Bagaimana cara orang yang hatinya membenci orangtuanya namun ia ingin berbakti kepadanya?
Soal no 318
Seorang wanita sangat membenci ibunya dan ibunya tidak mengetahui hal itu. Wanita ini tinggal bersama ayahnya jauh dari ibunya dan ia tidak mengenal ibunya kecuali setelah dewasa dikarenakan ibunya diceraikan karena sebab-sebab kekeluargaan. Untuk diketahui wanita ini memberikan kepada ibunya hadiah-hadiah dan ia telah bertanya kepada sebagian ulama dan mereka berkata, “Sesungguhnya kecondongan hati tidak dihitung oleh Allah”, maka bagaimana pendapat Syaikh?
Syaikh Bin Baz menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa hati-hati adalah di tangan Allah, Allah memaling-malingkannya sekehendak Allah, maka rasa cinta dan rasa benci keduanya di tangan Allah namun keduanya ada sebab-sebabnya. Jika sang ibu memiliki sifat lembut kepada putrinya dan memberi perhatian kepadanya maka ini merupakan sebab timbulnya rasa cinta. Namun jika sang ibu tidak demikian, berpaling dari putrinya dan tidak perduli dengannya atau lama tidak bertemu dengan sang putri –sebagaimana kondisi penanya- maka ini merupakan sebab timbulnya suatu kebencian dan kekakuan. Dan yang wajib atas sang putri (penanya) untuk bertakwa kepada Allah dan berusaha menyambung hubungan dengan ibunya dan berbuat baik kepadanya, mengucapkan perkataan yang baik kepadanya dalam seluruh keadaan dan meminta kepada Allah untuk melapangkan dadanya agar bisa mencintai ibunya karena sesungguhnya hak seorang ibu sangatlah agung. Jika ia tidak mampu untuk mencintai ibunya (setelah usaha yang dilakukannya-pen) maka perkaranya adalah di sisi Allah dan yang demikian ini tidak me-mudhorot-kannya. Oleh karena itu diantara doa-doa Nabi r “Wahai Allah Yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati-hati kami di atas agamaMu, wahai Yang memaling-malingkan hati palingkanlah hatiku untuk taat kepadamu”. Sesungguhnya hati-hati adalah di tangan Allah dan Allah membolak-balikannya sesukaNya, maha suci Allah. Maka yang wajib bagi sang putri (penanya) untuk merendahkan hatinya bersungguh-sungguh meminta kepada Allah agar membuka hatinya agar bisa mencintai ibunya dan bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya bagi ibunya. Dan wajib baginya sekuat mungkin untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, dan memberikan hadiah-hadiah dan kebaikan-kebaikan yang lainnya kepada ibunya. Jika ia benar-benar bersungguh-sungguh dalam melakukan hal itu maka Allah akan mempersiapkan baginya segala kebaikan. Allah berfirman
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kepada Allah semampu kalian (QS At-Taghobun : 16)
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya (QS 2:286)
Bagaimana cara berbakti kepada orangtua bagi anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidup mereka?
Soal: Bagaimana keabsahan hadits dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mempunyai orang tua yang telah meninggal kedua-duanya atau salah satunya dan ia dahulu durhaka kepada mereka berdua, maka ia selalu berdoa bagi mereka berdua dan memohonkan ampunan bagi mereka berdua hingga iapun dituliskan di sisi Allah adalah anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya”?
Syaikh Bin Baz menjawab, ((Saya tidak tahu hadits ini dan saya tidak tahu keabsahan hadits ini, namun maknanya benar, karena sesungguhnya doa bagi kedua orangtua dan beristigfar bagi mereka serta bersedekah untuk mereka merupakan bentuk-bentuk berbakti kepada mereka sepeninggal mereka. Dan semoga Allah mengurangi dosa-dosa yang telah ia lakukan berupa durhaka kepada kedua orang tua bersama dengan tobat yang benar. Dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan menyesali apa yang telah ia lakukan dan memperbanyak istigfar dan banyak mendoakan agar mereka mendapatkan rahmat, ampunan, serta maghfiroh dan juga disertai dengan memperbanyak sedekah untuk mereka berdua. Semua ini merupakan perkara-perkara yang disyari’atkan oleh Allah tentang kewajiban anak terhadap kedua orangtua. Telah sah dari Nabi r[1] bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Apakah masih ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk berbakti kepada kedua orangtuaku setelah mereka meninggal?”, maka Rasulullah r berkata, “Iya, yaitu engkau mendoakan mereka, (dan berdoa kepada mereka diantaranya adalah sholat janazah), beristigfar bagi mereka (yaitu memohon ampunan kepada Allah bagi mereka), menunaikan janji mereka berdua (yaitu wasiat mereka berdua jika mereka mewasiatkan sesuatu perkara yang tidak menyelisihi syari’at), dan memuliakan sahabat mereka berdua” [2](yaitu para sahabat kedua orangtuanya, maka ia memuliakan mereka dan berbuat baik kepada mereka berdua dan memperhatikan hak-hak persahabatan antara mereka dan kedua orangtuanya. Jika sahabat orangtuanya miskin maka ia membantunya, jika tidak miskin maka ia menghubunginya untuk memberi salam kepadanya dan menanyakan keadaannya untuk tetap menjaga persahabatan yang telah terjalin diantara mereka dan kedua orangtuanya jika memang sahabat orangtuanya itu bukan termasuk orang yang berhak untuk di-hajr, dan menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali dengan kedua orangtuanya seperti berbuat baik kepada paman-pamannya dan karib kerabatnya baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu, semua ini termasuk berbakti kepada kedua orangtua)))
Bagaimana jika seorang ayah sama sekali tidak memperhatikan sang anak bahkan membuat permasalahan dengan ibu yang telah bersusah payah mengurus sang anak, apakah wajib bagi sang anak untuk berbakti kepada sang ayah?
Berkata Syaikh Bin Baz (kepada seorang penanya yang ditinggal ayahnya):
((Telah sampai kepadaku pertanyaanmu melalui Koran Al-Jaziroh yang isinya adalah ayahmu telah menceraikan ibumu dan engkau masih dalam keadaan menyusui. Lalu ibumu mengurusmu engkau dan saudara-saudaramu dan ia meninggalkan segala sesuatu yang membahagiakannya demi untuk mengurus kalian dengan baik. Ia sangat lelah dan bersabar menghadapi hal-hal yang sulit, sabar dalam menghadapi kesulitan hidup dan tuntutan-tuntutan kehidupan demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan sekolah..dan seterusnya.
Maka jawaban atas soal diatas bahwasanya tempat kembali untuk memecahkan persoalan antara kalian dan ayah kalian adalah pengadilan agama kecuali jika kalian memaafkan ayah kalian dan kalian mentaati tuntutan-tuntutannya dan kalian mencari keridhoannya maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mampu untuk melakukannya, karena Allah banyak mewasiatkan untuk berbakti kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an))
Mau i’tikaf tapi dilarang orangtua?
Syaikh Utsaimin ditanya, “Apa hukumnya jika seorang ayah melarang anaknya untuk i’tikaf dengan alasan-alasan yang tidak memuaskan?”.
Maka Syaikh menjawab, “I’tikaf hukumnya adalah sunnah dan berbakti kepada kedua orangtua hukumnya wajib dan perkara yang sunnah tidak bisa menjatuhkan perkara yang wajib dan asalnya perkara sunnah tidak bisa dilawankan dengan perkara yang wajib karena perkara yang wajib didahulukan diatas yang sunnah. Allah telah berfirman dalam hadits qudsi, ما تقرب إليَّ عبدي بشيء أحب إليّ مما افترضت عليه ((Dan tidaklah hambaku mendekatkan dirinya kepadaku dengan sesuatupun yang lebih Aku cintai daripada perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya)). Maka jika ayahmu memerintahmu untuk meninggalkan i’tikaf dan ia menyebutkan alasan-alasannya agar engkau tidak i’tikaf karena ia butuh kepadamu, dan ukuran alasan-alasan tersebut (memuaskan atau tidak) itu kembali kepada ayahmu bukan ukurannya kembali kepadamu karena bisa jadi timbangan yang engkau miliki tidak lurus dan tidak adil karena engkau ingin untuk i’itkaf sehingga engkau mengira bahwa alasan-alasan yang disebutkan oleh ayahmu tidak memuaskan dan ayahmu memandang bahwa alasan-alasan yang ia sebutkan memang memuaskan, maka aku nasehati engkau sebaiknya engkau tidak i’tikaf. Namun jika ia tidak menyebutkan alasan-alasannya maka engkau tidak wajib untuk mentaatinya pada kondisi seperti ini karena tidak wajib bagi engkau untuk taat kepadanya pada perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya dan hal ini meluputkan engkau dari kemanfaatan (yang jelas)” [3]
Yogyakarta 23 Juli 2005
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Daftar Pustaka
1. Faidhul Qodiir, karya Abdurro’uf Al-Munawi, penerbit Al-Maktabah At-Tijariyah, cetakan pertama
2. Al-Firdaus bi ma’tsuril khithob karya Ad-Dailami, tahqiq Sa’id bin Al-Basyuni, terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
3. At-Tafsir Al-Kabir, karya Fakhruddin Ar-Rozi Asy-Syafi’i, terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cetakan pertama
4. Adhwa’ul bayan karya Syaikh Asy-Syingqithi, Darul Fikr
5. Ruhul Ma’ani, karya Abul Fadhl Syihabuddin Al-Alusi, terbitan Dar Ihyaut turots Al-‘Arobi
6. Fathul Qodir, karya Imam Asy-Syaukani, terbitan Darul Fikr
7. Musonnaf Ibni Abi Syaibah, terbitan Maktabah Ar-Rusyd, tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, cetakan pertama
8. Al-Muharror Al-Wajiz fi tafsiril Kitab Al-‘Aziz karya Abdul Haq Al-Andalusi (546 H), tahqiq Abdussalam Abdussyafi Muhammad, penerbit Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cetakan pertama
9. Al-Burhan fi ‘ulumil Qur’an, karya Az-Zarkasyi (794 H), tahqiq Muhammad Abul Fadhl Ibrohim, terbitan Darul Ma’rifah
10. Tafsir Al-Baghowi, tahqiq Kholid bin Abdirrahman Al-‘Ak, terbitan Darul Ma’rifah
11. Tafsir Abis Sa’ud (951 H), penerbit Dar Ihyait Turots
12. Al-Kaba’ir, karya Imam Adz-Dzahabi (748 H), penerbit Darun Nadwa Al-Jadidah
13. Al-Minhaj, syarh shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi, penerbit Dar Ihya At-Turots, cetakan kedua
14. Lisanul Arob, karya Ibnu Mandzur Al-Afriqi Al-Mishri (711 H), penerbit Dar Shodir, cetakan pertama
15. Umdatul Qori, karya Al-‘Aini
16. Taisir Al-Karimi Ar-Rahman, Syaikh As-Sa’di
17. Al-Minhaj syarh shahih Muslim, Imam An-Nawawi, darul Ihyaut Turots, cetakan kedua
18. Fathul Bari syarh Shohihil Bukhari, Ibnu Hajar, Darus Salam
19. Al-Mustadrok ‘ala As-Shahihain, Imam Al-Hakim, tahqiq Mushtofa ‘Abdulqodir ‘Ato, terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
20. Musnad Abi Ya’la Al-Mausili, tahqiq Husain Salim Asad, terbitan Darul Ma’mun lit-Turots, cetakan pertama
21. Sunan Abi Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan darulfikr
22. Sunan An-Nasai, tahqiq Abdul Fattah Abu Guddah, terbitan Maktabah Al-Mathbu’aat, cetakan kedua
23. Sifatus sofwah karya Ibnul Jauzi, tahqiq DR Muhammad Al-Qol’aji, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan kedua
24. Masyahir Ulama Al-Amshor, karya Ibnu Hibban, terbitan Darul kutub Al-Ilmiyah
25. Siyar A’alam An-Nubala, karya Ad-Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, cetakan Muassasah Ar-Risalah
26. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah
27. At-Targhib wat Tarhib karya Al-Mundziri, tahqiq Ibrahim Syamsuddin, terbitan darul Kutub Al-Ilmiyah cetakan pertama
28. Al-Adab Al-Mufrod karya Imam Al-Bukhari, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, terbitan Daul Basyair Al-Islamiyah, cetakan ketiga
29. Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokfuri, Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi
30. An-Nihayah fi Goribil Hadits karya Ibnul Atsir, tahqiq Thohir Ahmad Az-Zawi, terbitan Al-Maktabah Al-Ilmiyah
31. Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah terbitan darul Fikr cetakan pertama
32. At-Talkhis Al-Habir, karya Ibnu Hajr, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani Al-Madani, terbitan
33. Aunul Ma’bud karya Muhammad Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, terbitan darul kutub ilmiyah, cetakan kedua
34. Al-Mubdi’ karya Abu Ishaq ibnu Muflih, terbitan Al-Maktab Al-Islami
35. Al-Inshof, karya Al-Madawi, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi, terbitan Dar Ihya At-Turots
36. Ahkamul Qur’an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Jassos (370 H), tahqiq Muhammad As-Sodiq Qomhawi, terbitan Dar Ihya At-Turots
37. Fatawa Syaikh Bin Baz
38. Fatawa Syaikh Utsaimin
Catatan Kaki:
[1] HR Abu Dawud 4/336 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Dho’ifah 2/62 no 597)
[2]HR Muslim 4/1979 no 2552
عن عبد الله بن عمر أن رجلا من الأعراب لقيه بطريق مكة فسلم عليه عبد الله وحمله على حمار كان يركبه وأعطاه عمامة كانت على رأسه فقال بن دينار فقلنا له أصلحك الله إنهم الأعراب وإنهم يرضون باليسير فقال عبد الله إن أبا هذا كان ودا لعمر بن الخطاب وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول (( إن أبر البر صلة الولد أهل ود أبيه))
Dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar bahwasanya seseorang dari arab badui beremu dengan Ibnu Umar di jalan yang ada di Mekah maka Ibnu Umar memeberi salam kepadanya kemudian Ibnu Umar menaikannya ke atas keledainya yang tadinya ia kendarai dan ia memberikan kepada arab badui itu sorban yang ada di kepalanya. Abdullah bin Dinar berkata, “Kamipun berkata kepadanya, “Semoga Allah meluruskanmu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang arab badui dan mereka sudah senang dengan pemberian yang sedikit”, maka Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya ayahnya adalah sahabat Umar bin Al-Khotthob yang disayangi Umar dan aku mendengar Rasulullah r bersabda ((Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (kepada orangtua) adalah menyambungnya sang anak tali silaturahmi keluarga sahabat karib ayahnya))”
[3] Soal no 754