(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli dan Kiyai Tobari Syadzili)
Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para ulama Syafi’iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid’ah Menurut Madzhab Syafi’i.
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama syafi’iyah yang mu’tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual tahlilan!!!
Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah yang menjadi madzhab yang mu’tamad (patokan) dalam madzhab syafi’iyah? Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali!
Imam Malik Membolehkan Tahlilan
Dalam tulisannya di status di facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fikih syafi’i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri Tahlilan. Akan tetapi al-ustadz berpindah ke madzhab maliki dan menyebutkan bahwa madzhab maliki bahkan Imam Malik bin Anas rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram)), demikian perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli.
Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath al-‘Allaam Syarh Mursyid al-Anaam (3/217-218). Penulis kitab Fath al-‘Allaam Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jardaaniy berkata:
“Dan diantara bid’ah yang makruhah adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan “kaffaaroh”, yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau setelahnya, juga menyembelih di atas kuburan, dan jum’at-jum’at, emput puluhan hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara sang mayat memiliki hutang, atau di antara ahli warisnya ada yang terhalangi dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma’ dan yang semisalnya.”
Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Muhamad Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi’iyah. Karena kitab Fathul ‘Allam adalah kitab fikih Syafi’i, judul lengkapnya adalah:
فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ
Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip pendapat madzhab malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab malikiyah.
Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab madzhab maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan di rumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah:
Pertama: Abu Abdillah Al-Maghriby (wafat 954 H), beliau berkata:
“Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid’ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri…
Adapun apabila seseorang menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya, sum’ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut.” (Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan Dar ‘Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37)
Kedua: Muhammad ‘Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah (wafat 1230 H), beliau berkata:
Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di keluarga mayat maka itu merupakan bid’ah yang makruh” (Hasyiyah Ad-Dusuuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Darul Fikr), karya Muhammad ‘Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419)
Ketiga: Muhammad ‘Ulayyisy Al-Maaliki (wafat 1299 H), dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata:
“Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan perbuatan haram.
Adapun berkumpul untuk memakan makanan di rumah mayat maka ini merupakan bid’ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil, maka perbuatan ini haram.
Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan selalu menyediakan kopi di rumah mayit serta berkumpul di rumah tersebut untuk bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang, disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka kuburkan di tanah di bawah kaki mereka, yang telah mereka letakan di tempat yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat… Maka apakah ada kebaikan pada hal ini?? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah keburukan dan kerugian…” (Syarh Minahul Jalil ‘alaa Mukhtashor ‘Allaamah al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300)
DALIL BOLEHNYA TAHLILAN
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan tersebut.
Pendalilan Pertama
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:
“Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: ‘Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.’ Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya. (HR. Ibnu Mani’)
Al-Ustadz setelah itu berkata “…kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat”
Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
KRITIKAN
Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus Ramli di atas dari dua sisi:
PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil
Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam kitab apa riwayat Umar bin Al-Khotthob ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani’, dan juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi derajat keabsahan riwayat ini.
‘Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul ‘Ummaal (13/509 no 37304) –setelah menyebutkan atsar di atas- ia berkata:
(Ibnu Sa’ad, Ibnu Manii’, Abu Bakr fi Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu ‘Asaakir)
Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303 no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)
Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’aan.
Adapun Ibnu ‘Asaakir maka beliau meriwayatkan atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq (26/373), sebagaimana berikut:
Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud’aan.
Adapun Ibnu Sa’ad maka beliau meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini:
Adapun Ahmad bin Manii’ maka beliau membawakan riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar al-‘Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib al-‘Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)
Beliau berkata:
Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini:
Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr Al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh Al-Maharoh bi Zawaaid al-Masaaniid al-‘Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:
Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii’, dan pada sanadnya ada perawi Ali bin Zaid bin Jud’aan”
Ali bin Zaid bin Jud’aan adalah perawi yang dho’iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu’ (syi’ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut (Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du’afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104)
KEDUA: Tentang Sisi Pendalilan
Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar (riwayat) di atas akan bolehnya acara ritual tahlilan.
Mari kita baca kembali terjemahan riwayat di atas dengan seksama:
“…Tatkala Umar ditikam, maka Umarpun memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi khalfiah baru pengganti Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka Al-‘Abbaas radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan”. Maka Al-‘Abbaas pun makan lalu orang-orangpun ikut makan.”
Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar di atas maka bisa kita ambil kesimpulan:
Pertama: Penyediaan makanan tersebut telah diperintahkan oleh Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan ta’ziyah.
Kedua: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti Khalifah Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan Umar bin Al-Khotthoob.
Ketiga: Adapun penyebutan jumlah tiga hari tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dst. Akan tetapi hingga para sahabat menentukan khalifah yang baru, dank arena Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.
Keempat: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu adanya acara mendoakan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdoa, karena tatkala mereka berkumpul dan makan, Umar masih dalam keadaan hidup.
Kelima: Kapan mereka menahan diri ragu untuk menyentuh makanan?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan Umar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain:
Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang….”
Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan semenjak Umar masih hidup dan setelah Umar dikubur masih juga disediakan makanan. Akan tetapi para sahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang mereka rasakan.
Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.
Al-‘Abbas berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan”. Maka Al-‘Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut makan.”
Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama bahwasanya terlalu banyak para sahabat yang meninggal sebelum meninggalnya Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu’tah, dll, demikian pula yang meninggal di zaman Abu Bakar tatkala berperang melawan pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan!
Keenam: Yang jelas penyediaan makanan tersebut bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas perintah Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.
Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar riwayat di atas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung. Wallahu a’lam bis Showaaab.
PENDALILAN KEDUA’
Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:
“Riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi , bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: ‘Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.'” (HR. Muslim [2216])
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
KRITIKAN
Dalil dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anhaa di atas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk melegalkan acara ritual tahlilan.
Jika kita membaca kembali teks hadits di atas maka bisa kita simpulkan:
Pertama: Sangat jelas tidak ada penyebutan acara ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.
Kedua =: Dalam hadits di atas disebutkan bahwa yang menyediakan makanan adalah Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga Aisyah dan orang-orang khususnya.
Sangat jelas dalam riwayat di atas:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ
“Jika ada yang meninggal dari keluarga Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali keluarga Aisyah dan orang-orang khususnya, maka Aisyahpun memerintahkan untuk membuat makanan talbinah seperiuk kecil.”
Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.
Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga Aisyah yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan Aisyah.
Ketiga =: Dalam hadits di atas juga, tujuan pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada para penta’ziah, (karena jelas para penta’ziah wanita telah bubaran), akan tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.
Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan hadits di atas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.
Keempat: Yang dihidangkan oleh Aisyah adalah hanya talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan Aisyah bukanlah untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta’ziah dan bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang tidak mengenyangkan.
PENDALILAN KETIGA
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd: “Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi))
Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli
Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
KRITIKAN
Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
PERTAMA: Keabsahan Atsar Ini
Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Al-Mathoolib al-‘Aaliyah (5/330 no 834), sebagaimana berikut:
Imam Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada kami Hasyim bin Al-Qoosim, telah menyampaikan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan berkata, Thowus telah berkata: “Sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari tersebut.”
Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa’ (4/11) sebagaimana berikut ini:
Seluruh perawi atsar di atas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus.
Thoowuus bin Kaisaan Al-Yamaani wafat 106 H (Taqriibut Tahdziib hal 281 no 3309) adapun Sufyaan bin Sa’id bin Masruuq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A’laam An-Nubalaa 7/230). Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thoowus, hanya saja tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.
Justru yang ada adalah sebaliknya:
Pertama: Tatkala Thowus wafat (tahun 106 H) umur Sufyan At-Tsauri (yang lahir tahun 97 H) masih sangat kecil yaitu beliau berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thoosuus bin Kaisaan.
Kedua: Dalam buku-buku Taroojum Ar-Ruwaat (seperti Tahdziib al-Kamaal, Tahdziib At-Tahdziib, Siyar A’laam An-Nubalaa, dll) tidak menyebutkan bahwa Thoowus bin Kaisaan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.
Ketiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan dari Thoowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsaabit, (2) ‘Amr bin Diinaar, (3) Abdullah bin Thoowuus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin Maysaroh.
Keempat: Tidak ditemukan satu riwayatpun yang dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.
Kelima: Adapun riwayat di atas maka Sufyan tidak menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) “Dari Thowus”, akan tetapi beliau mengatakan (قَالَ طاووس) “Telah berkata Thoowus”. Yang shigoh periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan dari Thoowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thoowus. Karenanya sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.
KEDUA: Sisi Pendalilan
Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:
Pertama: Atsar ini dihukumi marfu’ mursal, karena Thoowus adalah seorang tabi’in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang hal yang ghoib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.
Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, ((Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang sahabat, akan tetapi ia hanyalah seorang tabi’in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang sahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang sahabat berbicara tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika seorang tabi’in yang berbicara?! Para ulama menyebutkan hukumnya adalah hukum mursal)). Demikian perkataan al-Ustadz.
Tentunya para ulama mengecualikan sahabat yang dikenal mengambil riwayat Israiliyaat seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aash, dan juga sahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika para sahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar’fuu’ karena ada kemungkinan mereka mengambil dari Isrooiliyaat.
Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Kedua: Semakin memperkuat akan hal ini, adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu’ menunjukan bahwa mayat akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.
Ketiga: Kalaupun atsar ini shahih, maka sama sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan. Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut di rumah keluarga mayat.
Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena pahalanya akan sampai kepada mayit.
Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100, dan seribu, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.
Keempat: Hal ini didukung dengan perkataan Jariir bin ‘Abdillah
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap perkumpulan di keluarga mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah.” (Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/320 dan Al-Bushiri dalam Az-Zawaaid)
Keenam: Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fikih madzhab? apakah para ahli fikih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini?
Ketujuh: Justru kita dapati madzhab Syaifiiyah lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah Bid’ah Menurut Ulama Syafi’i)
***
Penulis: Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com
جزاك الله خيرا
Subhanalloh ust Firanda, barokallohu fik. Sebenarnya menurut saya tidak perlu menanggapi tulisan2 kedua ustadz tsb. Sudah kami ketahui dari kecil, sy jg besar dan tumbuh dr kalangan meteka. Jadi tahu kadar keilmuwan kalangan tokoh2 agama saya yg dulu.
[quote name=”dela”]Subhanalloh ust Firanda, barokallohu fik. Sebenarnya menurut saya tidak perlu menanggapi tulisan2 kedua ustadz tsb. Sudah kami ketahui dari kecil, sy jg besar dan tumbuh dr kalangan meteka. Jadi tahu kadar keilmuwan kalangan tokoh2 agama saya yg dulu.[/quote]
sebenarnya ustadz menjawab supaya tidak jadi syubhat berkepanjangan, saya juga tumbuh dari keluarga kebangkitan ulama. tapi bapak saya punya kitab imam syairozi fiqh imam syafii. di situ dibahas perkara ta’ziyah, terang terangan syaikh syairozi berkata itu adalah muhdats dan muhdats adalah bid’ah, syarahny pun demikian yang ditulis imam Nawawi.. semoga yang ditulis ustadz bisa buat pelajaran bagi awam
Luarbiasa anda firanda ……. Islam membolehkan adanya perbedaan pendapat, akan tetapi menjadi haram ketika di dalamnya terdapat penghinaan & perendahan terhadap mereka yg tdk sependapat apalagi “membid’ahkan / memvonis sesat” …..KH.Thobary Syadzily siap untuk bertemu anda agar masyarakat awam tau TIDAK beragumen secara sepihak…..
perbedaan pendapat juga harus dalam koridor Sunnah mas. sudah jelas kan bahwa imam empat madhzab mengatakan bahwa tahlilan itu bukan dari bagian agama Islam …
Tolong cantumkan No HP anda ke EMAIL saya….supaya saya pertemukan anda dgn KH.THOBARY SYADZILY
[quote name=”wisnu w”]Tolong cantumkan No HP anda ke EMAIL saya….supaya saya pertemukan anda dgn KH.THOBARY SYADZILY[/quote]
Kalau memang Pihak Kyai Thobary ingin bertemu ya seharusnya Pihak Kyai Thobary lah yang menghubungi Syaikh Firanda. Namun afdolnya sebetulnya “Tulisan” ya seharusnya dibuat klarifikasi dengan “Tulisan” pula. Ini lebih Ilmiah dibanding hanya diskusi lisan, dimana potensi Jiddal-nya lebih besar.
Saya kira fihak Syaikh Firanda amat welcome kok. Bisa pula kalau Pihak Kyai Thobary berkesempatan mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah, tentu bisa langsung bersilaturahmi di majelis beliau (Syaikh Firanda) disitu.
Walah nanti yang keluar ilmu jadug, bisa apa kyai ente? Bakar menyan sama komat-kamit muter tasbih? Ketakutan kalau jamaahnya bubat. gitu aja alasannya
Syukron ustad atas artikelnya…
kalangan ASal WAni JAwab hanya bisa bercemooh ria..
syukron…
barakallhufik.
@Azhari S :Wah hebat ente, bener juga juga kepanjangannya emang itu yg paling tepat fulus…fulus….he…he…
Ilmiyah sekali bantahannya…. syukron tadz
Syukran, Jazaakallahu khairan ustadz. barakallahu fyyk
[quote name=”Akromuzzaman”][quote name=”dela”]Subhanalloh ust Firanda, barokallohu fik. Sebenarnya menurut saya tidak perlu menanggapi tulisan2 kedua ustadz tsb. Sudah kami ketahui dari kecil, sy jg besar dan tumbuh dr kalangan meteka. Jadi tahu kadar keilmuwan kalangan tokoh2 agama saya yg dulu.[/quote]
sebenarnya ustadz menjawab supaya tidak jadi syubhat berkepanjangan, saya juga tumbuh dari keluarga kebangkitan ulama. tapi bapak saya punya kitab imam syairozi fiqh imam syafii. di situ dibahas perkara ta’ziyah, terang terangan syaikh syairozi berkata itu adalah muhdats dan muhdats adalah bid’ah, syarahny pun demikian yang ditulis imam Nawawi.. semoga yang ditulis ustadz bisa buat pelajaran bagi awam[/quote]
[quote name=”Akromuzzaman”]Syukran, Jazaakallahu khairan ustadz. barakallahu fyyk[/quote]
tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallili, tahlilan.coba buka kitab ‘TANQIH AL QAUL HAL 28 dan kitab Al TAHQIQAT JUS III HAL 400, ddaN SUNAN AN NASA’I JUZ II HLM 200 DAN KASF AL SYUBUHAT LI AS SYAIKH MAHMUD HASAN RABI’ HAL 129
kalau Bacaan tahlil adalah afdholu dzikr. dan sangat di anjurkan bagi setiap muslim untuk membacanya dalam keseharianya. namun yang jadi masalah adalah tahlilan yang itu di jadikan nama ritual setelah kematian. yang di situ ada acara kumpul2 doa bersama dan makan2 bersama belum lagi ada ketentuan di hari ke tujuh empat puluh dan seratus, dua tahun dan seribu hari
alkhamdulillah jazakalloh khoir ustadz, terkadang perkara seperti ini juga harus dibantah karena mengelabui orang awam seperti ana.. Barokalloh feek ustadz
Sangat bagus
Sangat bagus
Subhanallah,… barrokallahu fik,.. ijin copas ya,…
Ya Allah smg putra kami mengikuti jejak langkah para asatidz yg Kau beri keberkahan ilmu dien ini,.. aammiin
al-Imam asy-Syaf i’i rahimahullaah:
Imam Syafi’i rahimahullaah pernah mengatakan, :
” Aku selalu kalah jika berdebat dengan orang-orang “bodoh”.
Penjelasan qaul imam asy-Syafi’i rahimahullaah ini adalah sebagai berikut:
>pernyataan jahil itu maksudnya..
bukan bodoh dalam artian yang sebenarnya, yakni tidak tahu ilmu apa-apa karena tidak berpendidikan dan belajar, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i rahimahullaah sampai melayani debat dengan orang bodoh dlm artian sbenarnya, sehingga, bodoh di sini adalah bodoh yang sifatnya TAJAAHUL (pura-pura bodoh /membodohi diri, atau tidak menyadari kalau dirinya bodoh).
>Mengapa Imam Syafi’i rahimahullaah bilang bahwa beliau selalu kalah debat dengan orang-orang bodoh itu?
Karena yang mereka minta dalam berdebat adalah dalil-dalil khusus/spesifik, yang bersifat leterleg, yang khash, sedangkan sudah mu’tabar bahwa dalam khasanah keilmuan, begitu banyak istinbath yang sangat dinamis, sehingga, mustahil jika hanya bertumpu pada satu dalil khash.
perbedaan semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan. pendapat orang tidak sama. yg perlu kita lakukan adalah saling menghargai dan menghormati. asalkan tidak saling mengganggu tidak apa.
syukron..
[quote name=”agus zulianto”]perbedaan semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan. pendapat orang tidak sama. yg perlu kita lakukan adalah saling menghargai dan menghormati. asalkan tidak saling mengganggu tidak apa.
syukron..[/quote]
berbuat zina asalkan sembunyi2 tidak menggangu orang lain tidak apa-apa..
minum khamr asalkan sendiri ga ngajak2 orang lain tidak apa-apa..
pakai narkoba asalkan tidak mengedarkannya tidak apa-apa..
berjudi asalkan sama2 ridho sesama pemainnya maka tidak apa-apa..
pakai jimat asalkan tidak ngajak2 orang lain tidak apa-apa..
ke dukun asalkan sendirian maka tidak apa-apa..
tahlilal itu adalah bid’ah. ini adalah perkara yang besar, bukan perkara kecil yang dibesar2kan. semoga dapat dipahami. Jazakallahu khairan
terkadang banyak orang yang menyepelekan bid’ah, padahal setiap khutbah jum’at Rasulullah shalallahu alaihi wassalam selalu menyebutkan akan bahaya bid’ah “… setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan di dalam api neraka.”
Jazakallahu khairan Ustadz, Penjelasan yang sangat ilmiyah. Inilah penyebab utama ana ruju’ dengan manhaj salaf karena sangat ilmiyah dalam beragumen.
Yaa.. setidaknya kita salut kedua ustadz Idrus dan Thobari plus Habib Munzir adalah orang yang jantan menunjukkan jati dirinya dlm menulis, sehingga umat bisa menilai tingkat keilmuan agama mereka dalam tulisan2nya. Tidak seperti teman2 seperjuangan mereka seperti Salafytobat, abusalafy, idahram, ust sahid, si laskar dan sejenisnya yang seperti mahluk ghaib dengan banyak celotehan dan tulisan.
ana berharap semoga dua ustad tersebut kembali rujuk kepada pemahaman salafus shalih 🙂
iya apalagi group FB yg namanya 1 juta orang tolak wahabi, hanya bisa mencela dan copas, disuruh buat buku banyak alasannya, wajar sich emang group itu banyak disusupi antek2 SYIAH…..
Baarakallah Ustadz Firanda…Jazakallahu khairan
Nuhun, Syukran, Jazakallahu khairan ustadz
Barokallohu fikum ya ustadz firanda, Ana tetap gak rela ustad melayani kyai2 yg keilmuannya maaf “selevel” mereka, biografi pendidikannya saja gak jelas. Tapi semoga Alloh membalas kebaikan ustad yg hendak meluruskan subhat2 yg mereka sebarkan.
Namun hujjah harus tetap ditegakan, tidak mungkin kita biarkan subhat itu tersebar tanpa ada seorangpun yang membantah. Kalau dari “level” ana juga punya anggapan seperti anta. Dari jumlah referensi kitab saja sepertinya tidak selengkap Ustadz Firanda, yang bisa scan kitab di Universitas Islam Madinah, belum lagi dengan bantuan maktabah syamilah. Wallahu a’lam.
astaghfirullah,,,
sombong itu temannya syaiton,,
[quote name=”salafi”]astaghfirullah,,,
sombong itu temannya syaiton,,[/quote]
BTW, siapa yg sombong ya??
Barokallahu fiyk ya ustadz, smoga ada ustadz2 ўϞ slalu menegakkan islam ўϞ murni spt ini, krn dunia islam skrg sdh sangat jauh dr tuntunannya. Smoga aswaja,syiah dan lainnya bisa segera taubat, smoga اَللّهُ سبحانه وتعالى menolong mereka.
Mumtaz…Lanjutkan ustad..sekalian izin share ya..
Barakallahu fiik
Jazamumullahu khoiron katsiron semoga ustadz istiqomah untuk meneggakkan kebenaran sesuai dengan sunnah nabi Muhammad saw
subhanallah..barokallahu fiik.. afwan ana izin share ustad,,jazakallahu khoiron katsir..
Jazakallahu khairan ustad.
Syukron Jazzakullahu khoiron Ustadz,semoga Ustadz Firanda senantiasa berada dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-NYA ,sehingga tulisan-tulisannya bisa memberikan pencerahan kepada umat Islam
pengertian tahlil yg salah kaprah dan tentunya argomentasinya tdk menjurus ke masalah tahlil akan ttpi lari pd permasalahan صَنِيعَةَ الطَّعَامِ من اهل الميت
‘
CAK NO SANG WAHABI SEJATI
Alkisah di negeri antah berantah terdapat sebuah
organisasi keagamaan. Nama organisasi tsb adalah CAK
NO. Ajarannya gabungan antara islam dan kejawen.
Makanya asasnya bernama ASli WArisan JAwa. Ciri-ciri
dari pimpinan, tokoh beserta anggota organisasi ini
antara lain untuk prianya mudah tensi alias kebakaran
jenggot. Makanya jenggot mereka pada habis karena
terbakar. Nggak tahulah apa penyebab mereka ini
mudah marah. Yg jelas mereka marah kalo ada orang
yang ingin menjalankan sunnah dan menjauhi bid’ah
seperti yg diperintah Allah dan RasulNya. Kalo ketemu
orang yg seperti ini mereka menyebut wahabi. Mereka
nggak sadar kalo salah seorang pendiri organisasi
mereka bernama Abdul Wahab juga. Ya, Abdul Wahab,
bukan hanya BIN Abdul Wahab. Maka secara bahasa yg
pantas disebut Wahabi sebenarnya kelompok ini.
Kemungkinan kedua jenggot mereka ini terbakar karena
kebablasan nyumut rokok. Karena rokok bagi organisasi
ini suatu “kewajiban”. Kalo nggak merokok nggak diakui
atau minimal kurang diakui loyalitasnya.
Sedangkan perempuannya juga pada kebakaran. Tapi yg
terbakar adalah kerudungnya atau bahkan bajunya.
Makanya kerudung mereka pendek-pendek atau hanya
pakai kupluk, atau bahkan nggak pake kerudung sama
sekali. Begitu juga dg bajunya. Sudahlah nggak bisa
dikatakan lagi. Nggak ada atsar atau bekas dari
keislaman mereka. Akan tetapi para pimpinan dan
tokoh mereka enjoy aja melihat yg demikian itu. Justru
kalo ada wanita yg mencoba menerapkan ajaran islam
yg sebenarnya malah dicemooh. Wal iyyadzu billah.
Demikianlah cerita dari negeri antah berantah.
Alhamdulillah kita masih dikenalkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dg Islam yg benar. Sehingga kita
tdk mudah kebakaran jenggot, terbukti semakin banyak
panjang dan lebat saja kayak jenggotnya para Rasul,
Nabi dan para a’immatul ummah salafunasshalih .
Demikian juga para akhwatnya senantiasa istiqomah dan
tidak mudah kebakaran kerudung atau jilbabnya apalagi
bajunya.
Kyaine CAK NO punya kebiasaan : mengharamkan yang halal karena dia gak suka dan menghalalkan yang haram karena dia suka…
yang paling hebat dari kalangan “Kebangkitan Ulama” itu hanyalah yang sering komentar. Jauh dari ilmu. yang ada hanya hawa nafsu. Tak lama lagi, Insyaallah dakwah sunnah merasuk kedalam hati sanubari masyarakat indonesia. dan kalanan ASWAJA akan kehilangan massa. masyarakat indonesia sudah cerdas. terus ustadz, ilmumu kami nanti slalu
Alhamdulillah…..
semoga dakwqah semacam ini akan terus berkembang di Indonesia sehingga Aqidah kita akan kembali sebagaimana seharusnya aqidah Muslim.
saya dulu adalah ahli bid’ah, ahli yasinan, tahlilan dsb….
alhamdulillah, mungkin saya mendapat Hidayah dari Allah dan bisa menjauhi itu semua.. walaupun resikonya adalah dijauhi oleh keluarga besar saya yg masih belum terbuka mata hatinya..semoga allah menunjukkan kita semua jalan yang lurus..! amiiiiin..
Butuh Dana Tahlilan, Jumadi Curi Kabel
http://news.detik.com/read/2009/06/09/173131/1145035/10/butuh-dana-tahlilan-jumadi-curi-kabel
Curi Kambing Untuk Biaya Tahlilan Mertua, Antani Dituntut 10 Bulan Penjara
http://www.fesbukbantennews.com/2013/04/curi-kambing-untuk-biaya-tahlilan-mertua-antani-dituntut-10-bulan-penjara/
Wah tumben nih ahli bid’ah pendukung dua kyai diatas pada nggak komen, malu ya dibungkam pake hujjah dari imam yg kalian aku pengikut madzhabnya??
kalo hanya mengkritik lewat tulisan itumah gak hebat. yang hebat menurutku ketemu aja sama ustadz idrus ramli lalu ajak diskusi, mungkin ada ilmu yang didapat dari antum oleh ustadz idrus ramli begitu juga sebaliknya mungkin ada ilmu yang dapat antum peroleh dari ustadz idrus ramli. sukron
wah… berarti Ahmad bin Hanbal mengkritik jahmiyyah lewat kitab AR RADD ‘ALAL JAHMIYYAH itu bukan sesuatu yang hebat. Ibnu Abdil Hadi yang mengkritik Taqiyuddin As Subki lewat kitab ASH SHORIMUL MUNKI FIR RADDI ‘ALAS SUBKI itu juga bukan hal yang hebat.
terus hebatnya Ustadz Idrus Ramli itu apa? lha wong beliau juga mengkritik Wahabi lewat tulisan di status facebook.
Barakallahu fiikum Ustadz. ana izin copas
Kepada saudaraku semua pecinta Maulid Nabi yang biasanya sekaligus pecinta Tahlil Kematian biasanya pula mengaku “Paling Cinta Nabi”, benarkah ucapan kalian ? Coba kalian perhatikan ucapan Nabi berikut ini :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak (HR. Muslim No. 1718).
Pantaskah orang yang mengaku mencintai Nabi membantah sabda beliau ?
3 dalil yang diajukan oleh Yang Terhormat Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli dalam artikel ini untuk melegalkan Ritual Tahlil Kematian (Tahlilan) semuanya berupa Atsar. Seandainya ke 3 atsar ini sahih, apakah dapat mengugurkan Hadits Nabi ?
Sekali lagi ana tanyakan, pantaskah kalian yang mengaku paling mencintai Nabi, membeo kepada ucapan orang yang ingin mengugurkan sabda Beliau ?
Pergunakan akal kalian yang diberikan Allah untuk mengkaji hal seperti ini, tidak asal membeo kalau kalian benar mencintai Nabi.
jangan pake akal kalo bicara agama
Saya orang yg masih mengamalkan tahlilan. Tp saya sangat menghargai artikel ini. Menurut saya, seharusnya semua ulama’ salafy beretika seperti ini ketika memberikan pendapat mereka tentang amalan2 Aswaja. Menurut saya ini lebih ilmiah dan jauh dari saling mencaci maki. Demikian juga seharusnya para ulama’ Aswaja juga menanggapi pendapat ulama’ salafy secara ilmiah juga. Semoga Islam semakin jaya… 🙂
wahai yang mengaku aswaja, beristighfarlah kalian, dan jangan egois dg kelompok kalian, tapi beningkanlah hati kalian
baguslah menjawab dengan argumen dengan akal dan dalil yg sesuai akalnya sendiri emang masih penting dibahas ttg tahlil antum pada berkomentar kayaknya bener tp semuanya ga ngalami jaman rasul dan sahabat keyakinan menyalahkan orang lain itu menurut sy yg salah…. sebagai orang awam menurut sy ngapain ngritik orang dah bukan jamannyanya… mencari kesalahan orang lain dengan amalan orang lain
Kalau dibiarin y lama2 nyembah kubur, nyanyi2 dlm mesjid, buat ibadah baru dll bro, kan dah diperingati dlm alquran kaum nyembah berhala, nabi isa disembah,lgbt,dst.. Mengapa begini? Karena saya sayang sesama muslim.
saya membaca semua buku buku ustadz firanda, kemudian saya juga membaca buku-bukunya Idahram, Abu Salafy, dan Habib Mundzir, subhanallah saya puas dan salut sama Ustadz Firanda,,, tulisan beliau mampu mematahkan semua argumen dari Idahram Abu Salafy dan Habib Mundzir dan yang lebih bagus lagi beliau ustad Firanda tetap menggunakan bahasa yang Santun,,, di solo ada Habib Noval yang menulis buku Ahlu Bid’ah Hasanah, buku ini ada 2 jilid, jika Ustadz Firanda ada waktu mohon buku tersebut juga dibahas…
Ya Allah, Ya Ghofur, Ya Rahim,
Ampunilah semua dosa dan kesalahanku, istri dan anak-anakku,ayah dan ibuku,kakek dan nenekku, serta saudara-saudaraku kaum muslimin dan muslimat,baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Robbal ‘alamin,
Limpahkanlah Berkah, Rahmat, dan RizkiMu kepada keluarga kami, mudahkanlah segala urusan kami, bebaskanlah kami dari segala kesulitan hidup yang kami alami. Hindarkanlah kami dari azab kubur dan siksa api neraka.
Amiin, ya Robbal ‘alamiin.
semoga Allah WaTa’ala mewafatkan kita dlm manhaj yg haq ini….
Baarokallahu fiik Ustadz Firanda…
Begitulah Ustadz dari kalangan…..mereka memakai dalil yang satu, tetapi isinya dalil yang lain….