Oleh: Abul Jauzaa
Bagian kedua : Tafsir al-Qur’an ala Ustadz AH hafizohullah
Menafsirkan al-Qur’an tentu harus berhati-hati, berusaha merujuk kepada tafsiran para salaf -apalagi kalau mengaku bermanhaj salaf-. Terlebih lagi kalau menimbulkan penafsiran model baru dengan model tafsir majaz (kiasan) dan meninggalkan dzohir (tekstual) ayat, lalu menyalahkan tafsir yang sudah dikenal oleh salaf dan kaum muslimin.
Saya rasa hampir seluruh kaum muslimin di dunia ini -termasuk juga di Indonesia- menafsirkan atau menerjemahkan firman Allah “Ihdinash-Shiraathal-Mustaqiim” dengan “Tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus”.
Namun ternyata terjemah/tafsir yang selama ini diyakini oleh kaum muslimin dinilai salah oleh al-Ustadz AH !!?
Ustadz Adi Hidayat dalam video yang berjudul Cara Ampuh Berdoa Ketika Shalat Agar Cepat Dikabulkan saat menjelaskan tempat dikabulkannya doa saat berdiri shalat dengan membawakan hadits Abu Hurairah, berkata (mulai menit 06:17):
“Perhatikan, karena itulah saat berdiri diberikan oleh Allah satu tawaran, kalau dibacakan diberikan apa yang dibutuhkan. Mau nggak ? Itulah ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Tunjukkan kami ya Allah, solusi terbaik dari masalah yang kami miliki. Maaf, ihdinash-shiraathal-mustaqiim itu arti yang tepat bukan ‘tunjukkan kami pada jalan yang lurus’. Itu bahasa kiasan. Ga pakai oo.. bu. Itu bahasa kiasan. Ihdinaa dari kata hudan, hidayah, itu solusi dari persoalan yang dihadapi. Jadi punya masalah apapun ya Allah, solusinya tolong berikan. Ash-shiraathal-mustaqiim itu kata kiasan. Majaz dalam bahasa Arab. Yang mudah tidak sulit prosesnya. Jadi berikan solusinya, tapi mudah. Jadi ketika kita minta dalam shalat, itu minta ya Allah, saya punya masalah, tolong berikan. Diberikan oleh Allah satu bacaan. Dibaca. Jadi yang punya masalah di rumah tangga, diberikan solusinya. Yang punya masalah di pekerjaan, diberikan solusinya. Dan itu bukan biasa………”
Kesimpulan tafsir ustadz AH :
– Arti “ihdinas shirothol mustaqim” dengan “Tunjukanlah kami jalan yang lurus” ternyata salah
– Arti tersebut salah karena diterjemahkan secara tekstual, padahal menurut ustadz AH susunan “Ihdinas shirothol mustaqim” adalah susunan majaz/kiasan (tidak sesuai dzohir tekstualnya)
– Yang benar “Tunjukanlah kami solusi terbaik dari masalah yang kami hadapi
Adapun tafsir “ihdinas shirothol mustaqim” menurut ahli tafsir adalah : “Tunjukanlah/anugrahkanlah/ilhamkanlah/bimbinglah/berilah kepada kami jalan yang lurus”.
Dan as-shirot al-mustaqim menurut tafsir para ahli tafsir ada beberapa tafirasan yaitu : Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah, kebenaran, serta Nabi ﷺ dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata (tentang tafsir “ihdina”)
والهداية هاهنا: الإرشاد والتوفيق، وقد تعدى الهداية بنفسها كما هنا (1) { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ } فتضمن معنى ألهمنا، أو وفقنا، أو ارزقنا، أو اعطنا
“Dan al-hidayah di sini maksudnya adalah bimbingan dan taufiq. Kadang kata al-hidayah dimuta’addikan dengan dirinya sebagaimana ayat ini ‘ihdinash-shiraathal-mustaqiim’; sehingga mengandung pengertian “ilhamkanlah kepada kami”, “Bimbinglah kami”, “Anugrahkanlah kami”, dan “Berikanlah kepada kami”
Ibnu Katsir juga berkata (tentang tafsir as-shirot al-mustaqim) :
وأما الصراط المستقيم، فقال الإمام أبو جعفر بن جرير: أجمعت الأمة من أهل التأويل جميعًا على أن “الصراط المستقيم” هو الطريق الواضح الذي لا اعوجاج فيه.
Adapun ‘ash-shiraathul-mustaqiim’, Al-Imaam Abu Ja’far bin Jariir berkata : Umat Islam dari kalangan pakar ta’wiil (mufassiriin) telah SEPAKAT bahwa ‘ash-shiraathul-mustaqiim’ maknanya adalah jalan yang jelas, yang tidak ada kebengkokan padanya” [Tafsiir Ibni Katsiir 1/137].
Setelah menurunkan ragam pendapat mufassirin tentang makna ash-shiraath al-mustaqiim (Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah, kebenaran, serta Nabi ﷺ dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar), Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.
“Semua perkataan/penafsiran ini adalah benar, yaitu saling menguatkan. Karena, barangsiapa yang mengikuti (ittiba’) Nabi ﷺ, meneladani orang-orang sepeninggal beliau yaitu Abu Bakr dan ‘Umar, sungguh ia telah mengikuti kebenaran. Barangsiapa yang mengikuti kebenaran, sungguh ia telah mengikuti Islam. Barangsiapa yang mengikuti Islam, sungguh ia telah mengikuti Al-Qur’an, yaitu Kitabullah, tali-Nya yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya penafsiran ini benar dan masing-masing saling membenarkan yang lain. Walillaahil-hamd”
Terdapat hadits marfuu’ dari Nabi ﷺ yang menjelaskan makna ash-shiraathul-mustaqiim:
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْكِلَابِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” إِنَّ اللَّهَ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ دَارَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، عَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ، وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ، وَدَاعٍ يَدْعُو فَوْقَهُ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَالْأَبْوَابُ الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ، فَلَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ السِّتْرُ، وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ “
Dari An-Nawwaas bin Sam’aan Al-Kilaabiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah membuat perumpamaan ash-shiraathul-mustaqiim dengan shirath yang di sampingnya ada dua tembok yang mempunyai pintu terbuka. Di setiap pintu terdapat tirai, penyeru yang menyeru di tengah shiraath, dan penyeru yang menyeru di atasnya (penyeru pertama). ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)’ (QS. Yuunus : 25). Pintu-pintu yang berada di samping shiraath adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah. Tidak ada seorangpun yang jatuh kepada larangan Allah hingga ia menyingkap tirainya. Penyeru yang berada di atasnya adalah penasihat (ilham) dari Rabbnya”
Dalam riwayat lain dirinci :
وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي من فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
“Dan shiraath tersebut adalah Islam, kedua tembok/dinding adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Penyeru yang berada di tengah shiraath adalah Kitabullah ‘azza wa jalla, sedangkan penyeru yang berada di atas shiraath adalah penasihat Allah (ilham) yang berada di hati setiap muslim” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2859, Ahmad 4/182 & 183, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 18-19, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/141].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: ” خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ “، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: ” هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ “، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Rasulullah ﷺ pernah menggambar untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan dan kiri garis tersebut, kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan yang lain, dimana setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru pada jalan tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-An’aam : 153)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/435; sanadnya hasan].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sendiri menafsirkan ash-shiraathul-mustaqiim dengan perkataannya:
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، قَالَ: هُوَ كِتَابُ اللَّهِ
“Makna ‘ash-shiraathul-mustaqiim’ adalah Kitabullah” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 2/258, dan ia menshahihkannya].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa – salah seorang pakar tafsir di kalangan shahabat – menjelaskan:
هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ “، قَالَ: فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ: ” صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا “
“Ash-shiraathul-mustaqiim adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan dua orang shahabatnya”. Perawi berkata : Maka kami menyebutkan hal itu kepada Al-Hasan, lalu ia berkata : “Ia benar, demi Allah, ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 2/259; dan ia menshahihkannya].
Rasulullah ﷺ merupakan ash-shiraathul-mustaqiim (jalan yang lurus), karena Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
Begitu juga dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, karena Nabi ﷺ sendiri yang memerintahkan para shahabat (dan kita pada umumnya) untuk meneladani Abu Bakr dan ‘Umar sepeninggal beliau:
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ
“Mencontohlah kepada dua orang setelahku : Abu Bakr dan ‘Umar” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah no. 1233].
So, jika penafsiran-penafsiran yang didasarkan oleh riwayat/atsar dan perkataan as-salafush-shaalih di atas dikatakan tidak tepat karena hanya kiasan saja; apakah kita harus membenarkan penafsiran Ustadz Adi Hidayat di atas ? yaitu : berikanlah kami ya Allah solusi yang mudah atas persoalan kami ?. Apakah kita mesti meninggalkan hadits, atsar sahabat dan ijmaa’ mufassiriin (sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir) untuk mengikuti tafsir majaz/kiasan ala Ustadz Adi Hidayat ?.
Metode penafsiran tanpa membawakan penjelasan ulama tentu sangat disayangkan bagi sekelas Ustadz Adi Hidayat – yang saya yakin sangat mampu untuk membawakannya (berikut judul, juz, halaman, dan letak baris kalimatnya) – karena rawan kesalahan.
Ingat pesan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ
“Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
[abul-jauzaa’ – bogor, 31032017 – 20:02 WIB].
ustadz. bantahan antum utk buya yahya belum ada?