NABI MUHAMMAD ﷺ MEMULAI DAKWAH SEMBUNYI-SEMBUNYI
Setelah turun ayat قُمْ فَأَنْذِرْ (Bangunlah dan berilah peringatan!), Rasūlullāh ﷺ akhirnya sadar bahwa beliau telah diutus oleh Allāh untuk mengemban risalah, suatu beban dan tanggung jawab serta amanat yang sangat berat, yaitu mendakwahi manusia yang kala itu dalam keadaan serusak-rusaknya manusia, secara umum di muka bumi dan secara khusus di kota Mekkah. Mulai dari merebaknya perzinahan, saling membunuh (peperangan antar kabilah), perjudian, minum khamr, berbagai macam kesyirikan, seperti penyembelihan kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla, perdukunan, pengkeramatan terhadap hewan-hewan dan bahkan di Ka’bah ada 360 berhala yang berada di sekitarnya.
Nabi ﷺ diperintah oleh Allāh dengan “Qum fa Andzir” (bangunlah dan berilah peringatan!). Rasūlullāh ﷺ pun dengan sigap berupaya menjalankan tugas yang Allāh embankan kepada Beliau. Disebutkan oleh para ulama, sebelum Beliau berdakwah dengan terang-terangan, Beliau mengalami suatu fase dakwah yang disebut dengan ad-da’wah as-sirriyyah, yaitu dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama tentang berapa tahun Nabi ﷺ menjalankan dakwah secara sembunyi-sembunyi, ada yang berpendapat 3 tahun dan ada pula yang berpendapat 4 tahun[1]. Saat Rasūlullāh ﷺ berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka secara tabi’at dan alami, beliau akan memulai dakwah dari orang yang terdekat terlebih dahulu, orang yang mengenal dan mengetahui seluk beluk kehidupan Nabi ﷺ, serta mengetahui bagaimana akhlak Beliau. Oleh karenanya, Beliau mendakwahi orang-orang yang mencintainya terlebih dahulu. Inilah metode dakwah Nabi ﷺ, karena dakwah akan sulit diterima oleh orang yang membenci kita.
Orang Yang Pertama Kali Masuk Islam
Berikut ini adalah para sahabat Nabi yang paling pertama masuk Islam :
⑴ Khadījah binti Khuwailid radhiyallāhu ‘anhā.
Beliau adalah orang yang pertama kali beriman kepada Nabi ﷺ secara mutlak. Di saat Nabi ﷺ didatangi oleh malaikat Jibrīl dan gemetaran ketakutan, beliaulah yang menenangkannya.
⑵ Waraqah bin Naufal radhiallahu ‘anhu, sepupu Khadījah radhiyallāhu ‘anhā.
Beliau adalah seorang pendeta Nashrani yang masih di atas tauhid (Hanifiyah). Beliau mengatakan, “Wahai Muhammad, seandainya aku masih muda saat kaummu mengusirmu maka saya lah yang akan menolongmu dengan sekuat tenaga.”
Ini menunjukkan bahwa Waraqah beriman kepada Nabi ﷺ, meskipun setelah itu dia meninggal dunia dan tidak sempat menjalani Islam. Namun Rasūlullāh ﷺ mengabarkan dalam hadīts yang shahīh yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hākim dalam Mustadraknya,
لا تَسبُّوا ورقةَ بنَ نوفلٍ، فإنِّي رأيتُ له جَنةً أو جَنتينِ
“Jangan kalian cela Waraqah bin Naufal. Sesungguhnya aku melihat dia memiliki satu atau dua taman (di surga).” (HR. al-Hakim 4211. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam ash-Shahihah 405).
Oleh karenanya kita yakin dalam hadits yang shahih bahwasanya Waraqah telah dijamin masuk surga oleh Rasūlullāh ﷺ dan dia adalah lelaki yang pertama kali beriman.
⑶ Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiallahu ‘anhu[2]
Waraqah adalah orang yang lebih dahulu beriman daripada Abū Bakr Ash-Shiddīq, akan tetapi Waraqah radhiyallāhu ‘anhu tidak sempat menjumpai fase dakwah Nabi ﷺ karena beliau meninggal terlebih dahulu. Karena itu, lelaki pertama Islam yang berperan dalam dakwah adalah Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Peran Abū Bakr Ash-Shiddīq sangatlah banyak, nanti akan dipaparkan dan disebutkan sebagiannya. Beliau juga turut merasakan beban yang dipikul oleh Nabi ﷺ. Banyak para sahabat yang masuk Islam, dan termasuk yang dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺ melaluis sebab dakwah adalah Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
Rasūlullāh ﷺ memuji Abū Bakr Ash-Shiddīq dalam banyak hadits, diantaranya :
مَا عَرَضْتُ الإِسْلاَمَ عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ كَبْوَةٌ، إِلاَّ أَبُو بَكْرٍ، فَإِنَّهُ لَمْ يَتَلَعْثَم فِي قَوْلِهِ
Tidak ada seorangpun yang aku tawarkan Islam kepadanya kecuali semuanya ragu-ragu, kecuali Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Karena beliau tidak terbata-bata di dalam perkataannya (yaitu dalam menerima Islam).” (Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalan diantaranya HR Ad-Dailami di Musnad al-Firdaus no 6286, demikian juga Ibnu Ishaq dalam sirohnya, akan tetapi semua sanadnya lemah. Namun meskipun lemah maknanya benar karena ditunjukan oleh hadits-hadits shahih sehingga sering dijadikan dalil oleh para ulama).
Nabi ﷺ bersabda :
وَبَيْنَمَا رَجُلٌ يَسُوْقُ بَقَرَةً قَدْ حَمَّلَ عَلَيْهَا فَالْتَفَتَتْ إِلَيْهِ فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَتْ : إِنِّي لَمْ أُخْلَقْ لِهَذَا وَلَكِنِّي خُلِقْتُ لِلْحَرْثِ قَالَ النَّاسُ سُبْحَانَ اللهِ (أَبَقَرَةٌ تَكَلَّمَ)؟ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنِّي أُوْمِنُ بِذَلِكَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
“Dan pada saat seseorang sedang membawa seekor sapi dan ia telah memikulkan (barang) di atasnya, maka sang sapi menoleh ke orang tersebut dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku tidak diciptakan untuk ini, tetapi aku diciptakan untuk pertanian.” Maka orang-orang berkata: “Maha suci Allah, apakah sapi berbicara?” Nabi ﷺ berkata: “Sesungguhnya aku beriman akan hal ini, begitupun Abu Bakar, serta Umar bin Al-Khaththab.” (HR. Al-Bukhari No. 3663 dan Muslim No. 2388)
Dalam riwayat yang lain (وَمَا هُمَا ثَمَّ) “Abu Bakar dan Umar pada saat itu tidak hadir.” (HR. Al-Bukhari No. 3471)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang keheranan pada saat Nabi mengabarkan ada sapi yang berbicara. Akan tetapi, jika hal ini didengar oleh Abu Bakar maka akan langsung dibenarkan tanpa ada keraguan sama sekali. Oleh karena itu, meskipun Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir, Nabi menyatakan: “Sesungguhnya aku beriman dengan hal itu, begitupun Abu Bakar, dan juga Umar.”
Dalam sebuah hadits
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعَدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَقَالَ: اُثْبُتْ أُحُد فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ
“Bahwasanya Nabi ﷺ naik di atas gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka gunung Uhud pun bergetar, Nabi berkata: “Diamlah Uhud, sesungguhnya yang ada di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang siddiiq, dan dua orang yang akan mati syahid.” (HR. Al-Bukhari No. 3675)
Dalam hadits ini jelas Abu Bakar disebut oleh Nabi ﷺ sebagai Ash-Shiddiq yaitu yang selalu membenarkan.
Abū Bakr Ash-Shiddīq adalah salah satu teman dekat Rasūlullāh ﷺ. Umurnya sebaya, mungkin selisihnya hanya sekitar 2 tahun. Ketika Rasūlullāh ﷺ diangkat menjadi Nabi berumur 40 tahun sedangkan Abū Bakr Ash-Shiddīq berumur 38 tahun.
Sebagian shahābat diriwayatkan bahwasanya saat menerima Islam terbetik sedikit keraguan dan kebimbangan dalam diri mereka, tidak langsung menerima. Sedangkan Abū Bakr Ash-Shiddīq ketika masuk Islam, beliau langsung berkhidmat menyumbangkan hartanya untuk Islam sebagaimana Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā tatkala masuk Islam maka dia mengorbankan seluruh hartanya untuk suaminya berdakwah.
Karenanya Rasūlullāh ﷺ memuji Abū Bakr Ash-Shiddīq. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda :
“مَا نَفَعَنِي مالٌ قط ما نفعني مَالُ أَبِي بَكْرٍ”، فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ: مَا أَنَا وَمَالِي إِلَّا لك!
“Tidak ada harta yang bermanfaat bagiku sebagaimana bermanfaatnya harta Abū Bakr Ash-Shiddīq”. Maka Abu Bakarpun menangis dan ia berkata, “Tidaklah diriku dan hartaku kecuali untukmu (wahai Nabi)” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban no 6819 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 2718)
Artinya, setelah Islam berkembang banyak orang yang menyumbang hartanya bisa jadi lebih banyak dari hartanya Abū Bakr Ash-Shiddīq. Akan tetapi di awal Islam, Rasūlullāh ﷺ sangat butuh bantuan dalam dakwahnya. Oleh karena itu, meskipun harta yang dikeluarkan Abū Bakr Ash-Shiddīq mungkin lebih sedikit dibandingkan sahabat kaya lainnya, tetapi harta beliau dikeluarkan di saat-saat penting di awal Islam sehingga tidak ada yang bisa memberi manfaat sebagaimana bermanfaatnya harta Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
Jundab radhiallahu ‘anhu berkata
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ، وَهُوَ يَقُولُ: «إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ، فَإِنَّ اللهِ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا»
Aku mendengar Nabi berkata -5 hari sebelum beliau meninggal-, “Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah kalau ada seorang dari kalian yang menjadi kekasihku, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku kekasihNya sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim kekasihNya. Kalau seandainya aku boleh mengambil kekasih (selain Allah), maka saya akan mengambil kekasih (dari kalangan manusia) Abū Bakr Ash-Shiddīq sebagai kekasihku.” (HR Muslim no 532, demikian juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas di Shahih al-Bukhari no 467)
Abu Bakr adalah pria yang paling dicintai Nabi ﷺ. ‘Amr bin al-‘Aash berkata
فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: «عَائِشَةُ» قُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ: «أَبُوهَا» قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «عُمَرُ» فَعَدَّ رِجَالًا، فَسَكَتُّ مَخَافَةَ أَنْ يَجْعَلَنِي فِي آخِرِهِمْ
“Aku mendatangi Nabi dan aku bertanya kepadanya, “Siapa orang yang paling engkau cintai, wahai Rasūlullāh? Rasūlullāh ﷺ berkata, ”Āisyah”. Aku berkata, “Dari kalangan lelaki?” Kata Rasūlullāh ﷺ, “Ayahnya”, aku berkata, “Lalu siapa?”, ia berkata, “Umar”, lalu Nabi menyebutkan beberapa orang, maka akupun terdiam aku khawatir Nabi menjadikan aku nomer terakhir” (HR Al-Bukhari no 3662, 4358 dan Muslim no 2384)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ آخِذًا بِطَرَفِ ثَوْبِهِ حَتَّى أَبْدَى عَنْ رُكْبَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا صَاحِبُكُمْ فَقَدْ غَامَرَ» فَسَلَّمَ وَقَالَ: إِنِّي كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ ابْنِ الخَطَّابِ شَيْءٌ، فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ ثُمَّ نَدِمْتُ، فَسَأَلْتُهُ أَنْ يَغْفِرَ لِي فَأَبَى عَلَيَّ، فَأَقْبَلْتُ إِلَيْكَ، فَقَالَ: «يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ» ثَلاَثًا، ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ نَدِمَ، فَأَتَى مَنْزِلَ أَبِي بَكْرٍ، فَسَأَلَ: أَثَّمَ أَبُو بَكْرٍ؟ فَقَالُوا: لاَ، فَأَتَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ، فَجَعَلَ وَجْهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَعَّرُ، حَتَّى أَشْفَقَ أَبُو بَكْرٍ، فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ، مَرَّتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوا لِي صَاحِبِي» مَرَّتَيْنِ، فَمَا أُوذِيَ بَعْدَهَا
Dari Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku duduk di sisi Nabi ﷺ, tiba-tiba datang Abu Bakar sambil memegang ujung jubahnya hingga tersingkap kedua lututnya. Nabi ﷺ berkata, “Adapun sahabat kalian ini, ia sedang ada masalah”. Lalu Abu Bakar memberi salam dan berkata, “Sesungguhnya terjadi sesuatu antara aku dan Umar bin Al-Khatthab, aku tergesa-gesa untuk berkata kasar kepadanya, lalu akupun menyesal. Lalu aku memohon kepadanya agar memaafkan aku namun ia enggan memaafkan aku, maka akupun datang kepadamu”. Maka Nabi berkata, “Allau mengampunimu wahai Abu Bakar”, Nabi mengulangi ucapannya tiga kali. Kemudian Umar pun menyesal, lalu ia mendatangi rumah Abu Bakar, dan ia bertanya, “Apakah ada Abu Bakar?”, maka mereka (para penghuni rumah) berkata, “Tidak ada”. Maka Umar mendatangi Nabi ﷺ lalu mengucapkan salam kepada Nabi, akan tetapi wajah Nabi terlihat berubah (karena jengkel) hingga Abu Bakar kasihan (melihat Umar) lalu Abu Bakar duduk berlutut seraya berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah akulah yang lebih bersalah” -ia ulangi ucapannya dua kali-. Nabi ﷺ berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian lalu kalian berkata “Engkau (Muhammad) berdusta”, namun Abu Bakar berkata, “Ia (Muhammad) benar”, dan ia telah menolongku dengan jiwanya dan hartanya, maka apakah kalian tidak bisa meninggalkan mengganggu sahabatku demi aku?” -Nabi mengucapkannya dua kali-. Maka Abu Bakar setelah itu tidak pernah diganggu lagi. (HR Al-Bukhari no 3661)
Abū Bakr Ash-Shiddīq ketika masuk Islam, beliau langsung aktif berdakwah secara sembunyi-sembunyi sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ﷺ. Beliau berdakwah dengan luar biasa sehingga masuklah ke dalam Islam orang-orang yang hebat melalui perantaraan Abū Bakr Ash-Shiddīq. Diantara mereka adalah 5 orang yang dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺ, yaitu:
⑴ ‘Utsmān bin Affan radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu[3]
⑵ Az-Zubayr bin Awwam radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu[4]
⑶ ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu[5]
⑷ Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu[6]
⑸ Thalhah bin ‘Ubaidillāh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu[7]
Inilah 5 dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, sebagaimana dalam hadīts bahwa Rasūlullāh ﷺ menyebutkan orang-orang yang dijamin masuk surga.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبُو بَكْرٍ فِي الجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ فِي الجَنَّةِ
“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasūlullāh ﷺ bersabda: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” (HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih)
Seluruh kebaikan yang dikerjakan oleh ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash pahalanya mengalir kepada Abū Bakr Ash-Shiddīq karena Abū Bakr Ash-Shiddīq lah yang menyebabkan mereka masuk Islam. Demikian pula sahabat lainnya yang masuk Islam melalui perantaraan beliau.
Tentang ‘Utsmān Nabi ﷺ mengatakan :
أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni ‘Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)
Dimana ‘Utsmān pernah berinfaq dengan harta yang sangat banyak saat Perang Tabuk, lalu beliau di kemudian hari menjadi khalifah dengan sangat baik.
Lihat pula ‘Abdurrahmān bin ‘Auf, saudagar kaya raya yang menginfakkan hartanya untuk Islam. Beliau mendapatkan pahala yang berlimpah dan juga seluruh pahalanya turut mengalir kepada Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, karena Rasūlullāh ﷺ mengatakan:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya (tanpa mengurangi pahalanya).” (HR. Muslim no. 1893)
Dari sini kita bisa mengatahui bagaimana hebatnya Abū Bakr Ash-Shiddīq dalam berdakwah. Para ulama menyebutkan beberapa rahasia dan alasan kenapa dakwah Abū Bakr Ash-Shiddīq begitu mudah untuk diterima? Disebutkan diantaranya karena Abū Bakr Ash-Shiddīq adalah orang yang berakhlaq mulia. Beliau adalah pedagang besar dan cara berdagangnya membuat orang lain senang kepada beliau. Beliau juga orang yang cerdas dan berilmu, banyak mengetahui tentang nasab Arab sehingga sebagian shahābat senang dengan pembicaraan Abū Bakr Ash-Shiddīq, karena beliau orang yang mudah bergaul.
Keutamaan Abū Bakr Ash-Shiddīq terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Beliaulah yang menemani Rasūlullāh ﷺ dalam perjalanan maut dari Mekkah menuju Madinah saat hijrah, sementara orang-orang kafir mengadakan sayembara “Siapa yang bisa membunuh Muhammad atau Abū Bakr akan diberikan 100 ekor unta”. Karena itu, alangkah terhinanya orang-orang yang mengkafirkan dan mencela Abū Bakr Ash-Shiddīq, yang menuduh bahwa Abū Bakr Ash-Shiddīq dahulu sujud di zaman Nabi ﷺ sementara dia mengalungkan patung di lehernya. Mereka mengatakan Abū Bakr Ash-Shiddīq menginfakkan banyak harta di awal Islam karena ingin mengambil tahta dari Muhammad ﷺ, sebab dia telah mendengar dari dukun-dukun bahwasanya Muhammad akan menjadi raja maka Abū Bakr Ash-Shiddīq harus menjadi pengikutnya sehingga saat Muhammad meninggal, maka Abu Bakr lah yang akan menggantikannya. Ini perkataan keji dan buruk orang-orang Syi’ah. Pekerjaan Syiah hanyalah mengkafirkan Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, bahkan mereka jadikan melaknat Abū Bakr sebagai sebuah ibadah.
Sebagai pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, kita sadar bahwasanya diantara sebab Islam bisa sampai kepada kita adalah melalui sebab jasa Abū Bakr Ash-Shiddīq dan juga para shahābat lainnya. Merekalah orang-orang yang seharusnya kita cintai karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kita wajib membela mereka apabila ada orang yang mencaci mereka. Kita juga wajib membenci mereka (para pencaci) yang mencaci para pahlawan Islam. Sejatinya ini adalah agenda orang-orang kafir. Mereka ingin kita membenci para shahābat, padahal Islam mengajarkan kita untuk mencintai para shahābat, dan di zaman mereka lah Islam berjaya, sehingga kita bisa kembali kepada kejayaan lagi.
Akan datang suatu masa dimana muncul orang-orang munafiq yang mengatakan bahwa para shahābat adalah generasi terburuk, kafir, munafiq, dan mencari dunia dengan berita-berita dusta yang mereka sebarkan. Sejatinya mereka telah mencela Rasūlullāh ﷺ. Bagaimana bisa seluruh shahābat Nabi semuanya dianggap kafir kecuali hanya beberapa orang saja? Jika demikian, Muhammad ﷺ adalah Nabi yang gagal, 23 tahun berdakwah tetapi semuanya murtad sepeninggal Nabi ﷺ. Maka berhati-hatilah dengan kelompok sesat yang membawa pemikiran seperti ini.
⑶ ‘Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu
‘Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu adalah seorang pahlawan pemberani yang sangat hebat. Beliau adalah salah satu putera Abū Thālib. Abū Thālib memiliki 3 orang putra; Ja’far, Aqīl dan ‘Ali. Ketika Rasūlullāh ﷺ melihat pamannya, Abu Thalib, hidup dalam kesusahan, beliau memberi usul kepada pamannya yang lain, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, yang saat itu adalah seorang yang kaya, agar turut membantu Abu Thalib? Paman Nabi ﷺ yang lain adalah Hamzah dan Abū Lahab. Hamzah adalah paman Nabi ﷺ yang menyambut Islam sedangkan Abū Thālib enggan masuk Islam hingga akhir hayatnya, tetapi beliau memiliki andil besar di dalam membela Rasulullah. Adapun Abū Lahab adalah paman Nabi yang paling memusuhi Islam, sedangkan ‘Abbas masuk Islam belakangan.
Menyambut usulan Muhammad ﷺ, maka berangkatlah mereka berdua (Rasulullah dan ‘Abbas) menemui Abū Thālib, kemudian menawarkan bantuan untuk merawat anak-anaknya Abū Thālib. Lantas Abū Thālib mengizinkan dan mengatakan “selama Aqil bersama saya, lakukanlah apa yang dikehendaki.” Akhirnya, Rasūlullāh ﷺ mengambil ‘Ali bin Abī Thālib, Al-‘Abbas mengambil Ja’far sedangkan Aqil masih bersama bapaknya Abū Thālib.
Jadi, ‘Ali bin Abī Thālib sebenarnya dirawat oleh Rasūlullāh ﷺ, seakan-akan anak Nabi ﷺ. Karena itulah ketika ‘Ali ditawarkan untuk masuk Islam, beliau langsung menerimanya dan masuk Islam, saat itu umur ‘Ali baru 10 tahun. Meski masih 10 tahun, Rasulullah tahu betapa cerdas dan pintarnya ‘Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
⑸ Zaid bin Hāritsah (Budaknya Rasūlullāh ﷺ)
Zaid bin Hāritsah bin Syurahbil al-Ka’biy adalah seorang Arab, yang suatu hari -di zaman jahiliyah- ia keluar bersama ibunya, tiba-tiba datang sebagian kabilah dan menculik si kecil Zaid bin Hāritsah dari ibunya. Setelah diculik, Zaid lalu dijadikan budak dan diperjualbelikan di pasar ‘Ukaazh dan akhirnya dibeli oleh seorang shahābat bernama Hakīm bin Hizam (keponakannya Khadījah) dengan harga 400 dirham. Setelah itu, Hakīm bin Hizam menghadiahkan Zaid bin Hāritsah kepada Khadījah bintu Khuwailid radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā. Tatkala Khadijah menikah dengan Rasūlullāh ﷺ, maka Khadījahpun menghadiahkan budak ini kepada suaminya, Rasūlullāh ﷺ.
Rasūlullāh ﷺ sangat menyayangi Zaid bin Hāritsah, sampai-sampai para shahābat pun mengenal bahwa Zaid bin Hāritsah adalah kesayangan Rasūlullāh ﷺ. Saat Rasūlullāh ﷺ menikah dengan Khadījah, mereka dikaruniai 6 orang anak (2 laki-laki dan 4 perempuan), sementara saat diangkat menjadi Nabi kedua putranya sudah meninggal dunia semua, yang bersisa tinggal putri-putrinya. Maka tatkala Zaid bin Hāritsah tinggal dirumahnya, Rasūlullāh ﷺ begitu sayang kepadanya karena Rasulullah ﷺ sudah tidak punya anak laki-laki.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya keluarga Zaid bin Hāritsah mengetahui bahwa Zaid bin Hāritsah masih hidup. Mereka telah mencari-cari anaknya yang hilang selama bertahun-tahun. Ayahnya (yaitu Haritsah bin Syurahbil) dan pamannya (yaitu Ka’ab) lalu menemui Rasūlullāh ﷺ untuk meminta kembali anak mereka. Mereka mengatakan “Kami ingin membayar kepadamu uang untuk menebus anak kami.” Kemudian kata Rasūlullāh ﷺ, “Tidak perlu Anda membayar apapun, cukup tanyakan saja kepada Zaid, jika dia mau maka silakan ambil dia dan tidak usah membayar.”
Kemudian mereka menemui Zaid bin Hāritsah dan menawarkan kepada dirinya apakah ia ingin kembali kepada keluarganya atau tetap bersama Muhammad. Maka Zaid bin Hāritsah memilih untuk tetap bersama Muhammad. Padahal bapak dan paman Zaid bin Hāritsah sendiri yang langsung meminta. Hal ini menyebabkan mereka marah lalu mengatakan, “Apakah engkau lebih memilih menjadi budaknya Muhammad daripada ikut kami, ayah, paman dan keluargamu?” Zaid menjawab, “Iya, sungguh aku telah melihat sesuatu pada orang ini (yaitu Muhammad) yang menjadikan aku tidak bisa meninggalkannya dan mengikuti yang lain”. Walaupun statusnya budak, tetapi Zaid bin Hāritsah sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Rasūlullāh ﷺ. (Lihat Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah, Ibnu Hajar 2/495-496)
Ibnu ‘Umar berkata :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ»، {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}
“Bahwasanya Zaid bin Haritsah -yaitu budaknya Rasulullah ﷺ – kami tidaklah memanggilnya kecuali Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah (Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah)” (HR Al-Bukhari no 4782 dan Muslim no 2425)
Zaid tadinya dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai akhirnya Allāh melarang dan menghapuskan hukum bahwa tidak boleh seseorang menyandarkan nasab kepada yang bukan ayahnya. Jadilah Zaid bin Hāritsah, kembali ke nasab sebelumnya. Setelah menikah, Zaid memiliki anak yang bernama Usamah bin Zaid yang juga dicintai oleh Nabi ﷺ dan dianggap layaknya cucu sendiri.
Perhatikanlah, sebagian besar yang pertama kali masuk Islam adalah para pemuda. Abū Bakr Ash-Shiddīq bisa dianggap yang paling tua saat itu, usia beliau sebaya dengan Nabi ﷺ yaitu sekitar 38 tahun (2 tahun lebih muda dari Nabi). Adapun ‘Utsman berumur sekitar 34 tahun, ‘Ali baru berusia 10 tahun, sedangkan Zaid bin Hāritsah sekitar 20 tahunan. Zubair bin Awwam masih 15 tahun, ‘Abdurrahman bin ‘Auf 30 tahun, Sa’ad bin Abi Waqqash masih 14 tahun, Thalhah bin ‘Ubaidillah masih 15 tahun, dan pemuda-pemuda lainnya semoga Allah merahmati mereka semua.
Para ulama menjelaskan bahwa Nabi ﷺ memulai dakwahnya kepada para pemuda karena para pemuda lebih mudah menerima daripada orang-orang yang lebih tua. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa anak muda mudah menerima dakwah, diantaranya:
⑴ Orang tua lebih sulit menerima dakwah karena mereka sudah lebih lama dan bertahun-tahun terbiasa dengan tradisi. Berbeda dengan anak muda, yang lebih dinamis dan mudah menerima perubahan. Selain itu, tradisi berlum terlalu mendarah daging dalam diri mereka.
⑵ Anak-anak muda cenderung kritis dan senang dengan hal-hal yang “baru” (fresh). Rasūlullāh ﷺ sendiri membawa ajaran “baru” yang menyelisihi tradisi. Sebenarnya ajaran Islam bukanlah ajaran yang “baru”, namun ajaran yang “memperbaharui” (tajdid), yang sejatinya mengembalikannya kepada ajaran Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām. Ajaran ini sebenarnya ajaran yang lebih tua tetapi karena lama ditinggalkan, maka kaum musyrikin menganggapnya sebagai ajaran yang baru.
⑶ Anak muda lebih semangat dan antusias.
Oleh karena itu, Al-Imām Ibnu Katsir ketika membawakan firman Allāh:
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah anak-anak muda yang beriman kepada Rabb mereka maka kami tambahkan lagi petunjuk kepada mereka.” (QS Al-Kahfi : 13)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa demikianlah anak-anak muda lebih mudah untuk menerima dakwah daripada orang-orang tua. Itulah sebabnya di zaman Rasūlullāh ﷺ kebanyakan yang menyambut dakwan Nabi ﷺ adalah dari kalangan anak-anak muda. Sebagaimana para penghuni gua (Ashhābul Kahfi), yang dikisahkan Allah dalam surat al-Kahfi, mereka adalah anak-anak muda yang beriman kepada Allāh sementara penduduk negerinya semuanya kufur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ibnu Katsir berkata :
فَذَكَرَ تَعَالَى أَنَّهُمْ فِتْيَةٌ -وَهُمُ الشَّبَابُ-وَهُمْ أَقْبَلُ لِلْحَقِّ، وَأَهْدَى لِلسَّبِيلِ مِنَ الشُّيُوخِ، الَّذِينَ قَدْ عَتَوْا وعَسَوا فِي دِينِ الْبَاطِلِ؛ وَلِهَذَا كَانَ أَكْثَرُ الْمُسْتَجِيبِينَ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا. وَأَمَّا الْمَشَايِخُ مِنْ قُرَيْشٍ، فَعَامَّتُهُمْ بَقُوا عَلَى دِينِهِمْ، وَلَمْ يُسْلِمْ مِنْهُمْ إِلَّا الْقَلِيلُ. وَهَكَذَا أَخْبَرَ تَعَالَى عَنْ أَصْحَابِ الْكَهْفِ أَنَّهُمْ كَانُوا فِتْيَةً شَبَابًا
“Allah menyebutkan bahwa mereka (Ash-hābul Kahfi) adalah “fityah” yaitu para pemuda. Mereka lebih mudah menerima kebenaran dan lebih mudah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus dari pada orang tua, yang mana mereka telah lama dan kokoh di atas agama kebatilan. Oleh karena itu, mayoritas orang-orang yang menerima seruan Allah dan Rasulullah ﷺ adalah para pemuda. Adapun golongan tua dari Quraisy, mayoritas mereka tetap bersikukuh di atas agama mereka, dan tidaklah beriman dari mereka kecuali hanya sedikit. Demikianlah Allah mengabarkan tentang Ashhābul Kahfi bahwasanya mereka adalah para pemuda” (Tafsir Ibnu Katsir 5/140)
Karena itu tidak boleh meremehkan anak-anak muda, karena mereka adalah pelanjut dakwah yang mulia ini. Mereka harus dibimbing, didakwahi, dan diarahkan. Sebagaimana pula tidak boleh meremehkan orang tua, karena mereka tetap harus dihormati dan dimuliakan. Ketika orang-orang yang lebih tua cenderung sulit atau bahkan menolak dakwah, maka anak-anak mudanya yang didakwahi dan dibimbing, sebagaimana cara Nabi di dalam berdakwah. Anak-anak muda dari kalangan shahābat Nabi inilah yang akan menjadi pejuang Islam dan generasi masa depan. Jangan heran apabila orang-orang kafir sangat memahami bahwa untuk merusak suatu bangsa maka tidak perlu memeranginya tetapi cukup merusak generasi mudanya. Karena rusaknya generasi muda adalah rusaknya suatu bangsa.
Faidah Berdakwah Secara Sirriyah (Sembunyi-Sembunyi)
Ada beberapa faidah yang bisa dipetik dari dakwah Nabi ﷺ secara sembunyi-sembunyi ini sebelum beliau berdakwah secara terang-terangan, diantaranya:
⑴ Jika kaum muslimin saat itu dalam kondisi lemah dan dalam keadaan ditekan, maka tidak mengapa berdakwah secara sembunyi-sembunyi, sebagaimana yang dilakukan Nabi selama 3 atau 4 tahun.
Para ulama mengatakan bahwa hukum asal berdakwah bagi kaum muslimin adalah secara terang-terangan, selama itu tidak mendatangkan mudharat. Misalnya pemerintah jahat melarangnya, dan yang berani melanggar akan ditangkap atau dibunuh, maka dalam kondisi inilah berdakwah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lain halnya jika tidak ada mudharat ketika menampakkan dakwah, namun ternyata ada kelompok yang malah berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka yang demikian kita wajib berhati-hati, sebab seringkali dakwah yang seperti ini mereka telah menyembunyikan sesuatu dan mereka berada di atas kebathilan.
Seorang muslim berada di atas kebenaran, karena itu pada asalnya dia harus menyampaikan kebenaran secara terang-terangan. Dia berani berdialog, berdiskusi, dan berdakwah. Namun, orang yang dakwahnya selalu sembunyi-sembunyi seakan-akan seperti gerakan rahasia, dan tidak boleh ada yang mengetahui, dan ternyata di dalam dakwanya tersebut ada prosesi bai’at (sumpah setia), maka ini tidak benar dan merupakan dakwah sesat. Apalagi jika mereka berada di negeri kaum muslimin yang mana dakwah itu dibebaskan, maka hukum asal dakwah adalah terang-terangan. Berbeda halnya jika kondisinya tidak bebas, seperti di Rusia beberapa dasawarsa silam. Dahulu di sana jika ketahuan ada orang yang shalat dan membaca Al-Qurān maka dia akan ditangkap lalu disiksa dan dibunuh. Dalam kondisi seperti ini, Muslim di sana tetap wajib berdakwah. Namun mereka berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi.
Ada juga sebagian kelompok yang menganggap bahwa dakwah saat ini harus dengan fase Makiyyah dan fase Madaniyah. Karena tidak ada khilafah, zaman ini dianggap sama dengan fase Makkiyah yaitu fase dakwah sembunyi-sembunyi. Ini semua adalah anggapan yang keliru dan tidak benar. Metode dakwah Rasūlullāh ﷺ secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan berkaitan dengan kondisi. Jika kondisinya tidak memungkinkan untuk dakwah secara terang-terangan, maka Rasūlullāh ﷺ akan berdakwah secara sembunyi-sembunyi.
⑵ Dakwah Islam adalah dakwah yang universal (menyeluruh), bukan untuk satu bangsa atau suku Arab saja.
Ketika Rasūlullāh ﷺ mulai berdakwah dan dibantu oleh sahabat setia beliau Abū Bakr Ash-Shiddīq, banyak orang yang masuk Islam dari berbagai kalangan, dari kalangan orang yang nasabnya tinggi hingga yang biasa, ada orang-orang yang kaya dan ada pula orang yang miskin. Ini menunjukkan bahwa Rasūlullāh ﷺ menawarkan Islam kepada siapa saja. Bahkan bukan hanya kepada orang merdeka, budak pun juga diajak untuk masuk Islam. Tanpa terkecuali orang Persia dan orang Romawi. Semua orang berhak untuk ditarik dan diajak masuk ke dalam Islam. Meskipun Islam turun di Jazirah Arab, namun Islam adalah agama untuk semua tanpa pandang bulu dan warna. Islam tidak memuliakan seseorang lantaran nasab, jabatan, atau harta, tetapi Islam memuliakan dengan takwa.
===========
FOOTNOTE:
[1] Lihat : As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah 1/132
[2] Menurut Ibnu Ishaq Abu Bakar adalah kunyah beliau, adapun nama beliau adalah ‘Atiq. Akan tetapi menurut Ibnu Hisyam nama beliau adalah Abdullah, adapun ‘Atiq adalah laqab (gelar) karena indahnya wajah beliau. Adapun ayahnya yaitu Abu Quhafah namanya adalah ‘Utsman. Sehingga nama lengkap Abu Bakar adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murroh bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr.
Abu Bakar adalah seorang yang mudah bergaul di kaumnya, beliau adalah orang yang paling paham tentang nasab kaum Quraisy demikian juga tentang sejarah Quraisy, baik berita yang baik maupun yang buruk. Beliau adalah seorang pedagang yang dikenal dengan budi pekerti yang luhur. Karenanya banyak orang yang datang menemui beliau dengan berbagai tujuan, ada yang karena urusan dagang, ada yang karena ilmu beliau, atau karena sekendar senang ngobrol dengan beliau. (lihat Siroh Ibnu Hisyam 1/231-232)
[3] Nama beliau adalah ‘Utsman bin ‘Affaan bin Abil ‘Aash bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin bin Qushai bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.
[4] Nama beliau : Az-Zubair bin ‘Awwam bin Khuwalid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushai bin Kilaab
[5] Nama beliau : ‘Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf bin ‘Abd bin al-Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murroh
[6] Nama beliau : Sa’ad bin Abi Waqqash (Abu Waqqas namanya : Malik) bin Uhaib bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Murroh bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin Luay
[7] Thalhah bin ‘Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murroh bin Kilab bin Lu’ay
Barakallahufiik, Jazakallahu khairan…