akan menjaganya, dan barangsiapa yang berusaha untuk merasa cukup maka Allah akan mencukupkannya, barangsiapa yang meminta kepada kami lalu kami memiliki apa yang dimintanya maka kami akan memberikan kepadanya)). Maka pergilah orang Anshoor tersebut dan tidak jadi meminta kepada Nabi” (HR Ahmad 17/14 no 10989)
Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ سَأَلَنَا إِمَّا أَنْ نَبْذُلَ لَهُ وَإِمَّا أَنْ نُوَاسِيَهُ وَمَنْ يَسْتَعِفُّ عَنَّا أَوْ يَسْتَغْنِي أَحَبُّ إِلَيْنَا مِمَّنْ يَسْأَلُنَا
“Barangsiapa yang minta kepada kami maka kami berikan kepadanya atau kami membantunya, dan barangsiapa yang menjaga diri atau berusaha untuk merasa cukup (*tidak minta bantuan kami) maka ia lebih kami sukai daripada orang yang minta kepada kami” (HR Ahmad 17/488 no 11401)
Hadits-hadits ini adalah menceritakan tentang permintaan para shahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala Nabi masih hidup, pada perkara-perkara yang dimampui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi kondisi tidak meminta-minta kepada beliau lebih beliau sukai. Maka bagaimana lagi dengan permintaan yang ditujukan kepada Nabi setelah wafat beliau?, dan juga pada perkara-perkara yang tidak dimampui oleh Nabi? Yang mampu hanyalah Allah??
Ada yang datang ke kuburan Nabi agar menurunkan hujan, atau minta pertolongan agar bisa mengalahkan musuh, atau meminta agar diberi keturunan, atau agar bisa segera menikah, atau agar memperoleh kedudukan, dll !!!???
KEEMPAT : Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para sahabat untuk tidak meminta kecuali hanya kepada Allah dan untuk tidak meminta pertolongan kepada manusia siapa saja secara mutlak.
Karena di dalam proses meminta akan nampak kerendahan dan kehinaan dari pihak yang meminta dan nampak pengakuan yang meminta akan kemampuan yang dimintai.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu :
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah‘ (HR At-Thirmidzi no 2516)
Wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas ini sesuai dengan washiat Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS Asy-Syarh : 8)
Ibnu Jariir rahimahullah berkata :
يقول تعالى ذكره: وإلى ربك يا محمد فاجعل رغبتك، دون من سواه من خلقه، إذ كان هؤلاء المشركون من قومك قد جعلوا رغبتهم في حاجاتهم إلى الآلهة والأنداد
“Allah berfirman “Hanya kepada Robmu” wahai Muhammad jadikanlah harapanmu, bukan kepada selain Allah dari kalangan makhluk-makhlukNya, karena mereka kaum musyrikin dari kaummu telah menjadikan harapan mereka dalam memenuhi hajat (kebutuhan) mereka pada sesembahan dan tandingan-tandingan (selain Allah)” (Tafsiir At-Thobari 24/497)
Bahkan Nabi membai’at sahabat untuk tidak meminta kepada manusia secara mutlak.
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِي قَالَ : كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ : أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ؟ وَكُنَّا حَدِيْثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا : قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ثُمَّ قَالَ أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ قَالَ أَلاَ تُبَايِعُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ : عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَتُطِيْعُوا وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً : “وَلاَ تَسْأَلُوْا النَّاسَ شَيْئًا” فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ
Dari ‘Auf bin Maalik al-Asyja’iy berkata : Kami di sisi Rasulullallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sembilan atau delapan atau tujuh orang. Maka Nabi berkata : “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, tatkala itu kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata, “Kami telah membai’at engkau wahai Rasulullah”. Kemudian beliau berkata, “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, Kemudian beliau berkata, “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, maka kamipun membentangkan tangan-tangan kami dan kami berkata, “Kami telah membai’at engkau wahai Rasulullah, lantas kami membai’at engkau (*lagi) di atas apa wahai Rasulullah?”
Beliau berkata, “(*Kalian membai’atku) di atas kalian beribadah kepada Allah dan kalian sama sekali tidak berbuat kesyirikan, untuk sholat lima waktu dan untuk taat”, dan beliau mengucapkan dengan pelan perkataan yang samar : “Dan janganlah kalian meminta apapun kepada manusia“.
Sungguh aku telah melihat salah seorang dari orang-orang tersebut tatkala ada cemetinya yang terjatuh maka ia tidak meminta seorangpun untuk mengambilkannya” (HR Muslim no 1043)
Tentunya meminta tolong kepada manusia pada perkara yang mungkin dilakukan bukanlah kesyirikan, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan sahabatnya agar tidak meminta pertolongan kepada siapapun…
Jadi, meminta-minta suatu pertolongan yang dimungkinkan saja tercela dalam ajaran Habibuna Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi jika bentuk meminta pertolongan tersebut sama dengan model memintanya kaum musyrikin, yaitu meminta kepada orang-orang yang sudah mati dari kalangan kaum sholihin untuk mendapatkan sesuatu yang tidak berhak memberinya melainkan Allah Ta’ala semata??!! Seperti minta barokah, rezeki, kesehatan, kesembuhan, keberuntungan dan lain-lain yang tidak akan pernah ada yang bisa memberinya melainkan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
KELIMA : Doa merupakan inti ibadah serta ibadah yang paling agung karena di dalamnya terdapat sikap perendahan dan penghinaan diri dihadapan Allah.
Ibadah secara bahasa berarti ketundukan dan perendahan, Al-Jauhari rahimahullah berkata:
“Asal dari ubudiyah (peribadatan) adalah ketundukkan dan kerendahan…, dikatakan الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ (jalan yang ditundukkan/mudah untuk ditempuh) dan الْبَعِيْرُ الْمُعَبَّدُ (onta yang tunduk/taat kepada tuannya) (As-Shihaah 2/503, lihat juga perkataan Ibnu Faaris di Mu’jam Maqooyiis Al-Lugoh 4/205, 206 dan perkataan Az-Zabiidi di Taajul ‘Aruus 8/330)
Adapun definisi ibadah menurut istilah adalah tidak jauh dari makna ibadah secara bahasa yaitu ketaatan dan ketundukkan serta kerendahan:
At-Thobari berkata pada tafsir surata al-Faatihah:
“Kami hanyalah memilih penjelasan dari tafsir ((Hanya kepada Engkaulah kami beribadah)) maknanya adalah kami tunduk, kami rendah, dan kami patuh… karena ubudiyah menurut seluruh Arab asalnya adalah kerendahan” (Tafsiir At-Thobari 1/159)
Al-Qurthubi berkata :
“((kami beribadah)) maknanya adalah : kami taat kepadaNya, dan Ibadah adalah : ketaatan dan kerendahan, dan jalan yang ditundukkan jika ditundukkan agar bisa ditempuh oleh para pejalan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Harowi” (Tafsiir Al-Qurthubi 1/223)
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang ditujukan doa. Pantas saja jika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)
Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa :
“Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah (wuquf di padang) Arofah”
Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji yang paling besar. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah”
Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang marfuu’:
لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa”
Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan” (Fathul Baari 11/94)
Al-Halimi (wafat tahun 403 H) berkata :
“Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah subhaanahu wa ta’aala menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)
Al-Halimi juga berkata :
“Hendaknya rojaa’ (pengharapan) hanyalah untuk Allah karena Allah-lah Yang Maha Esa dalam kepemilikan dan pembalasan. Tidak ada seorangpun selain Allah yang menguasai kemanfaatan dan kemudhorotan. Maka barangsiapa yang berharap kepada dzat yang tidak memiliki apa yang ia tidak miliki maka ia termasuk orang-orang jahil. Dan jika ia menggantungkan rojaa’ (pengharapan)nya kepada Allah maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa yang ia butuhkan baik perkara kecil maupun besar, karena semuanya di tangan Allah tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhan selain Allah. Dan meminta kepada Allah dengan berdoa” (Al-Minhaaj fi Syu’ab Al-Iimaan 1/520)
Ar-Roozi berkata :
“Dan mayoritas orang berakal berkata : Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak” (Mafaatihul Ghoib 5/105)
Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak kemudian ia berkata :
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah subhaanahu wa ta’aala berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa’ adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)
Jika di dalam berdoa terdapat sikap penunjukkan kerendahan dan kehinaan, kita semua sepakat bahwa seorang manusia diharamkan untuk menunjukkannya kepada makhluk, karena ini adalah hak milik Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala alias syirik??!! Jika berdoa kepada Allah merupakan ibadah yang sangat agung maka berdoa kepada selain Allah merupakan bentuk kesyirikan yang sangat agung !!
KEENAM : Sesungguhnya hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab adalah menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dan juga sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala (silahakan baca kembali artikel di http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Ar-Roozii berkata : “Mereka (kaum kafir) menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan yang semisal ini di zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahwasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah ” (Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)
Ibnu Katsiir berkata : “Mereka membuat patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah subhaanahu wa ta’aala -pen) menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam menolong mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…
Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah : “Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki”
Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang” (Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adziim 12/111-112).
Kalau kesyirikan kaum musyrikin adalah berdoa kepada sesembahan mereka sebagai perantara untuk memintakan hajat mereka kepada Allah, dan yang mengabulkan adalah Allah maka bagaimana lagi jika kesyirikan orang yang langsung meminta kepada selain Allah –dan bukan hanya sebagai perantara-??
KETUJUH : Berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan
Sungguh dalil-dalil yang menunjukan bahwasanya berdoa kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan sangatlah banyak. Diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ (٥)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS Al-Ahqoof : 5)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ (١١٧)
Dan Barangsiapa berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung (QS Al-Mukminun 117)
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ (٢١٣)
Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di’azab (Asy-Syu’aroo : 213).
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٦٢)
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٨٨)
Dan janganlah kamu berdoa di Tuhan apapun yang lain disamping (berdoa kepada) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS Al-Qoshosh : 88).
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا (١٨)
Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping berdoa Allah. (QS Al-Jin : 18)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 4497)
Itulah dalil yg banyak yang bersifat umum yang menunjukan bahwa berdoa kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan. Dan termasuk dalam doa adalah beristighotsah dan beristi’aanah pada selain Allah. Karenanya hukum asal dari seluruh bentuk doa, baik istighotsah maupun isti’anah jika diserahkan kepada Allah maka merupakan kesyirikan, kecuali yang diperbolehkan oleh syari’at.
Allah berfirman
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)
“Hanya Engkaulah yang Kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (QS Al-Faatihah : 5)
Seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan. Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku’, bernadzar, menyembelih, dan merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa, demikian juga istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan genting.
Sebagaimana sujud, ruku, menyembelih jika diserahkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan kesyirikan maka demikian pula berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukkan akan larangan berdoa kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala lebih banyak daripada ayat tentang larangan sujud dan menyembelih kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala
Diantara isti’anah dan istighotsah yang dikecualikan (diperbolehkan) adalah isti’anah dan istighotsah kepada makhluk yang hadir pada perkara-perkara yang dimampui oleh makhluk tersebut.
Adapun berisitghotsah dan beristi’anah kepada mayat atau kepada orang yang ghaib (yang tidak ada di hadapan kita dan tidak mungkin mendengar kita) atau kepada orang yang hadir akan tetapi kita meminta pertolongan kepadanya sesuatu yang tidak dimampui kecuali oleh Allah maka itu adalah kesyirikan yang nyata.
KEDELAPAN : Teladan para nabi adalah berdoa dan beristighotsah hanya kepada Allah dalam menghadapi kondisi terdesak. Tidak diketahui bahwasanya ada seorangpun dari mereka yang pergi ke kuburan nabi yang lain dalam rangka beristighotsah atau bertawassul
Lihatlah nabi Nuuh ‘alaihis salam tatkala ditimpa kesulitan dari kaumnya maka iapun berdoa semata-mata hanya kepada Allah.
وَنُوحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ (٧٦)
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika Dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan Dia beserta keluarganya dari bencana yang besar. (QS Al-Anbiyaa’ : 76)
Lihatlah Nabi Huud ‘alaihis salaam tatkala ditakut-takuti oleh kaumnya maka iapun bersandar hanya kepada Allah
إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (٥٤)مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لا تُنْظِرُونِي (٥٥)إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٥٦)
Kaum ‘Ad berkata: Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan Kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS Huud : 54-56)
Lihatlah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, Allah menyebutkan tentang munaajaat Nabi Ibrahim setelah berdebat dengan kaumnya.
رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (٨٣)وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الآخِرِينَ (٨٤)وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (٨٥)وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (٨٦)وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧)يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (٨٩)
(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) Kemudian, dan Jadikanlah aku Termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena Sesungguhnya ia adalah Termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS Asy-Syu’aroo : 83-89)
Dan Nabi Ibroohim bermunajat kepada Allah tatkala meninggalkan Hajar dan Isma’il di lembah Mekah yang sepi
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ (٣٥)رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٦)رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ (٣٧)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, Maka Barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golonganku, dan Barangsiapa yang mendurhakai Aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim : 35-37)
Lihatlah Nabi Ayyuub ‘alaihis salam tatkala ditimpa dengan kemudhorotan, Allah berfirman tentang beliau :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (٨٣)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (٨٤)
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (QS Al-Anbiyaa’ : 83-84)
Lihatlah Nabi Yuunus ‘alaihis salaam tatkala ditelan oleh ikan paus, iapun mengadukan hajatnya kepada Allah semata
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (٨٧)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (٨٨)
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. dan Demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (QS Al-Anbiyaa :87-88)
Allah juga menceritakan tentang nabi Zakariya ‘alaihis salaam
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (٨٩)فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (٩٠)
Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling Baik”. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami. (QS Al-Anbiyaa’ : 89-90)
Adapun Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jika beliau menghadapi sesuatu yang menggelisahkan beliau maka beliau segera sholat.
Jadi tatkala kita menghadapi kondisi genting maka hendaknya kita beristighotsah kepada Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh para nabi, janganlah kita beristigotsah kepada makhluk !!
KESEMBILAN : Tidak diriwayatkan dari seorangpun dari para shahabat radhiallahu ‘anhum yang tatkala menghadapi kondisi terdesak lantas pergi ke kuburan atau beristighotsah kepada selain Allah.
Padahal kita tahu bagaimana sering para sahabat berperang melawan kaum musyrikin, dan terlalu sering mereka menghadapi kondisi genting, akan tetapi sama sekali tidak diriwayatkan bahwa mereka beristighotsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal, atau kepada nabi-nabi yang lain…, apalagi kepada selain para nabi??
KESEPULUH : Terlalu banyak dalil yang melarang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah…(sebagaimana telah lalu), dan ini semua pada ibadah yang ditujukan kepada Allah hanya saja dikerjakan di kuburan. Maka bagaimana lagi jika ibadah tersebut ditujukan kepada selain Allah, semisal istighotsah kepada selain Allah.
Demikianlah sepuluh perkara yang hendaknya direnungkan bagi orang yang hendak beristighotsah kepada penghuni kuburan. (Bersambung…)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 13-11-1432 H / 11 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com