Kesyirikan menurut Abu Salafy
((Abu Salafy berkata:
Syirik adalah sudah jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:
A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan selain Allah SWT.
B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain Allah SWT.
C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen. Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya.
D)Tasrî’, dengan meyakini bahwa ada pihak lain yang memiliki kewenangan secara independen dalam membuat undang-undang dan syari’at.
E) Hâkimiyah, dengan meyakini bahwa ada kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah secara independen.
F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.
Batasan-batasan syirik, khususnya syirik dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!)) (http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))
Dari sini jelaslah bahwasanya Abu Salafy hanya menyatakan seseorang terjerumus dalam kesyirikan jika meyakini Dzat yang ia ibadahi memiliki hak independent dalam pengaturan alam semesta. Dari sini terungkap rahasia kenapa Abu Salafy ngotot pada dua perkara :
– Ngotot kalau kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah. Adapun pernyataan mereka dalam Al-Qur’an bahwasanya Allah adalah pencipta dan pemberi rizki hanyalah sikap berpura-pura, akan tetapi batin mereka tidak beriman kepada Allah. (yang telah saya bantah dalam tulisan saya http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah dan http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)
– Ngotot kalau keyakinan kaum musyrikin bahwasanya malaikat adalah putri-putri Allah maksudnya adalah para malaikat ikut mencipta dan member rizki (sebagaimana telah saya bantah dalam tulisan saya http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Karena dengan dua perkara di atas maka Abu Salafy ingin menggolkan pemikirannya bahwa yang namanya kesyirikan adalah jika seseorang meyakini ada dzat lain yang ikut mencipta dan memberi rizki dan mengatur alam semesta selain Allah.
Oleh karenanya wajar jika Abu Salafy menyatakan bahwa :
Pertama : Berdoa kepada selain Allah jika dilakukan oleh seorang muslim maka itu bukanlah kesyirkian. Jika seseorang berdoa dan berkata ; “Wahai Rasulullah sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah selamatkanlah aku” maka ini bukanlah kesyirikan selama orang tersebut tidak meyakini Rasulullah ikut mencipta alam dan pemberi rizki serta ikut mengatur alam semesta. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk membawakan lafal orang ini pada artian “Wahai Rasulullah mintalah kepada Allah agar menyembuhkan aku dan agar menyelamatkan aku”
Abu Salafy berkata ((Sebab sebagaimana harus kita yakini bahwa seorang Muslim Mukmin yang meyakini bahwa apapun selain Allah SWT tidak memiliki daya dan kekuatan apapun… tidak dapat memberikan manfa’at atau mudharrat apapun…. kecuali dengan izin Allah, sudah cukup sebagai alasan bagi kita untuk menilai positif apa yang ia lakukan… cukup alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya apa yang ia lakukan adalah tidak lain hanyalah meminta syafa’at dan meminta dido’akan. Andai-kata kita tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi tujuan dari apa yang ia kerjakan, maka adalah wajib untuk menilai positif amalan dan ucapan seorang Muslim dengan dasar kewajiban penilai positif setiap amalan atau ucapan Muslim selagi bisa dan ada jalan untuk itu, sehingga tertutup seluruh jalan untuk penafsiran positif dan tidak ada penafsiran lain selai keburukan)), Abu salafy juga berakta ((misalnya ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.
Seperti dalam contoh, “Si Raja membangun Istana yang sangat megah” dalam ucapan di atas, semua tau bahwa bukan maksud si pengucap bahwa sang raja itu sendiri yang membangun dinding-dinding, memasang altar, dan kramik istana itu misalnya, semua mengerti bahwa yang ia maksud ialah bahwa yang membangun adalah para tukang bangunan, yang merancang adalah para arsitek, mereka adalah sebab terdekad terbangunnya istana megah itu, akan tetapi karena semua itu atas peritah sang Raja, maka tidaklah salah apabila ia mengatakan bahwa Sang raja membangun istana! Sebagaimana tidak salah pula apabila ia mengatakan bahwa para pekerja/tukang bangunan telah membangun istana Raja!
Dalam kasus kita di atas misalnya, qarînah yang membenarkan pemaknaan tersebut adalah dzahir keadaan si Muslim. Karena pengucapnya adalah seorang Muslim yang meyakini dan mengikrarkan bahwa selain Allah tidak ada yang memiliki daya dan kekuatan apapun baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik memberi manfa’at ataupun mudharrat… semua yang terjadi adalah dengan taqdir dan ketetapan Allah SWT… maka hal ini sudah cukup sebagain qarînah yang membenarkannya.
Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa ucapan seperti: ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ jika diucapkan oleh seorang Muslim maka ia tidak menunjukkan kemusyrikan, sebab ia termasuk ketegori majâz ‘aqli, akan tetapi jika pengucapnya adalah seorang ateis atau yang tidak percaya Tuhan, misalnya maka ia menunjukkan kemusyrikan, sebab ia bukan termasuk majâz ‘aqli, ia mengucapkannnya dengan haqîqatan! Ia menisbatkan pelaku penumbuhan tanaman itu kepada musim semi dengan sepenuh keyakinan bahwa musim semi-lah yang yang menumbuhkannya bukan Allah SWT.
Dari sini dapat dimengerti bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara ucapan seorang Muslim ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ dengan ucapannya “Wahai Rasulullah, sembuhkan aku dari sakitku”?!)), Abu Salafy juga berkata ((Lalu apakah dikarenakan ucapan tersebut di atas seorang Muslim dihukumi telah musyrik/menyekutukan Allah SWT.?! Tentu tidak!!
Benar, apabila seorang yang mengucapkannya meyakini bahwa yang ia seru itu mampu melakukan apa yang ia minta dengan tanpa bantaun dan taqdir Allah maka ia jelas telah menyekutukan Allah SWT. dan pastilah kaum Muslimin akan berlepas diri dari kemusrikan itu. Tetapi permasalahannya, apakah demikian yang diyakini kaum Muslimin ketika mereka ber-istghatsah dan memanggil mana Rasulullah saw., atau nama hamba-hamba shaleh pilihan Allah sepeti Ahlulbait Nabi dan para waliyullah! )) ((lihat http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/22/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-18/))
Kedua : Jika seseorang menyembelih kepada selain Allah, kepada para wali misalnya, maka demikian pula menurut Abu Salafy maka itu bukanlah kesyirikan jika dilakukan oleh seorang muslim. Karena tidak seorang muslimpun yang meyakini wali tersebut ikut mengatur dan mencipta serta memberi rizki. Oleh karenanya jika ada seorang muslim yang menyembelih kepada selain Allah maka harus dibawakan kepada makna orang tersebut menyembelih untuk wali agar sang wali menjadi perantara antara ia dengan Allah dalam memenuhi hajatnya. Abu Salafy juga berkata ((…. ketika ada seorang bernazar menyembelih seekor binatang ternak untuk seorang wali misalnya, maka kaum wahhabi segera menudingnya sama dengan kaum Musyrik yang memberikan sesajen kepada para arca …. padahal yang perlu mereka ketahui bahwa seorang muslim yang sedang bernazar itu ia sedang meniatkan agar pahala sembelihannya diberikan kepada si wali tersebut! Anggap praktik seperti itu salah, tetapi ia pasti bukan sebuah kemusyrikan…))(http://abusalafy.wordpress.com/2008/04/22/kasyf-asy-sybuhat-doktrin-takfir-paling-ganas-14/)
Sanggahan
Untuk menyanggah pernyataan Abu salafy maka saya ingatkan kepada para pembaca tiga perkara:
Pertama : Bahwasanya hakekat kesyirikan adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah. Kita telah mengikrarkan dalam sholat kita
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah (QS Al-Faatihah : 5)
Oleh karenanya seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan.
Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku’, bernadzar, menyembelih, dan merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa, demikian juga istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan genting.
Oleh karenanya sebagaimana sujud, ruku, menyembelih jika diserahkan kepada selain Allah merupakan kesyirikan maka demikian pula berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukan akan larangan berdoa kepada selain Allah lebih banyak daripada ayat tentang larangan sujud dan menyembelih kepada selain Allah.
Kedua : Hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab adalah menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada Allah dan juga sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah (sebagaimana telah saya jelaskan di http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Ar-Roozii berkata : “Mereka (kaum kafir) mereka menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah. Dan yang semisal ini di zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahawasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah” (Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)
Ibnu Katsiir berkata : “Mereka membuat patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah-pen) menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah dalam menolong mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…
Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah : “Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki”
Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang” (Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adziim 12/111-112)
Para pembaca yang budiman dalam pernyataannya di atas Ar-Roozi dan Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa syubhat mencari syafaat inilah yang telah menjerumuskan kaum muysrikin zaman dahulu dan zaman sekarang.
Ketiga : Beristigotsah kepada selain Allah yaitu kepada para wali yang sudah meninggal atau kepada Rasulullah dengan meyakini bahwa para wali tersebut hanyalah sebagai sebab dan pada hakekatnya Allah-lah yang menolong…itulah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beristigotsah kepada selain Allah adalah bentuk berdoa kepada selain Allah. Dan doa merupakan ibadah yang sangat agung, maka barangsiapa yang menyerahkan kepada selain Allah berarti ia telah beribadah kepada selain Allah, dan barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah maka dia adalah seorang musyrik.
Doa adalah ibadah yang sangat penting maka jika diserahkan kepada selain Allah merupakan syirik besar
Ibadah secara bahasa berarti ketundukan dan perendahan, Al-Jauhari rahimahullah berkata:
“Asal dari ubudiyah (peribadatan) adalah ketundukan dan kerendahan…, dikatakan الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ (jalan yang ditundukan/mudah untuk ditempuh) dan الْبَعِيْرُ الْمُعَبَّدُ (onta yang tunduk/taat kepada tuannya) (As-Shihaah 2/503, lihat juga perkataan Ibnu Faaris di Mu’jam Maqooyiis Al-Lugoh 4/205, 206 dan perkataan Az-Zabiidi di Taajul ‘Aruus 8/330)
Adapun definisi ibadah menurut istilah adalah tidak jauh dari makna ibadah secara bahasa yaitu ketaatan dan ketundukan serta kerendahan:
At-Thobari berkata pada tafsir surata al-Faatihah:
“Kami hanyalah memilih penjelasan dari tafsir ((Hanya kepada Engkaulah kami beribadah)) maknanya adalah kami tunduk, kami rendah, dan kami patuh… karena ubudiyah menurut seluruh Arab asalnya adalah kerendahan” (Tafsiir At-Thobari 1/159)
Al-Qurthubi berkata :
“((kami beribadah)) maknanya adalah : kami taat kepadaNya, dan Ibadah adalah : ketaatan dan kerendahan, dan jalan yang ditundukan jika ditundukan agar bisa ditempuh oleh para pejalan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Harowi” (Tafsiir Al-Qurthubi 1/223)
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang menjadi tujuan doa. Pantas saja jika Nabi bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)
Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa :
“Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah (wuquf di padang) Arofah”
Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji yang paling besar. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah”
Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang marfuu’:
لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa”
Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan” (Fathul Baari 11/94)
Oleh karenanya pantas jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ؛ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ
“Kondisi seorang hamba paling dekat dengan Robnya tatkala ia sujud, maka perbanyaklah doa” (HR Muslim no 215)
Imam An-Nawawi berkata;
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِقَوْلِ اللهِ تعالى وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ وَلِأَنَّ السُّجُوْدَ غَايَةُ التَّوَاضُعِ وَالْعُبُوْدِيَّةِ للهِ تعالى
“((Kondisi seorang hamba paling dekat dengan Robnya tatkala ia sujud)) dan ini sesuai dengan friman Allah ((Sujudlah dan mendekatlah)), dan karena sujud merupakan puncak tawadhu’ dan peribadatan kepada Allah” (Al-Minhaaj 4/206)
Oleh karenanya posisi sujud merupakan posisi yang menunjukan rendahnya seorang hamba karenanya merupakan kondisi yang sangat pas bagi seorang hamba untuk memperbanyak doa. Karena tatkala doa nampaklah kebutuhan dan kerendahan seorang yang berdoa di hadapan Allah.
Al-Hulaimi (wafat tahun 403 H) berkata :
“Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah. Oleh karenanya Allah berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)
Al-Hulaimi juga berkata :
“Hendaknya rojaa’ (pengharapan) hanyalah untuk Allah karena Allah-lah Yang Maha Esa dalam kepemilikan dan pembalasan. Tidak ada seorangpun selain Allah yang menguasai kemanfaatan dan kemudhorotan. Maka barangsiapa yang berharap kepada dzat yang tidak memiliki apa yang ia tidak miliki maka ia termasuk orang-orang jahil. Dan jika ia menggantungkan rojaa (pengharapannya) kepada Allah maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa yang ia butuhkan baik perkara kecil maupun besar, karena semuanya di tangan Allah tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhan selain Allah. Dan meminta kepada Allah adalah dengan berdoa” (Al-Minhaaj fi Syu’ab Al-Iimaan 1/520)
Ar-Roozi berkata :
“Dan mayoritas orang berakal berkata : Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak” (Mafaatihul Goib 5/105)
Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak kemudian ia berkata :
“Allah berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)
Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah alias syirik??!!
Sungguh dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan sangatlah banyak. Diantaranya firman Allah :
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS Al-Ahqoof : 5)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan Barangsiapa berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung (QS Al-Mukminun 117)
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di’azab (Asy-Syu’aroo : 213).
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan janganlah kamu berdoa di Tuhan apapun yang lain disamping (berdoa kepada) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS Al-Qoshosh : 88).
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping berdoa Allah. (QS Al-Jin : 18)
Rasulullah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 4497)
Itulah dalil yg banyak yang menunjukkan bahwa berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan.
Lantas bagaimana ustadz abu Salafy menyatakan bahwasanya jika seseorang berdoa kepada selain Allah, kepada Nabi atau kepada wali maka itu bukanlah kesyirikan selama tidak disertai keyakinan bahwasanya wali atau nabi tersebut ikut mencipta dan mengatur alam semesta serta memberi rizki??!!
Perkataan seseorang “Wahai Rasulullah, sembuhkanlah aku!!!” ini bukanlah kesyirikan??, perkataan seseorang, “Wahai Abdul Qodir Jailani, tolonglah aku…!!”, ini juga bukan kesyirikan??!!, iya bukan kesyirikan, selama tidak meyakini Nabi dan Abdul Qodir Jailani ikut mencipta dan mengatur alam semesta..!!!!, demikianlah keyakinan Abu Salafy.
Dan saya harap para pembaca memperhatikan ayat-ayat dan hadits di atas yang bersifat umum tentang doa. Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah mengecualikan bahwasanya jika berdoa kepada makhluk dengan keyakinan bahwasanya makhluk tersebut (baik malaikat atau nabi atau wali) tidak ikut mencipta, mengatur, dan memberi rizki secara independent maka bukan kesyirikan.
Lebih aneh lagi Abu Salafy tidak menganggap istighotsah sebagai ibadah. Abu Salafy berkata ((Sebab inti masalahnya sebenarnya terletak pada pemahaman menyimpang Ibnu Taimyah dan para mukallidnya seperti Ibnu Abdil Wahhâb dan kaum Wahhâbi mukallidnya dalam mendefinisikan makna ibadah…di mana mereka memasukkan meminta syafa’at, beristighatsah, bertawassul dll. misalnya sebagai bentuk kemusyrikan… sementara para mufassir klasik yang selama ini dirujuk kaum Wahhâbiyyûn dan Salafiyyûn sama sekali tidak memasukkannya dalam daftar kemusyrikan!)) (lihat http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/08/benarkan-kaum-musyik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-allah-bantahan-untuk-ustad-firanda-i/)
Sungguh kedustaan yang dinyatakan oleh Abu Salafy, justru para ahli tafsir telah menjelaskan hal tersebut merupakan kesyirikan. Kita malah balik bertanya ulama ahli tafsir mana yang menyatakan bahwa beristigotsah dan berdoa kepada selain Allah –selama tidak syirik dalam rububiyah- bukanlah kesyirikan??!!
Karenanya jika kita bertanya kepada orang-orang yang beristigotsah kepada para wali dengan berdoa kepada wali tatkala dalam keadaan genting, “Apakah jika kalian beristigotsah dan berdoa kepada Allah tatkala dalam keadaan genting maka bukankah hal itu merupakan ibadah?”, tentunya mereka akan menjawab : iya. Tidak ada seorang muslimpun yang mengingkari hal ini bahwa seseorang yang dalam keadaan terdesak lantas berdoa kepada Allah maka berarti ia beribadah kepada Allah !!! Ini semakin menegaskan bahwasanya berdoa dan beristigotsah merupakan ibadah. Lantas bagaimana Abu Salafy tidak menganggap istighotsah sebagai ibadah??!!
Tentang majaz ‘aqliy
Untuk semakin memperkuat igauannya maka ustadz Abu Salafy berdalil dengan majaz aqli, ia berkata ((misalnya ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.))
Maka sanggahan terhadap perkataannya ini dari beberapa sisi, diantaranya :
Pertama : Pendalilan dengan majaz ‘aqli untuk membenarkan kesyirikan atau mentakwil kesyirikan tidak pernah disebutkan oleh seorang ulama pun dari kalangan mutaqoddimin sepanjang pengetahuan saya. Semua ulama menghukumi syiriknya seseorang dengan dzohir lafal kesyirikan yang terucap. Pentakwilan dengan majaz ‘aqli ini adalah bid’ah yang dicetuskan oleh Ali bin Abdil Kaafi As-Subki (wafat 746 H) dalam kitabnya Syifaa As-Siqoom fi ziyaaroh khoir Al-Anaam (hal 174), kemudian ditaqlid buta oleh Ahmad bin Zaini Dahlaan (wafat 1304 H) dalam kitabnya “Ad-Duror As-Saniyah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Wahaabiyah” dan Muhammad Alawi Al-Maaliki dalam kitabnya “Mafaahiim yajibu an tushohhah”. Dan sekarang diwarisi oleh muqollid mereka Abu Salafy.
Kedua : Hal ini melazimkan bahwa tidak seorangpun yang kafir dengan lisannya, karena setiap seseorang mengucapkan kesyirikan atau bahkan kekufuran maka harus dibawakan kepada makna yang benar dengan qorinah (indikasi) keislaman pengucapnya.
Yang lebih parah lagi Abu Salafy tidak hanya menerapkan majaz ‘aqli pada perkataan syirik seperti doa “Yaa Rasuulallah sembuhkanlah aku”, bahkan ia juga menerapkan majaz ‘aqliy pada perbuatan syirik, seperti menyembelih kepada wali.
Jika perkaranya demikian maka percuma bab-bab tentang kemurtadan yang ditulis oleh para ulama, tidak ada faedahnya, karena jika ada seseorang yang mengucapkan kekufuran atau kesyirikan maka harus di takwil pada makna yang tidak syirik karena pelakunya ber KTP islam, padahal para ulama telah sepakat bahwasanya seseorang tidak boleh mengucapkan perkataan kufur kecuali jika dipaksa.
Ketiga : Hal ini melazimkan bahwasanya kaum musyrikin yang menyembah berhala orang sholeh atau menyembah malaikat juga tidak bisa dihukumi sebagai kaum musyrikin. Karena mereka mengakui dalam banyak ayat bahwasanya Allahlah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta. Pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah ini merupakan qorinah bahwasanya permintaan mereka kepada berhala orang sholeh hanyalah majaz ‘aqliy
Keempat : Dalih majaz ‘aqliy ini melazimkan bolehnya para penyembah kubur untuk menyerahkan sebagian ibadah kepada para wali dengan alasan mereka hanya menjadikan para wali penghuni kuburan tersebut sebagai sebab, dan yang mengabulkan hanyalah Allah
Kelima : Hal ini melazimkan tidak boleh ada pengingkaran sama sekali terhadap kesyirikan yang terjadi ditengah kaum muslimin yang memiliki KTP muslim, karena KTP nya merupakan qorinah bahwasanya perkataan dan perbuatan syiriknya adalah bukan kesyirikan.
Keenam: Bahkan berdasarkan pemahaman Abu Salafy memang tidak ada kesyirikan sama sekali di umat ini, karena tidak ada diantara mereka yang meyakini bahwa ada dzat lain yang ikut mencipta, mengatur alam semesta, dan memberi rizki secara independent
Ketujuh : Majaaz ‘aqliy secara umum adalah menyandarkan fi’il (perbuatan) bukan kepada pelakunya yang hakiki akan tetapi kepada salah satu dari dua perkara:
– Penyandaran fi’il kepada waktu atau tempat terjadinya fi’il. Penyandaran perbuatan kepada waktu seperti misalnya perkataan “Musim semi telah menumbuhkan tanaman” (maksudnya : Allah menumbuhkan tanaman di waktu musim semi). Penyandaran perbuatan kepada tempat misalnya perkataan “Jalan kota Jakarta ramai” (maksudnya : “Orang-orang ramai di jalan kota Jakarta”, karena keramaian dilakukan oleh orang-orang para pengguna jalan dan bukan dilakukan oleh jalan)
– Penyadaran fi’il (perbuatan) kepada sebab terjadinya fi’il. Contohnya perkataan “Gubernur membangun gedung yang tinggi” (maksudnya : Gubernur sebab dibangunnya gedung yang tinggi yaitu dengan memerintahkan para pekerja” (lihat Al-Balaagoh Al-Waadhihah karya Ali Al-Jaarim dan Mushthofa Amiin, hal 115-117)
Maksud dari ustadz abu salafy dengan pendalilan majaz ‘aqliy di sini adalah menyandarkan fi’il kepada sebab terjadinya fi’il, bukan kepada waktu atau tempat terjadinya fi’il. Karenanya ustadz Abu Salafy menjelaskan bahwasanya perkataan seseorang “Wahai Rasululullah sembuhkanlah aku” atau “Wahai wali fulan selamatkanlah aku, angkatlah musibahku” maksudnya adalah, “Yaa Allah sembuhkanlah aku, yaa Allah angkatlah musibahku”. Sebagaimana taktala kita berkata “Musim semi menumbuhkan tanaman” maksudnya “Allah menumbuhkan tanaman tatkala musim semi”
Oleh karenanya agar bisa tepat penerapan majaz aqliy di sini maka seorang yang beristighotsah kepada wali tatkala dalam kondisi genting maka dia harus meyakini bahwa wali tersebut merupakan sebab yang pasti untuk datangnya pertolongan Allah, maka ia harus memiliki tiga keyakinan:
– Wali yang sudah mati ini bisa mendengar seruannya tatkala ia dalam keadaan genting dimanapun ia berada
– Meyakini bahwa sang wali yang sudah mati ini mengetahui kondisi musibah yang sedang ia alami, karena jika sang wali tidak pasti tahu maka berarti sang wali bukanlah sebab.
– Meyakini bahwasanya wali ini pasti memberi syafaat baginya di sisi Allah. Karena kalau tidak pasti maka berarti wali ini bukanlah sebab
Dan ketiga keyakinan ini 1)bahwa wali mendengar secara mutlaq, dan 2)sang wali memiliki ilmu yang mutlaq sehingga mengetahui musibah yang sedang dialaminya, dan 3)syafaat mutlaq (bahwasanya sang wali pasti memberi syafaat kepadanya) tidak diragukan lagi merupakan kesyirikan.
Kedelapan : Hukum asal dalam memahami sebuah perkataan adalah dibawa ke makna hakiki bukan ke makna majaz. Oleh karenanya para ulama balaghoh juga tidak membolehkan majaz ‘aqli secara mutlaq digunakan, oleh karenanya mereka hanya menyebutkan sedikit contoh berupa syair-syair atau perkataan-perkataan yang beredar di masyarakat.
Jika kita mendengar sebuah perkataan “Musim semi menumbuhkan tanaman” maka –secara akal- kita akan paham bahwa maksud dari pengucap kata ini adalah “Allah menumbuhkan tanaman tatkala musim semi”. Maka saya ingin bertanya secara jujur kepada abu salafy apakah tatkala seseorang berkata “Yaa Husain angkatlah musibah kami, wahai Husain sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah sembuhkanlah aku” maksudnya adalah “Wahai Allah sembuhkanlah aku”??!!!, apakah Abu salafy memahami demikian??!!. Jangan-jangan yang mengucapkan “Abdul Qodir Jailani selamatkanlah aku” ia sendiri tidak paham apa itu majaz ”aqliy??!!.
Kesembilan : Apakah orang yang dalam keadaan genting kemudian mengucapkan “Wahai Abdul Qodir Jailani selamatkanlah aku” tatkala itu ketundukannya dan rasa pengharapannya sedang ia tujukan kemana??, kepada Allah semata??, ataukah juga kepada Abdul Qoodir jailaani??, bukankah inilah hakekat kesyirikan???
Bukankah Allah-lah yang menghilangkan kesulitan??
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)
Kesepuluh : Taruhlah bahwasanya maksud seseorang tatkala berucap “Wahai Abdul Qodir Jailaani, tolonglah aku” maksudnya adalah berdoa kepada Abdul Qodir jailani agar memberi syafaat baginya di sisi Allah, agar Allah menolongnya. Bukankah inilah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab?? (sebagaimana telah saya jelaskan di http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Kesebelas : Bukankah Rasulullah juga melarang lafal-lafal yang mengandung kesyirikan meskipun pengucapnya tidak berkeyakinan kesyirikan??
Renungkanlah hadits-hadits berikut ini
أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
“Ada seorang yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya kalian berbuat kesyirikan, kalian berkata : “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”, dan kalian berkata : “Demi Ka’bah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka jika mereka hendak bersumpah hendaknya mereka berkata “Demi Robnya ka’bah”, dan mereka berkata : “Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu” (HR An-Nasaai no 3782)
Dalam hadits ini orang yahudi saja mengerti bahwasanya bersumpah atas nama selain Allah adalah kesyirikan dan mengucapkan “Atas kehendakmu dan kehendak Allah” adalah kesyirikan. Dan hal ini diiqror (diakui) oleh Nabi dan Nabi tidak membiarkan para sahabat untuk tetap mengucapkan perkataan-perkataan tersebut karena majaz ‘aqliy, tentunya para sahabat tidak meyakini ada pencipta selain Allah.
Kesyirikan lafal-lafal tersebut diperkuat dan dipertegas oleh Nabi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللهُ، وَشِئْتَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَجَعَلْتَنِي وَاللهَ عَدْلًا بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ “
Dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah”, akan tetapi “Atas kehendak Allah saja” (HR Ahmad 3/339 no 1839, Ibnu Maajah no 2117)
Nabi juga bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka telah berbuat kesyirikan” (HR Ahmad 9/275 no 5375 dan Abu Dawud no 3253)
Kedua belas : Tidak diragukan lagi bahwasanya para sahabat dan juga para tabi’in banyak mengalami kondisi-kondisi yang genting, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang kemudian beristigotsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Peringatan :
Telah jelas Abu Salafy menyatakan bahwasanya barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah, meminta kepada wali yang sudah mati tidak akan terjerumus dalam kesyirikan selama tidak meyakini bahwa wali tersebut tidak ikut mencipta, mengatur alam semesta, dan ikut memberi rizki.
Abu salafy berkata ((Syirik adalah sudah jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:
A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan slain Allah SWT.
B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain Allah SWT.
C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen. Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya….
F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.
Batasan-batasan syirik, khususnya syirik dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!)) (http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))))
Coba para pembaca memperhatikan kembali perkataan Abu Salafy di atas, ia sangat menekankan kalimat “Independen“, artinya yang namanya kesyirikan adalah jika seorang yang berdoa kepada selain Allah tersebut meyakini bahwa dzat yang ditujukan kepadanya doa tersebut berhak mengatur alam semesta secara independen dan tanpa idzin Allah. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika seorang yang berdoa kepada Abdul Qodir Jailani meyakini bahwa Abdul Qodir Jailani juga ikut mengatur alam semesta namun dengan izin Allah, apakah ini bukan kesyirikan??!!. Dzohir dari perkataan Abu Salafy di atas ini bukanlah kesyirikan. Karena aqidah seperti ini menimpa sebagian kaum sufiyah, yang meyakini bahwasanya para wali ikut mengatur alam semesta dengan izin Allah.
Padahal inilah hakekat kesyirikan dalam rububiyyah, bahkan lebih parah dari kesyirikan kaum muysrikin Arab. Kalau kaum muysrikin Arab hanya menjadikan sesembahan mereka (baik orang sholeh maupun para malaikat) hanya sebagai washitoh/perantara dan pemberi syafaat dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengabulkan doa mereka, maka keyakinan bahwa para wali telah mendapatkan izin dari Allah untuk mengatur alam semesta lebih parah. Karena posisi para wali tatkala itu bukan lagi sebagai perantara, akan tetapi berhak untuk mencipta dan mengatur alam semesta atas kehendak mereka karena telah diberi hak otonomi oleh Allah. Inilah kesyirikan yang nyata.
Yang sangat disayang sebagian orang yang menjadikan rujukan Abu Salafy ternyata juga mendukung pemikiran seperti ini.
Lihatlah perkataan Muhammad Alwi Al-Maliki –salah seorang yang membenarkan kesyirikan dengan berdalih majaz ‘aqliy-, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :
فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ
“Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta’aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya”
Ia juga berkata tentang kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :
فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya”
Seorang tokoh sufi besar yang bernama At-Tijaani memperkuat keyakinan ini. Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil ‘Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :
“Adapun perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu ‘anhu : “Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan (yakun) terjadilah” …dan juga perkataan sebagian mereka : “Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku” dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu ‘anhum yang semisal ini, maka berkata (At-Tijaani) radhiallahu ‘anhu : “Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-‘Udzma (kerajaan besar) dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat “kun”, kapan saja mereka berkata kepada sesuatu “kun” (jadilah) maka terjadilah tatkala itu” (Jawaahirul Ma’aani wa Buluug Al-Amaani 2/62)
Hal ini juga dikatakan oleh tojoh sufi zaman kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah (silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)
Jika ternyata keyakinan bahwasanya wali ikut mengatur alam semesta dan mengatur manusia ternyata diyakini oleh pembesar-pembesar sufi tentunya hal ini disebarkan juga di masyarakat, jika perkaranya demikian maka sangatlah mungkin jika orang-orang yang tatkala terkena musibah atau dalam kondisi genting kemudian berkata, “Wahai Rasulullah selamatkanlah aku”, atau “Wahai Abdul Qodir Jailaani sembuhkanlah aku” mereka mengucapkan ungkapan-ungkapan istigotsah ini dengan berkeyakinan bahwasanya Rasulullah dan Abdul Qodir Jailaani bisa langsung menolong mereka dengan idzin Allah. Sehingga tidak perlu adanya majaz ‘aqli..!!!
Bersambung…
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 16-03-1432 H / 19 Februari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com