Benarkah Hukum Sutroh adalah Sunnah Menurut Ijmak Ulama?

7945
sutroh

Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.

Jawab :

Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.

Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.

Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.

Ibnu Hazm berkata,

إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً

“Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)” (Marootibul Ijmaa’ hal 27)

Beliau juga berkata,

ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك

“Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini” (Marootibul Ijmak 27)

Ibnu Taimiyyah berkata

ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة

Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu’ Al-Fataawa 22/368)

Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid’ah berusaha untuk menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, “Ini bertentangan dengan Ijmak”.

Hal inilah (penolakan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,

من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا

Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : “Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia”, atau : “Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini” (I’laamul Muwaqqi’iin 3/558-559)

Ibnu Taimiyyah berkata,

قال الإمام أحمد: “من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك”. يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: “هذا خلاف الإجماع”

“Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu ‘Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, “Ini menyelisihi ijmak” (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)

Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).

Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.

 

Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?

Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar

Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :

وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا

“Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam” (Bidaayatul Mujtahid 1/82).

Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,

وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا

“Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh” (Al-Mughni 2/36)

 

Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :

Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :

–         Ibnu Jarir At-Tobari  (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)

–         Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa’aat Ibni Abdil Barr fil ‘Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.

–         Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah

–         Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah ‘ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa’aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil ‘Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang ‘alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)

Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang ‘alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma’.

Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.

 

Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah

Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :

Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf. Beliau berkata

وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا

“Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh” (Al-Mughni 2/36)

Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.

Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:

–         Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)

–         Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari’atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah

Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :

Contoh pertama :

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni

مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )

لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ

Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : “Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik”

(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf” (Al-Mughni 7/33)

Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah “Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab” memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau “agar keluar dari khilaf” menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.

Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.

Ibnu Taimiyyah berkata :

الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…”(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)

Contoh kedua :

Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni

مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره )   ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر

وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا

Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).

(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.

Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro’y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini…” (Al-Mughni  9/361)

Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata

وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ

“Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari’atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi’i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad” (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)

 

Contoh ketiga :

Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni

ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم …ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات

قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك

“Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi’i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, “Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…

Imam Ahmad berkata : “Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang”. Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini” (Al-Mughni 9/47)

Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah “istihbaab” adalah “disyari’atkannya”.

Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah “Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini” maksudnya adalah “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari’atkannya hal ini”, bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A’lam bis Showaab.

Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa’ karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa’ karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu’aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-‘Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth’i tapi hanyalah dzhonniy

Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,

واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، …ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي

“Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth’iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth’iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy” (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)

Beliau juga berkata,

واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص

“Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot’iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot’iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash” (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)

 

Kesimpulan :

Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a’lamu bisshowaab.

 

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo’dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com


Marooji’

1-    Marootibul Ijmaa’ fil ‘Ibaadaat wal Mu’aamalaat wal I’tiqoodaat, Ibnu Hazm, tahqiq : Hasan Ahmad isbir, Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama (1419 H-1998 M)

2-    Ijmaa’aat Ibni ‘Abdil Barr fil ‘Ibaadaat, Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi, Daar At-Thoibah, cetakan pertama (1420 H-1999 M)

3-    Ijmaa’aat Ibni Rusyd (Al-Hafiid) –qismil ‘Ibaadaat- min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid wa Nhaayatul Muqtshid, Bin Faizah Az-Zubair, Isyroof DR Kamaal Buzaid

4-    Mudzakkiroh Ushuul Al-Fiqh, Muhammad Al-Amiin As-Syingqiithiy, tahqiq : Abu Hafsh Saamii Al-‘Arobiy, Daar Al-Yaqiin, cetakan pertama (1419 H-1999 M)

 

 

64 COMMENTS

  1. Assalamu’alaikum ustadz, ada yang ingin ana tanyakan berkaitan tentang Khilafiyah Ijtihadiyah, yaitu bolehkah seseorang yang awam seperti saya mengambil pendapat yang lebih mudah untuk dikerjakan terhadap permasalahan yang merupakan Khilafiyah Ijtihadiyah, lalu apakah ciri-ciri permasalahan agama yang permasalahan tersebut merupakan Khilafiyah Ijtihadiyah?

    Mohon jawabannya, Syukron wa Jazakallah khairan.

    • Walaikumsalam wrahmatullah wabarookatuh. Jika suatu permasalahan khilafnya kuat diantara para ulama maka itu indikasi bahwa khilafnya kuat. bagi seseorang yang bisa memahami penjelasan dalil dari para ulama maka wajib baginya untuk mengikuti dalil yang telah dia pahami.
      akan tetapi jika seseorang tidak bisa memahami dalil atau tidak paham akan permasalahan maka boleh baginya untuk taqlid. yaitu taqlid kepada ulama yan lebih dia percayai tentag keilmuan dan ketakwaan, dan tidak boleh bebas memilih pendapat yang termudah dan terenak. Wallahu A’lam

      • klo mau mengirimkan masalah ke njenengan gimana caranya???? Ada sanggahan terhadap artikel njenengan di FB mau saya mintakan mbantahannya lewat mana???

  2. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
    Ustadz Firanda, jazakallah khairan atas artikelnya.
    Banyak faidah yang bisa saya petik dari artikel tersebut.

  3. Salah satu faidah yang bisa saya petik adalah Ibnu Rusyd termasuk salah satu ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak. Hal ini berarti klaim ijmak dari Ibnu Rusyd ada kemungkinanan diselisihi oleh ulama lain yang se-zaman maupun sebelum beliau. Namun demikian, ada kemungkinan pula tidak ada ulama se-zaman maupun sebelumnya yang menyelisihi ijmak beliau tentang istihbabnya sutroh.
    Hal ini berarti pula bahwa tidak semua klaim ijmak yang datang dari Ibnu Rusyd semuanya salah tanpa ada kemungkinan benar. Hal ini membawa konsekuensi klaim ijmak beliau tidak bisa diabaikan begitu saja sehingga perlu ditelaah lebih lanjut.
    Pada point ini saya tidak menemukan penjelasan dari Ustadz Firanda, tentang siapa dan bagaimana ulama yang se-zaman maupun sebelumnya yang tidak sepakat dengan Ibnu Rusyd. Jika disampaikan siapa dan bagaimana ulama lain yang menyelisihi ijmak beliau, barangkali bisa diulas apakah penyelisihan itu kokoh ataukah tidak.

  4. Dari apa yang saya pahami, ada “missing link” ketika “jump to conclusion” pada artikel tersebut. Ada penjelasan yang saya rasakan kurang untuk bisa sampai kepada kesimpulan yang Ustadz sampaikan bahwa “Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya”. Yang saya pahami, artikel Ustadz Firanda masih membahas seputar ijmak Ibnu Rusyd secara umum, belum secara khusus membahas batalnya ijmak Ibnu Rusyd tentang istihbabnya sutroh.
    Saya ber-husnudzon Ustadz Firanda sedang banyak kesibukan sehingga belum sempat merinci penjelasan yang mampu menopang kesimpulan tersebut secara kokoh. So, ditunggu penjelasan lanjutannya ya Ustadz…
    Mohon dikoreksi jika saya salah memahami.
    Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi waktu, tenaga, dan ilmu yang dianugerahkan kepada antum.

    • Akhi Abu Zahroh, sebelumnya ana mengucapkan jazaakallahu khoir atas masukannya. Logika berpikirnya adalah sebagai berikut :
      – Untuk membatalkan ijmak Ibnu Rusyd maka kita tidak perlu mencari pernyataan ulama lain bahwasanya klaim ibnu Rusyd tidak benar. karena terlalu banyak ulama yang hidup sebelum beliau atau sezaman beliau atau sesudah beliau yang belum tentu membaca kitab beliau Bidaayatul Mujtahid. Kalaupun membacanya maka belum tentu mengkhususkan membaca permasalahan-permasalahan ijmak. kalaupun membaca permasalahan2 ijmak maka belum tentu membaca permasalahan yang sedang kita bahas yaitu permasalahan sutroh. jadi kalau harus mencari ulama yang membantah ibnu Rusyd maka itu perkara yang sia-sia. kecuali perkataan Ibnu Rusyd tentang klaim ijmak tentang sutroh terkenal di kalangan para ulama kemudian mereka membahasnya, baik menolak atau mendukung
      -para ulama tatkala mengatakan ijmak Ibnu Rusyd atau Ibnu Abdil Barr atau Ibnu Jarir adalah klaim yang lemah mereka tidak perlu mendatangkan pernyataan ulama sezaman Ibnu Abdil Barr, Ibnu rusyd, dan Ibnu Jarir yang membantah ijmak mereka satu persatau. akan tetapi cukup mereka menyatakan bahwa ada khilaf dalam permasalahan tertentu, dan bahkan khilafnya masyhuur
      – sehingga untuk menyatakan bahwa ijmak yang disebutkan ibnu rusyd tidaklah tepat hanyalah dengan membuktikan bahwasanya memang benar ada khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini
      – Ibnu Rusyd termasuk ulama belakangan, yang para ulama tidak sering menukil ijmak yang beliau sampaikan, karena beliau memang terkenal dengan tasahul. kita bisa balik bertanya, siapakah ulama sebelum ibnu Rusyd yang menyatakan ada ijmak dalam permasalahan ini?. Bukannya kita ragu dengan telaah Ibnu Rusyd, akan tetapi madzhab beliau adalah sama dengan Ibnu Jarir dan Ibnu Abdil Barr bahwasanya Al-Qoul Al-Aktsar termasuk ijmak, sehingga jika ada segelintir orang yang menyelisihi tidak dianggap oleh mereka merusak ijmak.
      Wallahu A’lamu wa baarokallahu fiik

  5. Ustadz, bukankah rata-rata isi buku tentang ijma semisal ijmak Ibnul Mundzir adalah ijma zhanni namun nampaknya para ulama tidak bermudah-mudah dalam menyelisihi ijma-ijma tersebut?
    Mohon pencerahannya

    • Baarokallahu fiik ya akhii, syukron atas masukannya. masukan-masukan senantiasa ana tunggu dari antum-antum sekalian.
      Memang benar bahwasanya para ulama tidak mudah untuk menyelisihi ijmaak Ibnu Mundzir.
      Akan tetapi pembahasan kita adalah tentang permasalahan ijmak yang diklaim oleh Ibnu Rusyd, dan ternyata Ibnu Rusyd termasuk mutasaahil dalam klaim ijmak. hal ini sebagaimana telah diteliti dalam risalah-risalah ‘ilmiyah. akan tetapi kita tetap isti’nas dengan ijmak yang diklaim beliau kalau memang ternyata kita tidak menemukan khilaf dalam permasalahan ini. akan tetapi kenyataan yang ada ternyata ada khilaf dalam permasalahan sutroh.
      meskipun ana belum membahas secara khusus tentang peramsalahan ini -mengingat keterbatasan waktu- akan tetapi dari dialog yang terjadi antara antum dan Abul Jauzaa’ ada isyarat akan adanya khilaf antara para ulama.
      Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :فهذه الأخبار كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر صدقة بن يسار سمعت بن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى سترة وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه وسلم“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat agar memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’[3]. Hal ini dikarenakan ‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat bersutrah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam hadits Shadaqah bin Yasaar (ia berkata) : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shalat kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau melakukan sesuatu yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang ?” [Shahih Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy].Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata :السترة واجبة عند جماعة من العلماء“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama” [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr].
      Ibnu Khuzaimah wafat pada tahun 311 Hijriah yaitu 2 abad sebelum wafatnya Ibnu rusd yang meninggal pada tahun 595 Hijriyah. sangat nampak jelas Ibnu Khuzaimah mewajibkan sutroh dari perkataannya di atas. dan kita tidak membawa perkataan Ibnu Khuzaimah diatas pada makna mustahab karena berdalil denagn ijmaknya Ibnu Rusyd.
      Demikian juga dzohir dari perkataan Imam Malik
      ومن كان في سفر فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة“Barangsiapa dalam keadaan safar, maka tidak mengapa ia shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun jika ia dalam keadaan hadir (tidak safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali menghadap ke sutrah” [Al-Mudawwanah, 1/289].
      Apalagi Al-Lakhomi dalam kitabnya At-Tabshiroh 1/45 (risalah desrtasi di Jami’ah Ummul Quro) berkata :
      ومن صلى مأموماً فليس عليه أن يصلي إلى سترة، وذلك على إمامه، فإن صلى الإمام إلى غير سترة فلا يؤتم به
      Artinya : Barangsiapa yang sholat sebagai makmum maka tidak perlu menggunakan sutroh karena sturoh tersebut atas imam. jika sang imam sholat tanpa sutroh maka tidak usah berimam kepadanya.
      Bukankah dzohirnya adalah mewajibkan sutroh bagi sang imam?
      kemudian bukankah perkataan Al-Lakhomi “وذلك على إمامه
      ibarat seperti ini biasanya digunakan untuk penunjukan wajib “atas imam sutroh” yaitu wajib baginya sutroh.
      Padahal Al-Lakhomi salah satu ulama madzhab Maliki yang wafat pada tahun 478 Hijriah yaitu seratus tahun lebih sebelum wafatnya Ibnu Rusyd.
      Semua ini semakin memperkuat adanya khilaf diantara para ulama tentang hukum sutroh.
      Kemudian tidak kita temukan ada seorangpun ulamapun sebelum Ibnu Rusyd yang menyebutkan tentang ijmak permasalahan ini, berarti Ibnu Rusyd menyampaikan ijmak ini berdasarkan istiqroo’ dan tatabbu’ beliau. apalagi didukung oleh tasahul beliau dalam menukil ijmak maka semakin memperkuat bahwa ijmak yang beliau hikayatkan adalah lemah. bisa jadi beliau tidak menelaah perkataan Ibnu Khuzaimah…, bisa jadi beliau tidak menelaah seluruh kitab-kitab fiqih.., bisa jadi beliau tidak menelaah seluruh perkataan fuqohaa.., terlalu banyak ihtimaal.
      Karena asalnya kitab bidyatul mujtahid adalah sebuah kitab yang beliau tulis untuk ringkasan pribadi beliau, sehingga belum beliau mentabyyid kitab tersebut, oleh karenanya banyak masyayikh yang meningatkan bahwa penisbatan aqwaal dalam kitab bidayatul mujtahid tidak bisa dijadikan pegangan karena sering terjadi kekeliruan dalam penisbatan.
      Bagaimanapun juga telah jelas ada khilaf dalam masalah ini, dan ada para ulama yang menyatakan wajibnya mneggunakan sutroh. Wallahu A’lam. masukan-masukan dan kritikan-kritkan yang membangun dari para pembaca masih kita tunggu. Baarokallahu fiikum

    • walikumslm, Ibnu Hazm tidak mengingkari ijmak, bahkan beliau berdalil dengan ijmak. Beliau hanya mengingkari orang yang bermudah-mudah menyerukan ijmak.
      Bahkan beliau memiliki buku yang mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama dengan persyaratan yang ketat. buku beliau berjudul “Marootibul Ijmaak”. Buku sangat bermanfaat, terlebih lagi jika disertai dengan kritkan terhadap buku ini yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah. karena ada perkara-perkara yang disangka ijmak oleh Ibnu Hazm, ternyata tidak ijmak sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah

  6. Assalamualaykum ustadz firanda -semoga selalu diberkahi Allah-.

    Ana ingin menanyakan apakah ada ulama yang menulis kitab khusus mengkritik kitab Al-Ijma li Ibnul Munzir ? (Terkait dengan ijma’-ijma’ yang dikumpulkan Ibnul Munzir).

    Itu saja, Syukron.

    • Tentunya klaim ijmak yang disampaikan oleh Syaikh Ali Baasaam jauh lebih rendah dibandaingkan klaim yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd, ditinjau dari beberapa sisi:
      – Syaikh Ali Bassaam bukanlah orang yang dikenal dengan istiqroo dan tatabbu’ tentang aqwaal para ulama
      – Beliau bukan orang yang mutkhossis dalam masalah ijmaa’
      – beliau adalah ulama zaman sekarang dan tidak ada di zaman ini seorang ulamapun yang berdalil dengan klaim ijmak yang dinukilkan oleh ulama sezamannya -sepanjang pengetahuan ana-. Siapa tahu antum akhil kariim bisa memberikan contoh kalau ada ulama sekarang yang berdalil dengan ijmak yang dinukil oleh ulama sezamannya
      – Ana tidak tahu, apakah syaikh Ali Bassaam rahimahullah menukil ijmak dari ulama terdahulu?
      – Syaikh Ali Basasaam tentunya tidak sederajat dengan Syaikh Utsaimin, Bin Baaz, dan Al-Albani, yang nota bene mereka tidak menganggap ini merupakan masalah ijmak.
      Wallahu A’lam bis sowaab

  7. “Para ulama yang berpendapat bahwa sutrah itu wajib bagi imam dan munfarid mereka tidak berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan sutroh maka sholatnya tidak sah. karena sutroh keluar dari dzat (maahiat) sholat, serta tidak berkaitan dengan salah stu rukun atau salah satu syarat dari rukun-rukun dan syarat-syarat sholat. Adapun kaidah An-Nahyu yaqtadhi Al-Fasaad (Larangan menkonsekuensik an rusaknya ibadah) maka ini berlaku pada suatu larangan larangan tersebut berkaitan dengan rukun maupun syarat sholat”.
    https://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/64-apakah-menggaruk-3-kali-dalam-sholat-membatalkan-sholat#comment-121
    Apa dalil untuk membedakan antara larangan dalam mahiyah ibadah dengan larangan diluar mahiyah ibadah?
    Bukankah kaedah ulama yang tidak berdalil tidak boleh kita jadikan dalil?

  8. Dalama rekaman ta’liq utk al Ushul min Ilmi Ushul, Syaikh Abdul Aziz ar Rais mengatakan bahwa “membedakan antara dzat ibadah dan bukan” dalam masalah annahyi yaqtadhi al fasad adalah tafshil ahli kalam, bukan tafshil dari salaf.
    Tafshil yang benar menurut beliau adalah sebagai berikut:

  9. لابن تيمية بحث طيب في مجموع الفتاوى في مسألة تقرير أن النهي يقتضي الفساد مطلقا وبحث هذه المسألة مطلقا أيضا الإمام ابن القيم في تهذيب السنن وذكر أن النهي يقتضي الفاسد مطلقا والأدلة على ذلك يقول ابن تيمية وابن القيم لا يوجد في الشريعة قط هذا منهي عنه مع الصحة وإنما يستفاد الفساد مع مجرد النهي والله سمى النهي إفسادا قال (لا تفسدوا في الأرض بعد إصلاحها} والإفساد هنا المراد به الإفساد المعنوي وهو نشر المعاصي وفعلها إلا أن ابن تيمية نبه إلى أن المراد هو النهي الذي جاء في سياق واحد كقوله لا تصلوا إلى القبور”أما أن تأتي بنهي مركب هذا لا يقتضي الفساد فمثلا من صلى وقد لبس ثوب حرير وستر عورته بثوب حرير هذا ارتكب محرما لكن لم يأت النهي في حديث واحد أو آية واحدة بل جاء مركبا لا يوجد في الشريعة لا تصل في ثوب الحرير وإنما يستفاد بالتركيب الشريعة نهت عم لبس الحرير للرجال فإن صلى فيه صار مرتكبا لمحرم إلى آخره يقول هذا لا يقتضي الفساد وإنما الذي يقتضي الفساد هو ما كان في نص واحد غير مركب

  10. Berdasarkan kutipan di atas, bukankah orang yang berpendapat bahwa sutroh itu wajib dan haram tanpa sutroh seharusnya-jika konsekuen-berpendapat batalnya shalat orang yang tidak bersutroh karena ada hadits:
    لا تصل إلا إلى سترة؟
    أفيدونا أحسن الله إليكم

    • Akhil kariim, tentunya pembahasan kita sekrang keluar dari pembahasan. pembahasan tentang bahwasanya tidakbenarnya klaim ijmak sudah selesai.
      setuju…??, atau antum masih punya masukan buat ana??
      Adapun kaidah yang antum sebutkan diatas tentunya masih khilaf diantara usuliyyun meskipun kita merojihkan kaidah tersebut, kalau kaidah usulnya saja khilaf bagaimana lagi dengan hasilnya??.

      sekrang kita berpindah pada pembahasan berikutnya yaitu apakah sutroh itu wajib atau tidak. Maka ana katakan :
      – Ana hingga saat ini belum membicarakan apalagi merojihkan hukum sutroh wajib atau sunnah.pembicaraan ana hanya seputar benarkah klaim ijmak?, tidak ada kelaziman bahwa ana mewajibkan sutroh
      – Adapun kaidah yang ana sebutkan tentang bahwasanya para ulama yang mewajibkan sutroh tidak mengatakan bahwa orang yang sholat tidak pakai sutroh batal sholatnya karena larangan tidak kembali pada syarat atau rukun, itu adalah kaidah yang ana nukil dari para ulama dalam buku-buku ushul. tentunya mereka punya dalil, terlepas dari dalilnya lemah atau kuat. akan tetapi hendaknya kita tidak langsung memvonis bahwa kaidah yang disebutkan oleh ulama tersebut tanpa dalil…
      – Terus terang kaidah yang antum sebutkan tersebut merupakan hal baru bagi ana, dan ana mengucapkan syukorn atas masukan ilmunya. hanya saja ana minta bantuan antum untuk mentautsiiq perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim bahwasanya para salaf tidak mengetahui adanya tafsil seperti ini. dan ana sangat berharap masukan antum dalam hal ini, tentunya antum tidak memakan pernyataan Sayikh Royyis -hafizohullahu- mentah-mentah. ana sungguh sangat berharap… sebenarnya ana ingin mambahas dan mentautsiq sendiri akan tetapi terus terang waktu ana kurang, dana ana sekarang sedang menyusun tulisan baru untuk membantah abu salafy. oleh karenanya ana tunggu masukan antum tentang nukilan dari ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim bahwasanya tidak ada tafsilan dari salaf, dan kalau ada waktu mohon antum jelaskan dan mentarjihkan pendapat para usuliyin tentang kaidah an-nahyu yaqtdhil fasaad.
      – baarokallahu fiiik, masukan yang berikutnya tetap ditunggu

  11. Perkataan Ibnu Taimiyyah tentang annahyu yaqtadhi fasad bisa dibaca di sini:
    وأصل المسألة أن النهي يدل على أن المنهى عنه فساده راجح على صلاحه و لا يشرع التزام الفساد ممن يشرع له دفعه و أصل هذا ان كل ما نهي الله عنه و حرمه في بعض الأحوال و أباحه فى حال أخرى فان الحرام لا يكون صحيحا نافذا كالحلال يترتب عليه الحكم كما يترتب على الحلال و يحصل به المقصود كما يحصل به و هذا معني قولهم النهي يقتضى الفساد و هذا مذهب الصحابة و التابعين لهم باحسان و أئمة المسلمين و جمهورهم
    وكثير من المتكلمين من المعتزلة و الأشعرية يخالف فى هذا لما ظن أن بعض ما نهى عنه ليس بفاسد كالطلاق المحرم و الصلاة فى الدار المغصوبة و نحو ذلك قال لو كان النهي موجبا للفساد لزم انتقاض هذه العلة فدل على أن الفساد حصل بسبب آخر غير مطلق النهي و هؤلاء لم يكونوا من أئمة الفقه العارفين بتفصيل أدلة الشرع فقيل لهم بأي شيء يعرف أن العبادة فاسدة و العقد فاسد قالوا بأن يقول الشارع هذا صحيح و هذا فاسد و هؤلاء لم يعرفوا أدلة

  12. الشرع الواقعة بل قدروا أشياء قد لا تقع و أشياء ظنوا أنها من جنس كلام الشارع و هذا ليس من هذا الباب فان الشارع لم يدل الناس قط بهذه الألفاظ التى ذكروها و لا يوجد فى كلامه شروط البيع و النكاح كذا و كذا و لا هذه العبادة و العقد صحيح أو ليس بصحيح و نحو ذلك مما جعلوه دليلا على الصحة و الفساد بل هذه كلها عبارات أحدثها من أحدثها من أهل الرأي و الكلام
    و إنما الشارع دل الناس بالأمر و النهي و التحليل و التحريم و بقوله فى عقود هذا لا يصلح علم أنه فساد كما قال فى بيع مدين بمد تمرا لا يصلح و الصحابة و التابعون و سائر أئمة المسلمين كانوا يحتجون على فساد العقود بمجرد النهي كما احتجوا على فساد نكاح ذوات المحارم بالنهي المذكور فى القرآن و كذلك فساد عقد الجمع بين الأختين
    و منهم من توهم أن التحريم فيها تعارض فيه نصان فتوقف و قيل ان بعضهم أباح الجمع
    و كذلك نكاح المطلقة ثلاثا استدلوا على فساده بقوله تعالى فان طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره
    و كذلك الصحابة استدلوا على فساد نكاح الشغار بالنهي عنه فهو من الفساد ليس من الصلاح فان الله لا يحب الفساد و يحب الصلاح