Tidak diragukan lagi akan keutamaan puasa hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arofah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR Muslim no 197)
Tidak diragukan pula bahwa para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat :
Pertama : Waktu puasa Arofah disesuaikan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arofah. Dan ini adalah pendapat jumhur mayoritas ulama sekarang, seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Al-Lajnah Ad-Daaimah, dan Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafizohullah
Kedua : Waktu puasa Arofah di sesuaikan dengan ru’yah hilal bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah. Dan inilah pendapat yang mashyur dari Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh murid-murid senior beliau seperti Asy-Syaikh Kholid Al-Muslih, dan Asy-Syaikh Kholid Al-Musyaiqih. Demikian juga merupakan fatwa Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin rahimahullah (http://ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-11952-.html)
Masalah perbedaan ini juga telah banyak dibahas di dunia maya seperti di (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/forum/ المنتدى-الشرعي-العام/164117-بحث-حول-مسألة-تحديد-يوم-عرفة-إذا-اختلفت-المطالع), kami hanya menukil dan meringkas serta menambah sedikit tambahan dalam tulisan ini.
Karena ini adalah masalah khilafiyah, maka tentunya harus ada kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak, seperti meniru pemikiran khawarij atau ahlul bid’ah ?!. Permasalahan ini sebagaimana permasalahan khilafiyah fiqhiyah yang lainnya yang hendaknya kita berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilaf kita ngotot maka kita akan selalu ribut.
Diantara sebab bentuk kekauan dan “sikap keras” dalam permasalahan ini adalah anggapan bahwa permasalahan ini telah ada nash (yaitu dalil yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan saja, dan tegas dalam penunjukannya). Sehingga barang siapa yang menyelisihi nash pantas untuk disalahkan !!
Jika seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ((Puasa hari Arofah adalah puasa dimana para jam’ah haji sedang wukuf di padang Arofah)), tentunya ini adalah nash dalam permasalahan ini, dan tentu para ulama tidak akan khilaf dalam memahami redaksi tersebut. Akan tetapi kenyataannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ “Puasa hari Arofah…”. Disinilah muncul perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah “hari dimana para jama’ah haji sedang wukuf di Arofah”?, ataukah yang dimaksud adalah “hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arofah?”.
Ternyata khilaf ini sudah ada sejak zaman ulama terdahulu.
Ulama yang memilih pendapat pertama, diantaranya :
Ibnu Rojab Al-Hanbali rahimahullah, beliau berkata
ويوم عرفة هو يوم العتق من النار فيعتق الله من النار من وقف بعرفة ومن لم يقف بها من أهل الأمصار من المسلمين فلذلك صار اليوم الذي يليه عيدا لجميع المسلمين في جميع أمصارهم من شهد الموسم منهم ومن لم يشهده لاشتراكهم في العتق والمغفرة يوم عرفة
Dan hari ‘Arofah adalah hari pembebasan dari neraka, maka Allah membebaskan dari neraka orang yang wukuf di Arofah dan juga orang yang tidak wukuf dari para penduduk kota-kota dari kaum muslimin. Karenanya jadilah hari setelah hari Arofah adalah hari raya bagi seluruh kaum muslimin di seluruh kota-kota mereka, baik yang menghadiri musim haji maupun yang tidak menghadiri, karena kesamaan mereka dalam pembebasan dari neraka dan ampunan Allah pada hari Arofah” (Lathoiful Ma’aarif hal 276)
Ulama yang memilih pendapat kedua, diantaranya adalah :
Ibnu Abidin rahimahullah, beliau berkata :
لأن اختلاف المطالع إنما لم يعتبر في الصوم لتعلقه بمطلق الرؤية. وهذا بخلاف الاضحية فالظاهر أنها كأوقات الصلوات يلزم كل قوم العمل بما عندهم، فتجزئ الاضحية في اليوم الثالث عشر وإن كان على رؤيا غيرهم هو الرابع عشر والله أعلم.
“Karena perbedaan mathla’ hanyalah tidak mu’tabar (tidak dianggap) pada permasalahan puasa karena puasa berkaitan dengan terlihatnya hilal secara mutlak. Hal ini berbeda dengan udhiyah (penyembelihan kurban), maka dzohirnya ia seperti waktu-waktu sholat, maka wajib bagi setiap kaum beramal dengan apa yang ada pada mereka. Maka sah udlhiyah pada hari ke 13 (dzulhijjah) meskipun berdasarkan ru’yah selain mereka adalah hari ke 14 dzulhijjah, wallahu a’lam”. (Hasyiah Rodd Al-Muhtaar 2/432)
Ibnu Abidin justru memandang tidak ada perbedaan mathla’ dalam menentukan awal puasa ramadhan, akan tetapi untuk masalah penyembelihan korban justru beliau memandang adanya perbedaan mathla’, maka masing-masing beramal dengan ru’yahnya masing-masing.
Demikianlah para ulama mutaqoddimin telah berselisih akan hal ini, akan tetapi penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang menyatakan bahwa penentuan hari Arofah dikembalikan kepada ru’yah di negeri masing-masing.
Adapun dari sisi dalil adalah sebagai berikut :
PERTAMA : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menamakan puasa Arofah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arofah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.
Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharraom) dan tiga hari setiap bulan” (HR Abu Dawud no 2439 dan dishahihkan oleh Al-Albani, namun hadits ini diperselihkan akan keshahihannya)
Ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa Arofah.
Tatkala mengomentari lafal hadits ((أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا فِي صَوْم النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)) “Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala di padang Arofah)”, Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
هَذَا يُشْعِرُ بِأَنَّ صَوْم يَوْمِ عَرَفَةَ كَانَ مَعْرُوفًا عِنْدَهُمْ مُعْتَادًا لَهُمْ فِي الْحَضَر ، وَكَأَنَّ مَنْ جَزَمَ بِأَنَّهُ صَائِم اِسْتَنَدَ إِلَى مَا أَلِفَهُ مِنْ الْعِبَادَةِ ، وَمَنْ جَزَمَ بِأَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ قَامَتْ عِنْدَهُ قَرِينَةُ كَوْنِهِ مُسَافِرًا
“Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arofah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar” (Fathul Baari 6/268)
Padahal kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berhaji sekali -yaitu haji wadaa’- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arofah meskipun tidak ada muslim yang wukuf di padang Arofah.
Tentu sebelum Islam sudah ada orang-orang Arab yang wukuf di Arofat dari kalangan kaum musyrikin (kecuali kaum Quraisy yang wukufnya di Al-Muzdalifah). Akan tetapi pembicaraan kita tentang ikut serta meraih ampunan yang Allah berikan kepada kaum muslimin yang sedang wukuf di padang Arofah. Dan tatkala Nabi dan para sahabatnya terbiasa puasa hari Arofah ternyata tidak ada seorang muslimpun yang wukuf di Arofah. Ini menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arofah berkaitan dengan waktu 9 Dzulhijjah dan bukan pada tempat padang Arofah yang para jama’ah haji sedang wukuf di situ.
Al-Khirosyi berkata :
(قَوْلُهُ : وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut. Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arofah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya yaitu 9 Dzulhijjah” (Syarh Mukhtashor Al-Kholil)
KEDUA : Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arofah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arofah, maka bagaimanakah puasa Arofahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Mekah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Mekah?, yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?.
Kalaupun akhirnya telah datang kabar setelah setengah bulan atau sebulan misalnya -padahal terjadi perbedaan antara ru’yah mereka dengan Mekah- maka sama sekali tidak dinukil mereka lalu mengqodo kesalahan mereka.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أنا نعلم بيقين أنه ما زال في عهد الصحابة والتابعين يري الهلال في بعض أمصار المسلمين بعد بعض، فإن هذا من الأمور المعتادة التي لا تبديل لها، ولابد أن يبلغهم الخبر في أثناء الشهر، فلو كانوا يجب عليهم القضاء لكانت هممهم تتوفر على البحث عن رؤيته في سائر بلدان الإسلام، كتوفرها على البحث عن رؤيته في بلده، ولكان القضاء يكثر في أكثر الرمضانات، ومثل هذا لو كان لنقل، ولما لم ينقل دل على أنه لا أصل له، وحديث ابن عباس يدل على هذا
“Kita tahu dengan yakin bahwasanya semenjak zaman sahabat dan tabi’in telah terlihat hilal di sebagian negeri kaum muslimin setelah terlihat di negeri yang lainnya (yaitu terjadi perbedaan hari dari terlihatnya hilal-pen). Karena ini merupakan perkara yang biasa yang tidak tergantikan. Dan pasti akan sampai kabar di tengah bulan (akan perbedaan hilal mereka dengan hilal yang terlihat di hijaz-pen). Kalau memang wajib bagi mereka untuk mengqodo’ maka tentu semangat mereka untuk mencari tahu tentang terlihatnya hilal di seluruh negeri kaum muslimin sebagaimana semangat mereka untuk melihat hilal di negeri mereka. Dan tentu pula akan banyak terjadi qodo di sebagian besar bulan Ramadhan. Hal seperti ini, kalau seandainya terjadi maka tentu akan dinukilkan. Maka tatkala tidak dinukilkan (kalau mereka mengqodo) maka ini menunjukkan perkara ini tidak ada asalnya. Dan hadits Ibnu Abbas menunjukkan akan hal ini” (Majmuu’ A-Fataawa 1/12)
Karenanya di zaman Ibnu Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam menentukan hari Arofah dan hari raya ‘Idul Adha. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وكانت الوقفة يوم الجمعة بعد تنازع بمكة مع أن العيد كان بالقاهرة يوم الجمعة
“Tatkala itu wuquf (padang Arofah) di Mekah hari jum’at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari raya idul adha di Qohiroh (Mesir) adalah hari jum’at” (Inbaa’ Al-Ghomr bi Abnaa’ al-Umr fi At-Taariikh 2/425)
Beliau juga berkata :
وفي الثالث والعشرين من ذي الحجة وصل بالمبشر من الحاج … وأخبر بأن الوقفة كانت يوم الاثنين وكانت بالقاهرة يوم الأحد ، فتغيظ السلطان ظنا منه أن ذلك من تقصير في ترائي الهلال ، فعرفه بعض الناس أن ذلك يقع كثيرا بسبب اختلاف المطالع ؛ وبلغني أن العيني شنع على القضاة بذلك السبب فلما اجتمعنا عرفت السلطان أن الذي وقع يقدح في عمل المكيين عند من لا يرى باختلاف المطالع ، حتى لو كان ذلك في رمضان للزم المكيين قضاء يوم
“Pada tanggal 23 Dzulhijjah sampailah pembawa kabar berita dari haji…., ia mengabarkan bahwa wukuf (di padang Arofah) pada hari senin, dan di Qohiroh (Mesir) jatuh pada hari Ahad. Maka Sultan (Mesir) pun marah karena menyangka bahwa perbedaan ini timbul karena kurang (serius) dalam melihat hilal. Maka ada sebagian orang yang menjelaskan kepada Sultan bahwasanya hal ini sering terjadi karena perbedaan mathla’. Dan telah sampai kabar kepadaku bahwasanya Al-‘Aini mencela para qodhi disebabkan hal ini. Maka tatkala kami bertemu, maka akupun menjelaskan kepada Sultan bahwasanya apa yang terjadi hanyalah merusak amalan penduduk Mekah menurut yang berpendapat bahwasanya tidak ada perbedaat mathla’, bahkan jika terjadi di bulan Ramadhan maka wajib bagi penduduk Mekah untuk mengqodo sehari” (Inbaa’ Al-Ghomr bi Abnaa’ al-Umr fi At-Taariikh 8/78)
Kejadian di atas menunjukkan bahwa Mesir lebih dahulu melihat hilal daripada Mekah, sehingga Mekah 9 dzulhijjahnya (wukufnya) jatuh pada hari senin, sementara Mesir 9 Dzulhijjahnya jatuh pada hari ahad yaitu sehari sebelumnya. Jika para ulama memandang harus satu mathla’ maka seharusnya penduduk Mekah harus mengikuti penduduk Mesir, sehingga mereka telah salah dalam menentukan waktu wukuf di padang Arofah, demikian juga jika hal ini terjadi di bulan Ramadhan berarti taktala Mesir lebih dahulu puasa maka penduduk Mekah baru berpuasa sehari setelahnya maka penduduk Mekah harus mengqodo’ puasa sehari. Akan tetapi Ibnu Hajar menjelaskan kepada sulton bahwasanya hukum ini hanya berlaku bagi yang memandang tidak ada perbedaan mathla’, akan tetapi tidak berlaku bagi yang memandang adanya perbedaan mathla’. Dzohir kisah ini menunjukkan Ibnu Hajar rahimahullah condong kepada pendapat perbedaan pelaksanaan puasa Arofah jika memang waktu melihat hilalnya berbeda.
KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arofah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?.
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KEEMPAT : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arofah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arofah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arofah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arofah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Maka barang siapa yang satu mathla’ dengan Mekah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama’ah haji sedang wukuf di padang Arofah, akan tetapi jika ternyata mathla’nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan ru’yah hilal setempat.
Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun penulis lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan ru’yah hilalnya-, akan tetapi sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya pendapat pertamapun sangat kuat dan dipilih oleh mayoritas ulama kontemporer.
Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya. Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh Syaitan dan para pengikutnya. Hendaknya kita beradab dengan adab para ulama dalam permasalahan khilafiyah, dan hendaknya kita mengenal manhaj salaf dalam menyikapi permasalahan khilafiyah. Jangan sampai kita mengaku-ngaku bermanhaj ahlus sunnah tapi justru tidak tahu manhaj ahlus sunnah dalam permasalahan khilafiyah.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 04-12-1435 H / 29 September 2014 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Artikel yang bagus, sangat bermanfaat ustadz.. Disaat kami yang awam bingung dengan beberapa pendapat khilaf ijtihad, ustadz selalu memaparkan penjelasan yang ilmiyyah. Semoga Allah selalu menjaga ustadz dan keluarga. Barakallaahu fiikum wa jazakallaahu khairan~
jazakallahu ustadz
1. Penamaan Puasa Arofah, ternyata didalam hadits ada 3, tidak hanya disandarkan pada arofah saja, seperti Puasa Tis’ah, kesimpulannya = penyandaran kepada arofah adalah pemuliaan saja, tidak krn sebab tempat, puasa arofah tetap 9 dzulhijjah, walau berbeda dengan Mekkah
2. Puasa Arofah, sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 sedangkan wukuf di Arofah / Haji disyariatkan pada tahun ke-6 (jumhur) / ke 9 (Ibnul Qoyyim), sehingga penyandaran puasa tgl 9 Dzulhijjah dengan Arofah, bukanlah berkaitan dengan wukuf di arofah
3. Pada masa Nabi, beliau di Madinah berpuasa tgl 9 Dzulhijjah, krn tidak ada riwayat utusan yg dikirim beliau utk memantau hilal di mekkah, jarak mekkah ke madinah 500km, kecepatan Onta 15km/jam atau 40an km/hari. Jika hilal telah terlihat di Mekkah, maka orang Madinah baru mengetahuinya setelah 9 hari – 10 hari berlalu. Sehingga sangat jelas beliau berpuasa arofah pada tgl 9 dzulhijjah, tanpa berlebih-lebihan untuk mengutus seorang utusan demi mengetahui kondisi hilal di mekkah
4. Fatwa syaikh Ibnu Utsaimin
5. Perbedaan mathla’, memang telah terjadi sejak zaman para sahabat, dan diakui oleh mereka, serta kenyataan yang kita alami, memang mathla’berbeda beda, di indo magrib, di mekkah ashar, dstnya.
wallohu a’lam,
nomor 1 ………..
penyandaran kepada arofah adalah pemuliaan saja, tidak krn sebab tempat, puasa arofah tetap 9 dzulhijjah, walau berbeda dengan Mekkah
REVISI,
penyandaran kepada arofah adalah pemuliaan saja, tidak krn sebab kegiatan yang dilakukan ditempat tersebut (WUKUF DI AROFAH), puasa arofah tetap 9 dzulhijjah, walau berbeda dengan Mekkah
Jazakallohu khoiir.
Semoga alloh ta’ala selalu menjaga anda.
Semoga engkau diberi keluasan ilmu dan kesehatan serta dijaga dalam kelurusan manhaj oleh alloh ta’ala sehingga engkau dapat memberikan manfaat bagi kami melalui blog anda ini.
Mohon ijin untuk share
Syukron
Jazakallah khoiron atas penjelasannya, jadi lebih yakin dan lebih tenang untuk ikut bersama pemerintah. Memang salah satu solusi untuk tidak berpecah belah adalah dengan mengikuti penetapan pemerintah..satu hal yang sangat berkesan bagi saya ustadz menyampaikan permaslahan ini secara ilmiyah, tidak memvonis orang yang mengikuti pendapat pertama dengan hujah yang batil atau seperti sarang laba laba…
@ bwt abdullohindounlocker 2014-09-29 02:58
Afwan, mohon infonya dari pendapat siapa (ust/ ulama) antum mengemukakan pendapat point nomor 2.
nomor 2 ………
Puasa ‘Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat ‘Idul Fitri dan Îdul Adh-hâ. Adapun wukuf di ‘Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.
Maknanya, pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima setelah hijrah, Rasulullah s.a.w. dan para sahabat telah melaksanakan puasa ‘Arafah tanpa ada seorang pun melaksanakan wukuf di ‘Arafah. Saat disyariatkan, puasa ‘Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di ‘Arafah. (Lihat: Zâdul Ma’âd, II/101, Fathul Bârî, III/442; Hâsyiyah al-Jumal, VI/203; dan Subulus Salâm, I/60)
Walaubagaimana pun pada Zaman serba canggih masakini dimana komunikasi terlalu mudah diseluruh pelusuk dunia mama penyatuan Umat Islam adalah amat penting. Memang ibadah puasa masih boleh dikekalkan kpd nampak nya anak bulan, Eidul Adha adalah berkait dengan ibadah haji di Mekah. Justeru adalah molek dan sangat sesuai waktu wukuf diselaraskan diseluruh dunia. Jadi umat Islam bersatu untuk berpuasa pada 9 ZulhijjahZulhijjah. Dan tidak timbul ada orang berpuasa pada 9 Zulhijjah dinegara sendiri manakala jemaah Haji sudah menyambut Eidul Adha. Jika dapat dilaksanakan pasti akan mendapat reda Allah. Wal-Allah-hu aklam.
syukron ustad atas penjelasannya
Puasa Arofah atau Puasa Jakarta?
afwan menyimpang, kok sekarang situsnya ada iklannya ya?
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.
Refferensi yang bagus, Subhanallah ustadz..Jazakallah Khair.
Minta pendapat ustadz mengenai pernyataan teman
“Puncaknya adalah tgl 9 Dzulhijjah / hari Arafah, dan jangan lupa untuk puasa , karena ada harapan diampuni dosa 2 tahun ( HR. Ahmad & muslim ).
Karena 9 Dzulhijjah di kita jatuhnya hari Sabtu, maka untuk menyelisihi puasanya orang Yahudi …. kita rangkankan puasa dari hari sebelumnya ( hari Jum’at merupakan hari besar ) , maka rangkaikan dengan hari sebelumnya yaiti hari Kamis”
Syukron
Assalaamualaikuum ustadz..
Syukron artikelnya..
mau tanya ustadz…mohon pendapat tentang pendapat salah seorang teman
“Apa saja amalan yang harus di lakukan ?
Ya .., semua amal shaleh…, sholat sunnah, puasa sunnah, membaca Qur’an , sedekah dan banyaklah berzikir dll.
Puncaknya adalah tgl 9 Dzulhijjah / hari Arafah, dan jangan lupa untuk puasa , karena ada harapan diampuni dosa 2 tahun ( HR. Ahmad & muslim ).
Karena 9 Dzulhijjah di kita jatuhnya hari Sabtu, maka untuk menyelisihi puasanya orang Yahudi …. kita rangkankan puasa dari hari sebelumnya ( hari Jum’at merupakan hari besar ) , maka rangkaikan dengan hari sebelumnya yaiti hari Kamis”
mohon pencerahannya ustadz..syukron jazaakallahu khair.
Artikel yang sangat bermanfaat ustadz, jazakallah khairon.
Ada sedikit yang ingin ana komentari :
Ketika antum menyebutkan dalil-dalil pendapat kedua yang antum rojihkan, antum sebutkan pernyataan Ibnu Taimiyyah. Padahal secara tegas Ibnu Taimiyyah sendiri berpendapat ikhtilaful matholi’ tidak mu’tabar dalam hukum.
Pernyataan Ibnu Taimiyyah yang antum kutip adalah sedang dalam pembahasan “bulughul ilmi”, / penyampaian hasil rukyatul hilal ke negeri-negeri lain.
Coba perhatikan pernyataan beliau sebelumnya :
فالصواب في هذا واللّه أعلم ما دل عليه قوله “صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم تضحون”، فإذا شهد شاهد ليلة الثلاثين من شعبان أنه رآه بمكان من الأمكنة قريب أو بعيد؛ وجب الصوم.
وكذلك إذا شهد بالرؤية نهار تلك الليلة إلى الغروب؛ فعليهم إمساك ما بقي، سواء كان من إقليم أو إقليمين.
والاعتبار ببلوغ العلم بالرؤية في وقت يفيد،فأما إذا بلغتهم الرؤية بعد غروب الشمس، فالمستقبل يجب صومه بكل حال، لكن اليوم الماضي: هل يجب قضاؤه؟ فإنه قد يبلغهم في أثناء الشهر أنه رؤي بإقليم آخر، ولم ير قريباً منهم، الأشبه أنه إن رؤي بمكان قريب، وهو ما يمكن أن يبلغهم خبره في اليوم الأول، فهو كما لو رؤي في بلدهم ولم يبلغهم.
Setelah menjelaskan cukup panjang, diakhir beliau memberi satu kesimpulan :
والحجة فيه أنا نعلم بيقين أنه مازال في عهد الصحابة والتابعين يري الهلال في بعض أمصار المسلمين بعد بعض،..
Jadi jelas, pernyataan beliau -rahimahullah- yang antum kutip adalah sedang menjawab permasalahan lain, bukan masalah apakah ikhtilaful matholi’ mu’tabar atau tidak?
Jika kita perhatikan dengan seksama pernyataan Ibnu Taimiyyah tersebut, justru malah membantah hujjah yang antum kemukakan :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arofah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arofah, maka bagaimanakah puasa Arofahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Mekah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
wallahu a’lam.
Benar komentar antum, dan ana tidak sedang menukil pendapat Ibnu Taimiyyah dan tidak juga sedang membantah beliau atau mengumpulkan seluruh perkataan beliau tentang hal ini. Ana hanya menukil logika berfikir beliau yang bagus yang sesuai dengan sisi bantahan yang ana sampaikan.
Baarokallahu fiik
Alhamdulillah
Syukron ustadz…jazzakallahu khairan
Ijin share ya ustadz…
Bismillah,
mau tanya tadz,
Tahun ini kan di indo dn mekah berbeda hari ‘ied nya.
dikampung saya ta’mir masjid setempat sepakat untuk ikut hari ‘ied di hari sabtu sama dgn saudi, dan penyembelihan udhiyah jg hari sabtu. Namun bagaimana dgn saya yang disitu sudah ikut patungan untuk qurban sapi 7 orang jika di hari sabtu ituu saya masih berpuasa dan ikut yang hari minggu sholat ied nya. Keterima ga itu qurban saya ustadz?
jazaakallah khoir
bismillah … afwan tadz .. ada sebagian ustadz yang memberikan jawaban dalm masalh ini dengan mengtakan .. kita shaum ikut saudi tapi lebaran ikut pemerintah .. bgaimana pendpat ustadz ? syukran
sedikit aja, kalau masalah telepon dan telegraph kurang pas dijadikan referensi. kalau masih mau jadi referensi kenapa gak sekalian saja berangtkat hajinya naik kuda. agar tidak ada perbedaan lagi. kita sudah di jaman informasi ya dipergunakan untuk kemaslahatan saja. kanpermasalahannya ada di ketidakmaun dari umat islam (atau para pemimpinnya) untuk menyatukan kapan dan dimana waktu itu dimulai? kalau dimulai dari jazirah arab ya benar kita puasa arofahnya hari sabtu. tapi kalau pertama kali hilal tanggal 1 muncul di indonesia atau lebih timur lagi ya mestinya puasa arofah itu hari jum’at besok.
wallalhu’alam
ini jaman kontemporer.. jaman informasi terbuka.. sdh pada tahu perbedaan waktu ga lebih dari 12 jam.. sorong-arafah/mekkah selisih 6 jam masih di hari yg sama tanggal 9 dzulhijjah.. brazil-mekkah selisih ga sampe 12 jam. itu artinya sama dng saat jamah haji wukuf di arofah. makanya rukyat global utk muslim lebih tepat diterapkan agar tidak ada perbedaan antar sesama muslim… jangan biarkan orang2 kafir tepuk tangan ngetawain perselisihan qt. wallahu a’lam