Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
“Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)” (Marootibul Ijmaa’ hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
“Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini” (Marootibul Ijmak 27)
Ibnu Taimiyyah berkata
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu’ Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid’ah berusaha untuk menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, “Ini bertentangan dengan Ijmak”.
Hal inilah (penolakan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : “Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia”, atau : “Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini” (I’laamul Muwaqqi’iin 3/558-559)
Ibnu Taimiyyah berkata,
قال الإمام أحمد: “من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك”. يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: “هذا خلاف الإجماع”
“Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu ‘Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, “Ini menyelisihi ijmak” (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.
Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
“Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam” (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
“Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh” (Al-Mughni 2/36)
Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :
– Ibnu Jarir At-Tobari (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
– Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa’aat Ibni Abdil Barr fil ‘Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.
– Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
– Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah ‘ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa’aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil ‘Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang ‘alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang ‘alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma’.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.
Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf. Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
“Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh” (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.
Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:
– Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
– Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari’atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :
Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : “Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik”
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf” (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah “Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab” memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau “agar keluar dari khilaf” menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.
Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…”(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)
Contoh kedua :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره ) ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro’y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini…” (Al-Mughni 9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
“Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari’atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi’i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad” (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)
Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم …ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
“Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi’i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, “Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : “Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang”. Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini” (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah “istihbaab” adalah “disyari’atkannya”.
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah “Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini” maksudnya adalah “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari’atkannya hal ini”, bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A’lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa’ karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa’ karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu’aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-‘Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth’i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، …ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
“Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth’iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth’iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy” (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص
“Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot’iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot’iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash” (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)
Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a’lamu bisshowaab.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo’dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Marooji’
1- Marootibul Ijmaa’ fil ‘Ibaadaat wal Mu’aamalaat wal I’tiqoodaat, Ibnu Hazm, tahqiq : Hasan Ahmad isbir, Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama (1419 H-1998 M)
2- Ijmaa’aat Ibni ‘Abdil Barr fil ‘Ibaadaat, Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi, Daar At-Thoibah, cetakan pertama (1420 H-1999 M)
3- Ijmaa’aat Ibni Rusyd (Al-Hafiid) –qismil ‘Ibaadaat- min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid wa Nhaayatul Muqtshid, Bin Faizah Az-Zubair, Isyroof DR Kamaal Buzaid
4- Mudzakkiroh Ushuul Al-Fiqh, Muhammad Al-Amiin As-Syingqiithiy, tahqiq : Abu Hafsh Saamii Al-‘Arobiy, Daar Al-Yaqiin, cetakan pertama (1419 H-1999 M)
Satu bahasan lagi ttg sutroh:
http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3216-hukum-shalat-menghadap-sutroh-.html
Semoga bermanfaat.
Jazakumullah khairan, Baarakallahu fiikum
Assalamu’alaikum ustadz, ada yang ingin ana tanyakan berkaitan tentang Khilafiyah Ijtihadiyah, yaitu bolehkah seseorang yang awam seperti saya mengambil pendapat yang lebih mudah untuk dikerjakan terhadap permasalahan yang merupakan Khilafiyah Ijtihadiyah, lalu apakah ciri-ciri permasalahan agama yang permasalahan tersebut merupakan Khilafiyah Ijtihadiyah?
Mohon jawabannya, Syukron wa Jazakallah khairan.
Walaikumsalam wrahmatullah wabarookatuh. Jika suatu permasalahan khilafnya kuat diantara para ulama maka itu indikasi bahwa khilafnya kuat. bagi seseorang yang bisa memahami penjelasan dalil dari para ulama maka wajib baginya untuk mengikuti dalil yang telah dia pahami.
akan tetapi jika seseorang tidak bisa memahami dalil atau tidak paham akan permasalahan maka boleh baginya untuk taqlid. yaitu taqlid kepada ulama yan lebih dia percayai tentag keilmuan dan ketakwaan, dan tidak boleh bebas memilih pendapat yang termudah dan terenak. Wallahu A’lam
klo mau mengirimkan masalah ke njenengan gimana caranya???? Ada sanggahan terhadap artikel njenengan di FB mau saya mintakan mbantahannya lewat mana???
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ustadz Firanda, jazakallah khairan atas artikelnya.
Banyak faidah yang bisa saya petik dari artikel tersebut.
Salah satu faidah yang bisa saya petik adalah Ibnu Rusyd termasuk salah satu ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak. Hal ini berarti klaim ijmak dari Ibnu Rusyd ada kemungkinanan diselisihi oleh ulama lain yang se-zaman maupun sebelum beliau. Namun demikian, ada kemungkinan pula tidak ada ulama se-zaman maupun sebelumnya yang menyelisihi ijmak beliau tentang istihbabnya sutroh.
Hal ini berarti pula bahwa tidak semua klaim ijmak yang datang dari Ibnu Rusyd semuanya salah tanpa ada kemungkinan benar. Hal ini membawa konsekuensi klaim ijmak beliau tidak bisa diabaikan begitu saja sehingga perlu ditelaah lebih lanjut.
Pada point ini saya tidak menemukan penjelasan dari Ustadz Firanda, tentang siapa dan bagaimana ulama yang se-zaman maupun sebelumnya yang tidak sepakat dengan Ibnu Rusyd. Jika disampaikan siapa dan bagaimana ulama lain yang menyelisihi ijmak beliau, barangkali bisa diulas apakah penyelisihan itu kokoh ataukah tidak.
Dari apa yang saya pahami, ada “missing link” ketika “jump to conclusion” pada artikel tersebut. Ada penjelasan yang saya rasakan kurang untuk bisa sampai kepada kesimpulan yang Ustadz sampaikan bahwa “Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya”. Yang saya pahami, artikel Ustadz Firanda masih membahas seputar ijmak Ibnu Rusyd secara umum, belum secara khusus membahas batalnya ijmak Ibnu Rusyd tentang istihbabnya sutroh.
Saya ber-husnudzon Ustadz Firanda sedang banyak kesibukan sehingga belum sempat merinci penjelasan yang mampu menopang kesimpulan tersebut secara kokoh. So, ditunggu penjelasan lanjutannya ya Ustadz…
Mohon dikoreksi jika saya salah memahami.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi waktu, tenaga, dan ilmu yang dianugerahkan kepada antum.
Akhi Abu Zahroh, sebelumnya ana mengucapkan jazaakallahu khoir atas masukannya. Logika berpikirnya adalah sebagai berikut :
– Untuk membatalkan ijmak Ibnu Rusyd maka kita tidak perlu mencari pernyataan ulama lain bahwasanya klaim ibnu Rusyd tidak benar. karena terlalu banyak ulama yang hidup sebelum beliau atau sezaman beliau atau sesudah beliau yang belum tentu membaca kitab beliau Bidaayatul Mujtahid. Kalaupun membacanya maka belum tentu mengkhususkan membaca permasalahan-permasalahan ijmak. kalaupun membaca permasalahan2 ijmak maka belum tentu membaca permasalahan yang sedang kita bahas yaitu permasalahan sutroh. jadi kalau harus mencari ulama yang membantah ibnu Rusyd maka itu perkara yang sia-sia. kecuali perkataan Ibnu Rusyd tentang klaim ijmak tentang sutroh terkenal di kalangan para ulama kemudian mereka membahasnya, baik menolak atau mendukung
-para ulama tatkala mengatakan ijmak Ibnu Rusyd atau Ibnu Abdil Barr atau Ibnu Jarir adalah klaim yang lemah mereka tidak perlu mendatangkan pernyataan ulama sezaman Ibnu Abdil Barr, Ibnu rusyd, dan Ibnu Jarir yang membantah ijmak mereka satu persatau. akan tetapi cukup mereka menyatakan bahwa ada khilaf dalam permasalahan tertentu, dan bahkan khilafnya masyhuur
– sehingga untuk menyatakan bahwa ijmak yang disebutkan ibnu rusyd tidaklah tepat hanyalah dengan membuktikan bahwasanya memang benar ada khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini
– Ibnu Rusyd termasuk ulama belakangan, yang para ulama tidak sering menukil ijmak yang beliau sampaikan, karena beliau memang terkenal dengan tasahul. kita bisa balik bertanya, siapakah ulama sebelum ibnu Rusyd yang menyatakan ada ijmak dalam permasalahan ini?. Bukannya kita ragu dengan telaah Ibnu Rusyd, akan tetapi madzhab beliau adalah sama dengan Ibnu Jarir dan Ibnu Abdil Barr bahwasanya Al-Qoul Al-Aktsar termasuk ijmak, sehingga jika ada segelintir orang yang menyelisihi tidak dianggap oleh mereka merusak ijmak.
Wallahu A’lamu wa baarokallahu fiik
Ustadz, bukankah rata-rata isi buku tentang ijma semisal ijmak Ibnul Mundzir adalah ijma zhanni namun nampaknya para ulama tidak bermudah-mudah dalam menyelisihi ijma-ijma tersebut?
Mohon pencerahannya
Baarokallahu fiik ya akhii, syukron atas masukannya. masukan-masukan senantiasa ana tunggu dari antum-antum sekalian.
Memang benar bahwasanya para ulama tidak mudah untuk menyelisihi ijmaak Ibnu Mundzir.
Akan tetapi pembahasan kita adalah tentang permasalahan ijmak yang diklaim oleh Ibnu Rusyd, dan ternyata Ibnu Rusyd termasuk mutasaahil dalam klaim ijmak. hal ini sebagaimana telah diteliti dalam risalah-risalah ‘ilmiyah. akan tetapi kita tetap isti’nas dengan ijmak yang diklaim beliau kalau memang ternyata kita tidak menemukan khilaf dalam permasalahan ini. akan tetapi kenyataan yang ada ternyata ada khilaf dalam permasalahan sutroh.
meskipun ana belum membahas secara khusus tentang peramsalahan ini -mengingat keterbatasan waktu- akan tetapi dari dialog yang terjadi antara antum dan Abul Jauzaa’ ada isyarat akan adanya khilaf antara para ulama.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :فهذه الأخبار كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر صدقة بن يسار سمعت بن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى سترة وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه وسلم“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat agar memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’[3]. Hal ini dikarenakan ‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat bersutrah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam hadits Shadaqah bin Yasaar (ia berkata) : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shalat kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau melakukan sesuatu yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang ?” [Shahih Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy].Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata :السترة واجبة عند جماعة من العلماء“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama” [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr].
Ibnu Khuzaimah wafat pada tahun 311 Hijriah yaitu 2 abad sebelum wafatnya Ibnu rusd yang meninggal pada tahun 595 Hijriyah. sangat nampak jelas Ibnu Khuzaimah mewajibkan sutroh dari perkataannya di atas. dan kita tidak membawa perkataan Ibnu Khuzaimah diatas pada makna mustahab karena berdalil denagn ijmaknya Ibnu Rusyd.
Demikian juga dzohir dari perkataan Imam Malik
ومن كان في سفر فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة“Barangsiapa dalam keadaan safar, maka tidak mengapa ia shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun jika ia dalam keadaan hadir (tidak safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali menghadap ke sutrah” [Al-Mudawwanah, 1/289].
Apalagi Al-Lakhomi dalam kitabnya At-Tabshiroh 1/45 (risalah desrtasi di Jami’ah Ummul Quro) berkata :
ومن صلى مأموماً فليس عليه أن يصلي إلى سترة، وذلك على إمامه، فإن صلى الإمام إلى غير سترة فلا يؤتم به
Artinya : Barangsiapa yang sholat sebagai makmum maka tidak perlu menggunakan sutroh karena sturoh tersebut atas imam. jika sang imam sholat tanpa sutroh maka tidak usah berimam kepadanya.
Bukankah dzohirnya adalah mewajibkan sutroh bagi sang imam?
kemudian bukankah perkataan Al-Lakhomi “وذلك على إمامه
ibarat seperti ini biasanya digunakan untuk penunjukan wajib “atas imam sutroh” yaitu wajib baginya sutroh.
Padahal Al-Lakhomi salah satu ulama madzhab Maliki yang wafat pada tahun 478 Hijriah yaitu seratus tahun lebih sebelum wafatnya Ibnu Rusyd.
Semua ini semakin memperkuat adanya khilaf diantara para ulama tentang hukum sutroh.
Kemudian tidak kita temukan ada seorangpun ulamapun sebelum Ibnu Rusyd yang menyebutkan tentang ijmak permasalahan ini, berarti Ibnu Rusyd menyampaikan ijmak ini berdasarkan istiqroo’ dan tatabbu’ beliau. apalagi didukung oleh tasahul beliau dalam menukil ijmak maka semakin memperkuat bahwa ijmak yang beliau hikayatkan adalah lemah. bisa jadi beliau tidak menelaah perkataan Ibnu Khuzaimah…, bisa jadi beliau tidak menelaah seluruh kitab-kitab fiqih.., bisa jadi beliau tidak menelaah seluruh perkataan fuqohaa.., terlalu banyak ihtimaal.
Karena asalnya kitab bidyatul mujtahid adalah sebuah kitab yang beliau tulis untuk ringkasan pribadi beliau, sehingga belum beliau mentabyyid kitab tersebut, oleh karenanya banyak masyayikh yang meningatkan bahwa penisbatan aqwaal dalam kitab bidayatul mujtahid tidak bisa dijadikan pegangan karena sering terjadi kekeliruan dalam penisbatan.
Bagaimanapun juga telah jelas ada khilaf dalam masalah ini, dan ada para ulama yang menyatakan wajibnya mneggunakan sutroh. Wallahu A’lam. masukan-masukan dan kritikan-kritkan yang membangun dari para pembaca masih kita tunggu. Baarokallahu fiikum
Assalamu`alaikum
Setahu ana IBnu Hazm itu mazhab zhahiriyah yang tak mengakui ijma ulama. Mohon penjelasan dalam hal ini.
walikumslm, Ibnu Hazm tidak mengingkari ijmak, bahkan beliau berdalil dengan ijmak. Beliau hanya mengingkari orang yang bermudah-mudah menyerukan ijmak.
Bahkan beliau memiliki buku yang mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama dengan persyaratan yang ketat. buku beliau berjudul “Marootibul Ijmaak”. Buku sangat bermanfaat, terlebih lagi jika disertai dengan kritkan terhadap buku ini yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah. karena ada perkara-perkara yang disangka ijmak oleh Ibnu Hazm, ternyata tidak ijmak sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah
Assalamu`alaikum
Terima kash atas pemberitahuannya.
Assalamualaykum ustadz firanda -semoga selalu diberkahi Allah-.
Ana ingin menanyakan apakah ada ulama yang menulis kitab khusus mengkritik kitab Al-Ijma li Ibnul Munzir ? (Terkait dengan ijma’-ijma’ yang dikumpulkan Ibnul Munzir).
Itu saja, Syukron.
Wallahu A’lam, ana hanya dengar ada risalah tesis atau desertasi tentang hal ini, akan tetapi ana belum pernah melihatnya secara langsung.
Bagaimana tanggapan ustadz firanda terkait dengan klaim ijma salaf tentang tidak wajibnya sutroh yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah al Bassam dalam Taudhih al Ahkam.
Tentunya klaim ijmak yang disampaikan oleh Syaikh Ali Baasaam jauh lebih rendah dibandaingkan klaim yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd, ditinjau dari beberapa sisi:
– Syaikh Ali Bassaam bukanlah orang yang dikenal dengan istiqroo dan tatabbu’ tentang aqwaal para ulama
– Beliau bukan orang yang mutkhossis dalam masalah ijmaa’
– beliau adalah ulama zaman sekarang dan tidak ada di zaman ini seorang ulamapun yang berdalil dengan klaim ijmak yang dinukilkan oleh ulama sezamannya -sepanjang pengetahuan ana-. Siapa tahu antum akhil kariim bisa memberikan contoh kalau ada ulama sekarang yang berdalil dengan ijmak yang dinukil oleh ulama sezamannya
– Ana tidak tahu, apakah syaikh Ali Bassaam rahimahullah menukil ijmak dari ulama terdahulu?
– Syaikh Ali Basasaam tentunya tidak sederajat dengan Syaikh Utsaimin, Bin Baaz, dan Al-Albani, yang nota bene mereka tidak menganggap ini merupakan masalah ijmak.
Wallahu A’lam bis sowaab
“Para ulama yang berpendapat bahwa sutrah itu wajib bagi imam dan munfarid mereka tidak berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan sutroh maka sholatnya tidak sah. karena sutroh keluar dari dzat (maahiat) sholat, serta tidak berkaitan dengan salah stu rukun atau salah satu syarat dari rukun-rukun dan syarat-syarat sholat. Adapun kaidah An-Nahyu yaqtadhi Al-Fasaad (Larangan menkonsekuensik an rusaknya ibadah) maka ini berlaku pada suatu larangan larangan tersebut berkaitan dengan rukun maupun syarat sholat”.
http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/64-apakah-menggaruk-3-kali-dalam-sholat-membatalkan-sholat#comment-121
Apa dalil untuk membedakan antara larangan dalam mahiyah ibadah dengan larangan diluar mahiyah ibadah?
Bukankah kaedah ulama yang tidak berdalil tidak boleh kita jadikan dalil?
Dalama rekaman ta’liq utk al Ushul min Ilmi Ushul, Syaikh Abdul Aziz ar Rais mengatakan bahwa “membedakan antara dzat ibadah dan bukan” dalam masalah annahyi yaqtadhi al fasad adalah tafshil ahli kalam, bukan tafshil dari salaf.
Tafshil yang benar menurut beliau adalah sebagai berikut:
لابن تيمية بحث طيب في مجموع الفتاوى في مسألة تقرير أن النهي يقتضي الفساد مطلقا وبحث هذه المسألة مطلقا أيضا الإمام ابن القيم في تهذيب السنن وذكر أن النهي يقتضي الفاسد مطلقا والأدلة على ذلك يقول ابن تيمية وابن القيم لا يوجد في الشريعة قط هذا منهي عنه مع الصحة وإنما يستفاد الفساد مع مجرد النهي والله سمى النهي إفسادا قال (لا تفسدوا في الأرض بعد إصلاحها} والإفساد هنا المراد به الإفساد المعنوي وهو نشر المعاصي وفعلها إلا أن ابن تيمية نبه إلى أن المراد هو النهي الذي جاء في سياق واحد كقوله لا تصلوا إلى القبور”أما أن تأتي بنهي مركب هذا لا يقتضي الفساد فمثلا من صلى وقد لبس ثوب حرير وستر عورته بثوب حرير هذا ارتكب محرما لكن لم يأت النهي في حديث واحد أو آية واحدة بل جاء مركبا لا يوجد في الشريعة لا تصل في ثوب الحرير وإنما يستفاد بالتركيب الشريعة نهت عم لبس الحرير للرجال فإن صلى فيه صار مرتكبا لمحرم إلى آخره يقول هذا لا يقتضي الفساد وإنما الذي يقتضي الفساد هو ما كان في نص واحد غير مركب
Berdasarkan kutipan di atas, bukankah orang yang berpendapat bahwa sutroh itu wajib dan haram tanpa sutroh seharusnya-jika konsekuen-berpendapat batalnya shalat orang yang tidak bersutroh karena ada hadits:
لا تصل إلا إلى سترة؟
أفيدونا أحسن الله إليكم
Akhil kariim, tentunya pembahasan kita sekrang keluar dari pembahasan. pembahasan tentang bahwasanya tidakbenarnya klaim ijmak sudah selesai.
setuju…??, atau antum masih punya masukan buat ana??
Adapun kaidah yang antum sebutkan diatas tentunya masih khilaf diantara usuliyyun meskipun kita merojihkan kaidah tersebut, kalau kaidah usulnya saja khilaf bagaimana lagi dengan hasilnya??.
sekrang kita berpindah pada pembahasan berikutnya yaitu apakah sutroh itu wajib atau tidak. Maka ana katakan :
– Ana hingga saat ini belum membicarakan apalagi merojihkan hukum sutroh wajib atau sunnah.pembicaraan ana hanya seputar benarkah klaim ijmak?, tidak ada kelaziman bahwa ana mewajibkan sutroh
– Adapun kaidah yang ana sebutkan tentang bahwasanya para ulama yang mewajibkan sutroh tidak mengatakan bahwa orang yang sholat tidak pakai sutroh batal sholatnya karena larangan tidak kembali pada syarat atau rukun, itu adalah kaidah yang ana nukil dari para ulama dalam buku-buku ushul. tentunya mereka punya dalil, terlepas dari dalilnya lemah atau kuat. akan tetapi hendaknya kita tidak langsung memvonis bahwa kaidah yang disebutkan oleh ulama tersebut tanpa dalil…
– Terus terang kaidah yang antum sebutkan tersebut merupakan hal baru bagi ana, dan ana mengucapkan syukorn atas masukan ilmunya. hanya saja ana minta bantuan antum untuk mentautsiiq perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim bahwasanya para salaf tidak mengetahui adanya tafsil seperti ini. dan ana sangat berharap masukan antum dalam hal ini, tentunya antum tidak memakan pernyataan Sayikh Royyis -hafizohullahu- mentah-mentah. ana sungguh sangat berharap… sebenarnya ana ingin mambahas dan mentautsiq sendiri akan tetapi terus terang waktu ana kurang, dana ana sekarang sedang menyusun tulisan baru untuk membantah abu salafy. oleh karenanya ana tunggu masukan antum tentang nukilan dari ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim bahwasanya tidak ada tafsilan dari salaf, dan kalau ada waktu mohon antum jelaskan dan mentarjihkan pendapat para usuliyin tentang kaidah an-nahyu yaqtdhil fasaad.
– baarokallahu fiiik, masukan yang berikutnya tetap ditunggu
Perkataan Ibnu Taimiyyah tentang annahyu yaqtadhi fasad bisa dibaca di sini:
وأصل المسألة أن النهي يدل على أن المنهى عنه فساده راجح على صلاحه و لا يشرع التزام الفساد ممن يشرع له دفعه و أصل هذا ان كل ما نهي الله عنه و حرمه في بعض الأحوال و أباحه فى حال أخرى فان الحرام لا يكون صحيحا نافذا كالحلال يترتب عليه الحكم كما يترتب على الحلال و يحصل به المقصود كما يحصل به و هذا معني قولهم النهي يقتضى الفساد و هذا مذهب الصحابة و التابعين لهم باحسان و أئمة المسلمين و جمهورهم
وكثير من المتكلمين من المعتزلة و الأشعرية يخالف فى هذا لما ظن أن بعض ما نهى عنه ليس بفاسد كالطلاق المحرم و الصلاة فى الدار المغصوبة و نحو ذلك قال لو كان النهي موجبا للفساد لزم انتقاض هذه العلة فدل على أن الفساد حصل بسبب آخر غير مطلق النهي و هؤلاء لم يكونوا من أئمة الفقه العارفين بتفصيل أدلة الشرع فقيل لهم بأي شيء يعرف أن العبادة فاسدة و العقد فاسد قالوا بأن يقول الشارع هذا صحيح و هذا فاسد و هؤلاء لم يعرفوا أدلة
الشرع الواقعة بل قدروا أشياء قد لا تقع و أشياء ظنوا أنها من جنس كلام الشارع و هذا ليس من هذا الباب فان الشارع لم يدل الناس قط بهذه الألفاظ التى ذكروها و لا يوجد فى كلامه شروط البيع و النكاح كذا و كذا و لا هذه العبادة و العقد صحيح أو ليس بصحيح و نحو ذلك مما جعلوه دليلا على الصحة و الفساد بل هذه كلها عبارات أحدثها من أحدثها من أهل الرأي و الكلام
و إنما الشارع دل الناس بالأمر و النهي و التحليل و التحريم و بقوله فى عقود هذا لا يصلح علم أنه فساد كما قال فى بيع مدين بمد تمرا لا يصلح و الصحابة و التابعون و سائر أئمة المسلمين كانوا يحتجون على فساد العقود بمجرد النهي كما احتجوا على فساد نكاح ذوات المحارم بالنهي المذكور فى القرآن و كذلك فساد عقد الجمع بين الأختين
و منهم من توهم أن التحريم فيها تعارض فيه نصان فتوقف و قيل ان بعضهم أباح الجمع
و كذلك نكاح المطلقة ثلاثا استدلوا على فساده بقوله تعالى فان طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره
و كذلك الصحابة استدلوا على فساد نكاح الشغار بالنهي عنه فهو من الفساد ليس من الصلاح فان الله لا يحب الفساد و يحب الصلاح
و لا ينهى عما يحبه و انما ينهى عما لا يحبه فعلموا أن المنهي عنه فاسد ليس بصالح و ان كانت فيه مصلحة فمصلحته مرجوحة بمفسدته و قد علموا أن مقصود الشرع رفع الفساد و منعه لا إيقاعه و الا لزام به فلو ألزموا موجب العقود المحرمة لكانوا مفسدين غير مصلحين و الله لا يصلح عمل المفسدين
و قوله و اذا قيل لهم لا تفسدوا فى الأرض أي لا تعلموا بمعصية الله تعالى فكل من عمل بمعصية الله فهو مفسد و المحرمات معصية لله فالشارع ينهى عنه ليمنع الفساد و يدفعه و لا يوجد قط في شيء من صور النهي صورة ثبتت فيها الصحة بنص و لا اجماع فالطلاق المحرم و الصلاة فى الدار المغصوبة فيهما نزاع و ليس على الصحة نص يجب اتباعه فلم يبق مع المحتج بهما حجة
[Majmu Fatawa jilid 29 hal 281-283, cetakan standar/lama]
Di halaman-halaman berikutnya terdapat bantahan tafshil antara mahiyah dan non-mahiyah.
Selanjutnya saya nantikan bimb dan arahan ustdz Firanda,Bcs,MA bila kita bw kaedah salafyh di atas ke masalah sutroh.
Jazaakallahu khoir atas informasinya, terus terang suatu ilmu baru bagi ana. semoga Allah menambah ilmu antum akhi al-fadhil. Mengenai apakah kaidah langsung bisa diterapkan dalam permasalahan yang sedang kita bahas?, sehingga menyimpulkan bahwa sutroh hukmnya sunnah, karena kalau kita katakan wajib melazimkan tidak sahnya sholat orang tanpa sutroh..?? ini merupakan pembahasan yang penuh tantangan dan ketelitian. kaidah inipun harus diteliti lagi apakah merupakan kaidah yang rajih (tentunya dengan melihat khilafnya dengan merujuk kepada kitab-kitab ushul)?, lalu kalau rajih apakah berlakku secara mutlak tanpa pengecualian..?, terus apakah bisa diterapkan dapalm permasalahan kita?, apakah ada ulama yang pernah merojihkan bahwasanya sutroh hukumnya sunnah dengan kelaziman kaidah ini…?, terus terang butuh waktu. ana sangat berharap antum bisa membahasnya dan memberikan faedah kepada ana. Baarokallahu fiik
terakhir afwan akhhi fadhil, ana belum mendapat gelar MA, dan ana malu untuk menyandangnya mengingat ilmu yang sangat minim.
Semoga Allah menganugrahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan keiklhasalan. Asykrukum katsiiron wa juziitum khoiron
الأصل الذى عليه السلف والفقهاء أن العبادات والعقود المحرمة إذا فعلت على الوجه المحرم لم تكن لازمة صحيحة وهذا وإن كان نازع فيه طائفة من أهل الكلام فالصواب مع السلف وأئمة الفقهاء لأن الصحابة والتابعين لهم بإحسان كانوا يستدلون على فساد العبادات والعقوبة بتحريم الشارع لها وهذا متواتر عنهم
[Majmu Fatawa jilid 33 hal 24]
Ustadz, apakah setelah Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kaedah tersebut adalah ijma salaf maka apakah kaidah inipun harus diteliti lagi apakah merupakan kaidah yang rajih (tentunya dengan melihat khilafnya dengan merujuk kepada kitab-kitab ushul)?
Kitab-kitab ushul yang ustadz maksudkan di sini mencakup kitab ushul mutakallimin semisal mustasfa Ghazali ataukah hanya kitab ushul ahli sunnah?
faedah :
Ibnu Hazm berkata (Al-Muhalla 4/186 tahqiq Ahmad Syakir) :
قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إذَا صلى أحدكم إلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ منها لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عليه صَلاَتَهُ # قال عَلِيٌّ فَصَارَ فَرْضًا على من صلى إلَى سُتْرَةٍ أَنْ يَدْنُوَ منها وكان من لم يَدْنُ منها إذَا صلى إلَيْهَا غير مُصَلٍّ كما أُمِرَ # فَلاَ صَلاَةَ له
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Jika salaha seorang dari kalian sholat ke arah sutroh maka hendaknya mendekat ke sutroh tersebut, agar syaitan tidak memutuskan sholatnya”.
Ali (Ibnu Hazm) berkata : Maka jadilah wajib bagi orang yang sholat ke sutroh untuk mendekat ke sutroh. dan barang siapa yang tidak mendekat ke sutroh jika ia menghadap sutroh sesungguhnya tidak sholat sebagaimana diperintahkan. maka tidak ada sholat baginya” (Al-Muhalla 4/186)
Dzohir dari perkataan Ibnu Hazm di atas bahwasanya orang yang sholat meskipun pakai sutroh namun tidak mendekat ke sutroh tapi menjauh dari sutroh maka sholatnya tidak sah. ini hukum orang yang sholatnya pakai sutroh namun tidak mendekat ke sutroh, bagaimana lagi dengan orang yang asalnya sholatnya tidak ke sutroh. tentu hukum sholatnya lebih tidak sah lagi.
nukilan ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Albani bawhasanya Ibnu Hazm (yang wafat tahun 456 H seabad sebelum wafatnya Ibnu Rusyd) berpendapat akan wajibnya sutroh. meskipun dzohir dari perkataan Ibnu Hazm di atas bahwasanya orang yang sholat tanpa sutroh maka sholatnya tidak sah. Sepertinya Ibnu Hazm sepakat dengan kaidah yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang antum sebutkan. Wallahu A’lam.
Tinggal kita membahas apakah kaidah ini yang rojih atau tidak, dan apakah secara mutlak berlaku tanpa ada istitsnaa’? semoga antum bisa membari masukan. Baarokallahu fiik
Ustadz berdua hafidzakumullah, afwan saya bertanya menyimpang dari topik namun sedikit masih ada kaitannya dengan kaidah di atas yaitu mengenai orang yang meninggalkan shalat fardhu berjamaah. Selama ini dari jawaban sebagian ustadz bahwa orang yang meninggalkan shalat fardhu berjamaan shalatnya tetap sah hanya saja dia berdosa karena meninggalkan yang wajib. Akan tetapi setelah membaca apa yang dipaparkan Ustadz Aris dalam diskusi ini saya menjadi bertanya, apakah orang yang meninggalkan shalat fardhu berjamaah berkonsekwensi shalatnya tidak sah karena meninggalkan yang wajib? Jazakumullahu khairan..
Mudah-mudahan Akh Aris Munandar bisa memberi masukan dalam hal ini, kita menunggu ilmumya.
Mungkin dhowabit tentang النهي يقتضي الفساد bisa dilihat dari ucapan Syaikh Abdul Aziz Ar Rois
وهو اختيار ابن تيمية أن النهي يقتضي الفساد مطلقا إذا كان في نص لا النهي المركب من نصين معنى هذا أن قوله r فيما أخرج مسلم من حديث أبي مرثد الغنوي :” لا تصلوا إلى القبور” هذا نهي في نص واحد ومثال المركب الصلاة في الأرض المغصوبة لا يوجد نص يقول لا تصل في الأرض المغصوبة وإنما مركب من عدة نصوص إذا كان النهي في نص واحد فيفيد الفساد وإذا كان مركبا فلا يفيد الفساد وما كان من حق العباد فإذا أذنوا به صحت العبادة وإن لم يأذنوا به فسدت هذا خلاصة ما قرره أبو العباس ابن تيمية رحمه الله
link http://www.al-afak.com/showthread.php?t=1699
Syukron
Ana udah baca tulisan Ibnu taimiyyah, menurut pemahaman ana syaikhul islam Ibnu Taimiyyah tidak membedakan antara apakah nasnya murokkab atau tidak, yang penting jika suatu ibadah dikerjakan tidak sesuai dengan perintah Allah maka tidak diterima. oleh karenanya beliau berpendapat tentang tidak sahnya sholat lelaki yang memakai pakaian sutra. (lihat Majmu’ fataawa 29/290) padahal tidak ada dalil yang menunjukan Rasulullah melarang sholat memakai sutra, akan tetapi larangan memakai sutra ada dalil umum dan tidak khusus berkaitan dengan sholat.Karena sutra berkaitan dengan hak Allah, berbeda dengan jika seseorang sholat di tanah rampasan maka hal ini berkaitan dengan hak makhluk. maka beliau tidak memandang sholatnya batil, akan tetapi kurang pahalanya.Oleh karenanya ana tidak seutuu dengan kesimpulan Syaikh Abdul Aziz Ar-Royyis hafiszohulloh
Jazakalloh khoiron atas penjelasan antum ustadz
Memang kita melihat penjelasan ulama’ sekarang(seperti Syaikh Utsaimin di
http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17738.shtml
atau Syaikh Abdullah Al Fauzan di
http://www.taimiah.com/index.aspx?function=item&id=952&node=4601
maka kaedah ini (النهي يقتضي الفساد) memang tidak diterapkan secara mutlak, dan ini yang saya ketahui selama ini.
Kemudian saya baru tahu karena mendapat informasi dari nukilan ustadz Aris
Salah satu perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan
إذن قاعدة النهي يا إخوان: أن النهي إذا عاد إلى الذات أو الشرط اقتضى الفساد، وإذا عاد لأمر خارج ما يقتضي الفساد؛ فيصح أن يقال: إن الأصل في النهي أنه يقتضي الفساد، لكن دائما؟ لا، إلا إذا دل الدليل على أن النهي لا يقتضي الفساد.
Syukron
Dalam dars Dalil al Thalib, Syaikh Abdul Aziz ar Rais mengatakan:
_ مسألة : – إذا حكى عالم صاحب استقراء _ كابن المنذر وابن قدامة والنووي ومن باب أولى كالإمام أحمد _ إجماعاً فالأصل قبول إجماعه حتى يتبين خرمه , ثم إذا وقفت على عالم خالف فلا تتعجل في زعم الإجماع مخرموماً لأنه قد يكون بعد انعقاد الإجماع .
كمثل قول داود الظاهري ومن تبعه بجواز مس القران لمن عليه حدث أصغر , فإن أول من خالف وقال بجواز مس القران لمن عليه حدث أصغر هو : داود الظاهري . كما أفاده ابن قدامة , فعليه خلاف داود بعد إجماع فلا يعتد به .
_ ولابد أيضاً من النظر فيمن خالف الإجماع فقد يكون الإجماع منعقداً بعد خلاف .
كما اختلف التابعون في الخروج على السلطان الفاسق ثم انعقد الإجماع كما أفاده النووي والقاضي عياض وشيخ الإسلام ابن تيمية وابن حجر .
ومن أمثلة ذلك :
_ جماع الرجل زوجته من غير إنزال , كان فيه خلاف كما أشار للخلاف البخاري في ( صحيحه ) ثم انعقد الإجماع كما يدل عليه كلام ابن المنذر .
Jadi ketika ada klaim ijma namun dijumpai khilaf ada tiga kemungkinan yang patut ditimbang
1. khilaf muncul setelah adanya ijma
2. ijma muncul setelah adanya khilaf
3. klaim ijma tidak benar.
Dalam masalah sutroh manakah pilihan yang tepat?
Adakah ulama sezaman Ibnu Rusyd atau Ibnu Qudamah yang berpendapat wajibnya sutroh?
Mohon pencerahan dari al Ustadz Firanda.
وضع الله الحق والصواب على لسانه وقلمه
Di ta’liq untuk al Ushul min Ilmi Ushul, Syaikh Abdul Aziz ar Rais mengatakan,
فمتى ما ثبت الإجماع صار حجة لأن الشريعة لم تفرق بين زمن وزمن
akhil fadhil, kita kembali lagi ke permasalahan ijmak…
Adapun ijmak ibnu Qudamah sudah ana jawab dalam artikel, jadi ana rasa tidak perlu diulang lagi.
adapun ijmak ibnu Rusyd maka ana katakan :
1. Para ulama yang menghikayatkan ijmak, mereka pada dasarnya tidak sedang menghikayatkan ijmak dizaman mereka, akan tetapi mereka menghikayatkan ijmak yang telah terjadi.
Misalnya Ibnu Rusyd dalam bidayatul Mujtahid, beliau mengatakan “Telah bersepakat para fuqohaa” tentu maksud beliau adalah ijmak yang terjadi sebelum beliau, bukan ijmak di zaman beliau. karena tentunya kita tahu banyak sekali para ulama yang hidup di zaman beliau, baik di barat maupun di timur, utara maupun selatan. tentu mustahil dizaman tatkala itu Ibnu Rusyd mengetahui seluruh perkataan para ulama dipenjuru dunia tatkala itu. kecuali jika ada muktamar tatkala itu yang dihadiri oleh seluruh ulama dunia.
2. Dari sini kita tahu bahwasanya Ibnu Rusdy melakukan istiqro dan tatabbu’ pendapat para ulama melalui buku-buku fikih yang ada tatkala itu. oleh karenanya beliau tidak pernah menyebutkan perkataan ulama di zaman beliau sama sekali, akan tetapi beliau menyebutkan perkataan para ulama yang jauh sebelum beliau
3. Inilah yang dipraktekan dalam risalah-risalah ilmiah (tesis atau desertasi) mereka meneliti ijmak-ijmak yang disampaikan oleh Ibnu Abdil barr, AN-Nawawi, Ibnu rusyd, Ibnu Qudamah, Ibnul Mundzir dll, dengan mengecek terhadap pendapat2 ulama sebelum mereka, bukan mengecek perkataan para ulama di zaman Ibnu rusyd, An-Nawawi dll. Jika ternyata mereka dapati bahwa para ulama telah khilaf sebelum Ibnu Rusyd dll maka mereka para bahitsin menyatakan bahwa ijmak tersebut tidak benar, karena khilafnya ma’ruuf
4. Untuk mengetahui pendapat seluruh ulama di zaman Ibnu Rusyd bagi kita adalah perbuatan yang mustahiil. jangankan kita di tahun 2010 ini, Ibnu Rusyd saja mustahil melakukannya apalagi kita. apalagi belum ada internet dan hp, kalaupun ada internet mungkin koneksinya lemah…he he
5. Kalau kita mengatakan dengan perkataan antum, yaitu kita harus terima ijmak yang dinukil oleh Ibnu abdil Barr, An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Jarir, dll kecuali jika kita mengetahui ada ulama dizaman dia yang menyelisihi maka ini akan melazimkan seluruh ijmak mereka tidak ada yang ditolak. karena sulit untuk mengetahui perkataan para ulama dizman Ibnu Abdil barr yang hidup seman beliau.
6. Apalagi para ulama berpendapat bahwa kapan saja terjadi keseppakatan para ulama meskipun hanya sesaat maka telah terjadi ijmak. maka jika mereka (Ibnu Abdil barr, Ibnu Rusdy, Ibnu Qudaamah, dll) telah menyatakan ijmak, maka kita tidak mungkin menolak ijmak tersebut meskipun kita menemukan ulama di zaman mereka yang menyelisihi mereka.karena bisa jadi penyelishan mereka terjadi sejam setelah terjadi ijmak. oleh karena itu akan muncul pertanyaan lagi, kita harus tahu kapan mereka berijmak…. ini semua mustahiiiil
7.Taruhlah Ibnu rusyd telah meneliti seluruh perkataan para ulama di zman beliau -yang artinya beliau telah berkeliling dunia, dan mendata perkataan seluruh ulama se zamannya- maka kita katakan bahwasanya Ibnu rusyd termasuk mutasaahil yang berpendapat bahwa Al-Qoul Al-Aktsar merupakan ijmak.
8. Coba antum renungkan praktek Syaikh Ali Bassaam, yang menukil ijmak tentang mustahabnya sutroh?, beliau sedang menukil ijmak para ulama sezaman beliau? tentunya tidak, akan tetapi beliau menukil ijmak di zaman dahulu sebleum beliau. karena ada ulama se zaman beliau yang berpendapat wajibnya sutroh, diantaranya Al-Albani.
ana masih menunggu masukan akh al-faadil al-kariim Aris Munandar. sungguh masukan-masukan beliau semakin membuka cakrawala. Allahu yaziidu ‘ilmahu wa fiqhahu
1.Dalam masalah khuruj ala hukkam ada khilaf di masa salaf semisal khilafnya al Husain bin Ali dan Said bin Jubair lalu ada klaim ijma ahli sunnah ttg haramnya khuruj dari Nawawi dalam syarah Muslim. Kesimpulannya, terjadi ijma setelah adanya khilaf.
2.Dalam masalah kewajiban mandi setelah jima’ tanpa inzal ada khilaf di masa salaf trus ada klaim ijma oleh Ibnu Mundzir. Kesimpulannya, terjadi ijam setelah adanya khilaf.
3.وقوله ( أن عبد الله بن الزبير خطب فقال لاتلبسوا نساءكم الحرير فانى سمعت عمر بن الخطاب رضى الله عنه يقول قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لاتلبسوا الحرير ) هذا مذهب بن الزبير وأجمعوا بعده على اباحة الحرير للنساء كما سبق
[Syarh Muslim karya Nawawi jld 14 hal 44, cet Matba’ah Misriah bi al Azhar, 1349 H]
Ibnu Zubair mengharamkan wanita memakai sutra, ada klaim ijma’. kesimpulan Nawawi, terjadi ijma setelah adanya khilaf.
4.ada klaim ijma ttg tidak wajibnya sutroh, ustadz firanda mendapatkan data adanya khilaf sebelum munculnya klaim ijma. Kesimpulan-dr ustadz firanda-, klaim ijma tidak benar alias mengada-ada.
Pertanyaan:
1. mengapa dalam kasus sutroh tidak disimpulkan, ada ijma setelah dulunya khilaf sebagaimana tiga contoh sebelumnya? Apa beda kasus ini dengan tiga kasus sebelumnya?
2. Ketika dijumpai khilaf sebelum ijma dalam suatu masalah, kapan kita simpulkan “terjadi ijma setelah dulunya khilaf” dan kapan kita simpulkan “klaim ijma tidak benar” alias mengada-ada? Apa dhabit untuk membedakan dua hal ini?
Mohon pencerahan dari Ustadz Firanda.
Ana sepakat dengan antum, bahwa bisa terjadi ijmak setelah ikhtilaf, yang ana bicarakan sama antum akhil kariim yaitu ibnu Rusyd sedang menyampaikan khilaf dari zaman sebelum beliau, bukan pada zaman beliau. jadi penglaziman antum untuk mencari ulama yang tidak sepakat dengan ibnu Rusyd adalah kelaziman yang tidak perlu sebagaimana yang ana sampaikan diatas, mohon dibaca ulang. Ana rasa point-point yang banyak tersebut tidak perlu ana ulang. baarokallahu fiik.
coba antum renungkan kembali semua apa yang antum sampaikan, kelazimannya tidak ada satupun ijmak yang disampaikan oleh seorang alim, baik nawawi atau ibnul mundzir atau ibnu Abdil barra atau Ibnu jarir kecuali ijmak tersebut harus diterima. karena menurut kaidah antum ijmak-ijmak tersebut terjadi setelah khilaf. dan ijmak-ijmak tersebut tidak bisa dibatilkan kecuali sampai kita menemukan ulama sezaman mereka yang menentang mereka. tentunya ini semua adalah kelaziman yang batil yang tidak diucapkan oleh seorang alimpun. baarokallahu fiik
akhil kariim, antum perhatikan contoh 3 ijmak yang antum sebutkan, baik yang disebutkan oleh An-Nawawi maupun Ibnu Mundzir. Mereka pada hakekatnya sedang menyebutkan khilaf yang telah terjadi di zaman sebelum mereka, dan bukan di zaman mereka. Intinya kita sudah selesai dari pembahasan bahwa untuk membatalka ijmak Ibnu Rusyd tidak perlu mencari perkataan ulama yang sezamannya. setuju?, atau ada masukan lain ya akhil karim??
sekarang kita masuk pada pembahasan yang lain, yaitu bagaimana mengetahui klaim ijmak tersebut itu batil?
1. Menurut yang ana pelajari bahwasanya para ulama memabtilkan suatu ijmak yang diadakan dengan melihat khilaf sebelumnya atau tidak. sebagaimana yang nampak dalam risalah-risalah ilmiyah
2. Jika ternyata tidak ada khilaf sebelum adanya dakwah ijmak tersebut maka ijmak tersebut itu benar. sebagai contoh, tatkala Ibnu taimiyyah menyebutkan bahwa haramnya khuruj ‘alal hukkaam merupakan perkara ijma’ maka hal dibangun diatas penukilan-penukilan ijmak sebelumnya dari Imam Al-Bukhari dan Imam-Imam sunnah yang lainnya yang mendakwahkan Ijmak tatkala itu. dan seluruh buku-buku sunnah menjelaskan akan diharmkannya khuruj ‘alal hukkaam. hal ini merupakan qorinah yang kuat bahwasanya telah terjadi ijmak.
3. Dalil antum akhil kariim tentang ijmaknya sutroh yaitu hanyalah dakwahan Ibnu rusyd belaka. adapun Ibnu Qudamah telah ana jelasakan di artikel. Adapun Ibnu rusyd, maka :
– beliau adalah mutasahil
– Ternyata telah terjadi khilaf, adanya ulama sebelum beliau (dan sangat dekat) ada yang dua abad sebelum beliau (seperti Ibnu Khuzaimah) dan ada yang satu abad sebelum beliau (seperti Al-Lakhomi dan Ibnu Hazm)…maka dengan waktu yang dekat ini bagaimana bisa diklaim ijmak?
Akhil Faadil, antum bertanya terus, sekarang gimana kalau ana gantian yang bertanya?
1. Apakah semua klaim ijmak yang disampaikan oleh para ulama harus antum terima?,
ada dua kemungkinan jawaban antum
-kalau tidak kenapa?, dari mana antum tahu ijmaknya batil? dan apakah ada contohnya?
– kalau jawabannya ; “harus diterima” berdasarkan kaidah antum harus mengetahui ulama se zaman yang menyelisihi, maka tentu saja tidak ada seorang alimpun yang menyetujui antum.
2. Apakah antum memandang Ibnu rusyd mutasahil dalam mendakwahkan ijmak? terutama dalam kitabnya bidayatul mujtahid?. ada dua kemungkinan jawaban antum:
– kalau “iya beliau mutasahil”, maka selesai perkara, ijmak ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan pegangan dengan adanya qorinah-qorinah diatas yang ana sebutkan
-kalau “tidak setuju beliau mutasahil” maka adakah ini berdasarkan penelitian antum?, ataukah ada ulama yang mendahului antum?
3. Antum pendukung kaidah Ibnu Taimiyyah an-Nahy yaqtdhil fasaad secara mutlak, maka ana bertanya :
– apakah antum sudah meneliti kaidah ini?, sehingga menyimpulkan bahwa pendapat yang mentafsil tentang jika larangn kembali ke rukun atau syarat (sebagaimana dikuatkan oleh Utsaimin) merupakan pendapat tanpa dalil?
– apakah kaidah yang disebutkan oleh Ibnu taimiyyah merupakan nukilan dari para salaf berupa kaidah? ataukah istinbat ibnu Taimiyyah dari fatwa-fatwa mereka?
– Bagaimana dengan pertanyaan akh hermawan, apakah sah solatnya orang yang tidak berjamaah di mesjid?
Ana sangat berharap antum menyimpulkan pendapat Ibnu taimiyyah dalam kaidah ini, mengingat yang ana tangkap bahwasanya kesimpulan yang disebutkan oleh Syaikh Royyis hafidzohullah tidaklah tepat, karena Ibnu Taimiyyah memandang sholat lelaki dengan memakai pakaian sutra tidak sah.
Ana tunggu masukan dari antum baarokallahu fiik wa jazaakallahu khoiron
Berikut ini adalah perkataan Dr Abu Hammad Shaghir Ahmad bin Muhammad Hanif dalam mukadimah tahqiq beliau untuk al Ijma karya Ibnul Mundzir hal 16, cetakan kedua 1420H, terbitan Maktabah al Furqon ‘Ajman Emirat Arab dan Maktabah Makkah al Tsaqafiyyah Emirat Arab
أما ابن المنذر فقد تابع فيه الطبري ومن سلك مسلكه فهو يذكر المسألة وإذا كان فيها خلاف شاذ أو رأي منفرد ليس له سند صحيح فهو يعتبره إجماع أهل العلم ولا عبرة عنده بخلاف رجل أو رجلين.
ومن عرف نهج ابن المنذر ثم تتبع نهج الطبري في تهذيب الآثار وتفسيره ونهج ابن نصر المروزي في اختلاف العلماء ونهج مالك في الموطأ والشافعي في الأم وأبي عبيد في كتاب الطهارة وكتاب الأموال وغيرهم كثيرون يجد أن نهج بعضهم لا يختلف عن بعض آخر.
إذا إجماعات ابن المنذر ليست من قبيل إجماع الأصوليين ولا فيها نكارة، إذ سبقه العلماء وسلك هو أثرهم فيها.
وقد اطلعت أخيرا على مؤلف مخطوط في الاجماعات، وقد التزم مؤلفه ألا يذكر إلا إجماعات قد حصل فيها خلاف رجل أو رجلين وهو “نوادر الفقهاء” لمحمد بن الحسن التميمي الجوهري. وذكر في المقدمة أن هذا هو الإجماع الصحيح وخلاف رجل أو رجلين لا يكدر الإجماع
Jika benar pernyataan di atas, tepatkan vonis “tasahul” utk Thabari dll padahal itulah manhaj Imam Malik dan Syafii dalam masalah ijma?
aslkm, belum tidur ya akhi…,
1. pembicaraan kita tentang ibnu Rusyd bukan tobari. banyak ulama yang mengatakan tobari mutasahil diantaranya dalam Mudzakkiroh usuhl fiqh dan juga para bahitsin dalam risalah-risalah ‘ilmiyah, bagaimana antum berpegang dengan PDR Ahmad, yang tidak jelas apakah ahli dalam usul fikh?
2. gimana pertanyaan-pertanyaan kok belum dijawab.
Syukron wa baarokallahu fiik
Akhil kariim,
1. Menurut antum definisi ijmak yang benar apa?, apa antum setuju dengan At-Thobari?
2. Antum tentunya tidak menerima mentah-mentah peraktaan DR Ahmad, maka apakah As-Syafii suka menyerukan ijmak?, dan apakah sudah ada tesis tentang dirosah ijmaak As-Syafii sehingga antum menyimpulkan bahwa manhajnya seperti At-Thobari?, demikian juga imam Malik?
3. sekali lagi tolong pertanyaan-pertanyaan ana diberi pencerahan
SYUKRON wa zaadakallahu ‘ilman wa fiqhan
Berikut ini jawaban yang bisa saya-seorang yang miskin ilmu-sampaikan
1. Saya setuju dengan Syaikh Ar Rais bahwa kita tidak boleh gegabah atau tergesa-gesa mengatakan bahwa klaim ijma itu mengada-ada. Tapi sampai saat ini saya belum mendapatkan penjelasan detail yang muqni’ tentang “tergesa-gesa” dalam hal ini dan dhabit kapan klaim ijma diterima dan kapan tidak.
2. Saya tahu Ibnu Rusyd itu “mutasahil” dalam ijma baru dari tulisan Ustadz Firanda di atas. Tentang vonis “mutasahil” di sini saya beberapa catatan:
a. Tentang tasahul dalam klaim ijma. Setahu saya vonis tasahul dalam klaim ijma ditujukan kepada orang yang tidak menganggap khilaf satu atau dua ulama sebagai khilaf. Jika memang demikian, sebelum Ibnu Rusyd ada empat pendapat yang menyelisihinya yaitu Imam Malik, al Lakhomi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hazm sehingga berdasarkan kaedah ijma dan khilafnya Ibnu Rusyd seharusnya masalah sutrah adalah masalah khilaf karena khilafnya lebih dari dua ulama. Akan tetapi mengapa beliau tetap menilainya sebagai ijma? Apakah ada ijma setelah khilaf ataukah kemungkinan yang lain?
b. Tidak teranggapnya khilaf satu atau dua orang nampaknya-wallahu a’lam-terkait dengan dhabith qoul syadz. Sehingga karena khilaf satu atau dua orang itu terhitung syadz maka keberadaannya dianggap tidak ada. Akhirnya muncullah klaim ijma. Kalo menurut ustdz firanda sendiri apa dhabith yang pas untuk qoul syadz berdasarkan tasharruf para fukaha dalam kitab-kitab fikih?
3. Saya belum melakukan penelitian detail tentang kaedah an Nahyu yaqtadhi fasad menurut Ibnu Taimiyyah. Karena begitu beliau mengklaim bahwa seperti itu adalah ijma salaf maka saya menerima dan menyakininya. Untuk rincian kaedah tersebut maka selama ini saya baru memakai rincian yang disampaikan oleh Syaikh ar Rais. Baru segitu kemampuan yang saya miliki.
4. tentang shalat berjamaah setahu saya ini adalah min bab al amr bukan annahyi. Bisa kita katakan min bab annahyi tapi nahyi-nya murakkab sehingga tidak bisa kita masukkan dalam kaedah di atas sebagaimana rincian dari Syaikh ar Rais. Meski Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa shalat jamaah adalah syarat sah shalat tapi-setahu saya- hal itu karena hadits Ibnu Abbas “falaa shalata lahu illa min ‘udzrin”, bukan karena kaedah ini.
Saya bawakan kutipan tentang Ibnu Mundzir dan Thabari karena mereka divonis sebagai mutasahil dengan sebab yang sama dengan Ibnu Rusyd yaitu tidak menganggap khilaf satu atau dua orang.
Saya juga belum pernah melakukan kajian khusus tentang ijma Imam Syafii dan Imam Malik. Oleh karena itu setelah mengutip perkataan Dr Ahmad saya menulis “Jika benar pernyataan di atas” dengan tujuan faedah ilmiyyah dari Ustadz Firanda tentang hal ini.
Menurut pengamatan sementara saya, kaedah bahwa “klaim ijma adalah batil jika dijumpai khilaf sebelumnya” adalah kaedah yang kurang tepat.
Buktinya dalam masalah sutra untuk wanita, wajib mandi karena jima yang tanpa inzal n beberapa kasus yang lain, ulama menyimpulkan telah ada ijma setelah ada khilaf.
Jadi kita perlu dhabit kapan kita boleh mengatakan “telah ada ijma setelah ada khilaf”.
Sampai saat ini saya belum tahu dhabit tentang hal tersebut. Saya sangat berharap mendapatkan dhabit-dhabit dalam hal ini dari thalibul ilmi mutamakkin seperti ustadz Firanda.
apa yang ana sebutkan ana rasa sudah cukup dan tidak perlu diulang-ulang. ijmak setelah khilaf bisa terjadi, akan tetapi qorinah-qorinah yang ana sebutkan tentang permasalahan sutroh seperti adanya khilaf dari para ulama besar, Imam malik, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm, Al-Lakhomi yang hidu[ dari abad yang berbeda-beda sampai seabad sebelum Ibnu Rusyd.
Kalau antum merasa kurang tepat qorinah tersebut, maka adakalah seorang alimpun yang berpemahaman seperti antum?. ana sudah sampaikan bahwasanya apa yang ana sebutkan inilah yang dittempuh oleh para ulama tatkala menjelaskan kebatilan suatau ijmak, dan juga ditempuh oleh para bahitsiin dalam risalah-risalah mereka.
Adapun jika antum merasa kurang tepat,. maka bagaimanakah cara antum menyatkaan ijmak itu batil?. yang jelas antum harus menerima seluruh klaim ijmak….sebagaiman penjelasan yang telah berulang-ulang ana sebutkan di atas. baarokallahu fiik
Perkataan antum “Menurut pengamatan sementera ana”…maaf pengamatan dibuku mana? baarokallahu fiik
Maaf, karena saya tinggal jauh dari pusat ilmu maka saya tidak tahu secara pasti apakah Dr Ahmad yang saya kutip perkataannya adalah seorang yang ahli dalam usul fikih ataukah tidak. Karena keterbatasan tsb maka semua doktor yang menulis atau mentahqiq kitab dalam bidang usul fikih pun saya kira adalah seorang pakar dalam bidang tersebut.
alhamdulillahirobbil, ‘aalamin. dengan ini ana menutup diskusi kita, semoga Allah menambah ilmua antum, hanya saja ana sagngat berharap jika antum menemukan suatu kaidah apakah fiqhiyah maupun ushuliyah ana harup antum tidak langsung menerima secar mentah-mentah, akan tetapi hendaknya mengecek dan mentahqiq kaidah tersebut dari buku-buku sumber. Alhamdulillah sumber-sumber tersebut sudah banyak dan bisa kita baca lengsung baik melalui syamilah ataupun buku-buku pdf yang bisa disownload dari internet.
selain itu hendaknya jangan segera memvonis -suatu pendapat tanpa dalil atau vonid-vonis yang lainnya keceuali setelah melalui dirosah dan membandingkan dengan buku-buku para ulama, atau buku-buku yang khusus dirosah tentang permasalahan tertentu. agar antum tahu saja, bahwasanya Syaikh Royyis -hafidzohulloh- tidaklah dikenal ‘alim dalam bidang ushul fiqh. alhamdulillah ana udah berkunjung di rumah beliau dan ana sangat kagum dengan akhlak beliau, sampai-sampai meskipun seperempat jam lagi beliau akan safar beliau masih sempat menerima ana dan dua teman ana sebagai tamu, dan bahkan beliau meminta kami untuk nginap di rumah beliau. dan beliau ma’ruuf dalam dakwah dan membantah ahlul bid’ah, akan tetapi tentunya beliau tidak sama dengan para ulama yang memang kehidupannya bergelut dalam bidang ushul fiqh.
dan yang terakhir semoga jika lain kali kita diskusi lagi atau diskusi dengan sesama ikhwah agar hendaknya diskusi kita terarah dan mengerucut, dan tidak ke kanan ke kiri,.
Akhhir kaalam, ana mengucapkan jazaakallahu katsiron atas masukan-masukan antum yang alhamdulillah membuat ana harus banyak belajar, dan sadar bahwasanya meskipun ana sudah belajar di S2 Islamic University namun ana sadar ilmu ana yang sangat minim, terutama permasalahan fiqh dan ushul fiqh (mengingat jurusan ana adalah aqidah, dan terlebih khusus adalah asmaa’ wa sifaat).
Oleh karenanya ana masih terus mengharap masukan-masukan dari antum dalam diskusi-diskusi lainnya.
sekali lagi dengan ini ana tutup diskusi kita, agar waktu antum bisa bermanfaat untuk menyusun tulisan-tulisan yang lain. baarokallahu fiik wa zaadakallahu ‘ilman wa fikhan. Wallahi uhibbuka fillah.
Akhuukum fillah Abu Abdilmuhsin.
Jazakumullahu khoiron dan terima kasih yang setulus-tulusnya saya ucapkan kepada ustadz firanda yang telah merelakan sebagian waktunya untuk berbagi ilmu dengan saya.
Moga Allah memberi ganti yang lebih baik di dunia dan di akherat.
Assalamu`alaikum
Ana dapat kabar bahwa syaikh Albani itu pernah berfatwa bahwa bumi itu mengelilingi matahari padahal setahu ana syaikh Utsaimin berfatwa sebaliknya bahwa dari dahulu para ulama pun berfatwa semakna dengan syaikh Utsaimin. Pertanyaan ana
1. apakah perkara di atas semuanya benar?
2. apakah bila ada sebuah perkara seperti pengetahuan fisika sekarang mengatakan bahwa bumi itu mengelilingi matahari bisa membatalkan ijma ulama?
3.Bolehkah kita menuliskan penisbatan salaf di belakang nama kita atau orang lain seperti Fulan As-Salafi,Ustadz Firanda As-Salafi,atau semacamnya karena ana pernah dengar bahwa sebagian ulama membolehkannya?
assalamualaikum
afwan ustadz izin copas,
barakAllahu fiik,.
Jadi kalau Sutrah itu hukumnya wajib lalu apa konsekwensinya orang yg shalat tidak menggunakan sutrah ? apakah shalatnya menjadi tidak sah ?
Mohon pencerahannya Ustadz DR.Firanda, semoga الله senantiasa merahmati antum.
Sukran
assalamu’alaikum
pak ustadz mohon izin share di facebook saya”ucokmonalisa” yang ada di web ini
semoga Alloh merahmati,meridhoi,melindungi pak ustdaz dan selalu terus berkarya demi kemajuan DIN ISLAM jadzakullohu khoiron katsiron wa’alaikum slam
081265569000
Assalamualaikum ustad firanda yang saya hormati,
perkenalkan saya Rudi, seorang santri dari salah satu dayah di aceh, setelah membaca tulisan-tulisan anda di web ini, saya menjadi heran, karena yang saya pelajari di dayah selama ini sangat bertolak belakang dengan apa yang anda sampaikan, saya memang melihat kebenaran dari apa yang anda sampaikan. tapi jika benar demikian. kemana saya hendak menuntut ilmu Agama? padahal saya butuh akan ilmu itu untuk ukhrawi saya. saya bingung.